My MicroWife
Seorang pria tengah mengendarai Pa**ro putihnya dengan sangat hati-hati. Ia selalu memastikan bahwa sabuk pengamannya terpasang sempurna, rem, kopling, lampu sign dan spion berfungsi dengan baik, berjalan di jalur yang benar dan selalu mematuhi rambu lalu lintas dan batas kecepatan maksimal.
Gambaran sempurna tentang seseorang yang sangat disiplin dan selalu mematuhi aturan lalu lintas. Tapi tiba-tiba saja,
Ciiiiiiit...........
Ia menginjak pedal remnya dalam-dalam. Ia baru saja menghindari seseorang pria yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya dengan sangat mengejutkan.
Bukannya bergegas turun untuk menolong, ia justru sibuk memastikan bahwa kamera dashboardnya menyala dan merekam dengan baik kejadian yang dialaminya tadi. Ia tidak mau disalahkan atas kesalahan yang tidak dilakukannya.
Tok! Tok! Tok!
Beberapa orang mengerubungi dan mengetuk kaca mobilnya.
“Turun woi! Tanggung jawab dong!”
Pria itu membenahi kacamatanya, membuka pintu mobilnya dengan tenang, merapikan dasi dan jasnya, baru kemudian memeriksa keadaan pria yang hampir menabrak mobilnya itu.
Dengan tenang dan mantap ia membungkuk lalu bertanya, “Bapak ngga papa?”
***
Ya, itulah Alfa Sandi Cokrokusumo. Seorang pengacara muda berusia tiga puluh tahun yang sangat tunduk dan patuh terhadap aturan, waspada dan antisipatif terhadap segala hal. Selain itu, penampilan dan kerapian selalu menjadi prioritas baginya.
Alfa adalah seorang pengacara muda yang cukup populer, bukan karena keberhasilan karirnya melainkan lebih karena wajah dan penampilannya.
Dengan bermodalkan minat dan kemampuan yang cukup mumpuni di bidang hukum, di usianya yang baru menginjak tiga puluh tahun, ia memberanikan diri membuka sebuah firma hukum bersama kakak sepupunya yang bernama Handoyo.
Namun nyatanya, kemapuan dan wajah tampan saja tidak cukup bagi Alfa untuk membesarkan firma hukumnya. Sejak magang di firma hukum milik bibinya hingga bisa membuka firma hukum sendiri Alfa belum pernah sekalipun dipercaya untuk menangani kasus kejahatan besar.
Selama ini ia hanya menangani kasus perkelahian, pencemaran nama baik, perceraian dan perebutan harta gono gini. Sehingga ia seringkali dikenal sebagai pengacara urusan keluarga daripada pengacara kriminal yang selama ini didalaminya.
Hari itu, ia harus menemukan seorang saksi penting dalam kasus perceraian seorang pengusaha wanita yang sedang ditanganinya. Kabarnya saksi itu sedang bersembunyi di sebuah tempat di Jogja.
Kasus perceraian itu akan menjadi kasus kedua puluh lima yang ditanganinya sejak memulai debut karir sebagai pengacara. Dan ia tidak ingin memasukkannya dalam daftar kegagalan pertama pada sejarah karirnya.
***
Sepertinya semua aman. Bapak-bapak itu menggeleng sambil berjongkok memeluk seorang bocah laki-laki kecil yang tak henti-hentinya menangis.
Kemudian seorang wanita datang berlari menghampiri mereka dan membawa bocah laki-laki kecil yang baru saja diselamatkan oleh Bapak-Bapak itu.
Untuk memenuhi rasa kemanusiaannya, Alfa membantu Bapak itu berdiri tapi sia-sia. Pria paruh baya itu berkali-kali mlorot dan terjatuh setiap kali berusaha berdiri. Sepertinya kakinya terluka saat terjatuh tadi.
Karena desakan warga yang terus menyudutkannya, Alfa terpaksa membantu dan membawa Bapak itu ke rumah sakit terdekat.
***
Seorang gadis berkulit putih dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima centi, masih mengenakan seragam putih abu-abunya, lengkap dengan poni dan rambut kuncir ekor kuda berlarian sambil menangis memasuki salah satu bilik di ruang IGD.
“Bapak! Bangun Pak! Ini Elea, Pak!"
“Maaf, adek ini siapa ya?”
Gadis itu menghentikan tangisnya, lalu menoleh ke arah pasien wanita yang sepertinya sedang hamil karena perutnya buncit.
“Maaf, tadi saya kira –“
“Elea!”
“Bapak kok ngga bilang sih kalau sudah bisa bangun? Kan aku jadi malu pak?”
“Makanya lain kali tuh kalau mau nangis lihat-lihat dulu.” Ledek Alfa yang tak kuasa menahan tawa melihat tingkah konyol Elea.
