NovelToon NovelToon

Pendekar Pedang Iblis

Pembantaian

Langit begitu cerah siang ini. Lan Xhicen berjalan di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Sesekali, ditepuknya kantong uang di balik saku dalam bajunya, memastikan kantong itu masih ada di sana.

Sudah dua bulan sejak Xichen terakhir kali menginjakkan kaki di kota. Ia dilarang turun gunung oleh ayahnya, Lan Xiaoli, pemimpin Sekte Pedang Abadi dari Gunung Wangluo.

Pagi-pagi buta tadi, Xichen sudah berangkat. Tak ada yang tahu ia turun gunung. Ia berpikir tak ada salahnya hari ini melanggar larangan sang ayah.

Nanti malam akan diadakan perayaan ulang tahun ibunya. Jadi, ia turun gunung untuk membeli hadiah ulang tahun. Ia sudah menabung cukup banyak untuk membelikan hadiah itu.

Pilihannya kemudian jatuh pada sebuah gelang giok berwarna biru dan tusuk rambut kayu yang pangkalnya diukir berbentuk bunga-bunga kecil. Dengan membeli dua benda itu, uang di kantongnya hanya tersisa dua koin.

Tak masalah. Hadiah mahal rasanya masih kurang jika ingin membalas kebaikan ibunya. Sang ibu sudah sangat baik merawatnya. Dan, yang paling membuat Xichen mencintai ibunya adalah karena wanita itu sering membantunya ketika dihukum sang ayah.

Di Sekte Pedang Abadi, Xichen dicap sebagai murid yang nakal. Ia sering terlambat latihan dan selalu bermain-main. Sangat berbeda dengan kembarannya yang bernama Lan Xingchen.

Xichen Dan Xingchen bagaikan langit dan bumi. Jika Xichen adalah murid yang paling nakal, maka Xingchen adalah murid terbaik. Karena itu, semua orang di Sekte Pedang sangat menghormati Xingchen.

Meskipun ada perbedaan besar di antara mereka berdua, Xichen sangat menyayangi Xingchen. Dengan adanya Xingchen, ia bisa menghindar dari beberapa perintah ayahnya.

Senyum lebar menghiasi bibir Xichen. Ia kembali ke Gunung Wangluo sembari bersenandung riang. Membayangkan ekspresi ibunya ketika menerima hadiah darinya, membuat ia hatinya riang.

Xichen sampai di Gunung Wangluo. Ia berdiri di gerbang pertama Sekte Pedang Abadi. Matanya menatap sekeliling. Suasana sangat berbeda dari biasanya. Ia tak mendengar suara adik dan kakak seperguruannya sama sekali.

Xichen melangkah masuk. Benar-benar sepi. Hanya suara dedaunan yang terdengar.

“Weijie!” teriak Xichen, memanggil adik seperguruan yang biasa ia jaili.

Tak ada sahutan.

“Xingchen, kalian di mana!” Ia kembali berteriak. “Apa sekarang kalian semua bekerja sama mengerjaiku?”

Xichen mulai kesal. Ia melompati dua anak tangga sekaligus, menuju gerbang kedua. Begitu sampai di gerbang, Xichen bergeming. Tangannya gemetar hingga hadiah untuk ibunya jatuh ke tanah.

Di halaman tempat biasa murid-murid Sekte Pedang Abadi latihan, bergelimpang tubuh tak bernyawa. Xichen berusaha menguasai dirinya. Ia melangkah perlahan dengan pandangan yang mulai buram. Ia mengecek satu per satu wajah dari murid-murid sekte yang sudah tak bernyawa itu.

“Weijie!” seru Xichen menghampiri murid berusia lima belas tahun yang bersimbah darah. Ia meletakkan kepala murid itu di pahanya.

“Apa yang terjadi?” Xichen tak bisa menahan air matanya.

Wajah Weijie telah pucat. Ada tiga tusukan di tubuhnya.

“Argh!” Xichen berteriak. Ia meletakkan Weijie dengan hati-hati.

Xichen berlari melewati jenazah murid lainnya. “Ayah! Ibu! Xingchen!” panggilnya histeris.

