Xichen seolah berada dalam kegelapan. Tak ada dinding atau apa pun di sekelilingnya, hanya ada kegelapan. Seberapa keras pun ia berteriak, suaranya sama sekali tak memantul.
Ia berlari, mencari jalan untuk keluar dari kegelapan itu. Namun, hingga tenaganya hampir habis, ia belum juga menemukan jalan keluar atau menyentuh dinding. Ia seperti berada di ruang kosong. Hanya ada dirinya dan udara yang begitu tenang.
“Ayah! Ibu! Xingchen!” Xichen berteriak sekuat tenaga. Ia terus berteriak sampai teronggorokannya serak.
Xichen akhirnya menyerah. Ia menjatuhkan lutut dengan air mata berderai. Tubuhnya perlahan ambruk. Napassnya tersengal.
“Ibu, bawa aku bersama kalian. Jangan tinggalkan aku sendiri di sini.” Xichen memejamkan mata. Ia ingin mati sekarang juga agar bisa bersama dengan orang tuanya dan juga Xingchen.
Tiba-tiba cahaya menyilaukan menimpa wajah Xichen. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Tangannya bergerak, hendak meraih cahaya itu.
“Dia sudah bangun! Dia sudah bangun!”
Xichen mendengar keributan ketika ia berhasil membuka mata sepenuhnya. Kepalanya terasa sangat berat. Ia perlahan menoleh pada seorang pria berjanggut putih yang sedang memeriksa denyut nadinya.
“Kondisinya sudah benar-benar stabil. Dia akan bisa beraktivitas seperti biasa beberapa hari lagi.”
Xichen menatap orang-orang di sekelilingnya. Tak satu pun di antara wajah itu yang ia kenal. Namun, ia tahu seragam yang mereka kenakan. Seragam berwarna putih hijau itu menandakan mereka adalah murid dari Sekte Elang Surga.
Murid Sekte Elang Surga memberi jalan pada seseorang yang baru saja masuk ke ruangan itu. Sorot mata pria berjanggut putih itu begitu meneduhkan. Namanya, Song Tuoli, sang pemimpin sekte.
“Kalian keluar dulu. Lanjutkan latihan,” perintah Song Tuoli. Ia lalu duduk di pinggir ranjang.
“Ibuku?” ujar Xichen.
“Mereka sudah tenang di langit.” Song Tuoli menepuk lengan Xichen. “Sekarang, fokus saja pada kesembuhanmu.”
Mata Xichen memerah. Urat di sekitar matanya timbul. “Mereka tidak akan tenang, Paman. Mereka tidak akan pernah tenang sebelum aku membalaskan dendam atas kematian mereka. Untuk Ibu, Ayah, dan juga Xingchen, aku akan membantai orang-orang yang sudah menghancurkan Sekte Pedang Abadi.”
Song Tuoli berdiri. Ia bisa melihat betapa besar amarah dalam mata Xichen. “Apa kau tahu berapa lama kau tidur?”
“Berapa lama?”
“Satu bulan. Kau tidur selama satu bulan. Aku sempat berpikir kau tidak akan selamat. Untunglah, Dewa masih memberi kesempatan untukmu tinggal di dunia ini.”
Xichen tertawa sinis. “Aku tidak ingin hidup di dunia di mana Ibu, Ayah, dan Xingchen tidak ada. Aku ingin bersama mereka.”
“Xingchen masih hidup. Dia ada kamar sebelah. Jadi, tenangkan dirimu.”
Air mata Xichen jatuh. Tangannya yang mengepal, perlahan mengendur. Ia bergegas turun dari ranjang. “Aku mau bertemu dengan Xingchen, Paman.”
“Dia belum sadar.”
“Aku ingin menemuinya sekarang juga!” tegas Xichen. “Atau, aku akan mengacak-acak kamar ini.”
Song Tuoli mendesah kesal. Sejak kecil, ia sudah mengenal pemuda di depannya. Setiap kali ia berkunjung ke Gunung Wangluo, pasti ada saja kenakalan yang dilakukan Xichen. Beberapa kali ia juga melihat Xichen dihukum karena melanggar peraturan pemimpin sekte.
“Ikuti aku,” ucap Song Tuoli.
Dengan tubuh yang masih lemas, Xichen mengikuti Song Tuoli. Mereka berjalan menyusuri koridor depan, lalu berhenti di kamar yang berseberangan dengan koridor kamar Xichen tadi. Dua koridor itu dipisahkan oleh sebuah kolam ikan.
Xichen berlari melewati Song Tuoli. Ia tidak sabar untuk menemui saudara kembarnya yang berhasil selamat dari pembantaian. Begitu ia memasuki kamar, mendadak ia mematung.
Penampilan Xingchen yang berbaring di ranjang sangat berbeda dengan yang diingat Xichen. Saudaranya itu begitu kurus dan pucat. Dan, yang paling membuat Xichen terkejut adalah tak ada sehelai rambut pun di kepala Xingchen.
“Apa yang terjadi?” Xichen menoleh pada Song Tuoli. “Ke mana rambutnya Xingchen.”
“Dia terkena racun yang membuat rambutnya rontok.”
