Terima Kasih Telah Mencintaiku

Terima Kasih Telah Mencintaiku

Bab 1

Repost.

Cerita ini pernah di publish di akun Dek La, tapi sayang akunnya bermasalah dan novelnya pun sudah saya hapus. Kini saya update kembali di akun baru saya. Bae Lla.

Happy reading

Udara seakan berhenti berembus, dadaku terasa begitu sakit bagai ditimpuk ribuan benda. Bingung, kecewa dan amarah, bercampur menjadi satu dalam jiwa. Aku tak bisa menahan tangis, hingga akhirnya air mata yang sempat bersembunyi di pelupuk mata, mengalir begitu saja.

“Maaf, Na. Mungkin keputusanku ini sangat salah, tetapi benar itulah. Aku, sudah tidak sanggup menafkahimu lagi. Maka dari itu, kupulangkan kamu ke pangkuan kedua orang tuamu.”

Apa yang bisa aku lakukan? Hanya tangis yang mampu menjawab semuanya. Hancur sudah harapan untuk membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan waramah. Semuanya padam begitu saja diterpa oleh angin dalam sekejap.

Lagi-lagi aku teringat akan masa lalu, di mana suamiku ralat mantan suamiku mempulangkan aku pada ibu dan bapak dengan dalih tidak sanggup menafkahi. Ketidakmasukakalan yang membuatku benci. Kenapa ketika sudah mengandung delapan bulan baru dia pulangkan? Seharusnya jika dia sudah tak sanggup lagi, sejak pertama kali kami menikah. Padahal usaha yang dia dirikan mencukupi kebutuhan kami, aku berpikir bukan itu masalahnya. Mungkin saja, ada wanita lain yang lebih menggoda.

Aku hanya seorang putri dari pasangan suami istri yang selalu bekerja paruh waktu. Dan hanya lulusan SMA. Sedangkan mantan suamiku, seorang pengusaha kafe yang sudah memiliki cabang di mana-mana. Ah, mungkin saja dia malu karena menikahiku.

Dulu, dia menjanjikan istana megah yaitu sebuah keluarga bersamaku, tapi nyatanya, itu hanya bualan yang kuanggap nyata, dia hanya menikmati apa yang ada di tubuhku layaknya seorang pelacur.

“Bun.” Panggilan dari putri kecil yang kuberi nama Alma, membuyarkan lamunanku.

Dengan segera aku menghampirinya, mengusap pelan pucuk kepala Alma dengan sayang. Tampaknya putri kesayanganku ini tengah merajuk, dilihat dari wajahnya yang terus cuek dan membuang muka.

Aku berjongkok untuk menyeimbangkan tubuhku dengan Alma, lalu memegang kedua bahu putriku.

“Anak Bunda, ada apa Sayang?” tanyaku dengan penuh kasih sayang.

Helaan napas yang keluar dari bibir Alma, terdengar jelas ditelingaku.

“Kapan kita beli bonekanya, Bun? Dari kemarin Besok-besok terus. Alma terus saja diejek temen karena tidak punya boneka seperti mereka!” adu putriku masih dengan wajah ditekuk.

Aku menghela napas kasar, apa yang harus aku katakan pada kesayanganku ini, bahwa belum ada uang untuk membelikannya boneka. Aku hanya bisa tersenyum, menatap dalam mata bening milik Alma.

“Maaf Sayang, tapi Bunda memang belum memiliki uang. Bunda janji, kalau nanti sudah punya uang, pasti akan Bunda beliin,” ucapku meyakinkan Alma. Aku tahu putriku pasti tidak percaya, tetapi aku terus meyakinkannya.

Ku tuntun Alma ke ranjang, memintanya berbaring untuk segera tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, dan Alma belum juga tidur. Banyak yang dia ceritakan padaku, dari serunya bermain dengan teman hingga pembahasan soal ayah.

Mataku bisa menangkap kesedihan di mata Alma, aku tahu dia pasti ingin memiliki ayah seperti teman-teman yang lain. Tapi apa daya, ayahnya lebih memilih pergi tanpa mau menyebutnya anak.

“Ayah pasti juga rindu Alma. Jika nanti pekerjaannya sudah selesai, pasti Ayah akan datang untuk bertemu putri cantiknya ini.” Ya, aku terus berbohong pada Alma. Agar dia tak lagi bersedih.

“Alma percaya, Ayah pasti datang,” jawab Alma dengan senyum merekah.

