Bab 3

Hari ini aku tidak pergi ke warung karena ibu kurang enak badan. Jadilah kami tidak berjualan. Alma yang baru saja selesai mandi, langsung mengajakku untuk pergi ke taman kompleks. Tanpa berpikir lagi aku langsung mengangguk.

Taman itu terdapat di kompleks Muara, tak jauh dari rumahku. Jadi, kami memilih jalan kaki saja sembari menikmati udara pagi yang begitu menyejukkan. Alma terlihat ceria, berulang kali dia menatapku penuh binar.

“Makasih uda mau temenin Alma, Bun,” ucap Alma seraya mengecup punggung tanganku singkat.

Entah mengapa aku malah sedih, sosok Alma mengingatkanku pada ayahnya. Entah di mana sekarang pria itu, tidakkah dia merindukan putrinya? Atau berinisiatif untuk melihat saja? Sayang sekali mas, Alma gadis kecil yang cantik dan ceria. Kamu akan rugi bila tak menganggapnya anak.

Saat kami sampai di taman, sudah banyak anak-anak di sana. Alma langsung bergabung dengan teman-temannya. Lumayan banyak permainan di sini, jadi tidak terlalu membosankan. Aku memilih menunggu di kursi yang disediakan tak jauh dari tempat bermain. Sambil sesekali mengawasi Alma yang sedang sibuk bermain ayunan.

“Loh, Mbak Nina? Di sini juga?” Aku langsung menoleh saat mendengar sapaan seseorang. Ah, lagi dan lagi.

“Iya, Bu RT,” jawabku dengan sopan. Tak lupa tersenyum.

“Memangnya tidak jualan? Biasanya jam segini kan masih repot-repotnya. Berbeda dengan saya, yang tinggal duduk manis saja.” Aku tidak tahu ini sebuah pertanyaan atau sindiran. Biarin sajalah, yang penting beliau bahagia.

“Ibu kurang enak badan, Bu. Jadi hari ini libur dulu.” Aku menjawab sekenanya saja, malas berurusan terlalu lama dengan buk RT.

“Oh, semoga cepat sembuh, ya. Kalau gitu saya ke sana dulu, mau menghampiri teman se-geng.”

“Terima kasih doanya, Bu. Silahkan.”

Setelah kepergian buk RT, aku mengusap dada seraya mengucap Istigfar berulang kali. Meski aku sudah kebal dengan kata-kata penuh sindiran seperti itu, tetapi rasanya tetap saja sakit.

Aku tidak boleh bersedih, ya, tidak boleh. Ada perasaan Alma yang harus kujaga, aku tidak ingin dia khawatir karena kebahagiaannya adalah tujuanku.

Saat aku menoleh ke arah Alma dan teman-temannya, kulihat ada pria muda di sana. Dia berdiri di tengah-tengah Alma dan teman-temannya. Siapa pria itu? Aku belum pernah melihat.

Mataku bertemu pandang dengan mata pria itu, cukup lama kami bertatapan, aku langsung mengalihkan sambil beristigfar berulang kali. Tidak seharusnya aku begitu.

“Bun!” Alma melambaikan tangannya, memintaku untuk datang mendekati dia. Terpaksa aku mengangguk, dan lekas beranjak.

Kedatanganku disambut hangat oleh anak-anak, mereka bersorak ria seraya tersenyum bahagia. Aku menggaruk kepala yang tertutup hijab dengan bingung.

“Ada apa Sayang?” tanyaku seraya mengusap rambut Alma lembut.

“Bunda main sama kita ya, Om ini juga? Mau ya?” pinta Alma, aku bungkam.

“Iya Tante! Mau ya?”

Kalau mereka semua yang meminta, mana bisa aku menolak. Dan pria di dekatku ini, malah senyum-senyum. Aku jadi curiga, apa dia orang jahat yang mau memanfaatkan keadaan?

“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanyaku penuh selidik. Dia terkekeh.

Kalau dilihat, usianya mungkin sembilan belas atau dua puluh tahun. Kulitnya putih, hidung mancung, mata sipit. Kalau kubilang, hampir mirip dengan warga Korea Selatan, seperti foto artis yang ditunjukkan adikku.

“Senyum, kan, ibadah, Mbak,” jawab pria itu setelah cukup lama hanya memandang saja.

Aku tidak menjawab, memilih mengikuti Alma dan anak-anak lainnya yang berjalan ke arah ayunan. Aku segera mendorong mereka yang naik di ayunan itu, karena hanya ada tiga ayunan, jadilah mereka bergantian.

Tatapan-tatapan sinis dari ibu-ibu yang duduk tidak jauh dari tempat kami, begitu tajam mengarah padaku. Ah, rasanya aku jadi gugup. Apalagi pria itu terus mengikuti dan menatap ke arahku.

Baru kali ini aku dekat dengan pria, dalam artian, berdiri dengan jarak cukup dekat. Bukan berarti kami berteman atau menjalin hubungan dalam bentuk apa pun.

“Kita kayak keluarga bahagia ya, Mbak.” Aku menoleh, menatapnya tak percaya. Apa yang dia bilang? Keluarga bahagia?

“Maksud kamu apa ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Enggak tahu ya? Atau pura-pura saja?” Dia malah menaikturunkan alisnya.

Harus sekali aku bertemu dengan sosok pria seperti ini ya Allah. Lihatlah wajahnya itu, tidak menggambarkan kesalahan sama sekali. Aku tak menanggapi ucapannya, dan memilih fokus pada anak-anak saja.

“Biarkan aku yang ayun Alma, Mbak,” pinta pria itu.

“Tidak usah. Saya Bundanya, jadi biar saya saja,” tolakku dengan halus.

“Tapi saya calon Ayahnya.” Aku menatapnya tajam.

“Maksud kamu apa?” tanyaku degan air muka yang sudah tidak bisa digambarkan lagi.

Dia melengos, mengajak Alma ke tempat prosotan. Dan anehnya, Alma menurut. Aku jadi curiga, apakah mereka sudah kenal sejak lama?

“Alma, sini Nak,” panggilku. Alma datang menghampiri.

“Iya, Bunda?”

“Alma kenal sama Om itu?” tanyaku sambil menunjuk pria yang kini tengah menatap ke arah kami.

“Kenal, Bun. Namanya Om Rendy, orangnya baik banget,” jawab putriku.

Jadi namanya Rendy. Dilihat dari gayanya, sepertinya dia orang berada. Apalagi tadi kulihat, bajunya seperti limited edition. Saat Alma akan pergi menghampiri Rendy, aku segera menarik untuk menahannya.

“Sejak kapan Alma kenal Om itu?” tanyaku penuh selidik. Aku tidak akan membiarkan anakku bersama orang yang tak dikenal. Ketakutan demi ketakutan muncul begitu saja.

“Kemarin Bun. Om Rendy datang membawa banyak banget makanan untuk kami, katanya lagi pengin bagi-bagi.”

Perasaanku jadi semakin tidak karuan. Siapakah sebenarnya dia? Aku tidak pernah bertemu dengannya di daerah sini.

 

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

AYO BRONDONG, PEPET TU JANDA...

2024-03-03

0

Neulis Saja

Neulis Saja

be carefull

2023-02-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!