Air mata Xichen berderai. Ia menyesal telah meninggalkan gunung. Seandainya ia tak turun gunung pagi tadi, apakah ada yang bisa dilakukannya? Atau, ia akan mati bersama dengan murid sekte yang lain?

Langkah kaki Xichen yang lebar melewati koridor ruang tamu. Ia menuju kamar orang tuanya. Ruangan itu kosong. Ia kemudian berpindah ke kamar Xingchen. Orang yang dicari juga tak ada di sana.

“Di mana kalian?” ujar Xichen frustrasi. Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan.

Tidak menyerah, Xichen mengecek ruangan lain. Namun, ia tak menemukan orang tuanya dan Xingchen. Yang ditemukannya hanya pelayan, beberapa orang murid, serta gurunya dalam kondisi mengenaskan.

“Lan Xichen!”

Xichen menghentikan langkahnya. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya dari arah halaman. Buru-buru ia berlari ke sana.

Di dekat gerbang, berdiri puluhan orang berjubah hitam hitam. Wajah semua orang itu ditutupi dengan topeng merah.

“Siapa kalian?” bentak Xichen.

“Kemari, Xichen. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Salah satu orang bertopeng itu maju. Dari suaranya, di balik topeng dan jubah itu adalah pria.

Xichen maju lima langkah. Ia tak melihat orang tuanya atau Xingchen di sana.

“Apa yang kamu cari?” Pria bertopeng paling depan bertanya. “Lan Xiaoli dan Song Fang Lin masih hidup, jangan khawatir.”

Pria itu mengangkat tangan kanannya, lalu menjentikkan jari.

Dari balik gerbang, empat orang muncul dengan menyeret orang tua Xichen. Keduanya babak belur dan tak sanggup lagi berdiri.

“Ayah, Ibu!” teriak Xichen.

“Tunggu!” Pria bertopeng itu maju. “Kamu mau menyelamatkan mereka, ‘kan? Berikan Pedang Iblis itu, lalu akan aku lepaskan orang tuamu.”

Kening Xichen mengerut. Ia pernah mendengar cerita tentang Pedang Iblis. Di perpustakaan, ia juga beberapa kali menemukan buku yang membahas tentang kehebatan pedang itu. Bukan hanya kehebatan, tapi bahaya dari pedang itu juga.

Namun, sembilan belas tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia melihat Pedang Iblis. Dari buku yang dibacanya, pedang itu sudah dimusnahkan dua ratus tahun yang lalu.

“Jangan bercanda! Lepaskan orang tuaku!” Suara Xichen semakin meninggi. Urat di lehernya menyembul. Menurutnya, permintaan pria bertopeng itu mengada-ngada. Tidak ada Pedang Iblis lagi di dunia ini.

“Apa Lan Xiaoli belum mengatakan kalau Pedang Iblis ada di sekte ini? Sejak ratus tahun yang lalu, sekte Pedang Abadi selalu memegang Pedang Iblis.”

Pria bertopeng itu menarik Lan Xiaoli ke depan. “Suruh anakmu mengeluarkan Pedang Iblis itu! Jika tidak, kau dan seluruh keluargamu akan binasa dari dunia ini.”

Lan Xiaoli memejamkan mata. Rambutnya yang mulai memutih berkibar ditiup angin.

“Xichen, dengarkan Ayah. Selama ini kamu sering membantahku, tapi kali ini dengarkan aku.”

Si pria bertopeng berpikir Lan Xiaoli akan meminta Xichen mengeluarkan Pedang Iblis. Karena itu, ia melepas cengkeramannya dari tangan sang pemimpin sekte.

“Apa pun yang kamu ketahui nanti, aku dan ibumu sangat menyayangimu. Kami mengambil keputusan itu karena percaya padamu. Kamu harus hidup dengan baik, Xichen! Jaga agar Sekte Pedang Abadi tetap ada. Ayah menyayangimu, Nak.”

Dengan kekuatannya yang tersisa, Lan Xiaoli meraih pedang salah satu murid yang tergeletak tidak jauh darinya. Namun, sebelum tangannya sampai di pedang itu, si pria bertopeng menghunjam.

