NovelToon NovelToon

Cinta Terlarang Di Malam Purnama

Keputusan

...♡♡♡...

...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....

...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...

...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...

...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...

...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....

...HAPPY READING!...

...♡♡♡...

Aku, sang Cahaya Purnama Mahardika, dalam balutan gaun pengantin, mencengkeram kuat tangan ayahku saat melangkah menyusuri gang menuju altar. Pernikahan yang tak dapat kulakukan. Mengapa aku bisa membiarkan semuanya terjadi sampai sejauh ini? Mengapa aku masih berada di sini?

Mengetahui kegelisahanku, ayahku meraih dan menepuk-nepuk tanganku dan ia berbisik kepadaku, "Santai saja."

Santai saja? Bagaimana mungkin aku bisa santai? Ini untuk ke-empat kalinya aku melakukan ini -- pernikahan dalam keterpaksaan. Dan dengan kemungkinan, sepulang dari pernikahan ini suami baruku diperkirakan akan meregang nyawa secara tragis dan aku akan menyandang status sebagai janda perawan untuk ke-empat kalinya? Ya Tuhan, kenapa aku tak pernah bisa membantah ayahku? Haruskah aku meneruskan acara pernikahan ini?

Aku melirik sulur putih panjang yang membentang di hadapanku, pita putih satin di ujung bangku gereja, serta anyaman ranting tinggi yang dipenuhi kuncup bunga mawar dan baby's breath berwarna merah muda dan putih. Saksi wanita dan kelima pengiring mempelai wanita, semuanya mengenakan gaun bernuansa lembayung muda dan membawa buket bunga anyelir merah muda, berdiri di sana dan tampak jauh lebih bahagia daripada diriku, sang mempelai. Mereka pasti sedang mengenang pernikahan mereka sendiri atau membayangkan pernikahan mereka nanti. Saudara laki-lakiku, Prasetya Mahardika dan Pramana Mahardika, berdiri di samping Tuan Hartawan, bersama dua saudara laki-laki dan sepupu pria itu.

Mengapa aku membiarkan ayahku membujukku untuk menjalani pernikahan ini?

Dari sudut mataku, aku melihat ibuku duduk di deret terdepan, tampak bangga sekaligus sedih.

Ayahku meringis saat aku mencengkeram kuat-kuat lengannya. Dalam beberapa langkah aku sudah berada di depan altar. Harum bunga mawar memenuhi udara.

Ayahku membungkuk dan mencium pipiku lalu menumpangkan tanganku, yang dingin dan gemetaran, di atas tangan Tuan Hartawan. Merasa ditinggalkan, aku memohon dalam hati kepada ayahku, yang tersenyum membesarkan hati dan melangkah mundur. Seraya mendesah pasrah, aku menghadap pendeta.

"Pernikahan adalah sesuatu yang sakral," ujar sang pastor memulai khotbahnya. "Dan tidak bisa dilakukan dengan enteng...."

Aku mencuri pandang ke arah Tuan Hartawan Agung. Pria itu bertubuh jangkung, berbadan besar, berambut cokelat gelap, dan tampan, dengan mata sewarna rambutnya dan hidung mancung. Dia ambisius, selalu tampak dingin, dan bahkan lebih kaya daripada ayahku. Dengan usia terpaut dua puluh tahun lebih tua dariku, dan hanya terpaut sepuluh tahun lebih muda dari ayahku. Sekarang pertanyaannya, apakah aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama pria itu? Aku mencoba mengatakan pada diriku sendiri bahwa keraguanku ini tidak lebih akibat rasa gugup -- rasa gugup pada detik-detik terakhir, itu pasti. Aku mencoba meyakininya bahwa ini sama seperti yang aku alami pada saat pernikahan-pernikahanku sebelumnya. Tapi sejujurnya aku tahu keraguan ini lebih dari sekadar rasa gugup. Tuan Hartawan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pria itu memiliki ambisi besar dan ingin mencalonkan diri sebagai bagian dari orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan, tetapi bukan kehidupan semacam itu yang kuinginkan. Yang aku inginkan adalah menikah, membesarkan empat atau lima anak yang sehat dan bahagia, bersama seorang pria yang lebih mementingkan istri dan anak-anaknya.

