NovelToon NovelToon

Ternyata aku cinta

Part 1 - Anak Kedua

"Tari, bangun. Adzan subuh sudah dari tadi, tapi kamu belum juga bangun. Anak gadis pamali tahu bangun siang ."

Mamaku selalu mengoceh kalau sampai aku belum bangun untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah.

Aku memutuskan untuk memejamkan mataku  lima menit lagi saja, tapi ternyata alarm ku kembali berbunyi.

"Tari, kalau enggak mau bangun. Nanti mama guyur ya kamu." Teriak mama lagi yang sepertinya sedang menonton siaran ceramah subuh.

Dari pada harus mendengar teriakan mama lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dengan mata yang masih sangat rekat. Mungkin akibat gangguan syaiton, Aaah dasar manusia kalau malas malah nyalahin makhluk tidak kasat mata itu.

Aku masuk ke dalam kamar mandi dan setelahnya langsung menuju mushola kecil yang sengaja dibangun Papa untuk shalat berjamaah keluarga.

Setelah aku selesai menunaikan shalat subuh dan melangkahkan kaki keluar mushola, rencananya akan kembali menikmati bunga tidur yang sempat terhenti.

"Tari, bantu mama bikin sarapan pagi. Meski ini hari Sabtu, kamu harus tetap bangun pagi. Nanti kalau bangun siang rezekinya dipatok ayam."

Ibu negara mulai menyatakan aspirasinya lagi. Sebagai anak teladan aku akhirnya mengikuti perintah mama untuk membantunya di dapur.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kebetulan aku juga cucu bungsu dari keluarga papaku. Abah begitulah panggilan untuk Kakek kami, memiliki cucu rata-rata adalah laki-laki. Kakakku juga laki-laki. Dia seorang pemain basket yang sangat handal. Makanya dia tinggi sedangkan aku tidak begitu tinggi.

Aku di kalangan keluarga memiliki julukan yang unik sesuai postur tubuhku 'liliput' karena memang aku paling pendek diantara mereka yang memiliki postur tubuh tinggi besar.

"Hallo, Liliput."

Kakak ku Ali sering mengejek setiap kali kami berpapasan.

"Enggak usah ledekin adiknya terus. Nanti punya pacar kayak aku postur tubuhnya baru tahu rasa." Aku pun gatal untuk membalas mengejeknya.

Kebiasaan kami memang begitu, tapi kami termasuk keluarga yang jarang cekcok mengenai apapun itu. Ya ada sih sesekali, hanya saja tidak berkepanjangan, dan tidak dibuat rumit.

"Dek, denger-denger katanya temen kamu ada yang cantik ya?" tanya kak Ali saat kami sedang berada di meja makan.

"Siapa? Cantik? apa kecantikannya separi purna aku?" Aku pun meledek Kak Ali.

"Halah, kamu sih cantiknya standar."

Kak Ali meremehkan kecantikanku. Padahal semua orang sering sekali memuji kecantikan wajahku ini.

Mereka selalu bilang kalau aku secantik Mama. Ya aku sih mengakui memang mamaku sangat cantik.

Papa keluar dari kamar mandi dan bergabung dengan kami semua di meja makan.

Mama sebagai seorang istri menyiapkan sarapan pagi untuk papa. Mama selalu sudah memisahkan makanan untuk pria yang dinikahinya dua puluh empat tahun lalu.

Katanya 'Kalau sudah punya suami, pisahkan dulu masakannya untuk suami. Baru nanti sisanya di sediakan di meja makan untuk anak atau keluarga lainnya. Karena tidak pantas kalau suami makan sisaan atau bekas diaduk-aduk'. Begitulah kebiasaan di keluarga kami. Pria adalah raja yang harus di layani dengan baik dan mungkin di keluarga lain juga begitu.

Selesai dengan ritual sarapan pagi bersama. Aku pun mencuci piring kotor bekas kami makan. Sedangkan Mama dan Papa berada di ruang depan sedang mengobrol ringan.

Aku mencoba menguping pembicaraan kedua orang tuaku. Kupingku ini sangatlah tajam. Saat tertidur saja aku masih bisa mendengar percakapan orang atau suara seperti pintu tertutup dan terbuka.

Aku mendengar tentang teman Abah yang akan datang berkunjung. Namun, selebihnya aku tidak terlalu mendengar jelas pembicaraan kedua orang tuaku.