Mata Xichen melebar. Ayahnya jatuh dengan pedang menembus perut. “Ayah!”

“Kamu harus hidup dengan baik, Xichen!” Song Fang Yin berteriak sebelum pedang salah satu pria bertopeng itu menghabisi nyawanya. Leher wanita itu ditebas hingga putus.

Darah Xichen mendidih, melihat kepala ibunya menggelinding di tanah. Ia tak peduli dengan apa yang dilindungi oleh orang tuanya. Ia hanya ingin membunuh semua orang di depannya sekarang juga.

Mata Xichen perlahan menghitam sepenuhnya. Angin bertiup kencang seiring dengan kemarahan Xichen yang semakin tak terkendali. Langit yang tadinya cerah, mendadak gelap. Awan hitam memenuhi langit.

Sebuah pedang keluar dari jantung Xichen. Pedang berwarna hitam dengan gagang bertuliskan ‘IBLIS’. Pedang itu melayang di depan Xichen menunggu untuk digenggam.

“Itu pedangnya. Itu Pedang Iblis!” ujar si pria bertopeng.

 

Botak

Xichen seolah berada dalam kegelapan. Tak ada dinding atau apa pun di sekelilingnya, hanya ada kegelapan. Seberapa keras pun ia berteriak, suaranya sama sekali tak memantul.

Ia berlari, mencari jalan untuk keluar dari kegelapan itu. Namun, hingga tenaganya hampir habis, ia belum juga menemukan jalan keluar atau menyentuh dinding. Ia seperti berada di ruang kosong. Hanya ada dirinya dan udara yang begitu tenang.

“Ayah! Ibu! Xingchen!” Xichen berteriak sekuat tenaga. Ia terus berteriak sampai teronggorokannya serak.

Xichen akhirnya menyerah. Ia menjatuhkan lutut dengan air mata berderai. Tubuhnya perlahan ambruk. Napassnya tersengal.

“Ibu, bawa aku bersama kalian. Jangan tinggalkan aku sendiri di sini.” Xichen memejamkan mata. Ia ingin mati sekarang juga agar bisa bersama dengan orang tuanya  dan juga Xingchen.

Tiba-tiba cahaya menyilaukan menimpa wajah Xichen. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Tangannya bergerak, hendak meraih cahaya itu.

“Dia sudah bangun! Dia sudah bangun!”

Xichen mendengar keributan ketika ia berhasil membuka mata sepenuhnya. Kepalanya terasa sangat berat. Ia perlahan menoleh pada seorang pria berjanggut putih yang sedang memeriksa denyut nadinya.

“Kondisinya sudah benar-benar stabil. Dia akan bisa beraktivitas seperti biasa beberapa hari lagi.”

Xichen menatap orang-orang di sekelilingnya. Tak satu pun di antara wajah itu yang ia kenal. Namun, ia tahu seragam yang mereka kenakan. Seragam berwarna putih hijau itu menandakan mereka adalah murid dari Sekte Elang Surga.

Murid Sekte Elang Surga memberi jalan pada seseorang yang baru saja masuk ke ruangan itu. Sorot mata pria berjanggut putih itu begitu meneduhkan. Namanya, Song Tuoli, sang pemimpin sekte.

“Kalian keluar dulu. Lanjutkan latihan,” perintah Song Tuoli. Ia lalu duduk di pinggir ranjang.

“Ibuku?” ujar Xichen.

“Mereka sudah tenang di langit.” Song Tuoli menepuk lengan Xichen. “Sekarang, fokus saja pada kesembuhanmu.”

Mata Xichen memerah. Urat di sekitar matanya timbul. “Mereka tidak akan tenang, Paman. Mereka tidak akan pernah tenang sebelum aku membalaskan dendam atas kematian mereka. Untuk Ibu, Ayah, dan juga Xingchen, aku akan membantai orang-orang yang sudah menghancurkan Sekte Pedang Abadi.”

Song Tuoli berdiri. Ia bisa melihat betapa besar amarah dalam mata Xichen. “Apa kau tahu berapa lama kau tidur?”

