Pembuktian

Xichen berpikir dirinya sudah lolos dari kejaran Hanyi. Ia berhenti berlari beberapa meter dari murid-murid sekte yang sedang berlatih silat. Ia memegang dadanya yang seolah akan meledak.

“Hei, laki-laki bajingan!”

Xichen menoleh ke belakang. Matanya sontak melebar, melihat Hanyi berlari ke arahnya dengan sebuah tongkat di tangan.

Spontan Xichen kembali berlari. Ia menerobos barisan murid sekte. Ia berteriak, meminta bantuan. Saat sampai di barisan paling belakang, ia memegang tangan murid yang ada di sana.

“Phezi, lindungi aku dari perempuan itu.”

Murid yang dijadikan tameng adalah pemuda berusia lima belas tahun tadi yang ditarik Xichen ke belakang gudang. Sialnya, Phezi tampak jelas tidak bisa berbuat apa-apa.

“Phezi, minggir dari sana atau kau yang akan terkena tongkatku.”

Phezi berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman Xichen lebih kuat dari perkiraannya.

“Apa kau mendengarku, Phezi?” Suara Hanyi semakin melengking.

“Kak Hanyi, dia memegangiku. Dia tidak mau melepaskanku!” Phezi semakin panik.

Terakhir kali orang yang mencari masalah dengan Hanyi, tubuh orang itu penuh dengan sabetan. Phezi melihatnya saat mereka turun gunung untuk membeli beberapa karung beras dua minggu yang lalu. Tiga orang preman mencegat mereka. Phezi yang pergi bersama dengan Hanyi dan seorang murid sekte lagi terpaksa melindungi beras yang mereka beli atau jatah makan mereka dikurangi.

Phezi berhasil melumpuhkan lawannya dengan hanya beberapa pukulan. Begitu pula dengan kakak seperguruan yang bersamanya. Mereka berpikir semua itu sudah cukup. Orang yang mereka hadapi hanya preman biasa, tanpa kemampuan silat.

Berbeda pemikiran dengan mereka berdua, Hanyi malah menarik pedang dari sarungnya. Gadis itu mengeluarkan satu jurus. Walaupun bukan jurus mematikan, efek yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya jika yang dihadapi adalah orang biasa.

Gerakan Phezi sedikit terlambat. Preman yang dilawan oleh Hanyi hampir saja mati. Di wajah pria itu terdapat garis melintang bekas sabetan Hanyi. Darah mengalir dari sana.

Untunglah Phezi dan kakak seperguruan yang bersamanya masih bisa menahan Hanyi sehingga tidak ada yang mati.

“Hanyi!” Suara Song Tuoli menetralkan suasana.

Hanyi menurunkan tongkat di tangannya, sementara murid yang lain memberi hormat. Melihat suasana sedikit kondusif, Xichen melepaskan Phezi. Ia mengalihkan pandangannya, tidak mau beradu pandang dengan Song Tuoli.

“Ada apa ini?” Sing Tuoli menghampiri Hanyi. Ia merebut tongkat dari tangan putrinya. “Kau ini! Perempuan kok bersikap kasar mulu.”

“Dia yang lebih dulu, Ayah! Dia mengintipku,” tunjuk Hanyi pada Xichen.

Spontan Xichen menggeleng. “Tidak, Paman. Aku tidak mengintipnya. Aku cuma tersesat tadi.”

Tatapan Song Tuoli begitu dingin. Ia berjalan menghampiri Xichen. Begitu hanya berjarak dua langkah, Song Tuoli melayangkan satu tamparan yang sangat keras.

Itu bukan tamparan biasa. Song Tuoli  mengerahkan sedikit tenaganya sehingga Xichen terhuyung ke samping.

Xichen menegakkan tubuhnya. Matanya memerah menahan kesal.

“Apa kau benar-benar mau diusir dari sini, Xichen? Apa kau tidak menyayangi Xingchen yang sedang berjuang untuk hidupnya?” Suara Song Tuoli menggelegar, membuat semua murid yang ada di sana menunduk. “Hilangkan sikap egoismu itu kalau kau masih menyayangi Xingchen. Dengarkan semua perintahku demi kebaikan kalian berdua. Sekali lagi kau membantah, pergi dari sini!”

Xichen menelan ludah. Tangannya mengepal semakin erat.

“Aku tidak akan bersikap seperti ini kalau Paman memberikan jawaban yang jujur. Katakan padaku, apa yang terjadi di Sekte Pedang Abadi? Aku mendengar kalau Paman dan murid-murid Sekte Elang Surga hampir saja mati karenaku. Apa itu masuk akal? Semua orang di sini takut padaku karena cerita itu. Padahal, mengalahkan Hanyi saja aku mungkin harus mengerahkan semua kekuatanku, Paman.”