"Menguping ajah terus."

Kak Ali memergoki ku yang tengah menguping di dapur sambil menyusun piring ke atas rak.

"Biarin ajah, ribet banget sih. Kuping-kuping aku," sewot ku.

Beres dengan cucian piring. Aku pun ikut bergabung dengan kedua orang tuaku. Sesampainya di sana mama dan papa sudah selesai mengobrol. Padahal aku sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan tadi.

"Tari, siang ini kita akan pergi ke rumah Abah. Kamu siap-siap jangan pakai baju lusuh. Pakai baju bagus." mama melihat ke arahku.

Aku tidak mengerti kenapa mama tiba-tiba menyuruhku memakai pakaian bagus. Toh biasanya kami kalau mau ke rumah Abah pakai pakaian biasa saja cukup. Tidak seperti saat akan ke Mall yang harus pakai baju bagus untuk sekalian mejeng.

"Tari, kamu denger mama ngomong enggak sih?" Mama mulai terdengar sewot.

"Iyah, Tari denger kok Mah. Emang kenapa sih? 'kan biasanya pake baju biasa juga jadi ke rumah Abah?" tanyaku yang penasaran.

"Ada keluarga temennya Abah yang mau datang. Ya kalau kita pakai baju biasa itu namanya tidak menghargai, Tar."

Kini aku mengerti ternyata pembicaraan yang aku dengar tadi akan terjadi hari ini.

Teman Abah akan singgah kerumahnya siang ini dan keluargaku ikut dalam pertemuan itu. Mungkin mereka mau silahturahmi. ya biasanya orang tua dan kakek nenek itu akan memamerkan putra putri atau cucu mereka kepada tamu yang datang.

"Iyah, aku pakai baju bagus." Aku mengerlingkan satu mataku kepada mama untuk menggoda wanita yang tadi sempat terdengar sewot kepadaku.

"Anak mama udah dewasa banget. Udah pas buat dinikahkan."

Deg! Degup jantungku seakan berhenti sejenak setelah mendengar ucapan mama ku.

"Mah, aku baru dua puluh satu tahun. lagipula aku belum lulus kuliah." Protes Ku yang tak terima dengan ucapan mama.

"Sudah-sudah mama kamu hanya bicara asal saja kok. Sana mandi terus siap-siap. Kita akan berangkat jam sepuluh."

Papa langsung memintaku untuk bersiap-siap. Aku masih menyimpan rasa kesal karena ucapan mama tadi. Aku masih belum siap untuk menikah. Aku juga sudah punya pacar dan dia juga pasti tidak akan setuju jika menikah muda.

Aku mengambil handuk yang dijemur di bambu yang tergantung diantara sela-sela tembok rumah. Masuk ke dalam kamar mandi setelah membaca doa.

Selama aku di kamar mandi. Pikiran ini masih tertuju dengan perkataan mama tadi. Ya sebenarnya tidak perlu dipikirkan namun, tetap kepikiran.

Rasa takut nanti akan dijodohkan seperti keluargaku yang lain menghampiriku setiap saat.

Keluargaku rata-rata menikah setelah di jodohkan. Memang kehidupan mereka sangat harmonis. Bahkan ada yang sampai punya empat anak. Aku tahu cinta bisa tumbuh seiring waktu, tapi apa harus semua anggota keluarga dijodohkan?

Aku menghentikan pikiranku dan bergegas menyelesaikan mandi karena Kak Ali sudah teriak-teriak sejak beberapa waktu lalu.

"Iyah sebentar, lagi sikat gigi."

Aku kumur-kumur dan langsung melilitkan handuk untuk menutup sebagian tubuh sensitif aku.

"Mandi lama banget. Mandi apa tidur."

Kak Ali bersungut-sungut ria sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

Begitulah keadaan adik perempuan jika punya kakak laki-laki. Selalu jadi bahan bullying mereka.

Part 2 - Tamu Abah

~Rumah Abah~

Keluargaku sampai di rumah Abah. sesampainya kami di sana ternyata Kakak dari Papaku sedang sibuk menyiapkan beberapa masakan.

"Wak. Mari aku bantu," ujarku saat sudah di dapur.

"Tari sudah kamu duduk saja sana tidak perlu membantu kami." Uwak berteriak.

