Mrs. Crazy And Mr. Perfect
“Lihat. Bukannya itu Selena Jasmine? Wah, tidak kusangka bisa bertemu dia di tempat ini.”
Selena menelusupkan anak rambutnya dengan gerakan anggun ke belakang telinga saat bisikan itu menyapa telinganya. Terhitung sudah sembilan kali dia mendengar bisikan serupa, dan Selena masih kukuh dalam posisi yang sama; duduk dengan kepercayaan diri penuh sembari menikmati es krimnya. Lalu-lalang pengunjung dan pegawai kedai sama sekali tidak menganggu Selena, dia malah menikmatinya, menganggap semua orang adalah penggemarnya.
“Ah, aktris payah itu, ya? Aduh, filmnya kacau sekali.”
Kini gerakan tangan Selena yang hendak menyuapkan es krim ke mulutnya sedikit tersendat. Tatapannya di balik kacamata hitam menajam.
“Sayang sekali uangku terbuang percuma untuk menonton film sampah seperti itu. Dia tidak bisa berakting. Kalau saja keluarganya tidak kaya, dia pasti hanya akan menjadi figuran.”
Selena meletakkan sendok es krimnya, lantas melirik sekilas dua orang wanita di samping mejanya yang tengah membicarakan dirinya. Kalau saja bukan di tempat umum, Selena sudah pasti akan langsung meraih rambut keduanya, menariknya hingga tercerabut dari tempatnya dan memohon ampun.
Manajer pria yang duduk di kursi seberang Selena meneguk saliva saat melihat tangan Selena terkepal. Dia baru hendak memperingatkan dua wanita itu ketika tiba-tiba Selena bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dua wanita itu.
“Halo.” Selena menyapa dengan senyum amat lebar, terlihat ramah. “Ya, saya Selena Jasmine. Pemeran utama film Another Blue yang kalian tonton.”
Kedua wanita itu membalas sapaan Selena dengan kikuk. Aduh, mereka sama sekali tidak menyangka akan didatangi Selena seperti ini. Mereka melupakan fakta jika Selena terkenal sebagai aktris yang sedikit gila.
“Saya ingin meminta maaf dengan tulus pada kalian.” Ucapan Selena berhasil membuat kedua wanita itu beserta manajernya, Liam, melongo. Apa-apaan itu, seorang Selena Jasmine meminta maaf pada orang lain? Entah mengapa Liam merasa tidak tenang, sesuatu yang buruk sepertinya akan terjadi sebentar lagi.
“Aduh, kalian pasti bingung sekali ketika menonton Another Blue. Genre fiksi ilmiah, ditambah unsur filsafat. Kepala kalian pasti terasa sakit sekali untuk memahami alur cerita. Memang, sebenarnya Another Blue ditujukan untuk orang berpendidikan, orang yang mampu mencernanya dengan baik, sehingga bisa menangkap betapa menakjubkannya film itu. Kalian ....” Selena menatap merendahkan kedua wanita itu bergantian, lantas melanjutkan, “Wah, kalian jelas bukan target filmnya. Hanya sekilas mendengar obrolan kalian, saya sudah bisa menyimpulkan, kepala kalian tak ubahnya seperti unggas. Kosong. Hanya tahu makan saja.”
Liam tersedak udara, terbatuk-batuk. Kedua wanita itu memelotot tidak terima. Namun, sebelum mereka berteriak membalas, Selena lebih dulu kembali bersuara.
“Untuk itu ....” Selena merogoh tasnya, mengambil setumpuk uang kertas lantas meletakkannya di depan kedua wanita itu. “Saya kembalikan uang membeli tiket film kalian. Berkali-kali lipat. Tolong, belilah baju bagus dengan uang itu. Setidaknya jika tidak punya otak, penampilan jangan kotor, kumal, dan murahan seperti itu, bukan?” Senyum Selena mengembang melihat dua wajah geram di depannya. “Tidak perlu berterima kasih, saya memang senang membantu kaum dhuafa.”
Selena mengedipkan mata lantas menyibak rambutnya, bersiap pergi dari tempat itu, saat teringat sesuatu. Ia membalikkan badan, tersenyum manis, sebelum berucap, “And don’t forget to wash your stinky mouth, Bitches.”
...***...
Dua puluh menit sudah Liam mencoba mengontrol napasnya agar tidak menimbulkan suara yang keras. Sunyi di dalam mobil benar-benar seperti mencekiknya, seolah suara berdesibel rendah pun akan kembali menyulut emosi Selena yang masih setia memejamkan mata di kursi belakang.
“Liam ....”
Suara yang lebih terdengar seperti gumaman itu berhasil membuat Liam terkesiap. Dia segera memutar badannya, cepat-cepat menyahut, “Ya, Selena. Kau butuh sesuatu?”
“Apa Little Mermaid benar-benar berubah menjadi buih?”
Liam melongo, sama sekali tidak menduga Selena akan melemparkan pertanyaan yang seperti dicomot sembarangan itu. “Eh, kalau menurut dongeng ... ya, dia berubah menjadi buih, menghilang. Apa kau ingin menjadi putri duyung di proyek selanjutnya?”
“Meskipun tidak berbakat dan satu-satunya hal yang bisa menolong hanya uang orang tuaku, aku tidak ingin menghilang, Liam. Aku sungguh menyukai dunia ini, dan akan mempertaruhkan segalanya agar aku bisa terus berakting ....”
