NovelToon NovelToon

Terima Kasih Telah Mencintaiku

Bab 1

Repost.

Cerita ini pernah di publish di akun Dek La, tapi sayang akunnya bermasalah dan novelnya pun sudah saya hapus. Kini saya update kembali di akun baru saya. Bae Lla.

Happy reading

Udara seakan berhenti berembus, dadaku terasa begitu sakit bagai ditimpuk ribuan benda. Bingung, kecewa dan amarah, bercampur menjadi satu dalam jiwa. Aku tak bisa menahan tangis, hingga akhirnya air mata yang sempat bersembunyi di pelupuk mata, mengalir begitu saja.

“Maaf, Na. Mungkin keputusanku ini sangat salah, tetapi benar itulah. Aku, sudah tidak sanggup menafkahimu lagi. Maka dari itu, kupulangkan kamu ke pangkuan kedua orang tuamu.”

Apa yang bisa aku lakukan? Hanya tangis yang mampu menjawab semuanya. Hancur sudah harapan untuk membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan waramah. Semuanya padam begitu saja diterpa oleh angin dalam sekejap.

Lagi-lagi aku teringat akan masa lalu, di mana suamiku ralat mantan suamiku mempulangkan aku pada ibu dan bapak dengan dalih tidak sanggup menafkahi. Ketidakmasukakalan yang membuatku benci. Kenapa ketika sudah mengandung delapan bulan baru dia pulangkan? Seharusnya jika dia sudah tak sanggup lagi, sejak pertama kali kami menikah. Padahal usaha yang dia dirikan mencukupi kebutuhan kami, aku berpikir bukan itu masalahnya. Mungkin saja, ada wanita lain yang lebih menggoda.

Aku hanya seorang putri dari pasangan suami istri yang selalu bekerja paruh waktu. Dan hanya lulusan SMA. Sedangkan mantan suamiku, seorang pengusaha kafe yang sudah memiliki cabang di mana-mana. Ah, mungkin saja dia malu karena menikahiku.

Dulu, dia menjanjikan istana megah yaitu sebuah keluarga bersamaku, tapi nyatanya, itu hanya bualan yang kuanggap nyata, dia hanya menikmati apa yang ada di tubuhku layaknya seorang pelacur.

“Bun.” Panggilan dari putri kecil yang kuberi nama Alma, membuyarkan lamunanku.

Dengan segera aku menghampirinya, mengusap pelan pucuk kepala Alma dengan sayang. Tampaknya putri kesayanganku ini tengah merajuk, dilihat dari wajahnya yang terus cuek dan membuang muka.

Aku berjongkok untuk menyeimbangkan tubuhku dengan Alma, lalu memegang kedua bahu putriku.

“Anak Bunda, ada apa Sayang?” tanyaku dengan penuh kasih sayang.

Helaan napas yang keluar dari bibir Alma, terdengar jelas ditelingaku.

“Kapan kita beli bonekanya, Bun? Dari kemarin Besok-besok terus. Alma terus saja diejek temen karena tidak punya boneka seperti mereka!” adu putriku masih dengan wajah ditekuk.

Aku menghela napas kasar, apa yang harus aku katakan pada kesayanganku ini, bahwa belum ada uang untuk membelikannya boneka. Aku hanya bisa tersenyum, menatap dalam mata bening milik Alma.

“Maaf Sayang, tapi Bunda memang belum memiliki uang. Bunda janji, kalau nanti sudah punya uang, pasti akan Bunda beliin,” ucapku meyakinkan Alma. Aku tahu putriku pasti tidak percaya, tetapi aku terus meyakinkannya.

Ku tuntun Alma ke ranjang, memintanya berbaring untuk segera tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, dan Alma belum juga tidur. Banyak yang dia ceritakan padaku, dari serunya bermain dengan teman hingga pembahasan soal ayah.

Mataku bisa menangkap kesedihan di mata Alma, aku tahu dia pasti ingin memiliki ayah seperti teman-teman yang lain. Tapi apa daya, ayahnya lebih memilih pergi tanpa mau menyebutnya anak.

“Ayah pasti juga rindu Alma. Jika nanti pekerjaannya sudah selesai, pasti Ayah akan datang untuk bertemu putri cantiknya ini.” Ya, aku terus berbohong pada Alma. Agar dia tak lagi bersedih.

