Aku melempar koper dan tas tanganku ke atas tempat tidur ganda di dalam pondokku, bersama sekantong pakaian baru yang tadi kubeli di toko cinderamata. Lalu, seraya menghela napas, aku duduk di kaki ranjang, memandang ke sekeliling ruangan. Meskipun bagian luar pondok terbuat dari gelondong kayu, bagian dalamnya tampak cukup modern. Ada tempat tidur ganda, meja rias berikut cermin, kursi yang tampak nyaman dan berbantalan tebal, sepasang meja dengan lampu bergaya western, dan seperangkat televisi. Aku bisa melihat bak cuci piring dan kulkas kecil di ruangan sebelah.
Aku menatap koper di tempat tidur dan memikirkan dua koper lain yang dipenuhi pakaian mempelai wanita yang menungguku di hotel tempat kami memesan tempat untuk acara resepsi, dan setelan ketat berwarna biru yang akan menjadi pakaian berpergianku. Dan gaun sutra merah...
Oh, well, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Ibuku akan mengambil barang-barang itu, yang akan menungguku saat aku pulang, meskipun aku tidak tahu apakah aku masih mau mengenakan sesuatu yang akan mengingatkanku pada kekacauan hari ini.
Sejenak aku menatap permadani berwarna-warni di lantai. Hidupku persis seperti itu, batinku. Berbagai warna yang dirangkai menjadi satu tanpa bentuk yang jelas. Apa yang akan kukatakan kepada kedua orang tuaku? Apa yang akan kukatakan kepada Tuan Hartawan itu? Bagaimana aku bisa berhadapan muka lagi dengan keluarga dan teman-temanku? Kakakku tak akan pernah mau memberitahuku mengenai akhir semua kejadian ini, terutama Pramana. Mengapa aku bisa membiarkan segalanya berjalan sampai sejauh ini?
Seraya menggeleng, aku menendang sepatu satin bertumitku. Ditilik dari tatapan terkejut wanita yang berbicara denganku di kantor tadi, aku adalah orang pertama yang muncul di peternakan wisata ini dengan mengenakan gaun pengantin, atau setidaknya mempelai wanita pertama yang datang tanpa mempelai pria di sisiku. Aku beruntung ada pembatalan pesanan tempat pada detik-detik terakhir, jadi aku bisa tinggal di sini untuk sementara.
Aku melangkah keluar dari rok dalam berenda dan menyampaikan benda itu di punggung kursi di sudut ruangan. Bukan pekerjaan yang mudah, melepaskan barisan kancing kecil berlapis sutra di bagian belakang gaunku, tetapi akhirnya aku berhasil melakukannya. Gaun indah ini, batinku saat membentangkannya di atas rok dalam tadi, gaun yang persis seperti yang aku impikan untuk dikenakan saat pernikahan. Setelah melepas kerudungku, aku meletakkannya di atas gaunku.
Aku menatap cincin di jariku, kurasakan sengatan air mata saat melepaskan cincin itu dan meletakkannya di dalam koper. Melepaskan ikatan garter putih cantik dengan bunga-bunga merah muda mungil dan meletakkannya di tas koper, lalu melepas stoking dan melemparnya ke atas gaun. Sembari melepas jepitan dari rambutku, aku menggoyang-goyangkan kepala sampai rambutku tergerai lepas di sekeliling bahu. Dan sebagai ganti dari semua yang kutanggalkan dari tubuhku, aku mengenakan celana jins yang telah kubeli, mengeluarkan kaus berlogo D'Ranch dari bungkusannya dan mengenakannya melalui kepala. Wanita di kantor tadi mengatakan bahwa keponakannya akan pergi ke kota setiap senin untuk membeli persediaan. Katanya aku boleh ikut bersama keponakannya jika mau, untuk membeli lebih dari sekadar celana jins dan kaus suvenir, atau apa pun yang aku butuhkan.
Satu-satunya alas kaki yang tersedia di toko cinderamata adalah sepasang sandal plastik dengan bunga mawar plastik berwarna merah muda mencolok yang sangat besar di atasnya. Sembari memakainya aku memutuskan untuk pergi ke luar dan melihat-lihat. Cepat atau lambat, aku harus menelepon rumah dan memberitahu orang tuaku bahwa aku baik-baik saja, tapi tidak sekarang. Saat ini yang aku inginkan hanyalah sendirian dalam kesedihanku.
Ugh! Kasihan....
Seraya memasukkan kunci pondok ke dalam kantung celana, aku melangkah ke luar dan mengunci pintu di belakangku.
Tampaknya ada banyak orang di mana-mana -- ada yang duduk menggantung di pagar kandang untuk menonton koboi yang menunggangi kuda liar, bermain lempar panah, suffleboard, dan ada yang bermain bola voli, atau hanya duduk-duduk di tempat-tempat teduh atau bersantai di bawah matahari sore.
Aku sedang tidak ingin berkumpul dengan orang-orang atau terlibat dalam obrolan tanpa arah, atau yang lebih buruk lagi menjelaskan apa yang aku lakukan di sini sendirian. Seraya memutari bagian belakang pondok, aku melihat jalan setapak yang menjauh dari halaman peternakan.
Pemandangannya indah, dan untuk sesaat aku melupakan segala sesuatu. Terpukau keindahan alam di sekitarku, aku mengikuti jalan setapak itu. Melintasi pohon-pohon tinggi dengan daun keperakan yang diembus angin musim panas yang sepoi-sepoi.
Saat aku berbelok di jalan setapak, terlihat sebuah pondok lagi. Seekor kuda jantan besar berwarna hitam berjalan maju-mundur di kandang yang terpisah, kadang-kadang berhenti untuk mengais tanah atau menggelengkan kepala.