Sungguh malang nasibmu, nak. Andai dulu bunda tidak menikah dengan ayah, pasti kamu akan bahagia meski tak dilahirkan ke dunia. Tetapi Bunda janji, meskipun tak ada ayah di sisimu, bunda akan memberikan yang terbaik sebagaimana mereka yang memiliki ayah.

**

Pagi-pagi sekali aku sudah membantu ibu di dapur untuk membuat banyak makanan yang akan kami jual. Dari mulai lontong sayur, pecal, mie ayam, dan lain-lain. Menu itulah yang hari-hari selalu aku dan ibu suguhkan untuk pelanggan.

Sudah hampir tujuh tahun ibu membuka usaha warung di dekat kota, beliau begitu gigih dengan apa yang dia lakukan. Karena ibu yakin, perjuangan yang sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil.

“Kalau Ibu lelah, duduk saja. Biar ini Nina yang mengerjakan,” pungkasku ketika melihat wajah ibu yang sedikit pucat.

“Tidak, Nak. Ibu masih sanggup. Ayo kita kerjakan bersama.”

Aku sangat bersyukur memiliki ibu seperti ibuku tercinta. Beliau tak pernah lelah mengajari dan menjaga aku dan Elea—adik perempuanku. Memberikan kasih sayang pada kami tiada tara, aku memeluk ibu dari belakang dengan erat.

“Ada apa Nina?” tanya ibu, mungkin bingung dengan sikapku.

“Terima kasih Ibu, sudah sudi melahirkan dan mengurusi Nina hingga sebesar ini. Maaf kalau sudah membuat Ibu dan Bapak malu,” lirihku dengan suara bergetar. Air mata meluncur begitu saja dari kedua sudut mata.

Ibu berhenti memotong wortel, lalu membalikkan badannya. Jemari beliau menyeka air mata, ibu tersenyum lalu menggenggam erat jemariku.

“Kamu tidak salah, Nak. Ini sudah menjadi  suratan takdir. Allah yang mempersiapkan semua takdir bagi hambanya, kita tidak bisa menolak lagi,” ujar ibu sambil menganggukkan kepala. Beliau kembali menyeka air mata yang semakin deras. Aku segera memeluknya dengan erat.

Terima kasih ya Allah, terima kasih. Karena telah memberikan aku orang tua yang begitu baik dan sangat menyayangiku.

Cukup lama kami berpekukan, ibu melepaskan lebih dulu lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Aku ikut membantu, hingga selesai.

Tidak terasa, matahari sudah merangkak naik ke peraduan. Aku baru saja memakaikan Alma baju, dan menyiapkan sarapan untuk kami semua. Sedangkan Elea, adikku, dia bekerja di sebuah minimarket di kota sebagai kasir. Pulang seminggu sekali, karena diberi kostsan oleh sang bos.

“Bun,” panggil Alma, aku segera menghampiri putriku.

“Iya, Sayang?”

“Alma enggak ikut Bunda dan Nenek jualan ya?” Bocah berusia lima tahun itu, menatap dengan wajah memelas. Aku ingin menggeleng, tetapi tak sanggup. Akhirnya mengangguk saja. Lagian, hari ini bapak libur, beliau pasti mau jika aku titipkan Alma.

“Iya, Sayang, boleh. Tapi ingat, jangan jahat ya. Dan nurut sama Kakek,” pesanku pada Alma, dia segera mengangguk dengan hormat.

Bapak sendiri seorang kuli bangunan, bekerja setiap hari hanya libur Minggu saja. Aku segera menyeduh teh untuk bapak dan ibu. Sedangkan Alma, aku buatkan susu kesukaannya.

Sarapan pagi kami berjalan lancar, aku dan ibu berpamitan untuk pergi ke warung. Sebelumnya, aku mengecup kening putriku dan memberi pesan-pesan pada dia seperti pagi tadi.

“Bunda pergi Sayang.” Alma mengangguk, dan menyalami tanganku.

Sebenarnya berat meninggalkan Alma di rumah, tetapi mau bagaimana lagi, di sana, dia tak memiliki teman makanya tak mau ikut.

Baru buka sekitar sepuluh menit yang lalu, dua pelanggan setia ibu sudah datang. Mereka memesan lontong, katanya belum sarapan. Aku segera mengantar ke meja, dan tak lupa menaruh ceret beserta gelas di sana.

Seperti ini saja, aku sudah bahagia. Harapanku hanya satu, keinginan ibu memiliki rumah makan sendiri semoga lekas tercapai.

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!