Istighfar mas

Setelah mendengar sendiri jawaban adiknya. Dewa terus dihantui rasa takut. Terlebih dengan apa yang tadi dilihatnya sendiri dengan mata kepala. Membuat tubuh Dewa meremang tidak berdaya.

Membelai lembut puncak kepala istrinya, dimana Mega tengah tertidur lelap dan terjaga. Kalimat-kalimat Satrio terngiang di kepala.

.

.

Keesokan harinya.

Dewa sudah bersiap untuk pergi ke hotel. Sedang Mega bersiap mengantar Rania ke sekolah play group nya.

"Papa... Mama..." panggil Rania yang main buka pintu kamar mama papanya itu.

"Sini sayang," ucap Dewa kepada putrinya.

"Rania kemudian berlari ke mama dan papa nya.

"Anak papa cantik banget sih," gemas Dewa yang mencubit gemas pipi kanan Rania yang malah semakin melebarkan senyumnya.

"Cantik dong pa, anak ciapa dulu, mama... hehehe," tawa kecilnya yang membuat deretan gigi putih susu itu tampak.

"Iya, iya. Anak mama yang paling cantik. Di sekolah nggak boleh nakal ya, patuh sama?" Dewa yang menyentuh ujung hidung putrinya dengan jari telunjuknya dengan gemas.

"Ibu gulu," celotehnya yang membuat Mega dan Dewa tertawa.

"Papa, Lania pengen punya adik." polosnya Rania meminta adik seperti meminta mainan. Yang tinggal beli di toko mainan anak. Emang nggak nyetak berhari-hari dulu. Main minta aja.

Seketika Dewa dan Mega mengernyitkan dahinya, mendengar ucapan Rania putri mereka.

"Boleh ya pa punya adik?" rengeknya menarik-narik lengan sebelah kiri Dewa. "Soalnya temen-temen Lania cemua punya adik, ma, pa," imbuhnya.

Dewa tersenyum yang berlanjut pada tawa kecil yang diikuti Mega setelahnya.

"Memangnya bener, Rania mau adik?" tanya Dewa apakah Rania serius dengan permintaan nya.

"He em pa," angguk bocah manis itu.

"Trus maunya cewek apa cowok?" tanya Dewa lagi dengan mengelus pipi kanan bidadari kecilnya.

"Apa ya pa?" lagaknya dengan gaya berpikir dengan jari yang Rania letakkan di pipi kanan nya seolah sedang ujian matematika.

Membuat Dewa dan Mega sejak tadi tidak berhenti tertawa dan geleng-geleng kepala karena celotehan Rania.

"Kalau cewek, nanti takutnya lebih cantik dali Lania. Cowok aja deh pa," ujarnya mengakhiri gaya berpikir kerasnya. "Bial di lumah tidak cepi. Lania ada teman nya, bial selu pa, kalau Lania punya adik nanti." imbuhnya.

"Iya sayang, nanti papa sama mama akan kasih adik buat Rania ya," ujar Dewa yang membuat Mega melotot ke arah suaminya.

"Kapan pa? Jangan lama-lama pa. Lania maunya cekalang," rengeknya manja.

"Sayang, nih lihat! Rania itu dulu di sini. Di perut mama. Jadi, kalau mau ada adik. Mama harus besar dulu perutnya. Sama seperti mama mengandung Rania dulu." Mega yang berusaha memperlihatkan album foto saat dia mengandung putrinya.

"Jadi halus begini ya ma?" tunjuknya pada sebuah foto album.

"Iya sayang," jawab Mega.

"Iya udah, mama makan yang banyak aja bial pelutnya besal. Tlus Lania cepat deh punya adiknya. Hole ... punya adik," girangnya mengangkat kedua tangan nya tegak ke udara dan melompat-lompat.

Membuat Dewa dan Mega saling menatap dan menahan tawa detik itu juga.

Satrio yang sejak tadi mendengar senda gurau mereka, berdesir sekaligus teriris saat Rania meminta adik pada mama papa nya.

Membuatnya tidak tahan akan segala apapun yang mereka perbuat dan tampakkan, baik tidak diketahuinya maupun secara terbuka.

"Ya udah kita sarapan yuk." Dewa yang mengajak putrinya untuk turun kebawah.