Tuan Hartawan dan ayahku beserta kakak pertamaku, membuatku melupakan hal itu sejenak. Pria itu telah membuatku terpesona akan kehidupan duniawi, menjamuku di semua restoran terbaik di kota, menghujaniku dengan bunga dan cokelat, serta perhiasan-perhiasan mahal. Terjebak dalam angin puyuh ciptaan Tuan Hartawan, aku membiarkan pria itu meyakinkanku bahwa aku mencintainya. Terlebih ayahku dan kakak lelakiku yang berhasil meyakinkanku bahwa pernikahanku kali ini tidak akan berjalan tragis sebab Tuan Hartawan memiliki pengamanan ketat di sekelilingnya. Kata mereka aku pasti tidak akan menjanda lagi setelah ini. Atau setidaknya, sekalipun itu terjadi, toh aku sudah beruntung karena sudah mendapatkan sejumlah mahar fantastis dari calon suamiku.

Oh, ya ampun, mengapa aku tidak mendengarkan ibuku?

"Dia tidak bisa membuatmu bahagia, Sayang," ibuku telah mengatakan hal itu dua puluh menit lalu. "Belum terlambat untuk berubah pikiran."

What? Belum terlambat? Ini bahkan sudah sangat terlambat. Aku menggeleng-geleng menepis keraguan. "Apa Mama sudah gila?" Kutatap mata ibuku di cermin saat ia memasangkan kerudung di kepalaku.

Ya ampun, belum terlambat? Ada setumpuk kado pernikahan di bagian belakang rumahku, sebuah mobil pengantin yang sudah dihiasi bunga-bunga sedang menunggu untuk membawa kami ke bandara. Kamar pengantin di salah satu hotel termewah di Makassar telah dipesan untuk kami. Aku mendesah. Aku tidak ingin pergi ke Makassar untuk berbulan madu, tetapi Tuan Hartawan telah menepis keberatanku, ia mengatakan bahwa kami akan bersenang-senang, meyakinkanku bahwa urusannya di sana hanya membutuhkan waktu satu hari, paling lama dua hari. Dia bilang kami bisa pergi ke Bali lain waktu.

Dia kelihatannya akan menjadi sosok suami yang akan menempatkan aku di nomor sekian dalam prioritas hidupnya. Lebih dari itu, sebenarnya aku takut pernikahanku hanya akan bertahan satu hari. Tidak, sebenarnya hanya beberapa jam saja, seperti tiga pernikahanku yang sebelumnya. Kemudian aku akan kembali menyandang status janda yang dicap orang sebagai perempuan pembawa sial. Aku tidak mau, meski aku mendapatkan sejumlah mahar fantastis atas pernikahan ini.

Tidak. Aku tidak mau.

"Dan apakah engkau, Cahaya Purnama Mahardika," suara sang pastor membawaku kembali ke saat ini, "menerima Hartawan Agung Sentosa...."

Mulutku terasa kering, telapak tanganku lembap. Aku mendengar gaung suara ibuku di benakku: Apakah kamu sangat mencintainya sehingga tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia?

Dan aku tahu jawabannya adalah tidak. Aku bisa hidup dan akan tetap hidup tanpa pria itu, tidak sekadar dalam bayangan, dalam kenyataan pun aku akan tetap hidup walau tanpa dirinya.

Aku tahu itu berarti aku tidak mencintainya, tidak akan sangat, tidak akan sebesar itu.

Aku menatap Tuan Hartawan dan, untuk sesaat yang terasa aneh, aku melihat wajah lain. Wajah keras dan maskulin yang dibingkai rambut cokelat gelap. Sewarna dengan rambut pria di hadapanku itu tetapi ia memiliki mata hitam yang pekat. Wajah yang jelas berbeda. Wajah itu -- wajah mantan kekasih masa laluku, pria yang berteriak kepadaku bahwa aku tidak akan pernah menemukan belahan jiwa selain dirinya. Pria yang berteriak kepadaku bahwa kelak aku akan kembali ke dalam pelukannya. Dan itu, batinku, adalah alasan sebenarnya aku tidak bisa menjalani pernikahan ini. Tidak sekarang. Tidak selamanya. Hanya ada satu pria yang membuatku tidak bisa hidup tanpanya, dan itu bukan Hartawan Agung Sentosa.

Ya Tuhan, rasa panik tiba-tiba menyergapku, aku menyentakkan tangan Tuan Hartawan untuk mendapatkan perhatiannya, agar ia fokus dan mendengarkan ucapanku. "Aku tidak bisa melakukan ini, maaf."

Aku harus pergi!

Pelarianku

Aku nyaris tersandung ujung rok gaunku saat melepaskan diri dari genggaman Tuan Hartawan, lalu berbalik dan berlari menyusuri lorong secepat yang bisa dilakukan sepatu bertumit tinggiku, sementara kerudung berkibar di belakang kepalaku. Bagaimana aku bisa membiarkan uang Tuan Hartawan, perlakuan mesra pria itu, dan cincin kawin bermata besar, menyingkirkan keraguan dan mempengaruhi keputusanku? Bagaimana aku bisa berpendapat akan menemukan kebahagiaan bersama Tuan Hartawan jika pernikahan ini lebih demi kebahagiaan ayahku daripada diriku sendiri?

Aku berlari cepat, pandanganku kabur karena air mata, isakan mengganjal di tenggorokan saat aku berbelok di pojokan, mendorong pintu ganda besar, dan bergegas menuruni tangga menuju mobil pengantin yang sedang menunggu.

Sang pengemudi membukakan pintu belakang untukku. Seraya memegangi kerudung dengan satu tangan, aku membungkuk masuk ke kursi belakang.

"Jalan!" perintahku. "Sekarang. Jalan. Cepat!"

Sang pengemudi mengangguk, seolah mempelai wanita yang melarikan diri adalah kejadian biasa dalam pekerjaannya. Meluncur ke balik kemudi, pria itu memasukkan kunci kontak bersamaan dengan keluargaku dan undangan pesta pernikahan menghambur ke luar. Tuan Hartawan tidak mungkin beranjak dari tempatnya dalam situasi memalukan seperti ini hanya demi menahan dan menghalangi wanita yang mempermalukan dirinya. Dia akan tetap diam di tempat, bersikap tenang di depan semua orang ataupun di depan kamera, sampai waktunya ia mesti pergi -- tetap dalam ketenangan. Dia bisa bersikap begitu sebab ia tipikal orang yang akan selalu menjaga reputasi diri. Dan itu bagus. Suatu keberuntungan bagiku karena aku bisa pergi meninggalkan pernikahan ini.

"Ke mana?" tanya sang pengemudi.

"Entahlah." Aku bersandar di kursi kulit yang sangat lembut. "Jalan saja."

"Ya, Ma'am," ujar sang pengemudi seraya mengemudikan mobil pengantin itu ke jalan.

Aku menatap ke luar jendela, melihat pemandangan yang melintas dengan air mata yang mengaburkan pandangan. Ke mana mempelai wanita yang melarikan diri ini akan pergi? Di mana ia bisa bersembunyi dan tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya? Tempat ia tidak harus menjelaskan apa yang telah ia lakukan atau mengapa? Suatu tempat tidak seorang pun yang mengenalnya. Aku butuh tempat seperti itu. Tapi, apakah ada tempat seperti itu untuk kudatangi? Di mana? Ke mana aku mesti pergi?

Ada. Tentu saja ada. Aku pasti akan menemukannya.

Dan akhirnya, mobil pengantin ini telah membawaku berkendara selama beberapa jam saat aku melihat papan iklan di tepi jalan. Seraya mencondongkan tubuh ke depan, aku membaca:

...D'Ranch Lembang: 15 mil lagi...

...Berburu. Memancing. Berkuda....

...Pondok dengan atau tanpa fasilitas memasak....

...Tersedia per hari, per minggu, atau bulanan....

...Harga terjangkau....

D'Ranch. Hanya membaca kata-kata itu mengirimkan getaran semangat yang tidak aku inginkan mengalir di sekujur tubuhku.

Aku memejamkan mata, bertanya-tanya apakah pergi ke sana adalah tindakan yang bijaksana. Aku tahu tidak akan ada satu pun anggota keluargaku yang akan mencariku ke sana, meski selalu ada kemungkinan pria itu akan muncul di sana. Selama delapan tahun terakhir, setiap kali aku melihat pria jangkung berbahu lebar dengan rambut cokelat panjang, jantungku akan berdetak lebih cepat penuh antisipasi.

