Nanny Rasa Mami

Nanny Rasa Mami

1. Mama, Pulang!

(Maafkan aku, aku pergi dengannya. Ini bukan soal ketenaran ataupun uang, tapi aku mencintai dia, mas. Tolong jangan mencariku. Berbahagialah dengan Arin.) 'Maya'

"Wanita brengsek!"

Bugh...

Sebuah kepalan membulat sempurna menggenggam secarik kertas berisi pesan selamat tinggal yang baru saja dibaca.

Seorang istri yang sangat dicintai oleh Gamalio Abra mendadak pergi. Belum puas menyakiti setelah kedapatan berselingkuh, Maya, yang merupakan istri juga seorang koki handal, nekat melarikan diri bersama kekasih gelapnya.

Gamalio sangat marah.

Berbesar hati serta memaafkan tanpa Maya harus memohon ternyata sangat percuma. Istrinya itu tetap memilih untuk pergi meninggalkan Gama dan buah hati mereka.

.

.

“Mamaaa! Mamaaa! Mamaaaa! Mamaaaa, pulaaaang...”

Di sebuah kamar dengan dinding kaca yang lebar, seorang gadis kecil sedang menangis sesenggukan ia menempelkan kedua telapak tangannya pada tembok kaca tembus pandang. Sambil sesekali memanggil ‘mama’, terlihat tangan mungilnya memukul-mukul dinding transparan itu.

Ini bukan pertama kalinya pemandangan seperti ini terlihat. Kehilangan  ibunya secara tiba-tiba membuat gadis imut itu sering kali menangis tanpa sebab. Menurut keterangan dokter ahli jiwa anak, gadis kecil yang akrab disapa  Arin ini mengalami gangguan kecemasan akibat perpisahan kedua orang tuanya.

“Apa  dia sudah lama menangis?” seorang pria bertanya kepada sang pelayan sedari tadi hanya berdiri dari jarak beberapa meter dari anak perempuan itu. Kedua pelayan tidak bisa menenangkan anak itu. Mereka hanya berdiam pasrah dengan rasa penuh iba menatap nona kecil mereka yang kembali meratap.

“maaf, Tuan, kami tidak bisa menghentikan tangis nona kecil.”

“baik, kalian boleh pergi. Biar aku yang bicara dengannya.”

Kedua pelayan pun undur diri membiarkan Tuan majikannya menghibur sang putri.

“Papaaaa!” Arin kecil menyadari kedatangan ayahnya. Senyum diwajahnya pun mengembang, walau masih terdengar jelas sesegukan.

“Arin sayang,” Gama menghampiri putrinya, segera memberinya pelukan hangat. Membawa anak itu duduk di  sisi ranjang. Ia terus memeluk anak itu.

Arin kecil membalas pelukan ayahnya.

“Papa, ... mana dimama?”

Pertanyaan yang sama, yang lagi-lagi terus anak itu ulang setiap hari sukses membuat ayahnya kembali berlinang air mata.

"Arin, maafkan papa karena tidak bisa menahan mama-mu." Gama membatin seraya mengelus kepala putrinya.

“Sayang,”

“hmmm?”

“Apa Arin sayang papa?”

“Hmm. Sayang.” putri kecil itu menjawab dengan suara sedikit parau.

“Dengarkan papa. Sekarang, hanya ada Arin dan papa, ya,”

“Arin dan papa? Terus tidak ada mama lagi?”

“iya... bisakah mulai sekarang lupakan mama?”

Arin hanya membisu. Entah apa yang kini ia rasakan setelah diminta untuk melupakan ibu yang sangat ia sayangi.

"Arin, semua ini akan berlalu sayang. Duka ini akan berlalu. Papa yakin kau akan segera melupakan ibumu. Dan kau ... wanita jahat, aku, Gammalio Abra, tidak akan memaafkanmu perbuatanmu."

.

Satu bulan berlalu.

Hari-hari yang dilalui Gammalio Abra terasa cepat sekali berlalu. Memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin perusahaan dengan jabatan CEO sekaligus menjadi ayah dan ibu untuk putri satu-satunya, tidak menghambat pria berusia 30 tahun itu untuk bebas menciptakan kesenangannya sendiri.

Berbagai kebiasaan yang berbau 'kenakalan pria' yang dulu pernah ia lakoni sebelum menikah, kini ia kembali tenggelam didalamnya. Kebiasaan mabuk-mabukan bahkan gonta ganti pasangan tidur.

Kebebasan ini ia lakukan semata untuk menghibur hatinya yang hancur karena sebuah penghianatan. Entah kenapa, melempar tubuhnya untuk para wanita malam memberi kepuasan tersendiri dalam hatinya. Meskipun setelahnya ia merasa sedikit bersalah. Merasa bersalah pada putrinya, Arin yang sedang menunggunya dirumah. Namun, Gamma dengan segera langsung menepis rasa bersalah itu. Bukankah setiap orang memiliki hak untuk melakukan apapun yang diinginkan? Begitulah pembelaan diri Gamma.

Seperti saat ini. Pukul 2 dini hari, Gamma keluar dari sebuah Club malam ternama yang biasa ia datangi dengan assistennya, Haris.