Tidak seperti biasanya mereka menyuruhku untuk santai dan duduk-duduk saja. karena merasa senang tidak perlu membantu mereka menyiapkan masakan dan membantu membereskan rumah. Aku pun pergi ke halaman belakang untuk bermain game kesukaanku.

"Game aja terus."

Sepupuku yang bernama Devan menghampiriku yang sedang duduk. Devan adalah anak dari Uwak ku yang nomor satu.

Usia Devan lebih muda daripada aku, akan tetapi tetap saja statusnya dalam keluarga. dia adalah Abang, karena dia adalah anak uwakku.

Aku dan Devan akhirnya Mabar atau main bareng game online kesukaan kami.

"Woi bantu dong, bantu bantu gimana sih nih."

Kami sangat seru bermain game bersama. tanpa terasa sebuah mobil memasuki pekarangan rumah abahku.

Mobil berwarna hitam berbentuk panjang dan memiliki logo titik tiga di tengahnya.

"Sepertinya tamu Abah sudah datang tuh."

Aku dan Devan langsung menghentikan permainan game kami dan kami berdua langsung menuju ke dalam rumah kembali.

Di dalam rumah berbagai menu masakan sudah tersedia di meja makan. Sepertinya kami akan makan siang bersama dengan tamu tersebut.

Abah sudah berdiri di teras rumah untuk menyambut para tamu yang datang. Dua mobil terparkir sudah di pekarangan rumah. Dan para tamu keluar satu persatu dari dalam mobil.

Mama menyenggol-nyenggol bahuku dan aku mengernyitkan dahiku. entah kenapa mamaku sepertinya sangat sumringah sekali wajahnya.

Apalagi ketika seorang pria muda turun dari mobil sedan berwarna putih. Wajah mama sangat berseri-seri dan ia semakin mendorong tubuhku hingga aku berdiri tepat di samping Abah.

"Selamat datang." Sambut Abah kepada seorang pria yang nampaknya usianya sebaya dengan dirinya.

Mereka berdua berjabat tangan. Terlihat sekali keakraban diantara mereka berdua. Usut punya usut pria yang berjabat tangan dengan Abah adalah teman semasa duduk di sekolah dasar.

Sungguh pertemanan yang sangat terjalin begitu erat. Jarang sekali anak zaman sekarang memiliki teman yang sangat akrab dan bisa menjalin hubungan sangat lama.

Abah ke arahku dan seketika temannya pun melihatku.

"Pasti ini Mentari," ujarnya sambil memandang ke arahku.

"Benar sekali ini adalah Mentari cucu bungsuku, sekaligus perempuan yang terakhir yang akan aku nikahi di usiaku yang sudah sangat lanjut ini."

Abah bicara dengan sedikit tawa di bibirnya. Melihat mereka berdua, sepertinya ini bukan pertemuan kali pertamaku dengan sahabat Abah.

"Perkenalkan ini adalah cucuku. Namanya Kenzi. panggilan akrabnya adalah Ken."

Pria itu memperkenalkan cucunya kepada kami semua. Sepertinya dia begitu menyayangi cucunya. Sangat terlihat sekali dari wajahnya dan tatapan lembutnya.

"Mari kita masuk ke dalam. Istriku dan anak-anak sudah menyiapkan masakan ke sukaan dirimu."

"Ada lalap labu dan Pete bakar?" tanya pria itu kepada Abah.

Mereka berdua kemudian tertawa terbahak-bahak. Orang kaya ternyata tidak gengsi untuk makan pete bakar dan juga lalap labu. begitulah yang ada di benakku saat ini.

Mobil mewah mereka ternyata tidak mencerminkan keluarga kaya yang sombong seperti di televisi yang biasa aku tonton.

kami semua masuk ke dalam rumah dan beberapa di antara para tamu duduk di bangku sofa yang tersedia di ruang tamu.

Abah dan keluarga sahabatnya itu begitu bahagia. sedikit yang diobrolkan lebih banyak suara tawa yang keluar dari bibir mereka.

Rindu diantara mereka sepertinya telah terbayar. Pertemuan hari ini sangat bermakna untuk mereka. Beberapa kenangan indah dimasa lalu semasa mereka sekolah diceritakannya semua hari ini.

