NovelToon NovelToon

Nanny Rasa Mami

1. Mama, Pulang!

(Maafkan aku, aku pergi dengannya. Ini bukan soal ketenaran ataupun uang, tapi aku mencintai dia, mas. Tolong jangan mencariku. Berbahagialah dengan Arin.) 'Maya'

"Wanita brengsek!"

Bugh...

Sebuah kepalan membulat sempurna menggenggam secarik kertas berisi pesan selamat tinggal yang baru saja dibaca.

Seorang istri yang sangat dicintai oleh Gamalio Abra mendadak pergi. Belum puas menyakiti setelah kedapatan berselingkuh, Maya, yang merupakan istri juga seorang koki handal, nekat melarikan diri bersama kekasih gelapnya.

Gamalio sangat marah.

Berbesar hati serta memaafkan tanpa Maya harus memohon ternyata sangat percuma. Istrinya itu tetap memilih untuk pergi meninggalkan Gama dan buah hati mereka.

.

.

“Mamaaa! Mamaaa! Mamaaaa! Mamaaaa, pulaaaang...”

Di sebuah kamar dengan dinding kaca yang lebar, seorang gadis kecil sedang menangis sesenggukan ia menempelkan kedua telapak tangannya pada tembok kaca tembus pandang. Sambil sesekali memanggil ‘mama’, terlihat tangan mungilnya memukul-mukul dinding transparan itu.

Ini bukan pertama kalinya pemandangan seperti ini terlihat. Kehilangan  ibunya secara tiba-tiba membuat gadis imut itu sering kali menangis tanpa sebab. Menurut keterangan dokter ahli jiwa anak, gadis kecil yang akrab disapa  Arin ini mengalami gangguan kecemasan akibat perpisahan kedua orang tuanya.

“Apa  dia sudah lama menangis?” seorang pria bertanya kepada sang pelayan sedari tadi hanya berdiri dari jarak beberapa meter dari anak perempuan itu. Kedua pelayan tidak bisa menenangkan anak itu. Mereka hanya berdiam pasrah dengan rasa penuh iba menatap nona kecil mereka yang kembali meratap.

“maaf, Tuan, kami tidak bisa menghentikan tangis nona kecil.”

“baik, kalian boleh pergi. Biar aku yang bicara dengannya.”

Kedua pelayan pun undur diri membiarkan Tuan majikannya menghibur sang putri.

“Papaaaa!” Arin kecil menyadari kedatangan ayahnya. Senyum diwajahnya pun mengembang, walau masih terdengar jelas sesegukan.

“Arin sayang,” Gama menghampiri putrinya, segera memberinya pelukan hangat. Membawa anak itu duduk di  sisi ranjang. Ia terus memeluk anak itu.

Arin kecil membalas pelukan ayahnya.

“Papa, ... mana dimama?”

Pertanyaan yang sama, yang lagi-lagi terus anak itu ulang setiap hari sukses membuat ayahnya kembali berlinang air mata.

"Arin, maafkan papa karena tidak bisa menahan mama-mu." Gama membatin seraya mengelus kepala putrinya.

“Sayang,”

“hmmm?”

“Apa Arin sayang papa?”

“Hmm. Sayang.” putri kecil itu menjawab dengan suara sedikit parau.

“Dengarkan papa. Sekarang, hanya ada Arin dan papa, ya,”

“Arin dan papa? Terus tidak ada mama lagi?”

“iya... bisakah mulai sekarang lupakan mama?”

Arin hanya membisu. Entah apa yang kini ia rasakan setelah diminta untuk melupakan ibu yang sangat ia sayangi.

"Arin, semua ini akan berlalu sayang. Duka ini akan berlalu. Papa yakin kau akan segera melupakan ibumu. Dan kau ... wanita jahat, aku, Gammalio Abra, tidak akan memaafkanmu perbuatanmu."

.

Satu bulan berlalu.

