Embusan angin menerpa wajahku, aku menatap matanya lekat. Tak ada kebohongan di sana, mungkin saja dia memang orang baik. Sebenarnya aku tetap ingin menolak, tetapi ketika mendapati wajah Alma yang begitu menginginkan, akhirnya aku mengangguk.
Putriku itu, tersenyum bahagia. Rendy segera membawa Alma masuk ke dalam mobil lebih dulu, setelah itu dia berbalik. Menatapku dengan tatapan tak biasa, aku mengalihkan pandangan dengan cepat.
“Mbak nggak mau masuk?” tanyanya, aku segera menoleh.
“Anakku sudah di dalam.” Aku hanya menjawab singkat, lalu memilih pergi ke pintu mobil di seberang.
Setelah pintu dibuka otomatis oleh Rendy, aku masuk. Meminta Alma untuk duduk di pangkuanku saja, sepertinya dia sudah mengantuk. Terlihat dari matanya yang sayu.
Tidak lama, mobil mewah ini bergerak melaju. Tak ada pembicaraan di antara kami, aku juga enggan memulainya lebih dulu, rasanya masih begitu canggung.
Apalagi mengingat aku sangat tidak menyukai Rendy, membuat mulut enggan untuk bersuara. Begitu pun mata, enggan juga memandang.
“Mau langsung pulang atau mencari makan dulu, Mbak?” Rendy membuka suara, aku menoleh sekilas lalu segera menggeleng.
“Pulang saja, Alma juga sudah tidur. Kasihan,” jawabku sekenanya. Rendy mengangguk.
Karena memang jarak rumahku dan taman tidak jauh, kami tak perlu membuang waktu lama untuk segera sampai di rumah. Setelah pintu dibukakan oleh Rendy, aku jadi bingung. Ingin menggendong Alma, tetapi posisinya membuatku kesusahan. Masih sibuk bergelut dengan pikiran, tiba-tiba Rendy sudah menarik tangan Alma dan menggendong bocah kecil itu.
“Hati-hati turunnya, ya, Mbak,” pesan Rendy sebelum pergi lebih dulu meninggalkan aku.
Astaga, dia pikir aku baru kali ini naik mobil. Dulu, saat masih menjadi istri mas Jayn, aku juga sering naik mobil. Bahkan hampir setiap hari. Huff, untuk apa diingat-ingat lagi, dulu itu dia hanya kasihan padaku makanya membolehkan aku naik mobil. Buktinya sekarang dia tak peduli, ya karena aku dan dia bukan dua orang yang saling terikat kembali.
Baru saja melangkah masuk ke rumah, tatapan mata ibu dan bapak sudah mengarah padaku. Aku menunduk, lalu mengangkat kepala kembali. Rendy sudah duduk di kursi tunggu ruang keluarga yang terbuat dari rotan, sedangkan ibu dan bapak di kursi panjang. Alma sepertinya sudah dibawa ke kamar.
“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam dan segera menghampiri ibu dan bapak. Mengecup punggung tangan keduanya.
“Hemm, buatkan teh untuk tamu kita, Nduk,” perintah bapak. Aku bingung, siapa tamu yang bapak maksud?
“Tamu?”
“Yang menggendong Alma tadi, kan tamu.”
Ternyata Rendy, dengan malas aku berjalan ke dapur. Mengambil gelas dan menakar gula dengan sendok ke dalamnya. Setelah air mendidih, aku menuangkan ke dalam gelas.
Aku kembali ke ruang tamu saat dua gelas teh sudah jadi, meletakkan di meja dan meminta bapak dan Rendy untuk meminumnya.
“Seharusnya tidak perlu repot-repot, Paman,” ucap Rendy dengan sopan. Entah itu tulus atau tidak.
“Tidak apa, Nak. Kamu sudah baik, mengantar putri dan cucu saya pulang. Sangat tidak sopan jika kami tidak menjamu kamu dengan baik,” jawab bapak. Aku dan ibu sama-sama menganggukkan kepala.
“Keluarga Bapak begitu baik.” Rendy mengambil gelas teh, lalu menyesapnya. Aku memperhatikan dia sampai menaruh gelas kembali di meja.
“Kamu kenapa, Nduk? Kok lihatin dia minum?” tegur ibu, aku gelagapan dan langsung menggeleng.
“Nina pamit ke kamar dulu Bu, takutnya Alma nanti kebangun.”
Sejujurnya itu hanya alasan. Aku malu karena terciduk sudah memperhatikan Rendy terus menerus. Entah mengapa aku masih penasaran dengan pria itu, datang secara tiba-tiba dan sok akrab denganku.