“Alma percaya, Ayah pasti datang,” jawab Alma dengan senyum merekah.

Sungguh malang nasibmu, nak. Andai dulu bunda tidak menikah dengan ayah, pasti kamu akan bahagia meski tak dilahirkan ke dunia. Tetapi Bunda janji, meskipun tak ada ayah di sisimu, bunda akan memberikan yang terbaik sebagaimana mereka yang memiliki ayah.

**

Pagi-pagi sekali aku sudah membantu ibu di dapur untuk membuat banyak makanan yang akan kami jual. Dari mulai lontong sayur, pecal, mie ayam, dan lain-lain. Menu itulah yang hari-hari selalu aku dan ibu suguhkan untuk pelanggan.

Sudah hampir tujuh tahun ibu membuka usaha warung di dekat kota, beliau begitu gigih dengan apa yang dia lakukan. Karena ibu yakin, perjuangan yang sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil.

“Kalau Ibu lelah, duduk saja. Biar ini Nina yang mengerjakan,” pungkasku ketika melihat wajah ibu yang sedikit pucat.

“Tidak, Nak. Ibu masih sanggup. Ayo kita kerjakan bersama.”

Aku sangat bersyukur memiliki ibu seperti ibuku tercinta. Beliau tak pernah lelah mengajari dan menjaga aku dan Elea—adik perempuanku. Memberikan kasih sayang pada kami tiada tara, aku memeluk ibu dari belakang dengan erat.

“Ada apa Nina?” tanya ibu, mungkin bingung dengan sikapku.

“Terima kasih Ibu, sudah sudi melahirkan dan mengurusi Nina hingga sebesar ini. Maaf kalau sudah membuat Ibu dan Bapak malu,” lirihku dengan suara bergetar. Air mata meluncur begitu saja dari kedua sudut mata.

Ibu berhenti memotong wortel, lalu membalikkan badannya. Jemari beliau menyeka air mata, ibu tersenyum lalu menggenggam erat jemariku.

“Kamu tidak salah, Nak. Ini sudah menjadi  suratan takdir. Allah yang mempersiapkan semua takdir bagi hambanya, kita tidak bisa menolak lagi,” ujar ibu sambil menganggukkan kepala. Beliau kembali menyeka air mata yang semakin deras. Aku segera memeluknya dengan erat.

Terima kasih ya Allah, terima kasih. Karena telah memberikan aku orang tua yang begitu baik dan sangat menyayangiku.

Cukup lama kami berpekukan, ibu melepaskan lebih dulu lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Aku ikut membantu, hingga selesai.

Tidak terasa, matahari sudah merangkak naik ke peraduan. Aku baru saja memakaikan Alma baju, dan menyiapkan sarapan untuk kami semua. Sedangkan Elea, adikku, dia bekerja di sebuah minimarket di kota sebagai kasir. Pulang seminggu sekali, karena diberi kostsan oleh sang bos.

“Bun,” panggil Alma, aku segera menghampiri putriku.

“Iya, Sayang?”

“Alma enggak ikut Bunda dan Nenek jualan ya?” Bocah berusia lima tahun itu, menatap dengan wajah memelas. Aku ingin menggeleng, tetapi tak sanggup. Akhirnya mengangguk saja. Lagian, hari ini bapak libur, beliau pasti mau jika aku titipkan Alma.

“Iya, Sayang, boleh. Tapi ingat, jangan jahat ya. Dan nurut sama Kakek,” pesanku pada Alma, dia segera mengangguk dengan hormat.

Bapak sendiri seorang kuli bangunan, bekerja setiap hari hanya libur Minggu saja. Aku segera menyeduh teh untuk bapak dan ibu. Sedangkan Alma, aku buatkan susu kesukaannya.

Sarapan pagi kami berjalan lancar, aku dan ibu berpamitan untuk pergi ke warung. Sebelumnya, aku mengecup kening putriku dan memberi pesan-pesan pada dia seperti pagi tadi.

“Bunda pergi Sayang.” Alma mengangguk, dan menyalami tanganku.