Aku berharap pria itu akan berada di sana. Melihat pria itu lagi mungkin merupakan hal yang baik, putusku seraya menghapus air mata terakhir dari mataku. Mungkin bertemu muka dengan pria itu lagi bisa menyingkirkan pria itu lagi dan selamanya dari hatiku.

Dan benar saja, dia ada di sana. Ramana Lingga. Dia pasti mengumpat saat sebuah mobil pengantin berhenti di depan kantor peternakan. Dia pasti berpikir bibinya sedang menanti seorang pemuda yang sangat kaya. Jelas dia berpikir seperti itu. Aku melihat dia menggeleng-gelengkan kepala. Dan, oh, jantungku... aku merasakannya mulai tak terkendali. Debarannya... sungguh, rasanya... membuat sarafku melemah. Bagaimana sekarang aku bisa berhadapan dengannya?

Tidak. Tidak, Purnama. Kau mesti pura-pura tidak tahu jika dia ada di sana. Pura-puralah kau tidak melihatnya. Yah, itu yang harus kau lakukan. Atau jika tidak, dia akan tahu jika kehadirannya masih sangat mempengaruhi dirimu, juga perasaanmu. Itu tidak boleh terjadi. Oke, santai dan tenang....

Sang pengemudi mobil keluar, merapikan jasnya, dan membuka pintu belakang. Dan, hah! Tidak hanya aku yang bereaksi aneh. Jelas kusadari pria itu nyaris terjungkal dari tangga saat melihatku yang mengenakan gaun pengantin putih melangkah keluar dari mobil. Kemudian dari kaca mobil jelas aku bisa melihat, di belakangku, pria itu tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapku. Kurasa dia pun tidak lupa padaku. Pada rambut hitam panjangku yang dulu sering ia belai dengan sayang. Pada kulit bersih yang indah yang... yang pada masa nakal itu ia puja dengan cumbuannya. Ya Tuhan, aku bahkan masih ingat bagaimana ia memandangku dengan takjub pada lekuk-lakuk tubuhku di bagian-bagian yang tepat, dan pinggang yang katanya begitu ramping sehingga ia bisa mengukurnya dengan jengkal tangannya. Tempat ia merangkulkan kedua tangannya dengan begitu pas. Dalam jarak sejauh ini, aku tidak bisa melihat mata pria itu, tapi aku tahu mata pria itu masih setajam elang. Mata hitam pekat yang kukagumi, yang sama hitamnya dengan warna mataku. Yang kurindukan....

Huh! Sudah delapan tahun ini aku tidak melihat pria itu, tapi selama itu pula aku terus dihantui bayangan pria itu, selalu teringat di dalam benak dan hatiku. Pria itu selalu mempesona. Jika aku juga demikian baginya, ia pasti tengah mengumpat sekarang, cemburu pada pria yang ia pikir sangat beruntung telah menikahiku dan membawaku bulan madu ke tempat ini. Dia masih berdiri di sana pasti untuk menunggu, ingin melihat seperti apa pria pilihanku.

Pria yang konyol. Setelah aku berbicara kepada sang pengemudi lalu mengangkat rok gaunku agar tidak menyentuh tanah saat aku berjalan menuju kantor itu sementara kerudungku berkibar-kibar pelan tertiup angin, pria itu cepat-cepat membalikkan badan, berpura-pura mengamati pengumuman yang tertempel di papan pengumuman. Dia konyol sekali, dan dalam hati ia pasti bertanya-tanya, apa yang sedang mantan kekasihnya ini lakukan di tempat ini, dan bagaimana ia bisa menghindar? Dan ia juga pasti bertanya-tanya di mana mempelai prianya? Ia tidak akan bisa melihat apa pun atau siapa pun di balik jendela gelap itu. Aku terkikik geli memikirkannya.

Well, bel di atas pintu berdenting pelan saat aku membuka pintu dan melangkah masuk. Sementara di sisi lain pria itu tentulah menyuruh dirinya sendiri pergi dari sana sebelum aku keluar lagi, meski pada akhirnya aku yakin ia tidak akan bergerak. Dia hanya akan tetap berdiri di sana layaknya seorang murid kutu buku yang berharap bisa melihat sekilas ratu pesta berdansa.