Di dalam kamar, aku bolak balik. Mendekati jendela, aku melihat mobil Rendy masih di sana karena jendela kamarku langsung mengarah ke halaman rumah. Kenapa pria itu belum juga pulang? Apa dia sengaja ingin mendekati orang tuaku, tapi untuk apa? Ah, sudahlah, lebih baik aku mengambil wudu saja, sebentar lagi azan akan berkumandang.
“Mau ke mana Nduk?”
“Ke kamar mandi, Bu. Mau membersihkan diri sambil mengambil wudu,” jawabku pada ibu.
Kamar mandi memang terletak di belakang, terpisah dengan rumah. Di tanganku sudah ada satu stel gamis beserta hijabnya yang aku ambil dari lemari tadi. Sempat berjalan dengan Alma saat akan pulang dari taman, tak memutus kemungkinan tubuhku berkeringat dan bau.
Selesai membasuh seluruh tubuh dengan air, aku segera memakai baju ganti. Setelah itu mengambil wudu.
Saat kembali masuk, aku sudah tak melihat Redny di ruang tamu. Sepertinya pria itu sudah pulang, tetapi mataku tak sengaja menangkap mobilnya di luar.
“Bu. Pria tadi belum pulang?” Aku menghampiri ibu di kamar.
“Belum. Dia ikut Bapak ke musolah,” jawab ibu.
“Memangnya Bapak dan pria itu sudah saling mengenal ya?” tanyaku lagi, masih penasaran.
“Sudah katanya, pas kemarin nganterin Alma main ke taman, mereka bertemu.”
Oh, jadi yang dikatakan Alma memang benar adanya. Putriku juga sudah kenal Rendy dari kemarin. Berarti tentang Rendy yang membagikan makannya juga benar. Sudahlah, kenapa aku harus memikirkan dia terus. Lebih baik salat saja.
Memohon ampunan pada yang Maha Kuasa, dan meminta hidup yang lebih baik lagi. Aku selalu menyelipkan doa untuk Alma juga di setiap angkatan tanganku. Aku percaya ini ujian, Allah tidak akan memberikan ujian pada hamba-Nya melebihi batas kemampuan. Ya Allah, hamba percaya akan takdirmu.
“Amin.” Aku mengusap wajah yang sudah penuh dengan air mata. Berlama-lama curhat pada Allah, memang cara yang ampuh. Aku sudah lebih baikan sekarang.
“Kalau gitu, saya pamit pulang, Paman, Bibi.” Suara Rendy terdengar sampai kamar.
Aku gegas membuka mukena, memakai hijab dan berlari keluar dari kamar. Rendy sudah berjalan ke arah mobilnya, aku menatap ibu dan bapak. Setelah itu kembali berlari mengejar Rendy.
“Rendy!” panggilku. Dia berhenti dan membalikkan badan.
“Iya, Mbak, ada apa?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Terima kasih. Terima kasih sudah mau mengantar aku dan Alma pulang,” ucapku gugup. Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal.
“Iya, sama-sama. Santai aja, aku orang baik, kok.” Dia tertawa, entah mengapa membuat jantungku berdebar.
“Ya sudah. Hati-hati di jalan,” pesanku.
“Siap. Hemm, mau tahu tidak, doaku ketika salat tadi?”
“Untuk apa? Aku tidak berhak tahu,” jawabku cepat.
“Doaku, semoga Allah mempertemukan kita kembali. Di mana pun berada, tetapi aku inginnya di pelaminan saja.” Aku menatapnya tajam.
“Maaf, kita baru kenal. Jangan sok akrab,” tegurku karena tak nyaman dengan ucapannya.
“Rendy cuma bercanda. Kalau gitu, aku pulang dulu,” pamitnya, membuka pintu mobil dan masuk.
Aku menatap kepergian mobil mewah itu, hingga semakin menjauh dan tak terlihat lagi di kelokkan. Entah mengapa, seperti ada yang hilang. Ada apa sebenarnya dengan perasaanku ini, tidak seharusnya aku mempercayai seorang pria kecuali bapak. Karena aku takut mereka akan sama dengan mas Jayn.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sulaiman Efendy
WAJAR LO MRASA TAKUT, KRN KGAGALAN RMH TANGGA LO YG PRTAMA SNGT MNYAKITKN,, DILEPAS DLM KONDISI HAMIL, DN DGN ALASAN YG TDK MASUK AKAL...
2024-03-03
1