"Ingat tidak janji kita dulu. Kalau akan menjodohkan salah satu anggota keluarga kita?" Pria yang merupakan sahabat Abah mengingatkan janji mereka dulu.

"Ingatlah. Makanya hari ini kita tentukan saja kapan acara lamarannya." Abah langsung menyambut dengan tangan terbuka.

Terlihat Abah sangat bersemangat membahasnya namun, siapa yang akan di jodohkan? Aku lihat hanya ada pria muda yang duduk di sana sepertinya dia belum menikah. Sedangkan yang lain aku lihat mereka sudah berumur.

Di dalam keluargaku juga sudah tidak ada tersisa wanita yang bisa di nikahkan. Karena anak Abah sudah menikah semua kecuali Uwakku nomor dua. Dia janda beranak dua. Tidak mungkin kalau Uwak yang akan dinikahkan. Apa jangan-jangan Aku? Sebab sejak tadi tamu datang. Mamaku sudah bersikap agresif sekali, tapi tidak mungkin usiaku masih remaja belum siap untuk membina rumah tangga.

"Mentari." Abah memanggil namaku dengan suara beratnya.

Aku langsung menghentikan pikiranku yang sedang menerka-nerka tadi dan langsung maju ke sisi abahku.

"Ini Mentari. Dia masih kuliah. Usianya baru menginjak Dua puluh satu tahun, tapi sudah bisa memasak dan mengurus rumah." Abah memperkenalkanku seperti sedang mempromosikan suatu produk.

"Cocok sekali dengan cucuku Kenzi. Dia seorang pria yang sudah mapan meski diusianya yang masih muda. Kenzi berusia dua puluh tiga tahun. Mereka hanya berbeda dua tahun saja." Kakek Handoko memperkenalkan cucunya.

Aku menyatukan kedua alisku. Aku mulai merasa ketakutanku akan segera terjadi. Perjodohan diantara pria dan wanita dan rencana pernikahan akan segera terlaksana.

"Kalau begitu kapan kamu akan melamar Mentari, Ken?" Abah bertanya kepada pria muda yang sejak tadi duduk tegap diatas sofa.

"Untuk lamaran, sebaiknya kita adakan hari ini saja. Kenzi beberapa Minggu ke depan akan pergi ke Bali. Sepulangnya dari Bali. Kita akan melangsungkan pernikahan." Seorang wanita yang sepertinya usianya tidak jauh berbeda dengan mama mulai ikut bicara.

Aku benar-benar tidak mengerti kenapa hal ini bisa terjadi kepada diriku. Mama dan papa sudah tahu kalau aku memiliki pacar yang sekampus dengan diriku dan dia sudah bekerja dan sedang menyusun skripsinya.

Aku memandang wajah cemberut yang sangat mengkerut. Aku tidak terima jika harus dijodohkan seperti ini. Aku ingin menikah dengan pilihanku sendiri yang sesuai dengan hatiku.

Pria yang di depanku ini seperti kanebo kering. Sejak tadi dia hanya diam padahal ini menyangkut masa depan kami berdua. Seharusnya dia menolak perjodohan ini. Bukan malah diem ajah kayak orang lagi sariawan.

Puas menatap pria yang bagaikan patung Pancoran itu. Aku izin undur diri dan pergi ke ruangan samping dimana sepupuku berkumpul.

"Jadi gimana? Udah disematkan belum cincinnya?" tanya kakak sepupuku.

Aku menatap padanya penuh tanda tanya. Sebab mereka semua seakan sudah tahu apa yang akan terjadi hari ini.

"Apa kalian sudah tahu?" tanyaku penuh selidik.

Mereka malah saling berpandangan satu sama lain. Aku semakin curiga dengan tingkah mereka.

Mereka kemudian mengangguk. Benar sudah dugaan aku. kalau mereka semua ternyata sudah tahu dan menyembunyikan hal ini dari ku. Aku sangat kesal sekaligus lemas sekali dengan situasi yang sulit ini.

"Aku enggak mau nikah muda." Tegas Ku.

"Udah nikah ajah. Kakak juga dulu nikah muda kok. Lihat hidup kita semua. Biasa saja, normal-normal saja bahkan bahagia. Jadi ibu-ibu sosialita. Rumah beres sama pembantu. Kita tinggal santai sambil urus anak dan suami."  Oceh kakak sepupuku.

