Melepas Komitmen
Lima tahun sudah berlalu.
Dimana kebohongan nya selama ini kepada pria yang masih berstatus kekasih membayangi nya setiap hari.
Jujur, akhir-akhir ini Mega digelayuti rasa takut. Takut jika Satrio pulang ke Indonesia dan bagaimana cara menjelaskan jika dirinya kini telah menikah dengan kakaknya dan memiliki Rania?
Ya, laki-laki itu dibohongi setiap saat. Saat keduanya berkirim email, panggilan sayang masih diketik oleh Mega.
Pertama.
Supaya Satrio fokus pada impian besar nya. Study nya, di Inggris.
Kedua.
Memperlama dustanya supaya hatinya lebih siap menghadapi kenyataan. Dimana Satrio pasti akan melayangkan tuntutan terkait perasaan cintanya yang mereka ciptakan.
Dert dert
Suara ponsel Mega bergetar, jelas sekali jika satu nama tertera di layar ponselnya. Satrio.
Mega masih terpaku menatap layar ponselnya. Mengambil nafas dan belum berniat menempelkan benda tersebut di telinga nya.
"Siapa?" tanya Dewa yang saat itu berada disamping Mega menggendong depan putri mereka. Rania.
"Satrio," lirihnya dengan memperlihatkan layar ponsel nya pada laki-laki yang sudah lima tahun menjadi bagian hidupnya. Bahagia, tentu. Namun rasanya sebentar lagi akan ada kerikil-kerikil yang akan menghujani keseharian rumah tangga mereka berdua. Mengusik, pasti. Membuatnya harus ada rasa lain selain rasa bahagia yang selama ini sudah tercipta.
Why?
Ya, cinta lama pasti menagih janji padanya untuk hidup bersama. Seperti rangkaian kata yang mereka ukir berdua waktu itu. Lima tahun lalu lebih tepatnya. Kini, Satrio akhirnya usai dari studi S3 nya dan dia yakin, jika hatinya tidak pernah berubah rasa kepadanya.
Laki-laki itu taat pada kesetiaannya. Tidak sedikitpun goyah rasa dan mencoba rasa dengan wanita yang lainnya.
"Hallo..." jawab Mega yang tidak ada embel-embel sayang di kalimat-kalimat nya. Ya, harus sudah diakhiri. Sandiwara nya setiap berkirim email seolah dia wanita belum bersuami dan belum berpunya anak harus berakhir detik menit itu juga.
Kesimpulan pembicaraan adalah janjian bertemu di telaga biru. Satrio tidak pernah berubah. Kepulangan nya ke Indonesia bahkan tidak diketahui oleh mama dan papa. Setelah wisuda, dia masih berada di sana dan janji pulang jika semua urusan selesai. Namun tetap saja, mendadak dan tiba-tiba sudah berada di bandara.
"Kebiasaan, selalu begitu." Dewa yang berdecak pelan, mengeluh dengan adik laki-lakinya yang tanpa kabar main pulang aja.
Sebenarnya sih tidak masalah, jika seluruh keluarga besar tidak sedang menyembunyikan perkara pernikahannya dengan Dewa. Tapi rasanya, semua harus dihadapi dan yakin setelah pertemuannya dengan Satrio, adalah awal rumitnya sangkut paut hati antar mereka.
Dewa menggenggam jemari istrinya. Erat dan penuh makna. Tentu tidak ingin hati Mega berpindah tempat. Tidak ingin istrinya itu sekedar mengingat walau setitik rasa dari kepingan masa lalu yang Satrio ciptakan.
Sementara Mega, degup jantungnya tidak karuan. Membayangkan kata apa yang akan keluar dari mulut Satrio rasanya menyeramkan.
Apakah dia akan ditampar? dicaci maki karena mempermainkan perasaan nya?
Apa?
Apa yang akan Satrio katakan saat dia mendengar penjelasan darinya nanti?
Apa dia terima?
Ini bukan perkara mudah. Sebaliknya, sulit. Masalahnya, dusta. Dusta yang telah dia lakukan dengan kurun waktu yang lama, tidak sebentar. Lima tahun. Lima tahun.
Mata Mega terpejam untuk beberapa saat. Menata ritme jantung yang sejak tadi mengombang-ambing kan perasaannya. Kacau. Kacau.
"Kamu harus tenang." Dewa yang menarik kepala istri nya untuk dia sandarkan pada dadanya saat deru mesin mobil yang mereka kendarai tepat berhenti saat itu juga.
Angin berhembus cukup kencang. Terlihat sekali dari kaca depan mobil jika seorang pria tengah berdiri di tepi telaga. Memakai jaket tebal berwarna hitam dan hanya terlihat keselurahan bagian belakang nya. Menyembunyikan dua tangan pada saku celana jeans yang dikenakan nya. Fix, Satrio sudah menunggunya di sana.
Dewa menggenggam erat seluruh jari tangan istrinya. Tersenyum getir berusaha tebal telinga dan kebal dada, misal kata-kata Satrio mengiris, merobek, menusuk membuat kubangan luka di palung hatinya.
Sama-sama terluka, itu jawaban nya. Dia terluka jika harus berbagi pandang menyangkut Mega dari pria yang masih ada ikatan darah, saudara, apapun itu yang artinya terbagi.
Sedang Satrio. Sakitnya terlampau, teramat pedih perihal ketidak jujurannya sejak awal menyangkut wanita yang kini masih dia genggam erat jarinya.
Hari itu adalah awal hujan selama mengarungi bahtera rumah tangga.