“Berapa lama?”

“Satu bulan. Kau tidur selama satu bulan. Aku sempat berpikir kau tidak akan selamat. Untunglah, Dewa masih memberi kesempatan untukmu tinggal di dunia ini.”

Xichen tertawa sinis. “Aku tidak ingin hidup di dunia di mana Ibu, Ayah, dan Xingchen tidak ada. Aku ingin bersama mereka.”

“Xingchen masih hidup. Dia ada kamar sebelah. Jadi, tenangkan dirimu.”

Air mata Xichen jatuh. Tangannya yang mengepal, perlahan mengendur. Ia bergegas turun dari ranjang. “Aku mau bertemu dengan Xingchen, Paman.”

“Dia belum sadar.”

“Aku ingin menemuinya sekarang juga!” tegas Xichen. “Atau, aku akan mengacak-acak kamar ini.”

Song Tuoli mendesah kesal. Sejak kecil, ia sudah mengenal pemuda di depannya. Setiap kali ia berkunjung ke Gunung Wangluo, pasti ada saja kenakalan yang dilakukan Xichen. Beberapa kali ia juga melihat Xichen dihukum karena melanggar peraturan pemimpin sekte.

“Ikuti aku,” ucap Song Tuoli.

Dengan tubuh yang masih lemas, Xichen mengikuti Song Tuoli. Mereka berjalan menyusuri koridor depan, lalu berhenti di kamar yang berseberangan dengan koridor kamar Xichen tadi. Dua koridor itu dipisahkan oleh sebuah kolam ikan.

Xichen berlari melewati Song Tuoli. Ia tidak sabar untuk menemui saudara kembarnya yang berhasil selamat dari pembantaian. Begitu ia memasuki kamar, mendadak ia mematung.

Penampilan Xingchen yang berbaring di ranjang sangat berbeda dengan yang diingat Xichen. Saudaranya itu begitu kurus dan pucat. Dan, yang paling membuat Xichen terkejut adalah tak ada sehelai rambut pun di kepala Xingchen.

“Apa yang terjadi?” Xichen menoleh pada Song Tuoli. “Ke mana rambutnya Xingchen.”

“Dia terkena racun yang membuat rambutnya rontok.”

“Racun?” Xichen duduk di pinggir ranjang. Ia mengusap kepala Xingchen yang seperti bola.

“Jangan khawatir. Racun itu tidak akan membunuhnya. Hanya saja, rambutnya tidak akan pernah tumbuh lagi. Dia akan botak selamanya.”

Xichen menelan ludah. “Botak?”

Xichen mengusap wajahnya. Ia berusaha untuk tegar. Tidak apa-apa Xingchen botak. Yang terpenting saudaranya itu selamat. Ia harus bersyukur dengan itu.

“Pasti ada obat untuk menumbuhkan rambutnya, ‘kan?”

“Kami sedang mencarinya. Ayo kembali ke kamarmu. Aku akan meminta pelayan untuk mengantarkan makanan.”

“Aku masih ingin di sini, Paman. Tolong tinggalkan kami. Aku akan kembali ke kamar nanti.”

Song Tuoli berdecak. Ia kemudian berbalik tanpa melakukan apa pun lagi.

Xichen menggenggam tangan Xingchen. “Cepat bangun. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu. Kau harus membantuku membalaskan dendam Ayah dan Ibu. Aku yakin kita berdua pasti bisa. Hanya kita yang tersisa dari Sekte Pedang Abadi.”

Xichen berada di kamar itu hampir satu jam. Ia terus mengoceh meski Xingchen tak merespons. Setelah merasa haus, ia keluar dari kamar.

Ada beberapa orang murid yang berpapasan dengan Xichen. Semuanya menatapanya dengan sorot mata yang aneh. Ia seperti tidak disambut di tempat itu.

Sekte Elang Surga, penguasa Gunung Taiyan. Terakhir kali Xichen berkunjung ke tempat ini saat ia berumur sepuluh tahun. Setelah itu, Song Tuoli yang selalu datang ke Gunung Wang Luo.