Hari-hari yang dilalui Gammalio Abra terasa cepat sekali berlalu. Memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin perusahaan dengan jabatan CEO sekaligus menjadi ayah dan ibu untuk putri satu-satunya, tidak menghambat pria berusia 30 tahun itu untuk bebas menciptakan kesenangannya sendiri.

Berbagai kebiasaan yang berbau 'kenakalan pria' yang dulu pernah ia lakoni sebelum menikah, kini ia kembali tenggelam didalamnya. Kebiasaan mabuk-mabukan bahkan gonta ganti pasangan tidur.

Kebebasan ini ia lakukan semata untuk menghibur hatinya yang hancur karena sebuah penghianatan. Entah kenapa, melempar tubuhnya untuk para wanita malam memberi kepuasan tersendiri dalam hatinya. Meskipun setelahnya ia merasa sedikit bersalah. Merasa bersalah pada putrinya, Arin yang sedang menunggunya dirumah. Namun, Gamma dengan segera langsung menepis rasa bersalah itu. Bukankah setiap orang memiliki hak untuk melakukan apapun yang diinginkan? Begitulah pembelaan diri Gamma.

Seperti saat ini. Pukul 2 dini hari, Gamma keluar dari sebuah Club malam ternama yang biasa ia datangi dengan assistennya, Haris.

“Kau yakin mau pulang? Lalu bagaimana dengan wanitamu tadi, bukankah kalian harus memesan kamar?” tanya Harris, yang tak lagi mengindahkan posisi jabatan antar atasan dan bawahan dengan sahabat sekaligus boss-nya yang sedang sempoyongan.

“Kau antar saja aku ke mobil, jangan banyak tanya.” Singkat, jawaban Gamma.

Sampai di mobil, Gamma meraba  saku celana dan bajunya dengan sisa-sisa kesadaran yang ia punya.

“Apa yang sedang kau cari?”

“Haris, dimana dompetku?”

“Dompetmu? Ah, sudahlah. Jika  ditemukan pasti akan segera dikirim ke alamatmu. Jangan dipikirkan.”

“Tidak. Kau cari dulu di dalam sana. Aku tunggu disini.”

“Hah, sejak kapan kau peduli soal kehilangan sesuatu? Aku tidak mau kembali kedalam. Percaya padaku tidak akan ada yang berani menyalahgunakan barang milikmu. Aku hubungi-“ belum sempat harris menuntaskan kata-katanya.

“Didalamnya ada foto putriku saat masih bayi.” Gama, dengan wajah bersalah.

“Baiklah baiklah, kalau ini soal anak imut itu aku mengalah.”  Haris pergi dan meninggalkan Gamma yang bahkan kini sudah tertidur di dalam mobil.

.

Huff huff huff!

Terlihat seorang gadis berambut panjang sepunggung berlari terengah-engah dari kejaran beberapa lelaki berpakaian hitam ketat, salah satu diantara mereka berkepala botak. Tidak, lupakan ciri-ciri para pria itu. Gadis muda berusia 21 tahun ini, bernama Vania, ia sedang ketakutan. Sedapat mungkin ia harus keluar dengan selamat dari tempat ini, tanpa kekurangan sehelai rambutpun.

“Hei! ******, mau lari kemana kau? Berhenti, jangan kabur! Cepat, tangkap gadis itu! jangan membuat boss menghukum kita!”

Vania tidak peduli. Kedua kakinya ia ayunkan dengan terus berlari.

"******? Enak saja. Kenapa aku harus melarikan diri dari bos gila itu kalau aku seorang ******?" Vania mengumpat sambil berlari.

Akhirnya, setelah dengan susah payah kabur, Vania berhasil keluar dari tempat gemerlap itu.

Melihat sebuah mobil yang terparkir manis di erea itu, Vania tak ragu mendekat, membuka dan memasukinya. Seolah ini adalah penolong untuknya. Dan owh, ternyata seseorang berada disana, mungkin saja si pemilik mobil, pikirnya.