Mega perlahan melepas tautan jemari suaminya. Keluar mobil dengan mengambil nafas dalam dengan mata sebentar untuk dia pejam. Menatap ragu sosok pria belasan meter yang masih belum beralih tempat berdiri. Dibawah pohon trembesi.
"Mega," Satrio yang menoleh ke arah Mega yang belum sampai mendekat ke arahnya. Berlari kecil dengan senyum bahagia yang terpancar sejak pertama kali melihat wajah wanita itu. "Mega," sapanya dan langsung memeluk erat wanita itu hingga Mega tidak bisa bernafas. "Aku rindu sekali sama kamu Mega," imbuhnya dengan satu tetes bulir jernih yang perlahan keluar dari pelupuk mata.
Terdengar pula des@han nafas yang bisa Mega simpulkan lega. Ya, Satrio bernafas lega bisa berjumpa dengannya setelah sekian lama.
Pria itu masih memeluknya dan belum melepasnya. Mega bahkan tidak bisa berkata-kata selain kedua tangannya diam dan matanya tersirat sedih yang dia tidak bisa gambarkan.
Sedangkan Dewa, menutup mata putrinya, untuk tidak melihat mama nya dipeluk pria lain yang akan dia panggil om setelahnya mereka berkenalan. Walaupun tidak bisa dipungkiri, ketakutan akan hati nya yang patah menjadi beberapa bagian sudah menggelayuti. Melihat pemandangan Satrio memeluk Mega saja, matanya perih hatinya retak seketika.
"Apa kamu akan memelukku terus?" tanya Mega terdengar serak.
Satrio tertawa kecil, tatapannya membuat Mega tidak berdaya hingga dia harus mengalihkan pandangan nya. Senyum nya yang lebar dan aura bahagia, nyata tanpa dusta. Tidak dipungkiri Mega, jika Satrio mendamba perjumpaan mereka.
Masih tidak berhenti di pelukan saja, Satrio masih mengecup kening Mega tanpa aba-aba yang membuat gerah dada Dewa yang menyaksikannya. Mega bahkan ternganga dibuat tidak percaya, lebih tepatnya kelu tidak bisa berkata-kata.
"Sepertinya kamu nyaman," lirih Dewa kesal tahu Mega tidak berkutik atau minimal ada upaya menolak untuk tidak dipeluk, dicium keningnya dan di dekap tanpa jarak seperti itu oleh adiknya. Dewa lantas membuang muka, ogah, menyaksikan kemesraan mereka berdua.
"Tunggu, tunggu." Satrio meraih dagu lancip itu dan menyuruh Mega menatap intens bola matanya untuk bertemu.
Mega tidak nyaman, berusaha melepas pelan namun Satrio tidak mengizinkan.
"Kamu berubah dan terlihat dewasa, cantik, aku suka." Satrio yang tidak berhenti mengagumi makhluk hidup bernama wanita di hadapannya. "Sayang, kamu kenapa? Kamu tidak suka bertemu dengan aku?"
Mega tersenyum ragu, dimana kemudian mereka duduk di bawah kursi kayu panjang di bawah pohon besar. Pohon trembesi.
Satrio bahkan belum merasakan jari manis nya tersemat cincin pernikahan bahkan terukir nama kakaknya dan dirinya, padahal sejak tadi, jari itu tidak terlepas untuk dia genggam sambil jalan.
"Aku tidak mengerti arti diam mu? Kenapa? Biasanya kamu akan memeluk ku dan biasanya wajahmu akan sangat bahagia? tapi tidak kalo ini, aku bahkan tidak melihat kamu bahagia. Dan kamu hanya diam," gemas Satrio yang mencubit gemas hidung wanita yang masih dia panggil sayang dan anggap kekasih.
Ya, nyata nya memang begitu. Tidak pernah ada kata putus diantara mereka. Tidak ada kata pengakhiran sebuah hubungan yang sudah terjalin lama ini. Lebih tepatnya, tidak ada kata melepas komitmen. Yang ada, hubungan mereka tetap terjaga sejauh ini. Namun tidak pada hari ini. Mega harus mengesahkan jika mereka harus melepas komitmen yang sudah mereka bangun bersama dengan baik-baik.
Apa bisa? Entahlah. Akan dia coba.
Satrio mengeluarkan kotak berisi sepasang cincin yang sudah dia persiapkan dari kantung jaket tebal nya. "Aku tepati janjiku Mega, aku datang membawa cinta yang sama. Tidak berubah arah, tidak berubah nama dan hanya nama kamu yang aku sebut dalam doa. Will you marry me?" Dengan sangat lancar Satrio mengatakannya, memperlihatkan sepasang cincin cantik di depan mata Mega.
Dan apa yang terjadi?
Bulir-bulir jernih sejernih embun pagi itu berjatuhan diiringi sengguk pelan tidak kuat dengan apa yang harus dia katakan.
Menolak Satrio, pasti. Tidak ada pilihan selain menyakiti dan menghancurkan impian besar nomor dua dia setelah kuliahnya.
"Hei... Kenapa kamu menangis sayang?" tanya nya yang meraih janggut Mega untuk menatap bola matanya.
Lagi-lagi Mega tidak kuat, tidak kuat melihat reaksi Satrio setelahnya dia bercerita dari A sampai Z sebanyak lebih dari lima kali.
Kedua mata Mega terpejam untuk sesaat. Barulah dia mengeluarkan kalimat. "Maaf, kita tidak bisa bersama. Meskipun dulu kita pernah saling cinta. Menyatukan rasa yang sama diantara kita," jawab Mega belum mengakhiri buliran jernih yang sejak tadi keluar dari dua matanya.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments