Part 4 - Aku kecewa

Aku dan keluarga kembali ke rumah. Setelah kepulangan kami dari rumah Abah. Aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Mama beberapa kali mengetuk pintu kamar dan aku mengabaikannya.

Aku masih kecewa dengan keputusan kedua orang tua ku yang sepihak. Mereka tidak membicarakan semua ini denganku terlebih dahulu. Ditambah lagi semua sepupuku setuju dengan keputusan itu. Sungguh semakin membuatku merasa tak berarti lagi di mata mereka.

Aku tahu kalau sudah waktunya bagi mereka aku menikah, tapi aku sendiri memiliki pendapat yang berbeda. Aku masih ingin menikmati masa mudaku dan aku ingin menikah dengan pangeran impianku.

"Mentari keluar makan malam dulu, jangan terus mengurung diri kamu. Mentari kamu dengar Mama'kan? Keluar Mentari." Mama terus mengetuk pintu kamarku seraya menyuruhku untuk keluar kamar dan makan malam bersama.

Aku sama sekali tidak menyahut dan aku pun tidak menghiraukan teriakan mamaku. sungguh hati ini sangat kesal. Bukan Aku ingin menjadi anak durhaka, tetapi tidak bisakah aku memiliki pilihanku sendiri untuk hidup yang akan aku jalani sendiri?

Mama dan papa sungguh tidak mengetahui apa yang ada di benakku, apa yang ada di pikiranku dan masa depan seperti apa yang aku bayangkan dan rencanakan.

Aku bukan anak kecil lagi yang segala sesuatunya mereka pilihkan. Sama halnya dengan kuliahku sekarang ini, itu semua atas kehendak mereka dan sekarang pernikahanku pun harus sesuai dengan kehendak mereka?

Apakah seorang anak tidak berhak untuk memiliki jalan hidupnya sendiri? apakah seorang anak harus selalu mengikuti apa kemauan orang tuanya? aku mengerti mereka ingin aku mendapatkan calon suami yang baik dan imam yang baik untuk kehidupanku di masa depan. Namun, mereka tidak mengerti apa yang aku rasakan saat ini. mereka juga tidak bertanya tentang pendapatku setelah kami sampai di rumah atau dalam perjalanan pulang ke rumah tadi.

Malam semakin larut. Aku pun memutuskan untuk terlelap dengan perut yang kosong.

****************

Sayup-sayup adzan subuh terdengar di telingaku. Aku membuka mata perlahan dengan raga yang tidak ingin beranjak dari pembaringan.

Aku duduk di bibir kasur dengan kaki yang menjuntai. Rasa enggan menghampiriku karena aku masih sulit untuk bertemu dengan kedua orang tuaku dan juga kakakku.

"Mentari ayo bangun. Mama tahu kamu sudah bangun'kan? jangan sampai telat salat subuh, hanya karena kamu marah kepada kami." Teriak mama yang terdengar tepat di depan pintu kamarku.

Aku membuang nafas kesal. Mama selalu saja membangunkanku dengan nada seperti itu apakah tidak bisa membangunkanku dengan lebih halus?

Aku terkadang kesal ketika harus dibangunkan dengan nada yang tidak berkenan di telingaku, tapi mau bagaimana lagi memang sudah intonasi cara bicara mamaku seperti itu.

Aku langsung menapakkan kakiku di lantai kamar. Ku buka pintu kamar perlahan. Ku intip dulu keluar dan ternyata kedua orang tuaku tidak ada di sekitar. Aku keluar kamar, aku menuju ke kamar mandi.

"Duar."

Kak Ali mengejutkanku dari belakang. Sontak aku terhenti sambil memejamkan mata dan mengelus dada.

Kak Ali itu memang sangat mengesalkan. Dia itu bercanda tidak sesuai pada tempatnya. Seringkali dia itu mengagetkanku, menertawaiku dan menjahiliku di saat mood ku sedang naik turun.

"Bisa nggak sih, nggak usah pakai ngagetin begitu? Emangnya dipikir dikagetin kayak gitu nggak bikin orang jantungan apa? Kalau aku jantungan terus aku pingsan tiba-tiba gimana coba?" Aku mendengus kesal kepada kakakku.