Memang benar kehidupan mereka berubah dan menjadi tambah bahagia. Namun, definisi pernikahan yang aku dambakan bukan seperti ini. Aku tidak terima dijodohkan.

Part 3 - Not Me

Semua orang mendorongku untuk menerima perjodohan ini. Sungguh aku tidak terima. Aku ingin menjalani hidupku sendiri sesuai pilihanku. Aku tidak mau menikah dengan pria yang tak pernah aku cintai. Jangankan cinta, bertemu saja baru hari ini.

Kenapa sih, cowok itu malah diem aja. Padahal inikan menyangkut dia juga. Dia yang hidupnya diatur oleh orang lain. Meski itu adalah keluarganya sendiri. Seharusnya dia tetap bicara. Aaah cowok pengecut.

Aku terus merutuki pria yang rencananya akan dijodohkan denganku dalam hati

"Dek, cowok yang di depan itu. Pria yang baik, Kak Ali sudah menyelidiki dirinya."

Kak Ali menepuk pundakku. Kak Ali bahkan sudah menyelidiki cowok tersebut. Sudah pasti dia mengetahui akan hal ini jauh sebelum pertemuan ini terjadi. Kenapa semua orang melakukan ini kepadamu. Dimana keluarga yang aku kenal? Dimana mereka yang selalu terbuka dengan hal apapun. Kenapa sekarang menjadi berubah. Aku seperti terhimpit batu besar sekarang ini.

"Dek." Kak Ali kembali memanggilku.

Aku menoleh kepadanya dan dia menarik ku ke dalam dada bidangnya. Aku tak tahu mengapa rasanya ingin menangis, tapi aku tak bisa. Karena ada rasa marah dalam hatiku.

Aku tahu kalau dalam keluargaku memang ada tradisi dijodohkan. hanya saja aku juga kaget karena hal itu masih terjaga sampai sekarang.

Aku kira setelah sekian lama tidak ada yang menikah di keluarga kami,  perjodohan itu terlupakan. Ternyata tidak. Perjodohan tetap ada dan sekarang aku mengalaminya.

Mama mulai menghampiriku dan mengelus rambutku yang panjang.

"Tari, maafkan Mama yang tidak membicarakan hal ini sebelumnya denganmu. Kami semua sudah memutuskan agar kamu bisa mendapatkan pria terbaik dan kami tahu bibit, bebet dan bobot keluarganya. Kami tidak akan menjerumuskanmu sayang. Kami ingin yang terbaik untuk dirimu."

Ucapan mama membuatku terasa semakin terluka. Aku tidak pernah semarah ini kepada mamaku. Aku berharap kemarahan ini tidak menjadikanku anak durhaka. Aku hanya ingin mereka mengerti kalau aku belum siap menikah dan tidak mau menikah dengan pria yang bukan pilihan hatiku.

"Tapi Mah ..." Aku malah menitikkan air mataku.

Tak kuat rasanya menahan air mata itu. Rasanya dalam hatiku terdapat air yang mendidih. Ingin rasanya aku berteriak kencang dan bilang kalau aku menolak perjodohan ini. Namun, apa daya. Aku bukan hidup di dunia seni peran yang bisa melakukan apapun sesuka hati, seperti pemeran utamanya.

Aku yang selalu menjadi penonton setia drama Korea, sudah membayangkan kalau akan menikah dengan seorang pria yang aku cintai. Pangeran yang menggunakan kuda putih yang selalu aku nanti.

Saat aku terus melamun. Mama menggandengku ke ruang tamu dan menemui keluarga calon suamiku. Tubuhku sangat lemas. Aku seperti tidak memiliki kekuatan untuk berdiri. Hati ini benar-benar terasa seperti ingin melompat keluar dari tubuhku. Dan meninggalkan tubuh ini tanpa hati agar bisa menuruti kemauan keluarga besarku.

"Tari, duduk di samping Abah."

Abah menepuk bangku sofa yang ada di sampingnya. Dan ibu menatapku sambil mengangguk kecil. Aku akhirnya menuruti permintaan Abah dengan duduk di sampingnya.

Aku meremas jari-jariku kuat. Sebelum akhirnya aku mendaratkan diri di bangku sofa. Aku duduk sambil terus menunduk.

"Tari, Tante adalah Bunda dari Kenzi. Tante harap kamu mau menerima lamaran ini."