Dewa juga memberitahukan kepada Mega untuk langsung pergi ke rumah sakit menggunakan taksi online setelah Rania pulang dari sekolah. Dan mereka akan bertemu disana, karena siang nanti mamanya akan melakukan operasi pengangkatan tumor.

"Om Catlio..." panggil Rania kepada Satrio, namun Satrio hanya membalas senyum dengan wajah datar. Meskipun Rania selalu berusaha dekat kepadanya, Satrio membalasnya dengan dingin dan biasa saja.

"Kamu hari ini ada acara?" tanya Dewa pada adiknya.

Satrio menggeleng.

"Ya udah, jangan lupa! Nanti siang kamu datang ke rumah sakit. Mama akan menjalankan operasi pengangkatan tumor otaknya," kata Dewa sembari meminum air putih di gelas nya. Meletakkan nya kembali di atas meja dan menerima piring yang sudah diisi Mega nasi goreng sebagai sarapan pagi nya.

"Iya kak." Sejak tadi mata Satrio tidak pernah putus dari apa yang tersaji di depannya. Dan apa? Menyakitkan semuanya.

Semua perilaku Mega yang terlihat sekali terpancar keibuannya membuat Satrio menyimpulkan jika wanita yang belum sah ada kata putus dengan nya itu telah tumbuh menjadi wanita dewasa.

Semuanya tampak lemah lembut dan hangat untuk dia berikan kepada putri dan suaminya. Dan itu sungguh memerihkan. Seperti membuat luka kembali pada bagian tubuh dia lainnya. Padahal pengkhianatan mereka masih berbekas. Keduanya seakan lupa akan keberadaan nya di depan mereka.

Mereka lupa siapa dia? Orang yang mereka sakiti nyata-nyata. Padahal jelas-jelas kakaknya adalah orang yang salah akan semua ini. Misal dia tidak merenggut mahkota Mega, kemungkinan kecil mereka akan bersama. Dan Mega akan menikah dengan nya.

"Sat, kakak berangkat dulu ya," pamit Dewa kepada adiknya yang masih menyelesaikan sarapan nya.

Satrio mengangguk.

"Da da om Catlio," celetuk Rania yang kemudian berlari ke Satrio dan langsung mendaratkan kecupan di pipi kirinya.

Membuat semua terkesima. Sama halnya dengan Satrio, yang tak kalah terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Rania.

"Om, papa selalu dipelingati mama, untuk nggak boleh cembelut. Kata mama, kalau papa cembelut. Nanti ketampanan papa ilang. Om Catlio, jangan cembelut telus ya. Ya kan ma?" celoteh yang keluar dari mulut Rania membuat Satrio tidak bisa berkata-kata. Satrio hanya bisa tersenyum biasa. Namun seketika tersentuh dengan apa yang dilakukan oleh keponakannya itu.

"Da da om," ulangnya Rania lagi sembari melambaikan tangan pada Satrio.

Meskipun canggung, Satrio juga membalasnya walau tak tersenyum.

Jujur, sulit pagi itu untuk tersenyum. Melihat kekasih yang akan dia nikahi ternyata lebih dulu mengkhianati. Apapun hal yang menyatukan mereka, tetap saja, baginya mereka berkhianat. Coba saja mereka tidak memerangkap cinta satu sama lain. Dapat dipastikan, jika tidak hal di depan mata lah yang terlihat.

Masih sengaja dia lihat dari sudut mata, perlakuan kakaknya ke Mega, Mega ke kakaknya, semua menyiratkan luka pada tubuhnya hingga membuatnya terbakar api cemburu.

Terlihat sekali jika mereka saling memberi cinta dan terlihat bahagia. Bahkan hadirnya seakan tak pernah ada, padahal jelas-jelas dirinya berhak atas Mega dan bukan kakaknya.

Satrio meremas pisau kecil di samping piringnya. Hingga tanpa sadar cairan kental berwarna merah itu membuat telapak tangannya terluka hingga cairan tersebut menetes di atas lantai.

"Mas! Mas Satrio... Astaghfirullah mas..." Bibi yang langsung berlari dan menyuruh Satrio untuk melepas pisau tersebut.

"Biarin aja Bi."

"Mas istighfar mas," bujuk bibi pada Satrio yang akhirnya mau melepas genggaman pisau makan itu dari tangannya.

Seketika bibi berusaha menyuruh tetangga yang bekerja di sebuah rumah sakit untuk mengobati luka anak majikannya.

BERSAMBUNG

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!