Sebenarnya berat meninggalkan Alma di rumah, tetapi mau bagaimana lagi, di sana, dia tak memiliki teman makanya tak mau ikut.

Baru buka sekitar sepuluh menit yang lalu, dua pelanggan setia ibu sudah datang. Mereka memesan lontong, katanya belum sarapan. Aku segera mengantar ke meja, dan tak lupa menaruh ceret beserta gelas di sana.

Seperti ini saja, aku sudah bahagia. Harapanku hanya satu, keinginan ibu memiliki rumah makan sendiri semoga lekas tercapai.

 

 

 

Bab 2

Cerita ini sudah melewati tahap revisi.

Happy reading

Semakin banyak pelanggan, kami semakin kewalahan. Kulihat wajah ibu semakin pucat, dengan cepat aku menggantikan ibu dan memintanya untuk istirahat.

Pelanggan yang datang kebanyakan bapak-bapak, mengobrol dengan waktu yang cukup lama di warung. Tetapi mereka tetap membeli dagangan kami, kadang kala juga menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi.

“Ibu mau dibuatkan teh hangat?” tawarku ketika pelanggan sudah mulai tak ramai lagi.

“Boleh, Nduk. Jangan terlalu banyak gulanya ya,” pinta ibu, aku segera mengangguk dan berlalu.

Selesai menyeduh teh untuk ibu, aku bergegas mengambil piring-piring kotor di meja dan membawanya ke tempat cucian piring. Dengan perlahan aku mengusap piring, membersihkan dari sisa-sisa makanan menggunakan spon. Setelah itu baru kubilas dengan air.

Setelah memastikan semua piring sudah dicuci, aku istirahat sejenak di bangku kayu yang terletak tak jauh dari ambang pintu masuk dapur. Memperhatikan orang-orang yang masih bercengkerama di bangku warung kami.

Wajah ibu saat tertidur, menyayat hatiku. Terlihat jelas gurat kelelahan di sana. Raganya pasti terasa remuk redam, seharian bolak balik untuk memberikan yang terbaik. Meski aku sudah membantu, tetapi kadang ibu melarang dan memintaku melihat saja. Beliau bilang, nanti aku lelah. Padahal ibu yang lelah.

“Permisi.” Mendengar suara dari luar warung, aku segera beranjak.

“Iya, Mbak?” tanyaku pada perempuan yang umurnya sekitar tiga puluhan.

“Beli lontong sayur dua ya, Mbak, dibungkus sekalian,” pintanya. Dengan cepat aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam untuk membuatkan pesanan perempuan itu.

Dengan wajah penuh kebahagiaan aku membuatkan lontong sayur, agar rasanya tak kalah enak juga nantinya. Seperti itulah ucapan ibu, kita harus senantiasa tersenyum saat menanggapi pelanggan. Memberikan yang terbaik agar mereka nyaman untuk kembali datang memesan di warung ini.

Setelah memberikan plastik berisi pesanan, aku menerima uang bayaran. Lalu mengucap ‘terima kasih’ dan menatap kepergian pelangganku.

Matahari sudah mulai turun, cahayanya tak lagi terang. Pikiranku jadi tertuju pada Alma, sedang apa sosok bocah kecil yang menggemaskan itu? Apa dia sudah mandi? Ah, baru sehari tak bertemu, rasa rindu begitu menggebu. Meski kadang kala aku meringis saat melihat mata bening Alma dengan iris berwarna hitam legam, sangat mirip dengan ayahnya. Mas Jayn.

Hidung mancung milik Alma juga menyerupai milik mas Jayn, begitupun bibirnya. Semua persis seperti foto copy. Meski begitu, aku tetap menyayangi putriku. Dia anakku, sampai kapan pun itu.

Jam tujuh malam, warung ditutup. Aku membantu ibu membereskan semua piring dan meletakkannya di dalam lemari yang terdapat di warung. Selesai semua, tak lupa kami mengunci pintu.

Motor Vespa lama sudah kustater, sambil menunggu ibu naik.

“Sudah Nak. Ayo jalan,” ucap ibu setelah naik ke atas jok motor. Aku mengangguk dan mengegas dengan pelan.

