Bab 2

Cerita ini sudah melewati tahap revisi.

Happy reading

Semakin banyak pelanggan, kami semakin kewalahan. Kulihat wajah ibu semakin pucat, dengan cepat aku menggantikan ibu dan memintanya untuk istirahat.

Pelanggan yang datang kebanyakan bapak-bapak, mengobrol dengan waktu yang cukup lama di warung. Tetapi mereka tetap membeli dagangan kami, kadang kala juga menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi.

“Ibu mau dibuatkan teh hangat?” tawarku ketika pelanggan sudah mulai tak ramai lagi.

“Boleh, Nduk. Jangan terlalu banyak gulanya ya,” pinta ibu, aku segera mengangguk dan berlalu.

Selesai menyeduh teh untuk ibu, aku bergegas mengambil piring-piring kotor di meja dan membawanya ke tempat cucian piring. Dengan perlahan aku mengusap piring, membersihkan dari sisa-sisa makanan menggunakan spon. Setelah itu baru kubilas dengan air.

Setelah memastikan semua piring sudah dicuci, aku istirahat sejenak di bangku kayu yang terletak tak jauh dari ambang pintu masuk dapur. Memperhatikan orang-orang yang masih bercengkerama di bangku warung kami.

Wajah ibu saat tertidur, menyayat hatiku. Terlihat jelas gurat kelelahan di sana. Raganya pasti terasa remuk redam, seharian bolak balik untuk memberikan yang terbaik. Meski aku sudah membantu, tetapi kadang ibu melarang dan memintaku melihat saja. Beliau bilang, nanti aku lelah. Padahal ibu yang lelah.

“Permisi.” Mendengar suara dari luar warung, aku segera beranjak.

“Iya, Mbak?” tanyaku pada perempuan yang umurnya sekitar tiga puluhan.

“Beli lontong sayur dua ya, Mbak, dibungkus sekalian,” pintanya. Dengan cepat aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam untuk membuatkan pesanan perempuan itu.

Dengan wajah penuh kebahagiaan aku membuatkan lontong sayur, agar rasanya tak kalah enak juga nantinya. Seperti itulah ucapan ibu, kita harus senantiasa tersenyum saat menanggapi pelanggan. Memberikan yang terbaik agar mereka nyaman untuk kembali datang memesan di warung ini.

Setelah memberikan plastik berisi pesanan, aku menerima uang bayaran. Lalu mengucap ‘terima kasih’ dan menatap kepergian pelangganku.

Matahari sudah mulai turun, cahayanya tak lagi terang. Pikiranku jadi tertuju pada Alma, sedang apa sosok bocah kecil yang menggemaskan itu? Apa dia sudah mandi? Ah, baru sehari tak bertemu, rasa rindu begitu menggebu. Meski kadang kala aku meringis saat melihat mata bening Alma dengan iris berwarna hitam legam, sangat mirip dengan ayahnya. Mas Jayn.

Hidung mancung milik Alma juga menyerupai milik mas Jayn, begitupun bibirnya. Semua persis seperti foto copy. Meski begitu, aku tetap menyayangi putriku. Dia anakku, sampai kapan pun itu.

Jam tujuh malam, warung ditutup. Aku membantu ibu membereskan semua piring dan meletakkannya di dalam lemari yang terdapat di warung. Selesai semua, tak lupa kami mengunci pintu.

Motor Vespa lama sudah kustater, sambil menunggu ibu naik.

“Sudah Nak. Ayo jalan,” ucap ibu setelah naik ke atas jok motor. Aku mengangguk dan mengegas dengan pelan.

Jalanan cukup sepi, tetapi masih meninggalkan beberapa kendaraan beroda dua dan empat. Karena lengang, aku bisa mengendarai motor dengan cukup cepat agar segera sampai di rumah. Tapi tetap mengutamakan keselamatan, karena itu sangat penting dalam mengendara.

“Bekerja adalah hal yang melelahkan, tetapi bagi sebagian orang, bekerja bisa membuat sehat karena sering bergerak,” celetuk ibu, aku melirik sekilas dari kaca spion dan segera mengangguk.

“Benar Bu. Nina merasa beruntung karena bisa bekerja, mendapatkan banyak pengalaman yang selama ini tidak Nina dapatkan,” jawabku dengan suara agak keras karena ibu memakai helm, takutnya tak dengar.

Aku memang tidak bekerja dulu, tamat SMA langsung menikah. Itu pun karena mas Jayn yang memaksa, dia bilang lebih cepat lebih baik. Kami hanya berpacaran tiga bulan sebelum kelulusan.

Pertemuan pertamaku dengan mas Jayn di depan kafe miliknya. Saat itu aku dan beberapa temanku berhenti di sana, karena salah satu dari temanku ingin membeli minum.