“Oh, jadi om ini yang nabrak Bapak?”
Pak Sukarto menggoyangkan kedua telapak tangannya, “ Bukan –“
“Eh, dek. Jangan sembarangan kalau ngomong ya? Bapak kamu yang tiba-tiba nabrak mobil saya. Syukur-syukur saya masih mau antar Bapak kamu kesini.”
“Wah! Om ini sudah nabrak orang masih aja ngerasa sok jadi pahlawan.”
“Hah?!”
Ada banyak eksepsi yang ingin Alfa sampaikan. Pertama, ia bukan subjek tapi objek. Dia yang ditabrak, bukan menabrak. Kedua, dia tidak bersalah. Ketiga, dia bukan sok tapi memang pahlawan. Dan keempat ada hal yang harus segera Alfa luruskan.
Alfa menepuk pundak Elea yang kembali membelakanginya, “Maaf, sejak kapan saya nikah sama tante kamu?”
***
Pak Sukarto dan Elea tinggal di sebuah ruko berlantai dua berukuran lima kali sepuluh meter. Lantai satu dipergunakan sebagai warung ayam cepat saji sedangkan bagian atas digunakan sebagai rumah tinggal. Ibu Elea sudah meninggal tujuh tahun lalu, jadi ia hanya tinggal bersama ayahnya di ruko itu.
Karena kakinya masih sakit dan harus menggunakan tongkat untuk berjalan, Pak Sukarto jadi kesulitan ketika harus memasak sambil melayani pembeli yang makan di tempatnya.
“Pak, Bapak duduk aja. Biar Elea yang bantu Bapak.”
“Jangan El. Besok kamu harus ikut ujian kenaikan kelas. Kamu harus belajar. Bapak pengen kamu naik kelas tiga dengan nilai memuaskan."
“Terus gimana Pak? Kita ngga mungkin merekrut pegawai karena ngga bakal mampu bayar gajinya. Apa kita tutup aja untuk sementara waktu? Sampai kondisi Bapak membaik?”
Pak Sukarto menggeleng, “Mau makan apa kita kalau warungnya ditutup?”
Sebenarnya hal semacam itu sama sekali bukan urusan Alfa. Tapi melihat kedua bapak dan anak itu kesulitan, lagi-lagi rasa kemanusiaannya terpanggil.
Alfa mulai mempertimbangkan banyak hal. Ruko itu cukup strategis, terletak diperempatan jalan utama yang cukup ramai. Meskipun tidak besar, ruko itu akan memberinya lebih banyak kebebasan daripada harus tinggal di rumah kakek buyutnya.
Selain itu, pelanggannya juga banyak dan terlihat berasal dari banyak kalangan. Akan sangat membantunya dalam menemukan orang dicarinya jauh-jauh ke kota kecil itu.
“Pak, karena saya rasa saya juga sedikit bersalah sampai Bapak jadi seperti ini, biar saya saja yang membantu Bapak mengurus warung ini sampai kondisi Bapak membaik.”
“Beneran? Berapa Bapak harus membayar kamu?”
“Ngga usah pikirin soal itu Pak. Saya hanya minta tempat untuk tinggal sementara waktu.”
“Dih, modus!”
“El!” Pak Sukarto berusaha menghentikan celotehan putrinya, “Cepat bereskan kamar Bapak. Biar Nak Alfa tidur disitu.”
***
Pagi itu Elea bersiap untuk mengikuti ujian kenaikan kelas tiga di salah satu sekolah menengah atas di kotanya.
“Dih, salah kostum tuh, Om!” Elea menahan tawa melihat Alfa mengenakan setelan rapi dibalik celemeknya. "Om kira ini acara masak-masakan di tivi? Ngapain jualan pake jas gitu?”
Alfa memandangi penampilannya yang harus tetap rapi dan tampan meskipun mengenakan celemek. Sementara Elea kembali ke atas dan turun dengan membawa kaos oblong milik Beni, kakak sepupunya.
Elea kemudian melepas celemek Alfa dan memintanya mengganti baju dengan kaos oblong yang dibawanya.
“Kamu mau apa? Saya ngga mau pake baju orang lain!”
“Tapi Om bakal menggoreng ayam, membuat minuman, lari kesana kemari melayani pelanggan. Apa ngga sayang kalau jasnya kena minyak atau tumpahan saos? Lagipula warung ini ngga pake AC.” Elea menunjuk empat kipas angin yang menggantung di atas plafon. “Siangan dikit Om bakal kepanasan.”
“Itu urusan saya! Ah, dan satu lagi. Jangan panggil saya Om!!”
“Lalu? Pak? Kak? Mas? Mas Al?!” goda Elea tapi Alfa memilih pergi dan tidak menggubris bocah iseng itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Yem
Aduh ribetnya si Alfa ini 😁
2023-03-06
0