Bab 4

Kembali dari taman, aku mampir dulu di pedagang cendol yang mangkak tak jauh dari jalan masuk kompleks. Alma tampak bahagia saat aku memintanya untuk duduk di bangku tunggu, lalu aku mendekati sang penjual, minta dibuatkan dua gelas cendol.

Cuaca siang ini cukup panas, aku mengusap bulir keringat di kening putriku. Dia hanya tersenyum, lalu mengecup singkat pipiku.

Dua gelas cendol diantar mang Asep—penjual, aku segera menyodorkan satu gelas untuk Alma. Bocah itu antusias untuk segera menikmatinya, tetapi aku menahan.

“Baca bismillah dulu, Sayang,” tegurku seraya tersenyum ke arahnya.

“Oh, iya, lupa, Bun.” Putriku itu hanya cengengesan, lalu mengangkat kedua tangannya ke udara dan membaca bismillah.

Nikmat mana lagi yang hamba dustakan ya Allah. Melihat Alma begitu menikmati cendol ini, membuat rasa bahagia begitu menggebu dalam hati. Maafkan bunda sayang, belum bisa membelikan sesuatu yang sangat berharga untuk kamu. Tetapi bunda akan selalu berusaha dan berjuang agar kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau, seperti teman-temanmu.

“Enak banget, Bunda,” ucap Alma sambil mengacungkan kedua jari jempol tangannya. Aku menanggapi dengan senyuman.

“Di habisin Sayang.”

Setelah menghabiskan dua gelas cendol, aku segera membayar. Kami melanjutkan perjalanan kembali untuk pulang. Melihat Alma, sepertinya dia sudah kelelahan.

Aku segera mengangkat tubuh Alma untuk digendong. Bocah kecil itu tampak kaget, aku hanya tersenyum ke arahnya.

“Nanti Bunda capek,” ucap Alma.

“Alma kan lebih capek. Jadi biar Bunda gendong saja,” jawabku sekenanya.

Aku lekas berjalan sambil menggendong Alma di tengah-tengah teriknya sinar matahari. Sesekali putri kecilku itu, mengusap keningku menggunakan tangan kecilnya. Ya Allah, hati hamba berdenyut. Kenapa harus Alma, yang kehilangan kasih sayang seorang ayah?

“Makasih Sayang.” Aku mengecup pipinya singkat.

Apa pun yang Engkau takdirkan, tidak akan pernah hamba tolak ya Allah. Bagaimanapun, skenariomu lebih indah dari harapan hamba.

Sebenarnya aku sudah lelah, baru berjalan beberapa meter saja pinggangku sudah terasa sakit. Sebab, Alma kugendong di depan. Aku memilih berhenti di bawah pohon besar yang berdiri tegak di pinggir jalan.

“Istirahat dulu, ya, Sayang.”

“Iya, Bun. Alma kasihan sama Bunda, karena gendong Alma, Bunda harus kecapean,” jawab putriku. Aku segera mengusap kepalanya seraya menggelengkan kepala.

Saat kami masih melepas penat, tiba-tiba mobil BMW berhenti tepat di depan kami berada. Aku tidak mengenal mobil ini, atau jangan-jangan perampok. Astagfirullah, tidak seharusnya aku suuzan begitu.

“Om Rendy!” Teriakan Alma membuatku langsung menoleh ke arah pintu kemudi yang akan ditutup oleh pemiliknya.

Pria dengan setelan mewah berbalik badan, dia tersenyum ke arah kami. Astagfirullah, kenapa harus bertemu lagi? Ah, aku tidak boleh mengeluh. Tetapi kenapa harus Rendy?

“Assalamualaikum anak cantik,” sapanya pada Alma. Putriku itu langsung mengecup punggung tangan pria bernama Rendy.

Aku bangga pada Alma karena bisa bersikap sopan kepada orang yang lebih tua, tetapi juga tidak suka dengan tatapan Rendy. Dia terus melihat ke arahku.

“Kirain tadi sudah sampai di rumah, rupanya masih di sini,” celetuk Rendy. Dia mengangkat putriku untuk duduk dipangkuannya, sedangkan dia sudah duduk di sampingku.

“Kami bukan orang kaya, yang punya banyak uang untuk naik ojek atau angkot,” jawabku ketus.

“Kenapa tadi tidak ikut denganku saja? Aku sudah kembali ke rumah, dan ke sini lagi,” ucapnya. Aku membuang muka, malas.

“Kami bukan orang seperti itu.”

“Hahaha, maaf ya Mbak. Oh, iya, kita belum kenalan ya. Kalau gitu kenalin, saya Rendy.” Dia mengulurkan tangan kanannya ke arahku. Ingin menepis, tetapi ada Alma di sini, rasanya akan tidak baik bila melakukan itu di depan putriku.

Akhirnya aku menjabat tangannya, baru saja ingin berbicara, aku dibuat terkejut dengan tindakan Rendy, dia menaruh punggung tanganku di keningnya.

“Salam kenal, Mbak Nina Kharisma. Wanita paling cantik yang pernah aku temui.” Astaga, gila ya bocah ini. Berani sekali dia berbicara begitu di depan Alma.

“Maksud kamu apa? Lepasin tanganku,” pintaku sembari berusaha melepaskan tangan dari genggaman Rendy.

“Gak banyak maksud, hanya satu saja. Ingin dekat dengan Mbak,” sambungnya yang semakin membuatku bingung.

Dan lagi, dia tahu namaku dari mana? Atau Alma yang memberitahu, tetapi tidak mungkin. Alma tidak akan pernah memberitahu orang asing tentang keluarganya sendiri.

“Tolong jangan bertele-tele, kita tidak kenal. Dan, jangan sok dekat,” ucapku mengingatkan.

“Bukannya kita tadi sudah kenalan. Mbak lupa ya? Astaga.” Dia malah tertawa.

Aku ingin menimpali kembali, tetapi lebih dulu Alma menatapku lekat. Akhirnya aku hanya tersenyum, melihat ke arah mereka berdua.

“Sayang, Nak, kita pulang yuk,” ajakku seraya merentangkan tangan pada Alma.

“Bunda sudah enggak capek lagi? Kan tadi abis gendong Alma.” Jawaban Alma ku balas dengan gelengan.

“Bunda kan wonder women.”

Aku meringis saat candaanku ditanggapi tawa oleh Rendy dan Alma. Keduanya sudah seperti adik dan kakak, padahal keduanya orang asing yang baru bertemu.

“Bareng Rendy saja. Mau?” tawar pria di sampingku, dia menaikturunkan sebelah alisnya.

Baru saja mau membuka mulut, sudah lebih dulu dijawab oleh Alma.

“Boleh Om. Kasihan Bunda, capek kalau harus jalan lagi. Alma juga sudah capek.”

“Alma! Tidak boleh begitu!” ucapku memperingati. Senyum Alma menyurut dan menundukkan kepalanya.

“Anggap saja saya bantuan dari Allah untuk Mbak dan Alma. Apakah Mbak masih ingin menolak?”

 

 

Terpopuler

Comments

Neulis Saja

Neulis Saja

Rendy what do you want?

2023-02-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!