Jalanan cukup sepi, tetapi masih meninggalkan beberapa kendaraan beroda dua dan empat. Karena lengang, aku bisa mengendarai motor dengan cukup cepat agar segera sampai di rumah. Tapi tetap mengutamakan keselamatan, karena itu sangat penting dalam mengendara.

“Bekerja adalah hal yang melelahkan, tetapi bagi sebagian orang, bekerja bisa membuat sehat karena sering bergerak,” celetuk ibu, aku melirik sekilas dari kaca spion dan segera mengangguk.

“Benar Bu. Nina merasa beruntung karena bisa bekerja, mendapatkan banyak pengalaman yang selama ini tidak Nina dapatkan,” jawabku dengan suara agak keras karena ibu memakai helm, takutnya tak dengar.

Aku memang tidak bekerja dulu, tamat SMA langsung menikah. Itu pun karena mas Jayn yang memaksa, dia bilang lebih cepat lebih baik. Kami hanya berpacaran tiga bulan sebelum kelulusan.

Pertemuan pertamaku dengan mas Jayn di depan kafe miliknya. Saat itu aku dan beberapa temanku berhenti di sana, karena salah satu dari temanku ingin membeli minum.

Saat itu, tak sengaja aku melihat dompet berwarna hitam di dekat mobil Avanza yang terparkir di halaman kafe. Dengan gegas aku mengambil, berniat mengembalikan pada pemiliknya. Temanku memberi saran, agar aku melihat KTP atau kartu identitas apa pun itu agar tahu siapa pemilik dompet ini.

Dengan hati-hati aku membukanya, hingga terpampanglah foto seorang pria tampan di sana. Jantungku berdetak cepat, hanya karena melihat foto itu. Segera aku tutup kembali, dan memandang lurus ke depan. Hingga mataku menangkap seseorang yang begitu mirip dengan foto di dalam dompet.

Jisa—temanku segera mendorong tubuhku agar mendekati pria itu. Karena sudah dekat juga, akhirnya aku menyodorkan dompet yang semula di genggaman pada pria di depanku.

“Tadi jatuh, Pak. Saya menemukannya di dekat mobil itu,” ucapku kala itu, sambil menunjuk mobil Avanza.

“Terima kasih, Mbak,” jawab mas Jayn. Aku mengangguk kecil.

Berniat kembali pada teman-teman, tanganku malah dicengkam oleh mas Jayn. Hingga pandangan kami bertemu, cukup lama.

“Boleh tahu siapa nama Mbak?”

“Nina. Nina Kharisma,” jawabku dengan suara bergetar.

Dari situlah, aku sering menepi di depan kafe jika pulang sekolah, hanya untuk bertemu mas Jayn. Hingga akhirnya dia menjadikan aku pacarnya, kami jadi sering bertemu. Dia tak mempermasalahkan ekonomi keluarga kala itu, menerimaku karena cinta. Lulus SMA, mas Jayn langsung datang ke rumah dan memintaku pada bapak dan ibu. Tetapi setelah sembilan bulan menikah, dia mencampakkan aku begitu saja.

“Nduk!” Tepukan di bahu membuatku kembali fokus, aku hanya tertawa renyah saat ibu mengomel.

“Iya, Bu. Nina bakalan hati-hati,” ucapku.

Membelokkan stang ke gang masuk menuju rumah, dengan pelan aku mengendarainya karena takut membuat bising mereka yang sudah istirahat dari lelahnya dunia. Rumah dengan dinding papan sudah terlihat, aku menepikan motor di dalam pagar rumah, lalu turun dari sana.

“Ibu duluan aja, Nina mau masukkan motor ke dalam juga,” pintaku pada ibu karena beliau kukuh untuk menunggu.

“Ya sudah, Ibu duluan.”

Aku gegas memasukkan motor ke dalam rumah, lalu menutup pintunya kembali. Pandangan mataku mengedar ke seluruh ruangan yang tak terlalu besar, mencari-cari sosok yang aku rindukan sejak seharian ini.

“Alma di mana, Pak?” tanyaku pada bapak yang sedang menonton televisi sambil menikmati secangkir kopi dan pisang goreng.

