Sel penjara yang dihuni Lesha berisi dua tahanan wanita lainnya. Satu orang bertubuh gempal dengan rambut pendek dan wajah sangar. Sementara yang lainnya bertubuh jangkung dengan lengan bertato kupu-kupu. Rambut perempuan bertato kupu-kupu itu panjang dan di cat warna coklat tua. Wajahnya cantik, dihiasi senyuman jahil.
“Anak baru ya lo? Bikin ulah apa?” tanya si anak bertubuh jangkung.
Lesha tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke luar jeruji besi. Si anak jangkung sepertinya tidak terganggu dengan sikap diam Lesha. Ia tetap tersenyum jahil meski orang yang diajaknya bicara tidak menanggapi.
“Sini, duduk aja. nggak capek apa dari tadi berdiri,” ujar anak itu lagi, menyuruh Lesha duduk di lantai sepertinya.
Kali ini Lesha menurut. Pelan-pelan ia berjalan ke sudut ruangan, lantas duduk tanpa alas sambil bersandar pada tembok penjara yang berwarna kuning kusam.
“Gue Laura,” tiba-tiba si gadis jangkung mengulurkan tangannya. Lesha tampak ragu menerima uluran tangan itu, namun kemudian memutuskan untuk menjabatnya.
“Lesha,” ucap Lesha lirih.
“Nama lo unik,” sahut Laura cengengesan. “Ini Delia, keliatannya sangar, tapi aslinya baik. Eh, kayaknya kalau dibilang baik nggak pas deh. Kita kan di penjara ya. Mana ada napi yang baik,” lanjutnya terkekeh.
Mau tak mau Lesha tersenyum kecil mendengar gurauan Laura. Meski begitu hatinya masih terasa berat. Apa yang akan terjadi padanya sekarang? Kenapa waktu tidak berputar kembali? Bahkan dia sekarang ada di penjara. Bagaimana keadaan orang tuanya? Semua pertanyaan itu membuat kecemasan Lesha terus meningkat.
“Kayaknya lo bukan anak nakal deh. Apa lo dijebak sampe bisa masuk kesini?” Laura kembali mengutarakan rasa penasarannya.
Lesha menggeleng pelan. Air matanya kini mulai menggenang. Segala peristiwa pagi tadi mulai berulang di kepalanya. Perasaan bersalah, takut dan ngeri semua bercampur aduk dalam hatinya.
“Hmm.. kalau gitu, apa lo ketauan nyuri barang? Ngutil?” tanya Laura lagi.
Lesha kembali menggeleng. Kini isak tangis patah-patah mulai terdengar. Entah kenapa pertanyaan Laura seperti mengembalikannya ke kenyataan. Segala perasaan buruk menyerang Lesha secara serempak, membuatnya sulit mengendalikan diri.
“Yaudah, kalau nggak mau cerita. Jangan nangis, gue kan jadi nggak enak hati,” ungkap Laura yang mulai merasa bersalah atas pertanyaannya.
“Kalau gue sama Delia masuk sini gara-gara berantem sama anak geng sebelah. Padahal mereka duluan yang datengin sekolah kita, tapi cuma kita yang ketangkep. Mereka kaburnya cepet banget,” kisah Laura.
“Kita kan bikin satu anak masuk rumah sakit, Ra,” celetuk Delia menanggapi.
Lesha mulai tertarik mendengarkan cerita Laura dan Delia. Mungkin karena menurut Lesha, kasus mereka sedikit mirip dengannya. Dan setelah memperhatikan lebih cermat, ternyata Laura dan Delia mengenakan atasan seragam SMA di balik jaket hitam mereka. Tapi karena mereka mengenakan celana training alih-alih rok abu-abu, Lesha tidak menyadari kalau mereka adalah Anak SMA.
“Iya juga ya,” balas Laura kemudian terkekeh.
“Kalian… nggak apa-apa mukulin orang?” tanya Lesha kemudian.
“Lah mereka duluan yang cari masaalah,” sahut Laura ringan.
Lesha hanya ber-oh pelan menanggapi. Laura sepertinya menyadari arah pertanyaan Lesha lantas berceletuk.
“Lo juga mukulin orang?” tanya Laura tak percaya.
Lesha mengangguk. “Pake pot bunga. Tiga orang,” tandasnya.
Laura dan Delia langsung saling pandang dengan mata membulat.
“Kok bisa? Gokil banget lo,” komentar Laura.
Bahkan Delia tampak sumringah dan antusias mendengar kelanjutan cerita Lesha. Tapi Lesha hanya menggeleng muram, masih bingung menghadapi kondisinya saat ini.
“Aku nggak tau…” jawab Lesha setengah merintih.
“Yaudah… pelan-pelan aja mikirnya. Kita kan masih di bawah umur, palingan dimasukin ke Lapas Anak. Temen gue banyak di sana. Nanti kalau kita masuk bareng, lo jadi geng gue aja. Aman pokoknya,” ujar Laura sambil menepuk-nepuk bahu Lesha.
