Nanny Baru

“Oke, Anda lumayan. Seperti yang lainnya, Anda berhak untuk wawancara lanjutan dan bertemu langsung dengan putri saya. Keputusan dia yang terpenting.” gama mengakhiri sesi wawancara Vania.

“Yah? Maksudnya ... masih ada wawancara lagi, Pak?” ulang vania pula, meyakinkan penjelasan barusan.

Gamma mengangguk. “Benar sekali. Putriku sendiri yang akan membuat keputusan terakhir. Meskipun saya menolak, tapi dia suka, saya tetap harus menerima siapapun yang dia inginkan untuk menjadi pengasuhnya.” Jelas Gamma, panjang lebar.

Vania mengangguk paham.

“Baik, anda boleh keluar, sampai ketemu dikediaman saya, besok.” Gama kembali menghadap layar PC di kanannya.

“keluar? Emm, saya tidak perlu duduk? Ja-jadi sudah selesai, Pak?” dengan polos Vania bertanya.

Gamma kembali menoleh. “mau duduk?”

“Oh, tidak Pak, karena sudah selesai, saya keluar. Permisi, pak,”

Melihat kepergian Vania, Gamma menggeleng, sedikit heran.

"Dari gerak – geriknya, wanita ini sedikit aneh. Apa ini hanya taktik agar  terlihat lugu di depan pria?"

Selama ini Gama telah banyak mengetahui berbagai trik dari setiap wanita yang mendekatinya. Ia tak mudah termakan oleh rayuan dari mulut manis wanita disekelilingnya. Wanita itu semuanya sama saja. Yang nyata sudah berhasil diperistri saja masih bisa saling menggoda dengan pria lain. Istri yang dianggap paling sempurna dari wanita manapun nyatanya kini menghilang entah kemana bersama orang lain.

.

.

Keesokan harinya.

Drrrrt drrrrt drrrrt.

Vania yang baru keluar dari kamar mandi segera menyambar ponselnya yang tengah mendapat panggilan dari kontak ‘Kakakku’.

'Halo, Kaak!" sapanya.

"Vania, jujur sama kakak, cowok yang malam itu kakak mau kenalin kamu, kamu apakan dia? Kok dia marah-marah ke kakak?" suara cempreng sang kakak terdengar menggebu, tak sabaran mencecar Vania.

"Aku apakan? Cowok, kak Rania, dia bukan cowok kak, dia pria tua. Apa aku sudah salah orang?" Vania tak kalah tegas.

"Apa? Pria tua? Apa maksudmu? Dia itu cowok muda tajir. Dia janji bantuin kamu biayain kuliah kakak kalau kamu mau sama dia. Vania, kamu ngecewain kakak." suara yang berubah lembut sang kakak terdengar sangat menyedihkan di ujung sana.

"kak, jadi ini benar soal uang? Kak, doakan saja hari ini aku keterima kerja. Aku ada satu wawancara hari ini. Kerjaan yang mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kalau aku diterima, aku janji biaya hidup kakak sama mami akan terjamin disana." Vania dengan nada pasti.

"Beneran? Kamu terdengar sangat percaya diri adikku sayang. Oke, semoga kamu diterima yah, disini mami juga sakit-sakitan Vania. Jadi ya, kamu tahu sendirilah."

"iya, Kak, aku paham. Sudah dulu yah, nanti aku bisa telat." Vania mengakhiri panggilan.

"Kakak, mami, harus sampai kapan aku berjuang untuk kalian? Aku bahkan merelakan segala keinginanku demi kalian. Tapi kenapa aku merasa kalian tidak pernah puas dengan pengorbananku? Aku adalah anak perempuan juga. Tapi ... tidak sekali pun mami mengkhawatirkanku. Mami malah memilih menjaga kakak yang jauh-jauh kuliah di negara orang. Membuatku harus banting tulang membiayai kehidupan kalian disana."  

Vania menghembus napas berat sambil menyeka air matanya. “Vania, Vania ...! Sadar! Hanya perlu bersyukur kamu memiliki yang namanya keluarga. Ayo, lupakan kesedihan. Jangan banyak menuntut. Lakukan yang terbaik.” Ia kembali menyemangati dirinya seperti biasa.

.

.

Kediaman Gammalio Abra.

Di ruang kerjanya Gamma terlihat sedang berbincang dengan Harris, assistennya.

Raut wajah Gamma tampak sangat serius. “Harris, aku sangat yakin ada seseorang memasuki mobil semalam apa kau sudah menelidikinya?”

“untuk apa diselidiki? Aku sudah bilang tidak ada siapapun. Kau terlalu mabuk sampai berhalusinasi.”

“Aku sangat yakin. Ada seorang wanita yang menyelinap masuk dan keluar dari mobilku malam itu. Aku serius.”

Harris menghela napas panjang. Bisa-bisanya sepagi ini Gamma memanggilnya hanya untuk membahas soal halusinasi. Mana wajah Gamma sangat serius. Memangnya apa yang ia harapkan?

“Kau sedang berandai-andai mantan istrimu muncul lagi? kau berharap itu dia?”

Gamma menoleh. Untuk pertama kalinya Harris, sahabat sekaligus assisten pribadinya itu bisa menebak isi kepalanya. Gamma merasa heran dan menatap Harris dengan mimik wajah terpukau.

“hah, ternyata aku tidak salah menebak. Cinta memang gila. Sudah jelas wanita itu berkhianat lalu pergi, ternyata cintamu belum padam juga. Apa kau bodoh?”

“jangan mengatainya begitu. Dia ibunya Arin. Aku hanya berharap dia kembali ke sisi Arin.” Sahut Gamma pelan.