Kak Ali hanya senyum-senyum. Dia terlihat seakan tidak menyesali akan perbuatannya.

Aku pun lelah jika harus terus bertengkar dengannya, hanya karena kejahilannya yang sudah mendarah daging.

aku pergi darinya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sesampainya di dalam kamar mandi. Aku memukul-mukul meja wastafel sangking kesalnya dengan kakakku yang selalu berbuat tingkah seenak jidatnya.

*************

Hari ini kebetulan aku ada jadwal untuk pergi mengajar less, jadi aku bisa terus menghindari pembicaraan dengan kedua orang tuaku. Aku termasuk anak yang mandiri. Meski kedua orang tuaku bisa membiayai ku, tapi aku tetap berusaha mencari uang tambahan.

Aku keluar kamar dan mencari mamaku. Papa dan kak Ali sepertinya sudah berangkat.

Aku lihat mama sedang membuat adonan donat. Aku hari ini tidak sempat untuk membantunya membuka warung kecil yang hanya menggunakan meja yang diletakkan di halaman rumah.

"Mah, aku jalan dulu." Pamit Ku sambil meraih tangan wanita yang sudah melahirkan dan mengurusku hingga saat ini.

"Kamu mau mengajar less?"

Mama bertanya sambil memasukkan adonan ke dalam plastik untuk dikembangkan.

"Iyah, aku mungkin agak pulang sore. Mau cari buku dulu di toko buku dekat kampus."

"Jangan keluyuran kemana-mana lagi. Ingat kamu sebentar lagi akan menjadi pengantin. Abah bilang satu bulan lagi acara pernikahanmu."

Mendengar ucapan ibu barusan. Semakin membuat hati ini kecewa. Mereka sama sekali tidak berdiskusi denganku dan menentukan semuanya sesuka hati.

Apa aku tidak punya hak untuk bicara? Bukankah ini adalah pernikahanku? Bukankah aku yang akan menjalani pernikahan ini? Kenapa mereka tidak mendengar pendapatku dulu dan pilihan yang aku miliki sebelum menentukan pernikahanku.

"Hmmm."

Aku hanya bisa menyahut begitu. Enggan rasanya aku melanjutkan pembicaraan.

"Ya sudah, hati-hati. Pulangnya jangan terlalu sore juga. Nanti keburu papamu pulang."

Aku mengangguk sambil memakai sepatu dan berlalu meninggalkan rumah.

Aku berjalan menyusuri gang untuk sampai ke dekat jalan raya. Aku menggunakan angkutan umum. Aku kemana-mana selalu ditemani oleh angkutan umum.

Sesampainya aku di rumah besar dimana aku mengajar less adik kakak itu. Kakaknya duduk di sekolah dasar. Sedangkan adiknya duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak.

Aku mengajarkan mereka seminggu tiga kali. Aku memang bukan kuliah di jurusan pendidikan. Hanya saja mereka percaya anaknya diajarkan olehku. Mereka dulu adalah teman sekolah sepupuku yang kecil. Aku direkomendasikan oleh tanteku untuk mengajar less mereka.

"Eh calon manten udah Dateng."

Tante Evi membuka pintu untukku dan aku terkejut dia bilang calon manten kepadaku.

Sudah dipastikan. Kalau tanteku yang memberitahukannya. Karena memang rumah mereka satu gang dan sering bertemu.

Aku hanya tersenyum tipis. Aku mulai gelisah karena dimana-mana beritaku yang akan menikah sudah menyebar seantero.

Aku masuk ke dalam rumah dan anak muridku langsung berhamburan menyambutku.

Aku mengajar mereka selama satu jam setiap kali pertemuan. Aku selalu mengajarkan mereka berdoa setiap kali akan melakukan apapun.

"Farel, kamu ada PR atau tidak?"

Itulah yang pertama kali aku tanya kepada anak pertama Tante Evi.

"Enggak ada kak."

Jika tidak ada tugas rumah. Maka aku akan lanjut ke inti pelajaran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!