Seorang wanita yang duduk tepat di samping cowok yang diam seribu bahasa itu memperkenalkan dirinya.

"Tante dan Om, sudah mempersiapkan cincin lamarannya. Semoga kamu suka ya."

Bunda Kenzi meneruskan perkataannya, sedangkan aku sama sekali tak menghiraukan perkataan dirinya.

Aku bahkan enggan untuk melihat seperti apa cincin lamaran yang akan mereka berikan untukku.

Ya, Allah kenapa aku harus terjebak dalam perjodohan ini? Tolong aku, batalkan lamaran ini. 

Aku berdoa dalam hati berharap agar lamaran ini tidak pernah terjadi.

"Tari. Namaku Kenzi, aku siap melamar dirimu."

Cowok itu bicara seperti seorang robot. Sungguh cowok macam apa dia yang mau dijodohkan dengan aku, wanita yang belum pernah dia temui sama sekali.

Aku dengar anggota keluarga lain saat di jodohkan tidak langsung dilamar. Mereka menjalani perkenalan dulu hingga timbul rasa suka. Zaman dulu mungkin identik dengan perjodohan.

Sekarang bukan lagi zamannya Siti Nurbaya yang di jodohkan dengan Datuk Maranggi.

Aku hidup sudah di zaman modern. Aku bukan seperti uwak atau paman atau kakak sepupuku yang sebagian hidup di zaman perjodohan.

Aku sungguh tidak mau menikah dengan cara seperti ini. Ini pasti akan menjadi pernikahan yang menyebalkan.

Pria yang ada di depanku saja sikapnya seperti kanebo kering. Sejak awal masuk ke rumah Abah. Dia terlihat kaku, tidak bersahabat dan orangnya seperti tidak memiliki rasa humoris. Sejak Abah dan tamu lain bersenda gurau. Dia hanya diam mematung tak ada respon.

"Mentari, Om dan Tante akan memberikan cincin tunangan ini sekarang kepadamu. Ini sebagai simbol kami telah melamar kamu. Jika sudah siap pakailah cincin ini."

Wanita itu menyodorkan kotak perhiasan berisikan cincin kepadaku. Aku hanya memandangi kotak itu tanpa mengambilnya.

Mungkin sekarang aku ibarat cincin itu. Berada di dalam gelapnya kotak, sendirian dan merasa pengap.

Dadaku semakin sesak saja. Aku tidak tahu harus meraih kotak itu dan membukanya, atau membiarkan saja kotak itu sebagai tanda penolakan dariku.

"Tari, ayok ambil cincinnya. Kamu coba apakah cocok atau tidak."

Mama sepertinya sangat bernafsu untuk menjodohkan aku dengan Kenzie. Aku tidak tahu kenapa semua anggota keluarga sangat mendukung perjodohan ini. Siapa sebenarnya pria ini? Dan keluarga macam apa mereka?

Pertanyaan demi pertanyaan mulai singgah di otakku. Pandanganku juga masih ku letakkan di kotak perhiasan itu. Aku memperhatikan kotak itu bukan karena ingin memilikinya.

Aku sedang berusaha berpikir bagaimana menolaknya. Aku tidak mau mereka tersinggung dan tidak mau persahabatan Abah dengan kakek Kenzi menjadi renggang sebab perjodohan yang tidak terlaksana ini.

Sungguh situasi yang membuat aku menjadi frustasi. Perjodohan yang mendadak tanpa pemberitahuan.

Pria yang seperti kanebo kering yang sama sekali tidak menolak untuk di jodohkan. Sungguh situasi yang membuat aku semakin kesal dengan pria itu.

Aku mungkin memang anggota keluarga ini, tapi bukan aku jika dengan mudahnya menerima perjodohan ini. Aku bukan seperti mereka yang mudah menerima. Aku akan berusaha menggagalkan perjodohan ini semampuku. Aku akan pastikan perjodohan ini dibatalkan olehku atau oleh dia.

Akan aku buat pria itu yang menggagalkannya mungkin. Karena katanya pamali keluarga perempuan menolak lamaran dari seorang pria. Katanya bisa-bisa bodohnya sulit dan akan lama untuk menikah. Aku tidak mau itu terjadi kepadaku. Aku mau menikah dan memiliki keluarga kecilku sendiri. Namun, bukan dengan pria itu

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!