Dan aku benar lagi. Saat aku keluar dari kantor beberapa saat kemudian, dari sudut mataku, dia melihatku ketika aku menuruni tangga, berbicara kepada sang pengemudi, yang berbalik menuju bagian belakang mobil, membuka pintu bagasi, lalu mengangkat koper kecil dan sebuah tas tangan berwarna hitam. Ia menyerahkan kedua benda itu kepadaku, tersenyum, lalu masuk kembali ke balik kemudi, dan pergi. Persis di saat itu aku menyadari perasaanku bertambah tak karu-karuan. Rasa berdebar ada karena pria itu ada di sini, rasa ingin tertawa karena geli pada tingkah dan rasa penasarannya juga ada, tetapi perasaan sedih tentu juga ada. Aku berdiri di sana sejenak, menatap kepergian mobil pengantin itu dengan hati nelangsa, lalu berjalan menyeberangi halaman dan kembali masuk kantor.

Tidak ada mempelai pria? Bagaimana reaksi Ram sekarang?

Ah, semua yang kupikirkan itu barangkali hanya ada dalam pikiranku saja. Lupakan itu, Purna. Lupakan....

Sembari menggeleng-geleng, aku menyingkirkan pria itu dari benakku dan pergi menuju pondok sewaanku.

Tapi tak bisa kupungkiri, aku merindukan pria itu. Apakah dia masih sendiri? Jika iya....

Tidak, Purna. Tidak ada cinta untukmu, atau pria itu akan mati dengan tragis.

Masih Ada Rasa

Aku melempar koper dan tas tanganku ke atas tempat tidur ganda di dalam pondokku, bersama sekantong pakaian baru yang tadi kubeli di toko cinderamata. Lalu, seraya menghela napas, aku duduk di kaki ranjang, memandang ke sekeliling ruangan. Meskipun bagian luar pondok terbuat dari gelondong kayu, bagian dalamnya tampak cukup modern. Ada tempat tidur ganda, meja rias berikut cermin, kursi yang tampak nyaman dan berbantalan tebal, sepasang meja dengan lampu bergaya western, dan seperangkat televisi. Aku bisa melihat bak cuci piring dan kulkas kecil di ruangan sebelah.

Aku menatap koper di tempat tidur dan memikirkan dua koper lain yang dipenuhi pakaian mempelai wanita yang menungguku di hotel tempat kami memesan tempat untuk acara resepsi, dan setelan ketat berwarna biru yang akan menjadi pakaian berpergianku. Dan gaun sutra merah...

Oh, well, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Ibuku akan mengambil barang-barang itu, yang akan menungguku saat aku pulang, meskipun aku tidak tahu apakah aku masih mau mengenakan sesuatu yang akan mengingatkanku pada kekacauan hari ini.

Sejenak aku menatap permadani berwarna-warni di lantai. Hidupku persis seperti itu, batinku. Berbagai warna yang dirangkai menjadi satu tanpa bentuk yang jelas. Apa yang akan kukatakan kepada kedua orang tuaku? Apa yang akan kukatakan kepada Tuan Hartawan itu? Bagaimana aku bisa berhadapan muka lagi dengan keluarga dan teman-temanku? Kakakku tak akan pernah mau memberitahuku mengenai akhir semua kejadian ini, terutama Pramana. Mengapa aku bisa membiarkan segalanya berjalan sampai sejauh ini?

Seraya menggeleng, aku menendang sepatu satin bertumitku. Ditilik dari tatapan terkejut wanita yang berbicara denganku di kantor tadi, aku adalah orang pertama yang muncul di peternakan wisata ini dengan mengenakan gaun pengantin, atau setidaknya mempelai wanita pertama yang datang tanpa mempelai pria di sisiku. Aku beruntung ada pembatalan pesanan tempat pada detik-detik terakhir, jadi aku bisa tinggal di sini untuk sementara.

Aku melangkah keluar dari rok dalam berenda dan menyampaikan benda itu di punggung kursi di sudut ruangan. Bukan pekerjaan yang mudah, melepaskan barisan kancing kecil berlapis sutra di bagian belakang gaunku, tetapi akhirnya aku berhasil melakukannya. Gaun indah ini, batinku saat membentangkannya di atas rok dalam tadi, gaun yang persis seperti yang aku impikan untuk dikenakan saat pernikahan. Setelah melepas kerudungku, aku meletakkannya di atas gaunku.