“Kau yakin mau pulang? Lalu bagaimana dengan wanitamu tadi, bukankah kalian harus memesan kamar?” tanya Harris, yang tak lagi mengindahkan posisi jabatan antar atasan dan bawahan dengan sahabat sekaligus boss-nya yang sedang sempoyongan.

“Kau antar saja aku ke mobil, jangan banyak tanya.” Singkat, jawaban Gamma.

Sampai di mobil, Gamma meraba  saku celana dan bajunya dengan sisa-sisa kesadaran yang ia punya.

“Apa yang sedang kau cari?”

“Haris, dimana dompetku?”

“Dompetmu? Ah, sudahlah. Jika  ditemukan pasti akan segera dikirim ke alamatmu. Jangan dipikirkan.”

“Tidak. Kau cari dulu di dalam sana. Aku tunggu disini.”

“Hah, sejak kapan kau peduli soal kehilangan sesuatu? Aku tidak mau kembali kedalam. Percaya padaku tidak akan ada yang berani menyalahgunakan barang milikmu. Aku hubungi-“ belum sempat harris menuntaskan kata-katanya.

“Didalamnya ada foto putriku saat masih bayi.” Gama, dengan wajah bersalah.

“Baiklah baiklah, kalau ini soal anak imut itu aku mengalah.”  Haris pergi dan meninggalkan Gamma yang bahkan kini sudah tertidur di dalam mobil.

.

Huff huff huff!

Terlihat seorang gadis berambut panjang sepunggung berlari terengah-engah dari kejaran beberapa lelaki berpakaian hitam ketat, salah satu diantara mereka berkepala botak. Tidak, lupakan ciri-ciri para pria itu. Gadis muda berusia 21 tahun ini, bernama Vania, ia sedang ketakutan. Sedapat mungkin ia harus keluar dengan selamat dari tempat ini, tanpa kekurangan sehelai rambutpun.

“Hei! ******, mau lari kemana kau? Berhenti, jangan kabur! Cepat, tangkap gadis itu! jangan membuat boss menghukum kita!”

Vania tidak peduli. Kedua kakinya ia ayunkan dengan terus berlari.

"******? Enak saja. Kenapa aku harus melarikan diri dari bos gila itu kalau aku seorang ******?" Vania mengumpat sambil berlari.

Akhirnya, setelah dengan susah payah kabur, Vania berhasil keluar dari tempat gemerlap itu.

Melihat sebuah mobil yang terparkir manis di erea itu, Vania tak ragu mendekat, membuka dan memasukinya. Seolah ini adalah penolong untuknya. Dan owh, ternyata seseorang berada disana, mungkin saja si pemilik mobil, pikirnya.

“Permisi, tolong izinkan aku bersembunyi disini sebentar!” ucapnya, santun.

Huff, huff, huff.

“Akhh! Akhirnya aku selamat!” mengusap dadanya yang masih berdebar tak karuan.

Vania tidak menghiraukan orang yang berada disebelahnya. Kepala dan matanya terus memantau keluar, apakah para pria tadi masih mengejarnya.

“oh tidak, mereka masih mencariku.” Segera ia berbalik badan dan kini menghadap orang yang sedari tadi hanya diam seperti tak terganggu akan kehadiran orang asing yang memasuki mobilnya tiba-tiba.

"Jadi orang ini sedang tidur?" lagi-lagi Vania membatin sambil sedikit menatap lama pria disebelahnhya..

Vania merasa lega. Setidaknya  ia aman, tidak harus sibuk menjelaskan sesuatu bahkan mungkin saja harus berdebat dengan sang pemilik mobil ini, terlebih lagi orang ini adalah seorang pria.

"Maafkan aku Pak, ini mungkin bisa dikatakan aku sedang memanfaatkan situasi dan kondisimu." batinnya lagi.

Pria yang mengejarnya semakin mendekat ke arah mobil, Vania kembali merasa gugup. Padahal baru saja ia merasa sedikit tenang.

Tapi kenapa mereka mengarah ke sini? Apa mereka akan memeriksa mobil ini? Tidak! Aku tidak boleh ketahuan.

Beberapa kali Vania melambai-lambaikan tangannya di dekat wajah pria itu, tetap tak ada pergerakan. Vania pastikan dan sangat yakin bahwa orang ini sedang mabuk berat. Tercium bau alkohol yang begitu jelas dari tubuh pria ini.

Sangat kebetulan, sebuah ide muncul dikepalanya saat melihat diatas pangkuan pria itu terletak sebuah jacket. Perlahan tangan Vania mengambilnya dengan sangat hati-hati lalu menutup kepalanya dengan itu.

"Sekali lagi, maaf atas kelancanganku. Semoga anda sedang tidur nyenyak." Vania memohon dalam hati.

Lebih baik berurusan dengan satu pria ini dari pada dengan bapak tua yang tadi hampir saja melahapnya hidup-hidup. Belum lagi para body guard-nya yang sampai saat ini tidak menyerah untuk mengejar.

“Cari gadis itu. Dia pasti bersembunyi di dekat sini.” Ujar si pria kekar berkepala pelontos. Tanpa aba-aba, salah satu dari mereka membuka pintu mobil.

Glek.

.

.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

dita18

dita18

baru mampir thoorrr

2024-08-17

1

Umi Asijah

Umi Asijah

masa membiayai kakak nya yg kuliah di luar negeri sii..

2024-06-04

0

LISA

LISA

Aq mampir nih

2023-03-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!