Ternyata aku cinta

Ternyata aku cinta

Part 1 - Anak Kedua

"Tari, bangun. Adzan subuh sudah dari tadi, tapi kamu belum juga bangun. Anak gadis pamali tahu bangun siang ."

Mamaku selalu mengoceh kalau sampai aku belum bangun untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah.

Aku memutuskan untuk memejamkan mataku  lima menit lagi saja, tapi ternyata alarm ku kembali berbunyi.

"Tari, kalau enggak mau bangun. Nanti mama guyur ya kamu." Teriak mama lagi yang sepertinya sedang menonton siaran ceramah subuh.

Dari pada harus mendengar teriakan mama lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dengan mata yang masih sangat rekat. Mungkin akibat gangguan syaiton, Aaah dasar manusia kalau malas malah nyalahin makhluk tidak kasat mata itu.

Aku masuk ke dalam kamar mandi dan setelahnya langsung menuju mushola kecil yang sengaja dibangun Papa untuk shalat berjamaah keluarga.

Setelah aku selesai menunaikan shalat subuh dan melangkahkan kaki keluar mushola, rencananya akan kembali menikmati bunga tidur yang sempat terhenti.

"Tari, bantu mama bikin sarapan pagi. Meski ini hari Sabtu, kamu harus tetap bangun pagi. Nanti kalau bangun siang rezekinya dipatok ayam."

Ibu negara mulai menyatakan aspirasinya lagi. Sebagai anak teladan aku akhirnya mengikuti perintah mama untuk membantunya di dapur.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kebetulan aku juga cucu bungsu dari keluarga papaku. Abah begitulah panggilan untuk Kakek kami, memiliki cucu rata-rata adalah laki-laki. Kakakku juga laki-laki. Dia seorang pemain basket yang sangat handal. Makanya dia tinggi sedangkan aku tidak begitu tinggi.

Aku di kalangan keluarga memiliki julukan yang unik sesuai postur tubuhku 'liliput' karena memang aku paling pendek diantara mereka yang memiliki postur tubuh tinggi besar.

"Hallo, Liliput."

Kakak ku Ali sering mengejek setiap kali kami berpapasan.

"Enggak usah ledekin adiknya terus. Nanti punya pacar kayak aku postur tubuhnya baru tahu rasa." Aku pun gatal untuk membalas mengejeknya.

Kebiasaan kami memang begitu, tapi kami termasuk keluarga yang jarang cekcok mengenai apapun itu. Ya ada sih sesekali, hanya saja tidak berkepanjangan, dan tidak dibuat rumit.

"Dek, denger-denger katanya temen kamu ada yang cantik ya?" tanya kak Ali saat kami sedang berada di meja makan.

"Siapa? Cantik? apa kecantikannya separi purna aku?" Aku pun meledek Kak Ali.

"Halah, kamu sih cantiknya standar."

Kak Ali meremehkan kecantikanku. Padahal semua orang sering sekali memuji kecantikan wajahku ini.

Mereka selalu bilang kalau aku secantik Mama. Ya aku sih mengakui memang mamaku sangat cantik.

Papa keluar dari kamar mandi dan bergabung dengan kami semua di meja makan.

Mama sebagai seorang istri menyiapkan sarapan pagi untuk papa. Mama selalu sudah memisahkan makanan untuk pria yang dinikahinya dua puluh empat tahun lalu.

Katanya 'Kalau sudah punya suami, pisahkan dulu masakannya untuk suami. Baru nanti sisanya di sediakan di meja makan untuk anak atau keluarga lainnya. Karena tidak pantas kalau suami makan sisaan atau bekas diaduk-aduk'. Begitulah kebiasaan di keluarga kami. Pria adalah raja yang harus di layani dengan baik dan mungkin di keluarga lain juga begitu.

Selesai dengan ritual sarapan pagi bersama. Aku pun mencuci piring kotor bekas kami makan. Sedangkan Mama dan Papa berada di ruang depan sedang mengobrol ringan.

Aku mencoba menguping pembicaraan kedua orang tuaku. Kupingku ini sangatlah tajam. Saat tertidur saja aku masih bisa mendengar percakapan orang atau suara seperti pintu tertutup dan terbuka.