“ya ya ya, terserah kau saja. Oke aku akan cari tahu makhluk apa yang tidak sopan keluar masuk mobilmu malam itu.”

Gamma tersenyum melihat ekspresi malas dari sahabatnya itu. Gamma sangat tahu bahwa Harris benar-benar tidak menyukai hal-hal yang menurutnya tidak penting untuk di selidiki.

.

.

Tok tok tok, tok tok tok.

Ciri khas ketukan ini pasti si Siti, tetangga Vania yang cukup perhatian.

Clek.

“Pagi Vania ...”

Yang disapa hanya tersenyum seadanya.

“eh, gimana? Pak Boss terima kamu?”

Ternyata Siti sangat penasaran dengan hasil wawancara kemarin.

“Masih ada satu wawancara lagi. Doain ya Sit,”

“Sit Sat Sit Sat. Vania, kamu itu lebih muda 3 tahun dari aku tapi kamu tidak pernah manggil aku dengan panggilan yang sopan. Panggil ‘kak Siti’ mulai sekarang.” Protes Siti sambil guyon. Vania pun tertawa lebar. Baru kali ini Siti melihat tawa Vania selepas ini. “nah, gitu dong ketawa kek sekali-sekali. Eh, satu lagi, kalau kamu berhasil diterima jadi pengasuh, jangan lupa traktir kak Siti-mu ini, yah,”

“iya, iya, kak. Aku akan sangat berterima kasih sama kakak karena info loker ini kudapat dari kakak. Tapi jangan senang dulu ya, belum tentu anak itu terima aku.”

.

.

Kali ini Vania mendatangi sebuah Vila. Alamat Vila yang cukup jauh dari keramaian kota membuat Vania harus merelakan isi dompetnya terkuras hingga tetes terakhir karena harus membayar Taxi.

"OMG, Vania, Vania. Belum tentu diterima kerja aja udah gaya-gaya naik taxi. Sadarlah, orang kayak kamu harusnya naik angkot aja."

Vania lagi-lagi merutuki kebodohannya.

Beberapa saat Vania tertegun di depan gerbang kokoh dihadapannya. Tak lama, seorang pria berseragam safari menghampirinya.

“Mbak, yang mau bertemu nona kecil ya?”

“Oh iya, Pak.” Jawab Vania, tersenyum ramah.

“Silahkan, Mbak, tapi ... nona kecil sedang... em...” sang satpam terlihat ragu mengatakannya.

“Ada apa yah Pak?” vania penasaran.

Tin tin!

Klakson mobil berbunyi. Pria itu lalu segera membuka pagar. Tak lama seorang pria keluar dari mobil.

“Pak, ini, mbak-nya sudah datang.” Lapor pria yang merupakan penjaga keamanan Villa itu.

“iya, aku bisa melihat.” Jawab Gamma, acuh. “Kamu, ayo ikut saya masuk.” Ajaknya kepada Vania. Kelihatannya dia sedang buru-buru.

"Kamu? Kemana sapaan ‘anda’ yang kemarin aku dengar?" Vania mengikutinya dari belakang.

“Namanya Arin. Putriku.” Sambil berjalan, Gamma berbicara.

“Aku mendapat laporan bahwa saat ini dia sedang menangis dan membuat kekacauan.”

Vania hanya berjalan mengikuti di belakang tanpa mengatakan apapun. Hanya mendengarkan.

“Aku memberitahumu supaya tidak terkejut.” Sambung Gamma lagi.

Tiba di dalam, tiga orang pelayan berdiri kaku dengan wajah cemas. Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil membujuk Arin.

Anak itu terlihat menutup telinganya dan duduk sambil menangis tersedu di sudut kamar. Gamma mendekatinya seperti biasa, sementara Vania berdiri diluar bersama ketiga pelayan wanita itu.

“Sayang, bisa ceritakan kenapa kamarmu jadi berantakan?” tanya Gama setelah mendekap anaknya itu.

Arin menggeleng. Ditatapnya wajah sang ayah dengan tatapan mata sendu. Sepertinya anak itu kelelahan karena menangis selama dua jam. Hal ini biasanya terjadi ketika bangun dan tidak menemukan ayahnya berada di Villa.

Gamma pun mengangguk. Ia sudah paham apa yang terjadi. Ini kesalahannya karena keluar sebelum anak kecil itu terbangun. Ia tak memaksa putrinya untuk mengatakan apapun. “Papa  minta maaf ya, sayang...” sikap lembut ayahnya berhasil meluluhkan hati anak itu. Dengan hati-hati Gamma pun ingin menjelaskan tentang Vania.

“Sayang, Papa bawa nanny baru buat kamu.”

“Nanny?” anak itu menggeser pandangannya, bertemu tatap dengan Vania yang berdiri di dekat pintu kamar. “Kakak itu?” tatapan polosnya lurus menyorot Vania.

Gamma mengangguk. Silahkan kenal dulu. Kalau Arin suka, dia akan jadi nanny Arin mulai sekarang.”

.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Warijah Warijah

Warijah Warijah

Jangan² Vania bukan anak kandung mereka..memang bodoh ya Vania, sesayang² sm keluarga, ga begitu² amat x...

2023-10-20

2

❤️⃟Wᵃf🕊️⃝ᥴͨᏼᷛAna

❤️⃟Wᵃf🕊️⃝ᥴͨᏼᷛAna

vania jangan bodoh mau dijadikan sapi perah sama keluarga mu, mereka seneng" sementara kamu susah payah banting tulang

2023-02-19

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!