Bahkan sekarang Liam tidak tahu harus membalas apa. Tatapan sayu yang menggelayut di mata Selena seolah tengah mengungkapkan seluruh kekhawatiran dan rasa sakit yang tidak pernah dia bagi kepada siapa pun. Segala cemoohan yang diterimanya secara langsung maupun melalui sosial media terkadang menggerus habis pertahanan Selena, membuatnya luruh di balik pintu kamar dengan isakan samar.
“Baiklah, kita sudahi drama hari ini. Kau pulang saja, Liam. Sisa hari ini aku hanya ingin berada di rumah.”
Dengan sigap, Liam turun dari mobil, membukakan pintu untuk Selena. Melihat langkah gontai Selena, melewati jalan setapak di antara taman luas untuk mencapai pintu depan rumahnya, membuat Liam menghela napas panjang. Memiliki wajah rupawan, keluarga yang bergelimang harta, nyatanya bukan jaminan kebahagiaan seseorang. Liam tidak tahu seberapa keras Selena memaksakan diri untuk tetap bertahan atau seberapa parah luka menganga Selena karena komentar menjatuhkan yang terus menghunjam hatinya. Namun Liam tahu betul, Selena tidak akan pernah menyerah pada mimpinya.
Selena menghentikan langkahnya bertepatan dengan terdengarnya deru mobil yang dikendarai Liam. Ia mengambil napas dalam-dalam, lantas mendongak, menyapukan pandangan pada hamparan langit senja. Selena masih mengagumi jingga pada langit sore ketika terdengar seruan mamanya dari ambang pintu, menyuruh Selena bergegas.
Yang pertama kali Selena temukan ketika akhirnya memasuki ruang tamu adalah wajah kusut papanya. Pria paruh baya yang selalu bersemangat itu seperti kehilangan separuh nyawanya, bersandar pada sofa dengan sorot mata putus asa.
“Papa? Sedang ada masalah?” Selena memecah keheningan janggal di ruangan itu. Ia mengernyit dalam, sebelum duduk di samping papanya.
Robin Athaya, papa Selena, sejenak memusatkan pandangannya ke arah putrinya. Dua detik, beban di pundaknya serasa sepuluh kali lebih berat.
“Hei, sebenarnya ada masalah apa, Pa?” Selena mulai gelisah, dia menyentuh lembut lengan papanya.
“Selena ....” Suara serak Robin menelusup telinga Selena, membuatnya terkesiap. “Perusahaan kacau, Selena. Wakil direktur menggelapkan uang perusahaan tiga tahun belakangan ini. Kabur, entah ke mana dia, polisi sedang berusaha mencarinya. Pandemi ... pandemi sialan ini juga turut melemparkan saham perusahaan ke titik paling memalukan. Perusahaan kita telah mencapai ujungnya, Selena.”
Jantung Selena seperti berhenti berdetak selama beberapa saat. Perlahan badannya menjauh dengan tatapan nanar yang seolah menampik kabar buruk dari ayahnya. Mana mungkin perusahaan besar milik keluarganya hancur semudah ini? Dan bagaimana dengan kariernya? Siapa lagi yang bisa menopang aktingnya yang buruk jika bukan uang milik papanya?
“Lima bulan belakangan ini perusahaan mengalami defisit tajam. Manajemen yang buruk. Penggelapan uang. Pandemi semakin menguasai, menghantam perusahaan ke titik terendah. Maaf tidak mengatakannya padamu. Papa khawatir kau akan semakin banyak pikiran.”
Selena memegangi kepalanya dengan ketidakpercayaan akan kenyataan yang terhampar tepat di depan wajahnya. “Apa—” Tenggorokan Selena terasa tercekat. Dia mencoba menguasai diri sebelum melanjutkan, “Apa tidak ada cara untuk menyelamatkan perusahaan?”
Ruangan luas itu hening sejenak. Robin saling tatap dengan istrinya, seolah sedang berdiskusi tanpa suara.
“Ada ....” Robin berucap lemah, seakan tidak memiliki tenaga untuk mengeluarkan suara. “La Sky Land bersedia mengakuisisi perusahaan dengan satu syarat.”
“La Sky Land? Maksud Papa ....”
“Benar, Selena. Perusahaan milik keluarga Arkananta. Memalukan sebenarnya meminta bantuan mereka, namun perusahaan kita benar-benar di ujung tanduk. Dan mereka ... mereka menyetujui akan mengakuisisi perusahaan jika—” Untuk sejenak, Robin pandangi wajah putri semata wayangnya lekat-lekat, lantas dengan suara selirih embusan angin dia berucap, “Jika kau mau menikah dengan putra mereka. Ocean ... Ocean Arkananta.”
Tangan Selena yang memegang lengan papanya perlahan luruh. Dia seperti bisa merasakan dinding-dinding di ruangan itu mengimpitnya, membuat sesak luar biasa. Seluruh cahaya seakan lenyap, digantikan gulita sepanjang mata memandang.
Ocean Arkananta. Mimpi buruk itu akhirnya kembali datang.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Heny Sri Wahyuti
absen
2024-03-24
1
mia0211
aku mampir nih kak
2023-09-26
1
Angel Ribka
cara menyelesaikan masalah bagus tidak arogan semangat selena suatu hari nanti akan jadi artis hebat
2023-09-25
1