Song Tuoli membalas tatapan Xichen. “Ini rumahku. Aku akan menjawab pertanyaanmu setelah aku mengizinkanmu bertanya. Sekarang, aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaan itu.”

Seolah menghindar, Song Tuoli berbalik.

“Aku tidak sengaja masuk ke kamar Hanyi karena mencari murid-murid sekte yang terluka.” Ucapan Xichen berhasil menghentikan langkah Song Tuoli. “Apa mereka terluka karena aku?”

Song Tuoli memutar bola matanya. Ia tahu Xichen tidak akan bisa diam sebelum mendapatkan jawaban.

“Apa kau pikir sanggup melakukan itu?” Song Tuoli berbalik.

“Tidak.”

“Lalu, kenapa kau berpikir kau yang melakukannya?”

Xichen melirik Phezi. Pemuda itu berkomat-kamit meminta agar Xichen tidak memberitahu kalau dirinya yang memberitahu rumor yang tersebar.

“Aku nggak sengaja yang mendengarnya tadi.”

“Dan kau percaya begitu saja?” Song Tuoli menatap murid-muridnya. “Kau maju ke sini.”

Song Tuoli memilih salah satu murid. Bukan yang terbaik, tapi masih di atas standar. “Lawan dia.”

Murid yang dipilih Song Tuoli bernama Xiao Yuja. Murid dengan perawakan sangar dan tubuh tinggi besar.

Agar adil, Song Tuoli mengambil pedang kayu salah satu muridnya, lalu melemparnya pada Xichen.

“Kau akan tahu apa cerita itu benar tidak setelah bertarung dengannya,” kata Song Tuoli.

Xichen menatap pegang kayu yang tergeletak di tanah. Ia tak yakin bisa mengalahakn murid yang dipilih pamannya. Akan tetapi, ia juga penasaran sejauh apa kekuatannya sampai bisa rumor aneh tersebar.  

Berbekal rasa penasaran, Xichen mengambil pedang kayu itu. Ia pun memasang kuda-kuda. Sebagai salah satu murid dari Sekte Pedang Abadi, ia yakin keahlian pedangnya lebih hebat.

Yuja menyerang. Pedangnya ia hantamkan ke kepala Xichen.

Xichen menahan serangan itu menggunakan pedangnya. Karena tekanan pedang Yuja sangat kuat, ia melompat ke samping untuk menghindar.

Semua murid yang menonton pertarungan itu mengikuti gerakan Xichen dan Yuja. Gerakan Yuja terkesan lambat, tapi penuh tenaga. Berbeda dengan Xichen yang punya gerakan lincah, tapi kekuatannya kurang. Dengan mudah Yuja menahan serangan dari Xichen.

“Yuja, selesaikan dengan cepat!” perintah Song Tuoli.

“Baik, Guru!” Yuja masih sempat-sempatnya memberi hormat pada Song Tuoli di tengah pertarungan.

Yuja berlari dengan pedang terangkat ke atas. Serangannya kini lebih agresif. Bahkan, hampir bisa menyamai kelincahan Xichen.

Pedang Yuja berhasil mengenai lengan kiri Xichen.

Xichen mengerang kesakitan. Ia tak tahu kalau tebasan pedang Yuja bisa sesakit itu. Jika yang dipegang Yuja adalah pedang sungguhan, ia yakin lengannya pasti akan patah.

Buru-buru Xichen melempar tongkat ke tanah sebelum Yuja menyerangnya lagi. Ia lantas mengangkat tangan kanannya. “Aku menyerah!” teriaknya.

Yuja memberi hormat dengan membungkuk, lalu mundur.

“Kau sudah tahu jawabannya, ‘kan?” ujar Song Tuoli.

Xingchen tidak menjawab. Ia menggulung lengan baju untuk memeriksa lengannya. Bekas pukulan Yuja membengkak, meninggalkan sensasi panas di sana.

Seorang pelayan yang berlari  menuruni undakan menghampiri Song Tuoli. “Guru Song, Tuang Xingchen sudah sadar?”

“Dia sudah sadar?”

“Iya.”

“Terima kasih. Aku akan mengeceknya.”

Mendengar apa yang dikatakan pelayan itu, mata Xichen berbinar. Rasa sakit di lengannya sejenak ia lupakan sampai kakinya melangkah kembali dan tangannya tak sengaja terayun.

“Argh!” Xichen merintih. Namun, Guru Song tidak peduli. Pria tua itu terus berjalan.

Terpopuler

Comments

Andi Arianto

Andi Arianto

Lah, secepat ini menyerah 😅

2023-03-10

4

Andi Arianto

Andi Arianto

Wow 😮

2023-03-10

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!