Menyadari bahwa aku tidak bisa mengulur-ulur waktu lagi, aku menendang sepatuku, lalu duduk di tempat tidur, menarik napas, meraih ponsel, dan menelepon rumah.
Prasetya yang mengangkat telepon pada dering pertama. "Kediaman keluarga Mahardika."
"Hai, Kak, Mama ada?"
"Cahaya Purnama, hei, bagaimana kabarmu? Pernikahan yang bagus!"
"Diamlah! Menyebalkan sekali kamu, Kak! Biarkan aku bicara dengan Mama!"
Ada keheningan sesaat, lalu aku mendengar suara ibuku.
"Purna? Sayang? Kamu ada di mana, Sayang? Kamu baik-baik saja? Kami begitu cemas. Kamu tidak sakit atau kenapa-kenapa, kan?"
"Tidak, Ma. Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku hanya tidak bisa melakukannya." Aku mendengar suara ayahku di latar belakang.
"Papamu ingin tahu apakah kamu ingin dia menjemputmu? Dia sangat mengkhawatirkanmu, Sayang."
Hmm....
"Tidak sekarang."
"Kamu sudah bicara dengan Hartawan?"
"Belum." Aku berbaring telentang di tempat tidur dan menatap langit-langit. "Aku tidak tahu harus berkata apa."
"Well, tidak usah khawatir. Mama sudah bicara dengan ibunya tadi sore. Dia dan adiknya sudah pergi ke Makassar."
Aku tertawa. Yakin bahwa Tuan Hartawan itu akan terus maju apa pun yang terjadi. Bisnis selalu nomor satu baginya. Pria itu tak akan membiarkan hal kecil seperti mempelai wanita yang melarikan diri menghalanginya.
"Kuharap mereka bersenang-senang."
"Kamu di mana?"
"Akan kuberitahu kalau Mama mau berjanji tidak akan memberitahu Papa."
Ada keheningan lagi di ujung lain telepon. "Baiklah."
"Aku di Lembang. Menginap di D'Ranch." Aku terdiam sebentar. "Tolong jangan beritahu Papa di mana aku berada, ya? Kalau dia bertanya, bilang saja Mama tidak tahu. Aku mohon, aku tidak ingin siapa pun menemuiku. Apalagi pria itu. Mama ngerti, kan?"
Sebenarnya aku cukup yakin Tuan Hartawan tidak akan menelepon menanyakan aku, tapi siapa tahu saja dia menelepon. Dia tidak boleh mengetahui di mana keberadaanku. Aku sudah memutuskan.
"Ya," sahut ibuku, dengan nada netral. "Mama sangat mengerti."
"Oh, Ma, kenapa aku tidak mau mendengar nasihatmu?"
"Karena kamu keras kepala, persis seperti papamu. Berapa lama rencanamu untuk tinggal di sana?"
"Aku tidak tahu. Entahlah. Lihat nanti saja. Emm... omong-omong, apa Papa sangat marah? Aku benar-benar tidak bisa melakukannya."
Aku mendengar ibuku menarik napas. "Ya, sangat. Tapi oke, kamu melakukan hal yang tepat. Jangan khawatir," ujarnya, berbicara dengan nada lebih lembut dari sebelumnya. "Mama hanya senang anak Mama akhirnya menggunakan akal sehat sebelum terlambat. Dan jangan khawatir tentang papamu. Dia akan sadar, lihat saja nanti."
"Kuharap begitu."
Aku mendengar suara ayahku di latar belakang, lebih keras dan gelisah kali ini, lalu suaranya bergemuruh di telepon. "Kamu baik-baik saja, Purna?"
"Ya, Pa. Maaf kalau--"
"Papa menginginkan pernikahan ini," sela ayahku dengan kasar. "Hartawan baik untukmu dan kamu baik untuknya. Dia sangat cerdas dan dia akan--"
"Pa, aku tidak mencintai Tuan Hartawan. Tidak pernah. Aku membiarkan kalian berdua membujukku untuk melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan." Aku memejamkan mata dan mengepalkan tangan. "Papa tidak bisa mengubah keputusanku. Tidak saat ini. Aku tahu apa yang kulakukan."
Aku dapat merasakan kebekuan tercipta di ujung saluran telepon. Ada jeda panjang, lalu ayahku berkata, "Baiklah. Mamamu ingin mengucapkan selamat malam."
Ada keheningan sebentar, lalu suara ibuku terdengar lagi di telepon. "Sering-seringlah menelepon. Kamu dengar?"
"Ya." Aku mengerjap menahan air mata. "Aku menyayangi Mama."