“Permisi, tolong izinkan aku bersembunyi disini sebentar!” ucapnya, santun.

Huff, huff, huff.

“Akhh! Akhirnya aku selamat!” mengusap dadanya yang masih berdebar tak karuan.

Vania tidak menghiraukan orang yang berada disebelahnya. Kepala dan matanya terus memantau keluar, apakah para pria tadi masih mengejarnya.

“oh tidak, mereka masih mencariku.” Segera ia berbalik badan dan kini menghadap orang yang sedari tadi hanya diam seperti tak terganggu akan kehadiran orang asing yang memasuki mobilnya tiba-tiba.

"Jadi orang ini sedang tidur?" lagi-lagi Vania membatin sambil sedikit menatap lama pria disebelahnhya..

Vania merasa lega. Setidaknya  ia aman, tidak harus sibuk menjelaskan sesuatu bahkan mungkin saja harus berdebat dengan sang pemilik mobil ini, terlebih lagi orang ini adalah seorang pria.

"Maafkan aku Pak, ini mungkin bisa dikatakan aku sedang memanfaatkan situasi dan kondisimu." batinnya lagi.

Pria yang mengejarnya semakin mendekat ke arah mobil, Vania kembali merasa gugup. Padahal baru saja ia merasa sedikit tenang.

Tapi kenapa mereka mengarah ke sini? Apa mereka akan memeriksa mobil ini? Tidak! Aku tidak boleh ketahuan.

Beberapa kali Vania melambai-lambaikan tangannya di dekat wajah pria itu, tetap tak ada pergerakan. Vania pastikan dan sangat yakin bahwa orang ini sedang mabuk berat. Tercium bau alkohol yang begitu jelas dari tubuh pria ini.

Sangat kebetulan, sebuah ide muncul dikepalanya saat melihat diatas pangkuan pria itu terletak sebuah jacket. Perlahan tangan Vania mengambilnya dengan sangat hati-hati lalu menutup kepalanya dengan itu.

"Sekali lagi, maaf atas kelancanganku. Semoga anda sedang tidur nyenyak." Vania memohon dalam hati.

Lebih baik berurusan dengan satu pria ini dari pada dengan bapak tua yang tadi hampir saja melahapnya hidup-hidup. Belum lagi para body guard-nya yang sampai saat ini tidak menyerah untuk mengejar.

“Cari gadis itu. Dia pasti bersembunyi di dekat sini.” Ujar si pria kekar berkepala pelontos. Tanpa aba-aba, salah satu dari mereka membuka pintu mobil.

Glek.

.

.

Bersambung...

2. Wawancara Kerja

“Oh, maaf, maafkan saya.” Pria itu segera menutup kembali pintu mobil setelah meminta maaf. Bagaimana tidak, didalam terlihat sepasang kekasih dengan kepala tertutup yang sudah pasti sedang beradu kekuatan lidah. Tanpa mengetahui bahwa gadis yang dicarinya itulah yang berada disana.

Tentulah karena rasa takutnya yang besar, Vania nekad menciptakan suasana seperti sebuah adegan terlarang di dalam mobil. Meski terlihat sedikit gila, tapi ini sama sekali tidak bisa di sebut sebagai pelecehan.

“dia tidak bersembunyi di mobil itu?” tanya si kepala botak.

“Tidak ada. Hanya ada pasangan yang sedang ... emm ...”

“Aku mengerti. Baiklah, kita kembali ke dalam dan menerima segala konsekuensinya.” para pria itu pun pergi dengan putus asa.

.

“Woaaaaahhhh! Haf haf haaff, Akhirnya aku bisa bernapas.”

Kini Vania benar-benar merasa tenang. Tidak percuma ia menahan napas saat melakukan aksinya barusan.

“maafkan aku. Aku benar-benar berhutang padamu. Aku berjanji, dikehidupan selanjutnya aku akan melakukan apapun untuk membayarmu. Terima kasih Anda tidak bangun.” Vania pun hendak pergi setelah meminta maaf bahkan terima kasih, tak peduli pria itu dengar atau tidak.