Song Tuoli adalah kakak dari ibunya. Pamannya itu diangkat menjadi pemimpin sekte setelah berusia tiga puluh tahun. Di bawah pimpinan Song Tuoli, Sekte Elang Surga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Banyak orang yang ingin berguru ke sekte ini. Namun, hanya beberapa yang diterima.

Xichen tidak kembali ke kamarnya. Ia berjalan hingga ujung koridor, lalu melewati pinggir kolam. Langkahnya berhenti di dekat undakan yang membentuk beberapa anak tangga.

Saat ia menatap beberapa orang murid sekte yang sedang latihan, seseorang menyenggolnya. Hampir saja ia terjatuh.

“Maaf,” ujar pemuda yang tak sengaja menabrak Xichen dengan raut wajah ketakutan. Ia lantas berlari ke arah teman-temannya.

“Kenapa mereka menatapku seperti itu?” Kening Xichen mengerut.

Di dunia persilatan, ada beberapa nama yang sangat terkenal berkat kekuatan mereka. Jika bertemu salah satu orang itu, Xichen bisa memaklumi murid-murid sekte ketakutan. Akan tetapi, bertemu dengannya apa yang ditakutkan? Ilmu bela diri Xichen tidak termasuk dalam golongan hebat. Di Sekte Pedang Abadi saja, banyak yang bisa mengalahkannya.

“Xichen!”

Xichen mendengar suara Song Tuoli. Ia menoleh ke belakang. Dengan kesal, ia menghampiri pamannya itu.

“Apa yang aku katakan tadi? Kembali ke kamarmu setelah dari kamar Xingchen. Kenapa kau sulit sekali mendengarkan kata-kata orang tua?”

“Aku hanya ingin menghirup udara segar, Paman. Aku bisa gila seharian di kamar.”

Song Tuoli mendekat dengan tatapan tajam. “Jangan membantahku. Kau harus ingat. Di sini bukan Sekte Pedang Abadi. Tempatmu berdiri sekarang adalah Sekte Elang Surga. Yang punya kuasa di sini adalah aku.”

Xichen semakin kesal dengan ucapan Song Tuoli. Entah kenapa sikap pamannya itu terlalu tegas padanya.

“Kalau aku menolak, bagaimana?”

“Kalau kau menolak?” Song Tuoli menyeringai. Dengan gerakan mendadak, ia melancarkan satu pukulan ke perut Xichen.

Xichen terjungkal. Punggungnya membentur tanah. Murid sekte yang melihat kejadian itu seketika berhenti latihan.

“Pukulan tadi belum apa-apa, Xichen. Kau harus mendengarkan semua perintahku atau angkat dari sini.”

Xichen terdiam. Ia tidak tahu ke mana kalau harus meninggalkan Sekte Elang Surga. Jika sendiri, ia mungkin bisa pergi ke mana saja. Namun, ada Xingchen di dalam sana. Saudaranya itu belum sadarkan diri. Terlebih lagi, ada racun di dalam tubuh Xingchen. Pamannya bisa saja mengatakan racun itu tidak berbahaya. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin kalau Song Tuoli berkata jujur.

Demi keselamatan Xingchen, ia akan menahan diri. Ia akan menuruti perintah Song Tuoli saat ini.

 

 

 

Cerita yang Dilebih-lebihkan

Xichen paling tidak bisa berdiam lama di satu tempat tanpa melakukan apa pun. Ia pergi ke kamar seperti yang diminta oleh Song Tuoli. Namun, setengah jam kemudian, ia keluar lagi. Ia berjalan-jalan di sekeliling.

Sekte Elang Surga tidak sebesar sekte Pedang Abadi. Di dunia persilatan, hanya beberapa pendekar yang terkenal dari Sekte Elang Surga. Bahkan, di antaranya tidak pernah menempati urutan nomor satu.

Akan tetapi, tetap banyak yang ingin berguru ke sekte Elang Surga. Tak banyak pendekar dari Sekte Elang Surga yang menempati jajaran pendekar paling terkenal, bukan berarti mereka lemah. Kebanyakan murid dari Sekte Elang Surga lebih memilih untuk tidak ikut campur pada masalah yang tidak berhubungan dengan mereka.