“Lapas Anak?” tanya Lesha.
“Iya. Nama aslinya Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Semacam penjara buat anak. Kita suka sebutnya Lapas Anak. Tapi lebih kayak asrama sih menurut gue. Kita tetep harus sekolah juga,” jawab Laura menjelaskan.
Lesha belum pernah mendengar tentang hal itu. Pikirannya kini semakin jauh berkelana. Seperti apa lapas anak itu? Bayangan penjara dan sel-sel berjeruji besi terus menghantui Lesha. Meski begitu, Laura dan Delia tampak tidak terganggu dengan masa depan semacam itu. Entah kehidupan seperti apa yang sudah mereka jalani selama ini. Sayangnya Lesha tidak punya waktu untuk memikirkannya. Kepalanya penuh dengan berbagai skenario yang menakutkan.
Tiba-tiba sel penjaranya di datangi oleh seorang petugas wanita. Petugas itu lantas membuka pintu jeruji besi dengan gerendel kunci besar yang terlihat berat.
“Lesha Adiaksa, ikut saya,” ucap petugas itu dingin.
Lesha bangkit berdiri dengan kebingungan. Sekilas ia melirik Laura dan Delia. Keduanya mengacungkan kepalan tangan dan membuat pose yang menyemangatinya. Lesha hanya mengangguk canggung lalu melangkah keluar dengan jantung berdebar tak terkendali.
Petugas itu tidak mengatakan apa-apa lagi setelah mengunci kembali pintu sel. Ia langsung berbalik dan membimbing Lesha menyusuri lorong penjara. Lesha mengikutinya dalam diam. Di kanan kiri lorong itu banyak sel-sel yang berisi orang-orang yang tidak dikenal Lesha yang menatapnya ingin tahu saat ia lewat di depan mereka.
Setelah beberapa waktu berjalan, petugas itu ternyata membawanya ke sebuah ruangan berpintu cokelat. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu ruangan itu pun terbuka, menampakkan wajah seorang petugas polisi laki-laki bertampang seram.
“Masuk,” perintah petugas polisi itu.
Lesha menurut. Ia memasuki ruangan kosong yang hanya berisi satu meja panjang dan tiga kursi tanpa sandaran tangan. Di atas meja itu terdapat sebuah laptop yang menyala. Berikut map hijau yang tertutup. Setelah Lesha masuk, petugas wanita tadi pun pergi sambil menutup pintu.
“Silakan duduk di sana,” kata polisi itu menyuruh Lesha duduk di kursi yang ditunjuk.
Petugas itu lantas ikut duduk di hadapan Lesha sambil membuka map hijau yang ternyata berisi berkas-berkas yang tidak diketahui oleh Lesha. Petugas itu langsung mengangkat berkas itu ke hadapannya sebelum Lesha sempat membaca isinya.
“Lesha Adiaksa, ya,” gumam petugas polisi itu.
Lesha mengangguk pelan sambil berusaha sekeras mungkin menyembunyikan tangannya yang gemetar hebat.
“Coba ceritakan apa yang terjadi tadi pagi di belakang sekolah,” kata petugas polisi itu melanjutkan.
Lesha mencoba berbicara, tapi suaranya tak mau keluar. Hanya air mata yang terus berderai membanjiri kedua pipinya. Petugas polisi itu pun terus menunggu hingga Lesha tenang. Tapi isakannya justru semakin menjadi-jadi. Lesha mulai sesenggukan, dan dadanya begitu sesak hingga terasa menyakitkan. Sang petugas polisi menghela napas tak sabar.
“Dua orang kritis, dan satu orang meninggal dunia. Saya harap kamu tahu akibat dari perbuatanmu.” Petugas polisi itu member tahu.
Kabar itu tentu saja semakin membuat Lesha terguncang. Satu orang mati? Siapa? Rona? Atau Medi? Mungkin Cyntia, karena Lesha memukulnya paling parah. Isak tangis Lesha semakin keras. Ia sudah membunuh orang dengan tangannya sendiri. Bagaimana ia akan menghadapi keluarganya setelah ini. Bagaimana ia akan melanjutkan hidup sebagai pembunuh? Ketakutan dan kecemasan terus mendera Lesha hingga badannya mulai gemetar.
“Kalau kamu tidak mau bicara sekarang, kami akan menyediakan pengacara untuk menyelesaikan kasusmu. Atau kalau keluargamu mungkin mau menyewa pengacara sendiri juga nggak apa-apa. Sidang kasusmu akan dijadwalkan setelah kamu ketemu sama pengacara,” ucap petugas polisi itu tegas.
Karena Lesha tidak bisa menjawab apa-apa, akhirnya sang petugas membereskan kembali berkas-berkasi di map hijaunya. Tanpa kata-kata lebih lanjut, petugas itu hanya berbalik pergi meninggalkan Lesha sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments