Pendekar Pedang Iblis

Pendekar Pedang Iblis

Pembantaian

Langit begitu cerah siang ini. Lan Xhicen berjalan di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Sesekali, ditepuknya kantong uang di balik saku dalam bajunya, memastikan kantong itu masih ada di sana.

Sudah dua bulan sejak Xichen terakhir kali menginjakkan kaki di kota. Ia dilarang turun gunung oleh ayahnya, Lan Xiaoli, pemimpin Sekte Pedang Abadi dari Gunung Wangluo.

Pagi-pagi buta tadi, Xichen sudah berangkat. Tak ada yang tahu ia turun gunung. Ia berpikir tak ada salahnya hari ini melanggar larangan sang ayah.

Nanti malam akan diadakan perayaan ulang tahun ibunya. Jadi, ia turun gunung untuk membeli hadiah ulang tahun. Ia sudah menabung cukup banyak untuk membelikan hadiah itu.

Pilihannya kemudian jatuh pada sebuah gelang giok berwarna biru dan tusuk rambut kayu yang pangkalnya diukir berbentuk bunga-bunga kecil. Dengan membeli dua benda itu, uang di kantongnya hanya tersisa dua koin.

Tak masalah. Hadiah mahal rasanya masih kurang jika ingin membalas kebaikan ibunya. Sang ibu sudah sangat baik merawatnya. Dan, yang paling membuat Xichen mencintai ibunya adalah karena wanita itu sering membantunya ketika dihukum sang ayah.

Di Sekte Pedang Abadi, Xichen dicap sebagai murid yang nakal. Ia sering terlambat latihan dan selalu bermain-main. Sangat berbeda dengan kembarannya yang bernama Lan Xingchen.

Xichen Dan Xingchen bagaikan langit dan bumi. Jika Xichen adalah murid yang paling nakal, maka Xingchen adalah murid terbaik. Karena itu, semua orang di Sekte Pedang sangat menghormati Xingchen.

Meskipun ada perbedaan besar di antara mereka berdua, Xichen sangat menyayangi Xingchen. Dengan adanya Xingchen, ia bisa menghindar dari beberapa perintah ayahnya.

Senyum lebar menghiasi bibir Xichen. Ia kembali ke Gunung Wangluo sembari bersenandung riang. Membayangkan ekspresi ibunya ketika menerima hadiah darinya, membuat ia hatinya riang.

Xichen sampai di Gunung Wangluo. Ia berdiri di gerbang pertama Sekte Pedang Abadi. Matanya menatap sekeliling. Suasana sangat berbeda dari biasanya. Ia tak mendengar suara adik dan kakak seperguruannya sama sekali.

Xichen melangkah masuk. Benar-benar sepi. Hanya suara dedaunan yang terdengar.

“Weijie!” teriak Xichen, memanggil adik seperguruan yang biasa ia jaili.

Tak ada sahutan.

“Xingchen, kalian di mana!” Ia kembali berteriak. “Apa sekarang kalian semua bekerja sama mengerjaiku?”

Xichen mulai kesal. Ia melompati dua anak tangga sekaligus, menuju gerbang kedua. Begitu sampai di gerbang, Xichen bergeming. Tangannya gemetar hingga hadiah untuk ibunya jatuh ke tanah.

Di halaman tempat biasa murid-murid Sekte Pedang Abadi latihan, bergelimpang tubuh tak bernyawa. Xichen berusaha menguasai dirinya. Ia melangkah perlahan dengan pandangan yang mulai buram. Ia mengecek satu per satu wajah dari murid-murid sekte yang sudah tak bernyawa itu.

“Weijie!” seru Xichen menghampiri murid berusia lima belas tahun yang bersimbah darah. Ia meletakkan kepala murid itu di pahanya.

“Apa yang terjadi?” Xichen tak bisa menahan air matanya.

Wajah Weijie telah pucat. Ada tiga tusukan di tubuhnya.

“Argh!” Xichen berteriak. Ia meletakkan Weijie dengan hati-hati.

Xichen berlari melewati jenazah murid lainnya. “Ayah! Ibu! Xingchen!” panggilnya histeris.

Air mata Xichen berderai. Ia menyesal telah meninggalkan gunung. Seandainya ia tak turun gunung pagi tadi, apakah ada yang bisa dilakukannya? Atau, ia akan mati bersama dengan murid sekte yang lain?

Langkah kaki Xichen yang lebar melewati koridor ruang tamu. Ia menuju kamar orang tuanya. Ruangan itu kosong. Ia kemudian berpindah ke kamar Xingchen. Orang yang dicari juga tak ada di sana.

“Di mana kalian?” ujar Xichen frustrasi. Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan.

Tidak menyerah, Xichen mengecek ruangan lain. Namun, ia tak menemukan orang tuanya dan Xingchen. Yang ditemukannya hanya pelayan, beberapa orang murid, serta gurunya dalam kondisi mengenaskan.

“Lan Xichen!”

Xichen menghentikan langkahnya. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya dari arah halaman. Buru-buru ia berlari ke sana.

Di dekat gerbang, berdiri puluhan orang berjubah hitam hitam. Wajah semua orang itu ditutupi dengan topeng merah.

“Siapa kalian?” bentak Xichen.

“Kemari, Xichen. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Salah satu orang bertopeng itu maju. Dari suaranya, di balik topeng dan jubah itu adalah pria.

Xichen maju lima langkah. Ia tak melihat orang tuanya atau Xingchen di sana.

“Apa yang kamu cari?” Pria bertopeng paling depan bertanya. “Lan Xiaoli dan Song Fang Lin masih hidup, jangan khawatir.”

Pria itu mengangkat tangan kanannya, lalu menjentikkan jari.

Dari balik gerbang, empat orang muncul dengan menyeret orang tua Xichen. Keduanya babak belur dan tak sanggup lagi berdiri.

“Ayah, Ibu!” teriak Xichen.

“Tunggu!” Pria bertopeng itu maju. “Kamu mau menyelamatkan mereka, ‘kan? Berikan Pedang Iblis itu, lalu akan aku lepaskan orang tuamu.”

Kening Xichen mengerut. Ia pernah mendengar cerita tentang Pedang Iblis. Di perpustakaan, ia juga beberapa kali menemukan buku yang membahas tentang kehebatan pedang itu. Bukan hanya kehebatan, tapi bahaya dari pedang itu juga.

Namun, sembilan belas tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia melihat Pedang Iblis. Dari buku yang dibacanya, pedang itu sudah dimusnahkan dua ratus tahun yang lalu.

“Jangan bercanda! Lepaskan orang tuaku!” Suara Xichen semakin meninggi. Urat di lehernya menyembul. Menurutnya, permintaan pria bertopeng itu mengada-ngada. Tidak ada Pedang Iblis lagi di dunia ini.

“Apa Lan Xiaoli belum mengatakan kalau Pedang Iblis ada di sekte ini? Sejak ratus tahun yang lalu, sekte Pedang Abadi selalu memegang Pedang Iblis.”

Pria bertopeng itu menarik Lan Xiaoli ke depan. “Suruh anakmu mengeluarkan Pedang Iblis itu! Jika tidak, kau dan seluruh keluargamu akan binasa dari dunia ini.”

Lan Xiaoli memejamkan mata. Rambutnya yang mulai memutih berkibar ditiup angin.

“Xichen, dengarkan Ayah. Selama ini kamu sering membantahku, tapi kali ini dengarkan aku.”

Si pria bertopeng berpikir Lan Xiaoli akan meminta Xichen mengeluarkan Pedang Iblis. Karena itu, ia melepas cengkeramannya dari tangan sang pemimpin sekte.

“Apa pun yang kamu ketahui nanti, aku dan ibumu sangat menyayangimu. Kami mengambil keputusan itu karena percaya padamu. Kamu harus hidup dengan baik, Xichen! Jaga agar Sekte Pedang Abadi tetap ada. Ayah menyayangimu, Nak.”

Dengan kekuatannya yang tersisa, Lan Xiaoli meraih pedang salah satu murid yang tergeletak tidak jauh darinya. Namun, sebelum tangannya sampai di pedang itu, si pria bertopeng menghunjam.

Mata Xichen melebar. Ayahnya jatuh dengan pedang menembus perut. “Ayah!”

“Kamu harus hidup dengan baik, Xichen!” Song Fang Yin berteriak sebelum pedang salah satu pria bertopeng itu menghabisi nyawanya. Leher wanita itu ditebas hingga putus.

Darah Xichen mendidih, melihat kepala ibunya menggelinding di tanah. Ia tak peduli dengan apa yang dilindungi oleh orang tuanya. Ia hanya ingin membunuh semua orang di depannya sekarang juga.

Mata Xichen perlahan menghitam sepenuhnya. Angin bertiup kencang seiring dengan kemarahan Xichen yang semakin tak terkendali. Langit yang tadinya cerah, mendadak gelap. Awan hitam memenuhi langit.

Sebuah pedang keluar dari jantung Xichen. Pedang berwarna hitam dengan gagang bertuliskan ‘IBLIS’. Pedang itu melayang di depan Xichen menunggu untuk digenggam.

“Itu pedangnya. Itu Pedang Iblis!” ujar si pria bertopeng.

 

Terpopuler

Comments

Lezhin Zee

Lezhin Zee

Baru mulai aj udh bgus

2023-03-28

1

Andi Arianto

Andi Arianto

Ini ngeri bnget

2023-03-10

4

Bohlam Tujuh

Bohlam Tujuh

Sadis

2023-03-05

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!