“Sudah tidur. Sepertinya dia kelelahan bermain, jadi tidurnya lebih cepat,” jawab bapak tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Saat memasuki kamar, aku langsung menghampiri Alma yang sedang tertidur di kasur. Wajahnya sangat damai, putriku itu begitu cantik. Rambutnya yang hitam, sedikit bergelombang. Bila tertiup angin, akan melambai-lambai.

“Putri Bunda cantik banget, sih. Anak siapa dulu?” ucapku seraya mengusap rambut Alma berulang kali. Sesekali aku juga mengecup kening Alma.

“Maaf ya, seharian ini Bunda enggak nemenin kamu main,” sambungku lagi.

Aku beranjak, mendekati lemari pakaian yang sudah usang. Membuka pintu lemari itu, lalu mengambil kaleng bekas roti. Lima lembar uang kertas berwarna merah, yang sudah aku kumpulkan sejak satu bulan ini tergenggam.

Tapi lagi-lagi senyumku menyurut, teringat uang ini akan aku gunakan untuk memasukkan Alma ke sekolah TK nantinya. Padahal, tadi sempat berpikir untuk membelikan boneka, agar bocah kecil itu tak lagi sedih.

Aku menghela napas pelan, mungkin saja, rezeki untuk membeli boneka masih menunggu untuk digapai. Aku harus rajin lagi bekerja, tak mungkin mengharapkan uang dari mas Jayn. Melihat anaknya saja dia tak pernah.

 

Bab 3

Hari ini aku tidak pergi ke warung karena ibu kurang enak badan. Jadilah kami tidak berjualan. Alma yang baru saja selesai mandi, langsung mengajakku untuk pergi ke taman kompleks. Tanpa berpikir lagi aku langsung mengangguk.

Taman itu terdapat di kompleks Muara, tak jauh dari rumahku. Jadi, kami memilih jalan kaki saja sembari menikmati udara pagi yang begitu menyejukkan. Alma terlihat ceria, berulang kali dia menatapku penuh binar.

“Makasih uda mau temenin Alma, Bun,” ucap Alma seraya mengecup punggung tanganku singkat.

Entah mengapa aku malah sedih, sosok Alma mengingatkanku pada ayahnya. Entah di mana sekarang pria itu, tidakkah dia merindukan putrinya? Atau berinisiatif untuk melihat saja? Sayang sekali mas, Alma gadis kecil yang cantik dan ceria. Kamu akan rugi bila tak menganggapnya anak.

Saat kami sampai di taman, sudah banyak anak-anak di sana. Alma langsung bergabung dengan teman-temannya. Lumayan banyak permainan di sini, jadi tidak terlalu membosankan. Aku memilih menunggu di kursi yang disediakan tak jauh dari tempat bermain. Sambil sesekali mengawasi Alma yang sedang sibuk bermain ayunan.

“Loh, Mbak Nina? Di sini juga?” Aku langsung menoleh saat mendengar sapaan seseorang. Ah, lagi dan lagi.

“Iya, Bu RT,” jawabku dengan sopan. Tak lupa tersenyum.

“Memangnya tidak jualan? Biasanya jam segini kan masih repot-repotnya. Berbeda dengan saya, yang tinggal duduk manis saja.” Aku tidak tahu ini sebuah pertanyaan atau sindiran. Biarin sajalah, yang penting beliau bahagia.

“Ibu kurang enak badan, Bu. Jadi hari ini libur dulu.” Aku menjawab sekenanya saja, malas berurusan terlalu lama dengan buk RT.

“Oh, semoga cepat sembuh, ya. Kalau gitu saya ke sana dulu, mau menghampiri teman se-geng.”

“Terima kasih doanya, Bu. Silahkan.”

Setelah kepergian buk RT, aku mengusap dada seraya mengucap Istigfar berulang kali. Meski aku sudah kebal dengan kata-kata penuh sindiran seperti itu, tetapi rasanya tetap saja sakit.

Aku tidak boleh bersedih, ya, tidak boleh. Ada perasaan Alma yang harus kujaga, aku tidak ingin dia khawatir karena kebahagiaannya adalah tujuanku.

Saat aku menoleh ke arah Alma dan teman-temannya, kulihat ada pria muda di sana. Dia berdiri di tengah-tengah Alma dan teman-temannya. Siapa pria itu? Aku belum pernah melihat.