Sebenarnya aku tidak tahu banyak tentang kuda kecuali yang sedikit kuingat dari pelajaran berkuda yang kuperoleh beberapa tahun yang lalu, tetapi kuda ini bagus. Kulitnya berkilat laksana emas yang dipoles, surai dan ekornya bak sutra berwarna hitam. Kuda itu mendengus dan mengangkat telinganya saat aku mendekati kandang.
"Hei! Pergi dari situ!"
Aku berbalik dengan cepat dan merasakan darahku tersedot dari wajahku saat melihat seorang pria yang hanya mengenakan celana jins biru pudar dan sepasang sandal kulit melangkah mendekatiku dari samping pondok. Bertubuh jangkung, berisi, dan berbahu lebar, pria itu memiliki rambut berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, rahang yang kokoh, hidung mancung. Seluruh kulit pria itu halus, putih bersih, persis seperti yang kuingat. Aku nyaris mendesah saat pria itu memakai kemeja biru yang pudar, membiarkannya tidak terkancing.
"Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" seruku. Lalu bertanya-tanya mengapa aku harus terkejut. Aku tahu salah satu anggota keluarga Ram pemilik tempat ini. Dalam hati, bukankah aku datang ke sini berharap untuk bertemu dengan pria itu?
Ram menatapku. Matanya tajam seperti elang, gelap dan marah. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada kasar.
"Aku yang lebih dulu bertanya."
"Aku bekerja di sini."
"Well, aku tidak tahu itu."
Ram menggerutu pelan. Ia pasti yakin atas ucapanku dan berpikir bahwa aku tidak mungkin akan datang ke tempat ini jika tahu ia ada di sini.
Tapi... duh... aku tidak bisa berhenti menatap pria itu. Ramana Lingga sudah tampan saat ia berumur sembilan belas tahun, dan sekarang, delapan tahun kemudian, ia jauh lebih tampan di usianya yang sekarang: dua puluh tujuh tahun mendekati dua puluh delapan tahun. Dia sempurna. Dia memiliki wajah yang menarik, semua bentuk dan sudut tajam itu, jika diamati secara terpisah, seharusnya biasa-biasa saja. Tetapi tidak ada yang biasa pada wajah pria itu. Atau tubuhnya. Panas menjalar ke sekujur tubuhku. Aku merasakan dorongan tiba-tiba untuk mengusapkan tanganku di dada bidang itu, untuk merasakan apakah memang sekeras dan semantap yang kuingat, untuk merasakan kulit pria itu yang sehangat matahari di bawah ujung-ujung jemariku. Celana jins itu sangat pas menempel di kakinya yang jenjang bak lapisan kulit kedua.
Gleg!
Tanpa sadar aku menelan ludah. Dia memukau....
"Sudah cukup melihatnya?" tanya pria itu kurang ajar. "Atau apa aku harus melepas semua pakaianku?"
Ya ampun, aku merona dan praktis memalingkan wajah, sedangkan pria itu menyeringai dan kurasa sekarang ia besar kepala. Dia pasti merasa sudah sepantasnya dan ia memang sudah terbiasa ditatap seperti itu. Tentu saja, pasti ia sering diajak berkencan oleh para wanita yang tak terhitung banyaknya. Wanita kesepian, wanita menikah yang tidak bahagia, gadis-gadis remaja, wanita-wanita kaya atau anak gadis mereka, sepertinya akan tertarik padanya. Tidak aneh jika ia menarik perhatian mereka semua.
"Aku... aku... emm... begini... senang bertemu denganmu lagi, Ram. Aku harus pergi," aku tergagap, sambil menunduk, aku berlalu melewati pria itu.
Ya Tuhan, aku tidak bisa mengenyahkan pria itu dari pikiranku: mengenang setiap siang dan malam yang kami habiskan bersama, waktu yang kami lewatkan dengan berjalan-jalan di bawah bintang-bintang, seraya bergandengan tangan. Saat setiap malam aku pulang ke rumah dengan perasaan berat karena mesti berpisah....
"Hei."
Aku berhenti melangkah karena mendengar suaranya, meski tidak berbalik.
"Aku tidak bermaksud membentakmu seperti itu."
Aku berbalik perlahan, tidak benar-benar menatapnya.
Ram mengedikkn dagunya ke arah kandang. "Dia liar," ujarnya. "Kuda itu. Dia baru saja ditangkap. Aku hanya tidak ingin kamu... terluka."
Sembari mengangguk, aku berbalik dan berjalan menyusuri jalan setapak.
Tanpa melihat, aku tahu pria itu mengawasiku sampai aku menghilang dari pandangannya. Barangkali saja Ram masih seperti dirinya yang dulu, ia mengagumi caraku berjalan, pinggulku yang berayun, dan seperti yang dulu pernah ia katakan kepadaku, ia suka ketika matahari menciptakan helaian warna biru di rambutku. Dan yang membuatku bertanya-tanya, mengapa ia merasa perlu menjelaskan reaksinya kepadaku? Mengapa ia peduli dengan apa yang dipikirkan olehku?
Sadarlah, Purna. Dia begitu karena tidak ingin menyinggung perasaan para tamu, terutama wanita sepertimu yang ia nilai manja dan terbiasa mengeluh bila tidak memperoleh apa yang diinginkan. Dia pasti masih seperti itu. Masih berpikir seperti itu tentangmu. Sikapnya masih kekanakan. Jadi, jangan kau pikirkan. Oke? Harus oke.
Argh! Kenapa aku mesti nervous begini...?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Afternoon Honey
menyimak alur ceritanya
2023-08-17
0
Deliana
oy thor,,, kok mr.hans sama zia ny gak ad lg sih thor....
2023-03-07
1
sella surya amanda
lanjut
2023-02-19
1