Glek,

“kau mau kemana?” suara dalam milik pria itu membuat Vania terkejut.

“Kau mau pergi lagi?”

Vania membalikkan tubuhnya perlahan dengan jantung kembali berdegup.

“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud jahat. Disini saya hanya bersembunyi.”

"Apa ini? Apa dia jelas-jelas sedang tidur."

Pria yang belum ia ketahui namanya itu masih menutup mata.

“Maya ... tinggallah bersamaku dan Arin. Ayo besarkan dia bersama...”

"Jelas orang ini sedang mengigau." Vania membuang napas lega dalam sekali hentakan.

“Aku, Vania. Bukan Maya. Dan aku akan pergi. Trima kasih atas tumpangannya.”

Vania keluar dari mobil itu membawa senyum kelegaan diwajahnya. Namun, senyum itu seketika menghilang saat dirinya memikirkan dua orang, yakni ibu dan kakaknya yang sedang berada di Luar Negeri, Kuala Lumpur.

"Kalau saja kalian berdua bukan orang yang kusayangi, aku pasti sudah menyerah jadi tulang punggung keluarga. Hanya demi uang kalian bahkan tega melemperku ke sarang macan." Vania tak habis pikir, kakak dan ibunya itu semakin tak masuk akal.

.

.

Keesokan harinya, Vania terbangun oleh suara ponselnya yang berdering.

“Apa? Panggilan Interview?” vania bergumam ria setelah membaca pesan pada ponselnya. Tak menunggu lama Vania bersiap dengan semangat yang menggebu. Meskipun ini hanya pekerjaan sebagai pengasuh anak, tapi yang Vania dengar adalah anak yang diasuh adalah seorang nona kecil yang baru berusia 3 tahun, anak dari pemilik perusahaan Furniture terbesar di negara ini. Sudah pasti upahnya menjanjikan.

.

Tiba di depan kantor sebuah perusahaan. Kesinilah Vania diminta untuk datang melakukan wawancaranya.

“Vaniaaaa!”

“hei! Siti,” Vania segera menghampiri Siti, tetangganya yang memang bekerja di perusahaan ini. Bisa dibilang Siti adalah salah seorang teman Vania walaupun tidak begitu dekat. Karena Vania bukan seseorang yang mau berteman akrab dengan orang lain. Satu sahabatpun ia tidak punya. Entahlah, Vania seperti membuat batas sosial, sehingga tidak seorangpun mengenalnya dengan baik.

“Sit, aku bingung. Kenapa interview untuk jadi pengasuh saja harus ke kantor perusahaan? Memangnya anak yang butuh pengasuh ada di kantor ini?”

“Ya iyalah, Vania ... bapaknya si anak itu adalah pemimpin perusahaan ini. Beliau CEO kami. Eh, tapi, dengar-dengar dia sekarang menduda itu makanya cari pengasuh anak.”

“O.... gitu ,.. okelah, kalau begitu, Yuk antar aku ke ruangan boss kamu,”

“oke, Yuk.”

Keduanya memasuki lift.

Siti yang merupakan salah satu karyawan disana merasa perlu memberi sedikit informasi penting agar Vania perlu jaga-jaga.

“Vania, dengarkan aku baik-baik.”

“hmm? Apa itu?”

“Jadi, sudah beberapa orang di wawancara sebelum kamu. Nah dari yang aku dengar, mereka tidak diterima karena ketahuan motiv mereka yang tidak bener. Mereka tidak bener-bener ingin jadi pengasuh anak si boss tapi yang mereka incar adalah posisi Nyonya boss. Nah, aku tahu kamu sekarang butuh duit, tapi jangan sampai ketahuan si boss. Ngerti sampai sini?”

“Aduh, Sit, bukankah kita kerja untuk nyari duit yak? Aku rasa itu wajar.”

