Cinta Terlarang Di Malam Purnama
...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
Aku, sang Cahaya Purnama Mahardika, dalam balutan gaun pengantin, mencengkeram kuat tangan ayahku saat melangkah menyusuri gang menuju altar. Pernikahan yang tak dapat kulakukan. Mengapa aku bisa membiarkan semuanya terjadi sampai sejauh ini? Mengapa aku masih berada di sini?
Mengetahui kegelisahanku, ayahku meraih dan menepuk-nepuk tanganku dan ia berbisik kepadaku, "Santai saja."
Santai saja? Bagaimana mungkin aku bisa santai? Ini untuk ke-empat kalinya aku melakukan ini -- pernikahan dalam keterpaksaan. Dan dengan kemungkinan, sepulang dari pernikahan ini suami baruku diperkirakan akan meregang nyawa secara tragis dan aku akan menyandang status sebagai janda perawan untuk ke-empat kalinya? Ya Tuhan, kenapa aku tak pernah bisa membantah ayahku? Haruskah aku meneruskan acara pernikahan ini?
Aku melirik sulur putih panjang yang membentang di hadapanku, pita putih satin di ujung bangku gereja, serta anyaman ranting tinggi yang dipenuhi kuncup bunga mawar dan baby's breath berwarna merah muda dan putih. Saksi wanita dan kelima pengiring mempelai wanita, semuanya mengenakan gaun bernuansa lembayung muda dan membawa buket bunga anyelir merah muda, berdiri di sana dan tampak jauh lebih bahagia daripada diriku, sang mempelai. Mereka pasti sedang mengenang pernikahan mereka sendiri atau membayangkan pernikahan mereka nanti. Saudara laki-lakiku, Prasetya Mahardika dan Pramana Mahardika, berdiri di samping Tuan Hartawan, bersama dua saudara laki-laki dan sepupu pria itu.
Mengapa aku membiarkan ayahku membujukku untuk menjalani pernikahan ini?
Dari sudut mataku, aku melihat ibuku duduk di deret terdepan, tampak bangga sekaligus sedih.
Ayahku meringis saat aku mencengkeram kuat-kuat lengannya. Dalam beberapa langkah aku sudah berada di depan altar. Harum bunga mawar memenuhi udara.
Ayahku membungkuk dan mencium pipiku lalu menumpangkan tanganku, yang dingin dan gemetaran, di atas tangan Tuan Hartawan. Merasa ditinggalkan, aku memohon dalam hati kepada ayahku, yang tersenyum membesarkan hati dan melangkah mundur. Seraya mendesah pasrah, aku menghadap pendeta.
"Pernikahan adalah sesuatu yang sakral," ujar sang pastor memulai khotbahnya. "Dan tidak bisa dilakukan dengan enteng...."
Aku mencuri pandang ke arah Tuan Hartawan Agung. Pria itu bertubuh jangkung, berbadan besar, berambut cokelat gelap, dan tampan, dengan mata sewarna rambutnya dan hidung mancung. Dia ambisius, selalu tampak dingin, dan bahkan lebih kaya daripada ayahku. Dengan usia terpaut dua puluh tahun lebih tua dariku, dan hanya terpaut sepuluh tahun lebih muda dari ayahku. Sekarang pertanyaannya, apakah aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama pria itu? Aku mencoba mengatakan pada diriku sendiri bahwa keraguanku ini tidak lebih akibat rasa gugup -- rasa gugup pada detik-detik terakhir, itu pasti. Aku mencoba meyakininya bahwa ini sama seperti yang aku alami pada saat pernikahan-pernikahanku sebelumnya. Tapi sejujurnya aku tahu keraguan ini lebih dari sekadar rasa gugup. Tuan Hartawan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pria itu memiliki ambisi besar dan ingin mencalonkan diri sebagai bagian dari orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan, tetapi bukan kehidupan semacam itu yang kuinginkan. Yang aku inginkan adalah menikah, membesarkan empat atau lima anak yang sehat dan bahagia, bersama seorang pria yang lebih mementingkan istri dan anak-anaknya.