Beberapa murid berpapasan dengan Xichen. Ia semakin menyadari bahwa para murid sekte ini sangat takut padanya.

Tiba-tiba, seseorang menabrak Xichen dari belakang hingga ia terjerembab. Dua orang murid yang menabraknya itu membantu Xichen berdiri. Ketika mereka tahu yang ditabrak adalah Xichen, keduanya sontak mundur.

“Maaf. Kami minta maaf!” ujar dua murid itu sembari membungkuk, lalu bergegas melewati Xichen.

Karena saling berebut jalan, salah satu dari dua murid itu terjatuh. Xichen mendekat. Ia menghalangi jalan hingga murid itu tak tahu harus ke mana.

“Kemarin!” perintah Xichen sambil menggerakkan telunjuknya.

Murid yang tingginya hanya sedada Xhichen itu menoleh ke belakang. Ia ingin kabur, tapi kakinya tak bisa digerakkan saking takutnya.

“Kemari!” Xichen mengulangi perintahnya.

Dengan tangan bergetar, murid itu mendekat dengan kepala menunduk.

“Siapa namamu?”

“Cheng Phezi.”

“Cheng Phezi, kau kenapa? Bukan hanya kau, tapi semua orang yang ada di sini. Apa aku punya tanduk sampai semua orang di sekte ini ketakutan melihatku seperti mereka sedang melihat setan?”

Cheng Phezi menatap sekeliling. Tak ada orang yang lewat. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri kenapa juga ia mau ikut lewat dari koridor samping. Jika tak lewat dari sini, ia pasti tak akan bertemu dengan orang yang paling dihindari di Sekte Elang Surga sekarang.

“Ayo jawab. Jangan hanya diam.”

“Aku tidak tahu. Guru Song hanya mengatakan untuk tidak mengganggumu.” Cheng Phezi menggeleng dengan gerakan yang cepat.

Xichen merangkul Phezi membuat jantung pria itu hampir meledak.

“Aku yakin kau pasti mengetahui sesuatu. Katakan, atau aku akan menebas lehermu. Kau tahu kalau murid Sekte Pedang Abadi memiliki jurus pedang yang sangat hebat, bukan? Pedang kami bisa memotong kayu tanpa menyentuhnya.”

Phezi menelan ludah. Membayangkan pedang Xichen menebas lehernya, membuat ia bergidik ngeri.

“Jadi, katakan sebelum kesabaranku habis. Jangan coba-coba berteriak.”

Pezhi mengangguk.

“Ayo kita cari tempat lain untuk bicara.”

Xichen tahu seluk beluk Sekte Elang Surga karena ia pernah menjelajahi sekte ini ketika masih kecil. Beberapa perubahan tak akan membuatnya tersesat. Ia lantas membawa Phezi ke pohon buah persik di belakang gudang. Tidak akan ada orang yang datang ke sana.

“Ayo ceritakan kenapa kalian semua takut padaku.”

“Aku akan cerita. Tapi, aku mau kau berjanji tidak akan memberitahu Guru Song tentang ini. Kalau Guru Song tahu, dia akan mengusirku dari sekte.”

Xichen tersenyum. “Ya, aku berjanji. Sekarang, ceritakan.”

“Waktu kejadian di Sekte Pedang Abadi, kau hampir membunuh semua murid Sekte Elang Surga yang datang membantu. Guru Song juga terluka parah waktu itu. Kalau kau melepas baju Guru Song, kau akan lihat banyak luka di tubuhnya.”

Xhicen menunjuk dirinya sendiri. “Aku? Hampir membunuh murid Sekte Elang Surga? Kau bercanda? Apalagi, Guru Song. Tidak mungkin aku mengalahkannya. Pasti, sebelum aku mengangkat pedang saja, Guru Song sudah langsung melumpuhkanku. Aku juga melihat murid-murid sekte baik-baik saja.”

“Terserah kau percaya atau tidak. Memang itu kenyataannya. Murid-murid yang terluka masih ada yang dirawat sampai sekarang. Untung saja tidak ada yang mati karena Guru Song dan guru yang lain melindungi mereka.”