Aku menatap cincin di jariku, kurasakan sengatan air mata saat melepaskan cincin itu dan meletakkannya di dalam koper. Melepaskan ikatan garter putih cantik dengan bunga-bunga merah muda mungil dan meletakkannya di tas koper, lalu melepas stoking dan melemparnya ke atas gaun. Sembari melepas jepitan dari rambutku, aku menggoyang-goyangkan kepala sampai rambutku tergerai lepas di sekeliling bahu. Dan sebagai ganti dari semua yang kutanggalkan dari tubuhku, aku mengenakan celana jins yang telah kubeli, mengeluarkan kaus berlogo D'Ranch dari bungkusannya dan mengenakannya melalui kepala. Wanita di kantor tadi mengatakan bahwa keponakannya akan pergi ke kota setiap senin untuk membeli persediaan. Katanya aku boleh ikut bersama keponakannya jika mau, untuk membeli lebih dari sekadar celana jins dan kaus suvenir, atau apa pun yang aku butuhkan.

Satu-satunya alas kaki yang tersedia di toko cinderamata adalah sepasang sandal plastik dengan bunga mawar plastik berwarna merah muda mencolok yang sangat besar di atasnya. Sembari memakainya aku memutuskan untuk pergi ke luar dan melihat-lihat. Cepat atau lambat, aku harus menelepon rumah dan memberitahu orang tuaku bahwa aku baik-baik saja, tapi tidak sekarang. Saat ini yang aku inginkan hanyalah sendirian dalam kesedihanku.

Ugh! Kasihan....

Seraya memasukkan kunci pondok ke dalam kantung celana, aku melangkah ke luar dan mengunci pintu di belakangku.

Tampaknya ada banyak orang di mana-mana -- ada yang duduk menggantung di pagar kandang untuk menonton koboi yang menunggangi kuda liar, bermain lempar panah, suffleboard, dan ada yang bermain bola voli, atau hanya duduk-duduk di tempat-tempat teduh atau bersantai di bawah matahari sore.

Aku sedang tidak ingin berkumpul dengan orang-orang atau terlibat dalam obrolan tanpa arah, atau yang lebih buruk lagi menjelaskan apa yang aku lakukan di sini sendirian. Seraya memutari bagian belakang pondok, aku melihat jalan setapak yang menjauh dari halaman peternakan.

Pemandangannya indah, dan untuk sesaat aku melupakan segala sesuatu. Terpukau keindahan alam di sekitarku, aku mengikuti jalan setapak itu. Melintasi pohon-pohon tinggi dengan daun keperakan yang diembus angin musim panas yang sepoi-sepoi.

Saat aku berbelok di jalan setapak, terlihat sebuah pondok lagi. Seekor kuda jantan besar berwarna hitam berjalan maju-mundur di kandang yang terpisah, kadang-kadang berhenti untuk mengais tanah atau menggelengkan kepala.

Sebenarnya aku tidak tahu banyak tentang kuda kecuali yang sedikit kuingat dari pelajaran berkuda yang kuperoleh beberapa tahun yang lalu, tetapi kuda ini bagus. Kulitnya berkilat laksana emas yang dipoles, surai dan ekornya bak sutra berwarna hitam. Kuda itu mendengus dan mengangkat telinganya saat aku mendekati kandang.

"Hei! Pergi dari situ!"

Aku berbalik dengan cepat dan merasakan darahku tersedot dari wajahku saat melihat seorang pria yang hanya mengenakan celana jins biru pudar dan sepasang sandal kulit melangkah mendekatiku dari samping pondok. Bertubuh jangkung, berisi, dan berbahu lebar, pria itu memiliki rambut berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, rahang yang kokoh, hidung mancung. Seluruh kulit pria itu halus, putih bersih, persis seperti yang kuingat. Aku nyaris mendesah saat pria itu memakai kemeja biru yang pudar, membiarkannya tidak terkancing.

"Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" seruku. Lalu bertanya-tanya mengapa aku harus terkejut. Aku tahu salah satu anggota keluarga Ram pemilik tempat ini. Dalam hati, bukankah aku datang ke sini berharap untuk bertemu dengan pria itu?