"Mama juga. Jaga dirimu baik-baik. Tetap makan teratur dan tidur teratur. Selamat malam."
"Malam, Ma." Dan aku tertawa, ibuku selalu menitip pesan seperti itu kepada anak perempuannya.
Tetapi seketika tawaku redam, suara ketukan di pintu mau tidak mau membuatku melangkah dan membukanya.
"Ram?"
Losion anti nyamuk ia ulurkan kepadaku. "Supaya tidurmu nyenyak," ujarnya.
Aku mengangguk, menyambut benda itu dari tangannya dan berterimakasih. Tetapi mata pria itu jelas menyapu seisi ruangan pondok itu.
"Kamu sendiri? Di mana suamimu?"
Ugh! Dia jelas sedang mencari tahu....
"Dia sedang mandi."
"Oh." Praktis mata elangnya melirik pintu kamar mandi yang tertutup.
"Ya, aku baru saja mau mandi bersamanya saat dirimu datang."
Ram mengangguk, ekspresinya menggambarkan kecemburuan. "Aku permisi, ya. Have fun."
"Sebentar," kataku, menghalanginya pergi. Ram yang baru saja hendak pergi membalik badan kembali menghadapku. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
Dia mengedikkan bahu. "Tentu. Silakan."
"Kamu... apa kamu sudah menikah?"
Jawabannya muncul dalam bentuk gelengan kepala.
Ah, entah kenapa aku lega. Aneh....
"Ada apa?"
"Emm?"
"Kenapa kamu tersenyum?"
Eh? Aku tersenyum? Aduuuh... memalukan! Dia tidak akan menangkap kesan bahwa aku senang karena ternyata dia masih lajang dalam artian positif. Dia mungkin mengira aku sedang menertawainya sebab saking senangnya mendengar bahwa mantan kekasihku masih melajang sementara aku sudah menikah. Aku akan terkesan jahat di matanya.
Aku menggeleng kuat. "Tidak, kok. Aku... aku...."
"Baiklah. Tidak usah dijelaskan."
"Oh, oke. Itu saja yang ingin kutanya--"
"Selamat atas pernikahanmu."
"Apa?"
"Semoga kamu bahagia."
"Oh, iya. Terima kasih, Ram."
Dia mengangguk. "Kalau begitu aku permisi. Selamat malam."
"Malam."
Aku menggeleng-geleng sendiri. Merasa geli pada diri sendiri. Seakan-akan... aku baru jatuh cinta kepada pria itu. Seperti dulu....
Sudahlah, Purna. Dirimu bukan lagi gadis enam belas tahun yang terpesona pada Ram, si cowok sembilan belas tahun yang keren itu. Usiamu sekarang dua puluh empat tahun dan sudah menyandang status janda sebanyak tiga kali.
Argh!
Kupikir sebaiknya aku segera mandi, setelah itu lekas-lekas menyelinapkan tubuh *elanjangku ke balik selimut. Sebagaimana mempelai wanita lainnya, kali ini aku akan tidur telanjan* di ranjangku dan bukannya menangisi jasad suamiku yang baru saja terbunuh di hari pertama pernikahan.
Anda beruntung, Tuan Hartawan. Kalau saja kita jadi menikah, mungkin sekarang dirimu sudah bergelar sebagai almarhum dan tubuhmu sudah terbujur kaku dengan kain penutup di kamar jenazah. Dan, bukannya sedang menstabilkan napas karena baru saja berhasil merenggut keperawananku.
Wait, keperawanan? Aku pernah menjanjikan hal itu kepada Ram. Dan pernah membayangkan -- juga memimpikan -- sedang melakukan itu dengan Ram. Bercinta dengannya....
"Oh, well," gumamku, aku benar-benar ingin tidur telanjang. "Biar kulalui malam pengantin ini di dalam mimpi."
Aku berbalik ke satu sisi, memikirkan gaun tidur yang tersimpan bersama pakaian pengantinku sambil menatap ke dalam kegelapan. Pikiranku dipenuhi tentang masa-masa remajaku, tentang betapa aku memimpikan pria bertubuh jangkung itu untuk bersamaku melewati malam yang panjang dalam kehangatan. Dan aku menyadari, sekalipun aku memilih gaun tidurku sendiri, aku tidak pernah membayangkan bagaimana akan melewati malam bersama Tuan Hartawan. Tetapi dengan Ram...
Selama delapan tahun terakhir, pria itu sering menggilaiku di dalam mimpi....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Deliana
apa purnama ini janda kembang...?
2023-03-07
1