Mataku bertemu pandang dengan mata pria itu, cukup lama kami bertatapan, aku langsung mengalihkan sambil beristigfar berulang kali. Tidak seharusnya aku begitu.

“Bun!” Alma melambaikan tangannya, memintaku untuk datang mendekati dia. Terpaksa aku mengangguk, dan lekas beranjak.

Kedatanganku disambut hangat oleh anak-anak, mereka bersorak ria seraya tersenyum bahagia. Aku menggaruk kepala yang tertutup hijab dengan bingung.

“Ada apa Sayang?” tanyaku seraya mengusap rambut Alma lembut.

“Bunda main sama kita ya, Om ini juga? Mau ya?” pinta Alma, aku bungkam.

“Iya Tante! Mau ya?”

Kalau mereka semua yang meminta, mana bisa aku menolak. Dan pria di dekatku ini, malah senyum-senyum. Aku jadi curiga, apa dia orang jahat yang mau memanfaatkan keadaan?

“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanyaku penuh selidik. Dia terkekeh.

Kalau dilihat, usianya mungkin sembilan belas atau dua puluh tahun. Kulitnya putih, hidung mancung, mata sipit. Kalau kubilang, hampir mirip dengan warga Korea Selatan, seperti foto artis yang ditunjukkan adikku.

“Senyum, kan, ibadah, Mbak,” jawab pria itu setelah cukup lama hanya memandang saja.

Aku tidak menjawab, memilih mengikuti Alma dan anak-anak lainnya yang berjalan ke arah ayunan. Aku segera mendorong mereka yang naik di ayunan itu, karena hanya ada tiga ayunan, jadilah mereka bergantian.

Tatapan-tatapan sinis dari ibu-ibu yang duduk tidak jauh dari tempat kami, begitu tajam mengarah padaku. Ah, rasanya aku jadi gugup. Apalagi pria itu terus mengikuti dan menatap ke arahku.

Baru kali ini aku dekat dengan pria, dalam artian, berdiri dengan jarak cukup dekat. Bukan berarti kami berteman atau menjalin hubungan dalam bentuk apa pun.

“Kita kayak keluarga bahagia ya, Mbak.” Aku menoleh, menatapnya tak percaya. Apa yang dia bilang? Keluarga bahagia?

“Maksud kamu apa ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Enggak tahu ya? Atau pura-pura saja?” Dia malah menaikturunkan alisnya.

Harus sekali aku bertemu dengan sosok pria seperti ini ya Allah. Lihatlah wajahnya itu, tidak menggambarkan kesalahan sama sekali. Aku tak menanggapi ucapannya, dan memilih fokus pada anak-anak saja.

“Biarkan aku yang ayun Alma, Mbak,” pinta pria itu.

“Tidak usah. Saya Bundanya, jadi biar saya saja,” tolakku dengan halus.

“Tapi saya calon Ayahnya.” Aku menatapnya tajam.

“Maksud kamu apa?” tanyaku degan air muka yang sudah tidak bisa digambarkan lagi.

Dia melengos, mengajak Alma ke tempat prosotan. Dan anehnya, Alma menurut. Aku jadi curiga, apakah mereka sudah kenal sejak lama?

“Alma, sini Nak,” panggilku. Alma datang menghampiri.

“Iya, Bunda?”

“Alma kenal sama Om itu?” tanyaku sambil menunjuk pria yang kini tengah menatap ke arah kami.

“Kenal, Bun. Namanya Om Rendy, orangnya baik banget,” jawab putriku.

Jadi namanya Rendy. Dilihat dari gayanya, sepertinya dia orang berada. Apalagi tadi kulihat, bajunya seperti limited edition. Saat Alma akan pergi menghampiri Rendy, aku segera menarik untuk menahannya.

“Sejak kapan Alma kenal Om itu?” tanyaku penuh selidik. Aku tidak akan membiarkan anakku bersama orang yang tak dikenal. Ketakutan demi ketakutan muncul begitu saja.

“Kemarin Bun. Om Rendy datang membawa banyak banget makanan untuk kami, katanya lagi pengin bagi-bagi.”

Perasaanku jadi semakin tidak karuan. Siapakah sebenarnya dia? Aku tidak pernah bertemu dengannya di daerah sini.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!