“oke, wajar. tapi kriteria utama pengasuh anak ini adalah kasih sayang yang tulus. Boss maunya pengasuh anaknya ini tidak hanya sebagai pengasuh tapi lebih ke memiliki rasa sebagai ibu buat anaknya.” Jelas Siti dengan wajah serius.

“Tunggu, Sit, ini benar kan mereka lagi butuh pengasuh anak? Kenapa terdengar seperti boss kamu lagi nyari istri idaman?”

Ting!

Belum sempat Siti menjawab, pintu Lift keburu terbuka.

“Vania, keluarlah. Aku Cuma boleh ngantar sampai disini. Tuh ada sekertaris si boss. Kamu sapa dia. Oke, semoga berhasil, tetanggaku!” Ya ... vania dan siti adalah tetangga dalam beberapa waktu terakhir ini setelah Vania pindah ke lingkungan rumah Siti. Vania memang selalu hidup berpidah-pindah akibat ada saja ulah mama dan kakaknya.

.

.

Sang sekertaris membuka pintu ruang CEO setelah mengetuk. “Permisi, Pak. Pelamar atas nama Vania sudah datang.”

“Silahkan masuk dan duduklah” Ucap sang CEO tanpa mengangkat wajah yang hanya menatap PC di depannya.

Vania melangkah hati-hati menuju tempat duduk yang tersedia di sana dengan wajah setengah menunduk.

Deg.

*"Apaa?" *Vania tiba-tiba terlihat shock di tempat. Ia bahkan belum sempat duduk manis.

*"Diaaa ... orang itu? kenapa sangat mirip dengan pria di mobil tadi malam? Tidak. Aku memang ingin membayarnya dikehidupan selanjutnya. Tapi bukan sekarang. Gammalio Abra, Jadi itu namanya?" * Vania masih sempat membaca papan nama yang bertengger di atas Meja.

“Vania Arlita ...”

“Hah? Yah?”

Vania kembali terkejut bukan main saat pria di depannya menyebut nama  lengkapnya. Dengan spontan ia perbaiki raut wajahnya yang sungguh tidak sopan dihari pertama bertemu calon atasan. Lebih tepatnya calon majikan.

“Kenapa kau melotot melihatku?”

“hah? Tid-tidak, Pak. Maaf.”

"Gawat, sepertinya hariku akan berakhir kalau dia mengngatku. Jangan harap akan diterima. Vaniaaaa! Kau, konsentrasilah!"

“Apa kita pernah kebetulan bertemu?”

“Tidak pernah, Pak.” Vania sedikit tersentak mendengar pertanyaan satu ini.

“Dari tatapanmu barusan, ku kira kita adalah musuh besar di masa lalu.”

“tidak Pak. Tidak sama sekali.” Vania menggeleng kuat, berusaha meyakinkan.

"Gadis ini mencurigakan." Gama membatin.

“baiklah, lupakan. Jadi ... kamu berumur 21 tahun.”

“benar, Pak.”

Vania masih berdiri di tempat. Ia sudah lupa untuk duduk.

“Apa pernah bekerja sebagai ART, pengasuh atau apapun itu sebelumnya?”

“emmm. Sebelumnya saya memang bekerja di beberapa tempat, pak. Tapi bukan ART atau pengasuh.” Jujur Vania.

“bekerja di beberapa tempat dalam waktu bersamaan, itu maksudmu?”

“Benar, Pak.”

*"Kelihatannya orang ini seseorang yang menomorsatukan uang dalam hidupnya." *

“Apa anda menyukai anak kecil?”

“Emm... emm.. tidak ada alasan untuk tidak menyukai anak-anak, Pak. Mereka polos dan lucu,”

"Tampaknya dia memiliki banyak keraguan."

“Anda tahu cara menyayangi anak-anak? seperti apa orangtuamu memperlakukanmu saat kecil? Apa masih ingat?”