Saat itu, tak sengaja aku melihat dompet berwarna hitam di dekat mobil Avanza yang terparkir di halaman kafe. Dengan gegas aku mengambil, berniat mengembalikan pada pemiliknya. Temanku memberi saran, agar aku melihat KTP atau kartu identitas apa pun itu agar tahu siapa pemilik dompet ini.

Dengan hati-hati aku membukanya, hingga terpampanglah foto seorang pria tampan di sana. Jantungku berdetak cepat, hanya karena melihat foto itu. Segera aku tutup kembali, dan memandang lurus ke depan. Hingga mataku menangkap seseorang yang begitu mirip dengan foto di dalam dompet.

Jisa—temanku segera mendorong tubuhku agar mendekati pria itu. Karena sudah dekat juga, akhirnya aku menyodorkan dompet yang semula di genggaman pada pria di depanku.

“Tadi jatuh, Pak. Saya menemukannya di dekat mobil itu,” ucapku kala itu, sambil menunjuk mobil Avanza.

“Terima kasih, Mbak,” jawab mas Jayn. Aku mengangguk kecil.

Berniat kembali pada teman-teman, tanganku malah dicengkam oleh mas Jayn. Hingga pandangan kami bertemu, cukup lama.

“Boleh tahu siapa nama Mbak?”

“Nina. Nina Kharisma,” jawabku dengan suara bergetar.

Dari situlah, aku sering menepi di depan kafe jika pulang sekolah, hanya untuk bertemu mas Jayn. Hingga akhirnya dia menjadikan aku pacarnya, kami jadi sering bertemu. Dia tak mempermasalahkan ekonomi keluarga kala itu, menerimaku karena cinta. Lulus SMA, mas Jayn langsung datang ke rumah dan memintaku pada bapak dan ibu. Tetapi setelah sembilan bulan menikah, dia mencampakkan aku begitu saja.

“Nduk!” Tepukan di bahu membuatku kembali fokus, aku hanya tertawa renyah saat ibu mengomel.

“Iya, Bu. Nina bakalan hati-hati,” ucapku.

Membelokkan stang ke gang masuk menuju rumah, dengan pelan aku mengendarainya karena takut membuat bising mereka yang sudah istirahat dari lelahnya dunia. Rumah dengan dinding papan sudah terlihat, aku menepikan motor di dalam pagar rumah, lalu turun dari sana.

“Ibu duluan aja, Nina mau masukkan motor ke dalam juga,” pintaku pada ibu karena beliau kukuh untuk menunggu.

“Ya sudah, Ibu duluan.”

Aku gegas memasukkan motor ke dalam rumah, lalu menutup pintunya kembali. Pandangan mataku mengedar ke seluruh ruangan yang tak terlalu besar, mencari-cari sosok yang aku rindukan sejak seharian ini.

“Alma di mana, Pak?” tanyaku pada bapak yang sedang menonton televisi sambil menikmati secangkir kopi dan pisang goreng.

“Sudah tidur. Sepertinya dia kelelahan bermain, jadi tidurnya lebih cepat,” jawab bapak tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Saat memasuki kamar, aku langsung menghampiri Alma yang sedang tertidur di kasur. Wajahnya sangat damai, putriku itu begitu cantik. Rambutnya yang hitam, sedikit bergelombang. Bila tertiup angin, akan melambai-lambai.

“Putri Bunda cantik banget, sih. Anak siapa dulu?” ucapku seraya mengusap rambut Alma berulang kali. Sesekali aku juga mengecup kening Alma.

“Maaf ya, seharian ini Bunda enggak nemenin kamu main,” sambungku lagi.

Aku beranjak, mendekati lemari pakaian yang sudah usang. Membuka pintu lemari itu, lalu mengambil kaleng bekas roti. Lima lembar uang kertas berwarna merah, yang sudah aku kumpulkan sejak satu bulan ini tergenggam.

Tapi lagi-lagi senyumku menyurut, teringat uang ini akan aku gunakan untuk memasukkan Alma ke sekolah TK nantinya. Padahal, tadi sempat berpikir untuk membelikan boneka, agar bocah kecil itu tak lagi sedih.

Aku menghela napas pelan, mungkin saja, rezeki untuk membeli boneka masih menunggu untuk digapai. Aku harus rajin lagi bekerja, tak mungkin mengharapkan uang dari mas Jayn. Melihat anaknya saja dia tak pernah.

 

Terpopuler

Comments

Sari Nu Amoorea

Sari Nu Amoorea

mampir aku thor

2023-05-23

1

Neulis Saja

Neulis Saja

i hope Alma Will be a pious child

2023-02-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!