Ram menatapku. Matanya tajam seperti elang, gelap dan marah. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada kasar.

"Aku yang lebih dulu bertanya."

"Aku bekerja di sini."

"Well, aku tidak tahu itu."

Ram menggerutu pelan. Ia pasti yakin atas ucapanku dan berpikir bahwa aku tidak mungkin akan datang ke tempat ini jika tahu ia ada di sini.

Tapi... duh... aku tidak bisa berhenti menatap pria itu. Ramana Lingga sudah tampan saat ia berumur sembilan belas tahun, dan sekarang, delapan tahun kemudian, ia jauh lebih tampan di usianya yang sekarang: dua puluh tujuh tahun mendekati dua puluh delapan tahun. Dia sempurna. Dia memiliki wajah yang menarik, semua bentuk dan sudut tajam itu, jika diamati secara terpisah, seharusnya biasa-biasa saja. Tetapi tidak ada yang biasa pada wajah pria itu. Atau tubuhnya. Panas menjalar ke sekujur tubuhku. Aku merasakan dorongan tiba-tiba untuk mengusapkan tanganku di dada bidang itu, untuk merasakan apakah memang sekeras dan semantap yang kuingat, untuk merasakan kulit pria itu yang sehangat matahari di bawah ujung-ujung jemariku. Celana jins itu sangat pas menempel di kakinya yang jenjang bak lapisan kulit kedua.

Gleg!

Tanpa sadar aku menelan ludah. Dia memukau....

"Sudah cukup melihatnya?" tanya pria itu kurang ajar. "Atau apa aku harus melepas semua pakaianku?"

Ya ampun, aku merona dan praktis memalingkan wajah, sedangkan pria itu menyeringai dan kurasa sekarang ia besar kepala. Dia pasti merasa sudah sepantasnya dan ia memang sudah terbiasa ditatap seperti itu. Tentu saja, pasti ia sering diajak berkencan oleh para wanita yang tak terhitung banyaknya. Wanita kesepian, wanita menikah yang tidak bahagia, gadis-gadis remaja, wanita-wanita kaya atau anak gadis mereka, sepertinya akan tertarik padanya. Tidak aneh jika ia menarik perhatian mereka semua.

"Aku... aku... emm... begini... senang bertemu denganmu lagi, Ram. Aku harus pergi," aku tergagap, sambil menunduk, aku berlalu melewati pria itu.

Ya Tuhan, aku tidak bisa mengenyahkan pria itu dari pikiranku: mengenang setiap siang dan malam yang kami habiskan bersama, waktu yang kami lewatkan dengan berjalan-jalan di bawah bintang-bintang, seraya bergandengan tangan. Saat setiap malam aku pulang ke rumah dengan perasaan berat karena mesti berpisah....

"Hei."

Aku berhenti melangkah karena mendengar suaranya, meski tidak berbalik.

"Aku tidak bermaksud membentakmu seperti itu."

Aku berbalik perlahan, tidak benar-benar menatapnya.

Ram mengedikkn dagunya ke arah kandang. "Dia liar," ujarnya. "Kuda itu. Dia baru saja ditangkap. Aku hanya tidak ingin kamu... terluka."

Sembari mengangguk, aku berbalik dan berjalan menyusuri jalan setapak.

Tanpa melihat, aku tahu pria itu mengawasiku sampai aku menghilang dari pandangannya. Barangkali saja Ram masih seperti dirinya yang dulu, ia mengagumi caraku berjalan, pinggulku yang berayun, dan seperti yang dulu pernah ia katakan kepadaku, ia suka ketika matahari menciptakan helaian warna biru di rambutku. Dan yang membuatku bertanya-tanya, mengapa ia merasa perlu menjelaskan reaksinya kepadaku? Mengapa ia peduli dengan apa yang dipikirkan olehku?

Sadarlah, Purna. Dia begitu karena tidak ingin menyinggung perasaan para tamu, terutama wanita sepertimu yang ia nilai manja dan terbiasa mengeluh bila tidak memperoleh apa yang diinginkan. Dia pasti masih seperti itu. Masih berpikir seperti itu tentangmu. Sikapnya masih kekanakan. Jadi, jangan kau pikirkan. Oke? Harus oke.

Argh! Kenapa aku mesti nervous begini...?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!