Vania tertegun. Bagian ini sedikit mengusik perasaannya. Sejak kecil dirinya diperlakukan tidak adil oleh keluarga. Cara menyayangi? Ia sama sekali tidak ingat kasih sayang itu seperti apa dan bagaimana rasanya disayangi dengan tulus oleh keluarganya sendiri. Pasalnya, hanya ada kata sayang berbau modus yang diterimanya dari kakak dan ibunya selama ini.

Gamma menatap curiga. dalam hal ini diriya tidak main-main. Ia tidak ingin menempatkan putri kesayangannya disamping seseorang dengan latar belakang keluarga yang tidak harmonis. ia takut keselamatan putrinya terancam jika pengasuh yang ia tempatkan disisi putrinya akan membawa pengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak itu.

Diamnya Vania tentu saja mengundang rasa curiga. "kenapa hanya diam? Apa keluargamu-"

“keluarga kami saling menyayangi, Pak.” jawab Vania pasti, seraya tersenyum kecil. Ia bahkan tak membiargan CEO di depannya menyelesaikan kalimat.

.

.

Bestie....

Tolong beri nilai karya ini ya, 🙏

Dan jika ada yang perlu perbaikan, silakan dimat dalam kolom komentar.

Satu lagi, mohon like, favorite, vote dan apapun biar aku cemangat😁

Nanny Baru

“Oke, Anda lumayan. Seperti yang lainnya, Anda berhak untuk wawancara lanjutan dan bertemu langsung dengan putri saya. Keputusan dia yang terpenting.” gama mengakhiri sesi wawancara Vania.

“Yah? Maksudnya ... masih ada wawancara lagi, Pak?” ulang vania pula, meyakinkan penjelasan barusan.

Gamma mengangguk. “Benar sekali. Putriku sendiri yang akan membuat keputusan terakhir. Meskipun saya menolak, tapi dia suka, saya tetap harus menerima siapapun yang dia inginkan untuk menjadi pengasuhnya.” Jelas Gamma, panjang lebar.

Vania mengangguk paham.

“Baik, anda boleh keluar, sampai ketemu dikediaman saya, besok.” Gama kembali menghadap layar PC di kanannya.

“keluar? Emm, saya tidak perlu duduk? Ja-jadi sudah selesai, Pak?” dengan polos Vania bertanya.

Gamma kembali menoleh. “mau duduk?”

“Oh, tidak Pak, karena sudah selesai, saya keluar. Permisi, pak,”

Melihat kepergian Vania, Gamma menggeleng, sedikit heran.

"Dari gerak – geriknya, wanita ini sedikit aneh. Apa ini hanya taktik agar  terlihat lugu di depan pria?"

Selama ini Gama telah banyak mengetahui berbagai trik dari setiap wanita yang mendekatinya. Ia tak mudah termakan oleh rayuan dari mulut manis wanita disekelilingnya. Wanita itu semuanya sama saja. Yang nyata sudah berhasil diperistri saja masih bisa saling menggoda dengan pria lain. Istri yang dianggap paling sempurna dari wanita manapun nyatanya kini menghilang entah kemana bersama orang lain.

.

.

Keesokan harinya.

Drrrrt drrrrt drrrrt.

Vania yang baru keluar dari kamar mandi segera menyambar ponselnya yang tengah mendapat panggilan dari kontak ‘Kakakku’.

'Halo, Kaak!" sapanya.

"Vania, jujur sama kakak, cowok yang malam itu kakak mau kenalin kamu, kamu apakan dia? Kok dia marah-marah ke kakak?" suara cempreng sang kakak terdengar menggebu, tak sabaran mencecar Vania.

"Aku apakan? Cowok, kak Rania, dia bukan cowok kak, dia pria tua. Apa aku sudah salah orang?" Vania tak kalah tegas.

"Apa? Pria tua? Apa maksudmu? Dia itu cowok muda tajir. Dia janji bantuin kamu biayain kuliah kakak kalau kamu mau sama dia. Vania, kamu ngecewain kakak." suara yang berubah lembut sang kakak terdengar sangat menyedihkan di ujung sana.