“Racun?” Xichen duduk di pinggir ranjang. Ia mengusap kepala Xingchen yang seperti bola.
“Jangan khawatir. Racun itu tidak akan membunuhnya. Hanya saja, rambutnya tidak akan pernah tumbuh lagi. Dia akan botak selamanya.”
Xichen menelan ludah. “Botak?”
Xichen mengusap wajahnya. Ia berusaha untuk tegar. Tidak apa-apa Xingchen botak. Yang terpenting saudaranya itu selamat. Ia harus bersyukur dengan itu.
“Pasti ada obat untuk menumbuhkan rambutnya, ‘kan?”
“Kami sedang mencarinya. Ayo kembali ke kamarmu. Aku akan meminta pelayan untuk mengantarkan makanan.”
“Aku masih ingin di sini, Paman. Tolong tinggalkan kami. Aku akan kembali ke kamar nanti.”
Song Tuoli berdecak. Ia kemudian berbalik tanpa melakukan apa pun lagi.
Xichen menggenggam tangan Xingchen. “Cepat bangun. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu. Kau harus membantuku membalaskan dendam Ayah dan Ibu. Aku yakin kita berdua pasti bisa. Hanya kita yang tersisa dari Sekte Pedang Abadi.”
Xichen berada di kamar itu hampir satu jam. Ia terus mengoceh meski Xingchen tak merespons. Setelah merasa haus, ia keluar dari kamar.
Ada beberapa orang murid yang berpapasan dengan Xichen. Semuanya menatapanya dengan sorot mata yang aneh. Ia seperti tidak disambut di tempat itu.
Sekte Elang Surga, penguasa Gunung Taiyan. Terakhir kali Xichen berkunjung ke tempat ini saat ia berumur sepuluh tahun. Setelah itu, Song Tuoli yang selalu datang ke Gunung Wang Luo.
Song Tuoli adalah kakak dari ibunya. Pamannya itu diangkat menjadi pemimpin sekte setelah berusia tiga puluh tahun. Di bawah pimpinan Song Tuoli, Sekte Elang Surga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Banyak orang yang ingin berguru ke sekte ini. Namun, hanya beberapa yang diterima.
Xichen tidak kembali ke kamarnya. Ia berjalan hingga ujung koridor, lalu melewati pinggir kolam. Langkahnya berhenti di dekat undakan yang membentuk beberapa anak tangga.
Saat ia menatap beberapa orang murid sekte yang sedang latihan, seseorang menyenggolnya. Hampir saja ia terjatuh.
“Maaf,” ujar pemuda yang tak sengaja menabrak Xichen dengan raut wajah ketakutan. Ia lantas berlari ke arah teman-temannya.
“Kenapa mereka menatapku seperti itu?” Kening Xichen mengerut.
Di dunia persilatan, ada beberapa nama yang sangat terkenal berkat kekuatan mereka. Jika bertemu salah satu orang itu, Xichen bisa memaklumi murid-murid sekte ketakutan. Akan tetapi, bertemu dengannya apa yang ditakutkan? Ilmu bela diri Xichen tidak termasuk dalam golongan hebat. Di Sekte Pedang Abadi saja, banyak yang bisa mengalahkannya.
“Xichen!”
Xichen mendengar suara Song Tuoli. Ia menoleh ke belakang. Dengan kesal, ia menghampiri pamannya itu.
“Apa yang aku katakan tadi? Kembali ke kamarmu setelah dari kamar Xingchen. Kenapa kau sulit sekali mendengarkan kata-kata orang tua?”
“Aku hanya ingin menghirup udara segar, Paman. Aku bisa gila seharian di kamar.”
Song Tuoli mendekat dengan tatapan tajam. “Jangan membantahku. Kau harus ingat. Di sini bukan Sekte Pedang Abadi. Tempatmu berdiri sekarang adalah Sekte Elang Surga. Yang punya kuasa di sini adalah aku.”
Xichen semakin kesal dengan ucapan Song Tuoli. Entah kenapa sikap pamannya itu terlalu tegas padanya.
“Kalau aku menolak, bagaimana?”
“Kalau kau menolak?” Song Tuoli menyeringai. Dengan gerakan mendadak, ia melancarkan satu pukulan ke perut Xichen.
Xichen terjungkal. Punggungnya membentur tanah. Murid sekte yang melihat kejadian itu seketika berhenti latihan.
“Pukulan tadi belum apa-apa, Xichen. Kau harus mendengarkan semua perintahku atau angkat dari sini.”
Xichen terdiam. Ia tidak tahu ke mana kalau harus meninggalkan Sekte Elang Surga. Jika sendiri, ia mungkin bisa pergi ke mana saja. Namun, ada Xingchen di dalam sana. Saudaranya itu belum sadarkan diri. Terlebih lagi, ada racun di dalam tubuh Xingchen. Pamannya bisa saja mengatakan racun itu tidak berbahaya. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin kalau Song Tuoli berkata jujur.
Demi keselamatan Xingchen, ia akan menahan diri. Ia akan menuruti perintah Song Tuoli saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Bohlam Tujuh
Lama juga ya
2023-03-05
7
Tuti Kasmita
Botak forever
2023-03-05
7