Aku mendengar tentang teman Abah yang akan datang berkunjung. Namun, selebihnya aku tidak terlalu mendengar jelas pembicaraan kedua orang tuaku.

"Menguping ajah terus."

Kak Ali memergoki ku yang tengah menguping di dapur sambil menyusun piring ke atas rak.

"Biarin ajah, ribet banget sih. Kuping-kuping aku," sewot ku.

Beres dengan cucian piring. Aku pun ikut bergabung dengan kedua orang tuaku. Sesampainya di sana mama dan papa sudah selesai mengobrol. Padahal aku sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan tadi.

"Tari, siang ini kita akan pergi ke rumah Abah. Kamu siap-siap jangan pakai baju lusuh. Pakai baju bagus." mama melihat ke arahku.

Aku tidak mengerti kenapa mama tiba-tiba menyuruhku memakai pakaian bagus. Toh biasanya kami kalau mau ke rumah Abah pakai pakaian biasa saja cukup. Tidak seperti saat akan ke Mall yang harus pakai baju bagus untuk sekalian mejeng.

"Tari, kamu denger mama ngomong enggak sih?" Mama mulai terdengar sewot.

"Iyah, Tari denger kok Mah. Emang kenapa sih? 'kan biasanya pake baju biasa juga jadi ke rumah Abah?" tanyaku yang penasaran.

"Ada keluarga temennya Abah yang mau datang. Ya kalau kita pakai baju biasa itu namanya tidak menghargai, Tar."

Kini aku mengerti ternyata pembicaraan yang aku dengar tadi akan terjadi hari ini.

Teman Abah akan singgah kerumahnya siang ini dan keluargaku ikut dalam pertemuan itu. Mungkin mereka mau silahturahmi. ya biasanya orang tua dan kakek nenek itu akan memamerkan putra putri atau cucu mereka kepada tamu yang datang.

"Iyah, aku pakai baju bagus." Aku mengerlingkan satu mataku kepada mama untuk menggoda wanita yang tadi sempat terdengar sewot kepadaku.

"Anak mama udah dewasa banget. Udah pas buat dinikahkan."

Deg! Degup jantungku seakan berhenti sejenak setelah mendengar ucapan mama ku.

"Mah, aku baru dua puluh satu tahun. lagipula aku belum lulus kuliah." Protes Ku yang tak terima dengan ucapan mama.

"Sudah-sudah mama kamu hanya bicara asal saja kok. Sana mandi terus siap-siap. Kita akan berangkat jam sepuluh."

Papa langsung memintaku untuk bersiap-siap. Aku masih menyimpan rasa kesal karena ucapan mama tadi. Aku masih belum siap untuk menikah. Aku juga sudah punya pacar dan dia juga pasti tidak akan setuju jika menikah muda.

Aku mengambil handuk yang dijemur di bambu yang tergantung diantara sela-sela tembok rumah. Masuk ke dalam kamar mandi setelah membaca doa.

Selama aku di kamar mandi. Pikiran ini masih tertuju dengan perkataan mama tadi. Ya sebenarnya tidak perlu dipikirkan namun, tetap kepikiran.

Rasa takut nanti akan dijodohkan seperti keluargaku yang lain menghampiriku setiap saat.

Keluargaku rata-rata menikah setelah di jodohkan. Memang kehidupan mereka sangat harmonis. Bahkan ada yang sampai punya empat anak. Aku tahu cinta bisa tumbuh seiring waktu, tapi apa harus semua anggota keluarga dijodohkan?

Aku menghentikan pikiranku dan bergegas menyelesaikan mandi karena Kak Ali sudah teriak-teriak sejak beberapa waktu lalu.

"Iyah sebentar, lagi sikat gigi."

Aku kumur-kumur dan langsung melilitkan handuk untuk menutup sebagian tubuh sensitif aku.

"Mandi lama banget. Mandi apa tidur."

Kak Ali bersungut-sungut ria sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

Begitulah keadaan adik perempuan jika punya kakak laki-laki. Selalu jadi bahan bullying mereka.

Terpopuler

Comments

Fanny

Fanny

Sepertinya menarik

2023-02-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!