"kak, jadi ini benar soal uang? Kak, doakan saja hari ini aku keterima kerja. Aku ada satu wawancara hari ini. Kerjaan yang mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kalau aku diterima, aku janji biaya hidup kakak sama mami akan terjamin disana." Vania dengan nada pasti.

"Beneran? Kamu terdengar sangat percaya diri adikku sayang. Oke, semoga kamu diterima yah, disini mami juga sakit-sakitan Vania. Jadi ya, kamu tahu sendirilah."

"iya, Kak, aku paham. Sudah dulu yah, nanti aku bisa telat." Vania mengakhiri panggilan.

"Kakak, mami, harus sampai kapan aku berjuang untuk kalian? Aku bahkan merelakan segala keinginanku demi kalian. Tapi kenapa aku merasa kalian tidak pernah puas dengan pengorbananku? Aku adalah anak perempuan juga. Tapi ... tidak sekali pun mami mengkhawatirkanku. Mami malah memilih menjaga kakak yang jauh-jauh kuliah di negara orang. Membuatku harus banting tulang membiayai kehidupan kalian disana."  

Vania menghembus napas berat sambil menyeka air matanya. “Vania, Vania ...! Sadar! Hanya perlu bersyukur kamu memiliki yang namanya keluarga. Ayo, lupakan kesedihan. Jangan banyak menuntut. Lakukan yang terbaik.” Ia kembali menyemangati dirinya seperti biasa.

.

.

Kediaman Gammalio Abra.

Di ruang kerjanya Gamma terlihat sedang berbincang dengan Harris, assistennya.

Raut wajah Gamma tampak sangat serius. “Harris, aku sangat yakin ada seseorang memasuki mobil semalam apa kau sudah menelidikinya?”

“untuk apa diselidiki? Aku sudah bilang tidak ada siapapun. Kau terlalu mabuk sampai berhalusinasi.”

“Aku sangat yakin. Ada seorang wanita yang menyelinap masuk dan keluar dari mobilku malam itu. Aku serius.”

Harris menghela napas panjang. Bisa-bisanya sepagi ini Gamma memanggilnya hanya untuk membahas soal halusinasi. Mana wajah Gamma sangat serius. Memangnya apa yang ia harapkan?

“Kau sedang berandai-andai mantan istrimu muncul lagi? kau berharap itu dia?”

Gamma menoleh. Untuk pertama kalinya Harris, sahabat sekaligus assisten pribadinya itu bisa menebak isi kepalanya. Gamma merasa heran dan menatap Harris dengan mimik wajah terpukau.

“hah, ternyata aku tidak salah menebak. Cinta memang gila. Sudah jelas wanita itu berkhianat lalu pergi, ternyata cintamu belum padam juga. Apa kau bodoh?”

“jangan mengatainya begitu. Dia ibunya Arin. Aku hanya berharap dia kembali ke sisi Arin.” Sahut Gamma pelan.

“ya ya ya, terserah kau saja. Oke aku akan cari tahu makhluk apa yang tidak sopan keluar masuk mobilmu malam itu.”

Gamma tersenyum melihat ekspresi malas dari sahabatnya itu. Gamma sangat tahu bahwa Harris benar-benar tidak menyukai hal-hal yang menurutnya tidak penting untuk di selidiki.

.

.

Tok tok tok, tok tok tok.

Ciri khas ketukan ini pasti si Siti, tetangga Vania yang cukup perhatian.

Clek.

“Pagi Vania ...”

Yang disapa hanya tersenyum seadanya.

“eh, gimana? Pak Boss terima kamu?”

Ternyata Siti sangat penasaran dengan hasil wawancara kemarin.