Masih sangat sulit untuk Xichen menerima cerita itu. Mengalahkan Guru Song? Yang benar saja. Ia bahkan tidak yakin bisa melawan murid pilihan di Sekte Elang Surga.

“Apa kau ikut ke Sekte Pedang Abadi malam itu?”

Phezi menggeleng.

“Oh, berarti kau hanya mendengar cerita dari orang lain.” Xichen tertawa. Ia yakin apa yang dikatakan Phezi tidak benar. Orang-orang terbiasa melebih-lebihkan ketika bercerita. Jadi, tidak mustahil kalau cerita yang didengar olehnya sekarang juga sudah dilebih-lebihkan.

“Namaku Xichen. Kau bisa memanggilku Kak Xichen.” Xichen mengulurkan tangannya.

Phezi menelan ludah. Ia meraih tangan Xichen dengan senyum tipis.

“Nggak usah takut begitu. Aku nggak mungkin melakukan apa yang mereka ceritakan padamu. Kemampuan beladiriku tidak sehebat itu. Guru Song pasti melebih-lebihkannya.” Xichen menarik Phezi, lalu merangkul pemuda itu. “Satu lagi, aku nggak punya pedang sekarang. Lalu, bagaimana aku akan menebas lehermu?”

Xichen menghela napas. “Kau masih terlalu polos, Phezi. Kau seperti adik seperguruanku.”

Napas Xichen tercekat. Matanya berkaca-kaca. Ia mengingat wajah Weijie hari itu. Ia lantas menunduk, menyembunyikan air matanya yang tak bisa dibendung.

Phezi yang melihat bahu Xichen berguncang, menggaruk kepalanya. Ia menatap sekeliling, berharap ada yang ada dan menyelamatkannya.

Setelah sepuluh menit, Xichen menegakkan kepalanya kembali. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Meski air matanya sudah tak menetes, tapi matanya jelas memerah.

“Kau masih di sini? Sana pergi. Kalau ada yang mengganggumu, datang saja padaku. Aku akan menghajar mereka.”

Phezi tidak melewatkan kesempatan ini. Ia langsung berlari terbirit-birit meninggalkan Xichen.

Dengan helaan napas yang begitu berat, Xichen berdiri. Ia mengecek satu per satu ruangan di sekitar kamarnya. Kamar pertama hingga ketiga tak ada orang. Kamar keempat, Xichen melihat dua orang yang sedang berbaring di ranjang yang sama.

Tanpa mengetuk pintu, Xichen masuk. Ia menghampiri dua orang yang sedang tidur dengan tubuh dibalut potongan kain putih itu.

Xichen memperhatikan luka keduanya yang beberapa telah mengering hingga tak perlu dibalut lagi. Luka-luka itu akibat tebasan pedang. Xichen mengenalinya. Semua anggota Sekte Pedang Abadi bisa tahu jenis pedang dengan hanya melihat luka yang disebabkannya saja.

Xichen keluar dari kamar itu, lalu mengecek kamar lain. Tidak terasa, ia sampai di sisi lain rumah. Saat ia membuka pintu salah satu ruangan, seorang gadis berteriak histeris.

“Argh!”

Sebuah bantal mendarat di wajah Xichen. Ia ingin segera kabur. Sialnya, tiga orang pelayan datang lebih dulu. Si pemilik kamar juga sudah berada di belakangnya.

“Xichen!” teriak gadis pemilik kamar.

“Song Hanyi?” Xichen menelan ludah. “Aku minta maaf. Aku nggak sengaja.”

“Nggak sengaja?” Gadis bernama Hanyi itu menendang bokong Xichen. “Ini bukan pertama kali kau mengintipku. Ini ketiga kalinya. Tahun lalu juga begitu. Sudah berapa kali aku katakan, kenapa kau tidak menikahiku saja?”

Xichen menelan ludah. Ia tak takut pada Song Tuoli atau siapa pun murid Sekte Elang Surga. Satu-satunya orang yang ditakutinya di sekte ini adalah Song Hanyi, putri pemimpin.

“Xichen, sialan!” teriak Hanyi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!