Tuan Hartawan dan ayahku beserta kakak pertamaku, membuatku melupakan hal itu sejenak. Pria itu telah membuatku terpesona akan kehidupan duniawi, menjamuku di semua restoran terbaik di kota, menghujaniku dengan bunga dan cokelat, serta perhiasan-perhiasan mahal. Terjebak dalam angin puyuh ciptaan Tuan Hartawan, aku membiarkan pria itu meyakinkanku bahwa aku mencintainya. Terlebih ayahku dan kakak lelakiku yang berhasil meyakinkanku bahwa pernikahanku kali ini tidak akan berjalan tragis sebab Tuan Hartawan memiliki pengamanan ketat di sekelilingnya. Kata mereka aku pasti tidak akan menjanda lagi setelah ini. Atau setidaknya, sekalipun itu terjadi, toh aku sudah beruntung karena sudah mendapatkan sejumlah mahar fantastis dari calon suamiku.
Oh, ya ampun, mengapa aku tidak mendengarkan ibuku?
"Dia tidak bisa membuatmu bahagia, Sayang," ibuku telah mengatakan hal itu dua puluh menit lalu. "Belum terlambat untuk berubah pikiran."
What? Belum terlambat? Ini bahkan sudah sangat terlambat. Aku menggeleng-geleng menepis keraguan. "Apa Mama sudah gila?" Kutatap mata ibuku di cermin saat ia memasangkan kerudung di kepalaku.
Ya ampun, belum terlambat? Ada setumpuk kado pernikahan di bagian belakang rumahku, sebuah mobil pengantin yang sudah dihiasi bunga-bunga sedang menunggu untuk membawa kami ke bandara. Kamar pengantin di salah satu hotel termewah di Makassar telah dipesan untuk kami. Aku mendesah. Aku tidak ingin pergi ke Makassar untuk berbulan madu, tetapi Tuan Hartawan telah menepis keberatanku, ia mengatakan bahwa kami akan bersenang-senang, meyakinkanku bahwa urusannya di sana hanya membutuhkan waktu satu hari, paling lama dua hari. Dia bilang kami bisa pergi ke Bali lain waktu.
Dia kelihatannya akan menjadi sosok suami yang akan menempatkan aku di nomor sekian dalam prioritas hidupnya. Lebih dari itu, sebenarnya aku takut pernikahanku hanya akan bertahan satu hari. Tidak, sebenarnya hanya beberapa jam saja, seperti tiga pernikahanku yang sebelumnya. Kemudian aku akan kembali menyandang status janda yang dicap orang sebagai perempuan pembawa sial. Aku tidak mau, meski aku mendapatkan sejumlah mahar fantastis atas pernikahan ini.
Tidak. Aku tidak mau.
"Dan apakah engkau, Cahaya Purnama Mahardika," suara sang pastor membawaku kembali ke saat ini, "menerima Hartawan Agung Sentosa...."
Mulutku terasa kering, telapak tanganku lembap. Aku mendengar gaung suara ibuku di benakku: Apakah kamu sangat mencintainya sehingga tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia?
Dan aku tahu jawabannya adalah tidak. Aku bisa hidup dan akan tetap hidup tanpa pria itu, tidak sekadar dalam bayangan, dalam kenyataan pun aku akan tetap hidup walau tanpa dirinya.
Aku tahu itu berarti aku tidak mencintainya, tidak akan sangat, tidak akan sebesar itu.
Aku menatap Tuan Hartawan dan, untuk sesaat yang terasa aneh, aku melihat wajah lain. Wajah keras dan maskulin yang dibingkai rambut cokelat gelap. Sewarna dengan rambut pria di hadapanku itu tetapi ia memiliki mata hitam yang pekat. Wajah yang jelas berbeda. Wajah itu -- wajah mantan kekasih masa laluku, pria yang berteriak kepadaku bahwa aku tidak akan pernah menemukan belahan jiwa selain dirinya. Pria yang berteriak kepadaku bahwa kelak aku akan kembali ke dalam pelukannya. Dan itu, batinku, adalah alasan sebenarnya aku tidak bisa menjalani pernikahan ini. Tidak sekarang. Tidak selamanya. Hanya ada satu pria yang membuatku tidak bisa hidup tanpanya, dan itu bukan Hartawan Agung Sentosa.
Ya Tuhan, rasa panik tiba-tiba menyergapku, aku menyentakkan tangan Tuan Hartawan untuk mendapatkan perhatiannya, agar ia fokus dan mendengarkan ucapanku. "Aku tidak bisa melakukan ini, maaf."
Aku harus pergi!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Deliana
waaahhh ad karya bru nih,, kisah ny bgus dan menarik..
2023-03-06
1
Reni
Aku mampir thor. ceritanya menarik
2023-02-20
1
enur .⚘🍀
wuiiiih karya baru nih
2023-02-19
1