“Masih ada satu wawancara lagi. Doain ya Sit,”

“Sit Sat Sit Sat. Vania, kamu itu lebih muda 3 tahun dari aku tapi kamu tidak pernah manggil aku dengan panggilan yang sopan. Panggil ‘kak Siti’ mulai sekarang.” Protes Siti sambil guyon. Vania pun tertawa lebar. Baru kali ini Siti melihat tawa Vania selepas ini. “nah, gitu dong ketawa kek sekali-sekali. Eh, satu lagi, kalau kamu berhasil diterima jadi pengasuh, jangan lupa traktir kak Siti-mu ini, yah,”

“iya, iya, kak. Aku akan sangat berterima kasih sama kakak karena info loker ini kudapat dari kakak. Tapi jangan senang dulu ya, belum tentu anak itu terima aku.”

.

.

Kali ini Vania mendatangi sebuah Vila. Alamat Vila yang cukup jauh dari keramaian kota membuat Vania harus merelakan isi dompetnya terkuras hingga tetes terakhir karena harus membayar Taxi.

"OMG, Vania, Vania. Belum tentu diterima kerja aja udah gaya-gaya naik taxi. Sadarlah, orang kayak kamu harusnya naik angkot aja."

Vania lagi-lagi merutuki kebodohannya.

Beberapa saat Vania tertegun di depan gerbang kokoh dihadapannya. Tak lama, seorang pria berseragam safari menghampirinya.

“Mbak, yang mau bertemu nona kecil ya?”

“Oh iya, Pak.” Jawab Vania, tersenyum ramah.

“Silahkan, Mbak, tapi ... nona kecil sedang... em...” sang satpam terlihat ragu mengatakannya.

“Ada apa yah Pak?” vania penasaran.

Tin tin!

Klakson mobil berbunyi. Pria itu lalu segera membuka pagar. Tak lama seorang pria keluar dari mobil.

“Pak, ini, mbak-nya sudah datang.” Lapor pria yang merupakan penjaga keamanan Villa itu.

“iya, aku bisa melihat.” Jawab Gamma, acuh. “Kamu, ayo ikut saya masuk.” Ajaknya kepada Vania. Kelihatannya dia sedang buru-buru.

"Kamu? Kemana sapaan ‘anda’ yang kemarin aku dengar?" Vania mengikutinya dari belakang.

“Namanya Arin. Putriku.” Sambil berjalan, Gamma berbicara.

“Aku mendapat laporan bahwa saat ini dia sedang menangis dan membuat kekacauan.”

Vania hanya berjalan mengikuti di belakang tanpa mengatakan apapun. Hanya mendengarkan.

“Aku memberitahumu supaya tidak terkejut.” Sambung Gamma lagi.

Tiba di dalam, tiga orang pelayan berdiri kaku dengan wajah cemas. Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil membujuk Arin.

Anak itu terlihat menutup telinganya dan duduk sambil menangis tersedu di sudut kamar. Gamma mendekatinya seperti biasa, sementara Vania berdiri diluar bersama ketiga pelayan wanita itu.

“Sayang, bisa ceritakan kenapa kamarmu jadi berantakan?” tanya Gama setelah mendekap anaknya itu.

Arin menggeleng. Ditatapnya wajah sang ayah dengan tatapan mata sendu. Sepertinya anak itu kelelahan karena menangis selama dua jam. Hal ini biasanya terjadi ketika bangun dan tidak menemukan ayahnya berada di Villa.

Gamma pun mengangguk. Ia sudah paham apa yang terjadi. Ini kesalahannya karena keluar sebelum anak kecil itu terbangun. Ia tak memaksa putrinya untuk mengatakan apapun. “Papa  minta maaf ya, sayang...” sikap lembut ayahnya berhasil meluluhkan hati anak itu. Dengan hati-hati Gamma pun ingin menjelaskan tentang Vania.

“Sayang, Papa bawa nanny baru buat kamu.”

“Nanny?” anak itu menggeser pandangannya, bertemu tatap dengan Vania yang berdiri di dekat pintu kamar. “Kakak itu?” tatapan polosnya lurus menyorot Vania.

Gamma mengangguk. Silahkan kenal dulu. Kalau Arin suka, dia akan jadi nanny Arin mulai sekarang.”

.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!