Pagi itu kondisi kesehatan Pak Sukarto kian memburuk. Beliau berkali-kali mengalami penurunan kesadaran sehingga harus melakukan cuci darah lagi.
Elea kian panik dan histeris melihat kondisi ayahnya. Ia terlihat sangat ketakutan dan putus asa. Meskipun berat, Alfa berusaha menjalaskan keadaan ayahnya yang sebenarnya karena Elea berhak tahu semuanya.
“Apa?” Elea kembali menangis pilu dan tak berdaya di hadapan Alfa.
Entah kenapa gadis itu seakan membuatnya de javu. Elea terus saja mengingatkannya pada seseorang. Dan ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi seperti itu.
Sejak kisah cinta pertamanya berakhir mengerikan, Alfa tidak pernah sekalipun memikirkan untuk mendekati gadis lain apalagi menikah. Tapi melihat Elea dan ayahnya membuat Alfa tidak berdaya.
“El, Bapak ingin kita menikah.”
“Apa?”
“Itu yang Bapak katakan semalam. Melihat kondisi Bapak yang seperti ini, saya rasa tidak ada salahnya kita memenuhi keinginan beliau.”
Alfa tahu bahwa tindakannya melanggar hukum dan prinsip yang selama ini dipegangnya dengan teguh, tapi ia tidak tega melihat kondisi Pak Sukarto.
“Ngga, Bapak ngga akan mati!” Elea meringkuk di depan pintu ruangan ayahnya.
Pintu terbuka dan dokter baru saja keluar, “Pasien berhasil melewati masa kritis. Tapi tidak ada jaminan bahwa hal semacam ini tidak terjadi lagi.”
“Dok, apa ayah saya akan meninggal?”
“Berdoa saja ya Elea? Kita upayakan yang terbaik bagi pasien.”
Beberapa jam kemudian, Elea melihat ayahnya mulai sadar. Ia kemudian bergegas lari ke rumahnya untuk mengambil kebaya milik ibunya. Ia juga mengajak kedua sepupunya, Beni dan Tora serta seorang penghulu ke rumah sakit.
“Pak, Elea akan menikah. Bapak pengen lihat Elea nikah kan?”
Pak Sukarto hanya bisa mengedipkan matanya perlahan. Penghulu kemudian menikahkan Alfa Sandi Cokrokusumo Bin Nafan Cokrokusumo dengan Elea Naeswari Binti Sukarto dengan mas kawin uang tiga juta empat ratus dua puluh ribu rupiah dibayar tunai.
Beni kemudian mengabadikan momen itu dengan memotret kedua mempelai bersama Pak Sukarto yang tengah terbaring dengan alat bantu nafas di hidungnya.
Dan satu lagi foto kedua mempelai, Elea dengan kebaya putih milik ibunya dengan rambut masih dikuncir dua dan Alfa yang selalu tampil rapi dan necis dengan setelan jas yang sudah dua hari itu belum sempat digantinya.
Setelah menyaksikan putrinya menikah, Sukarto akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dengan mudah dan tenang. Elea kembali menangis histeris memeluk jasad ayahnya.
***
Alfa tidak bisa meninggalkan Elea sendiri di ruko kecil itu. Bagaimanapun juga Sukarto sudah menitipkan gadis kecil itu kepadanya. Jadi ia memutuskan menunda kepulangannya beberapa hari sampai masa berkabung Elea berlalu.
Sembari menunggu, ia menghabiskan waktu untuk mengeksplor kota kelahiran istri kecilnya itu dan menyempatkan diri mengunjungi bibi Elea, satu-satunya kerabat yang dimiliki istrinya.
Mereka tinggal disebuah rumah kecil berukuran enam kali dua belas meter dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, gudang dan dapur yang menyatu dengan ruang tengah sekaligus ruang tamu yang menjadi tempat tidur, bermain, makan dan bermalas-malasan kedua sepupu laki-lakinya, Beni dan Tora.
Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya keluar dari dapur dengan mengenakan tank top warna fanta dan hotpants. Rupanya wanita itu adalah mucikari yang membantu Elea menemui Bagus Prastowo di rumah bordir waktu itu. Sekarang Alfa tahu kenapa Sukarto tidak ingin Elea tinggal bersama bibinya.
Beberapa hari kemudian Elea dinyatakan naik ke kelas tiga dengan nilai yang sangat memuaskan. Alfa segera mengurus surat kepindahan sekolah Elea ke kota.
"Aku sudah mengurus kepindahan sekolah kamu ke kota. Aku ngga bisa ninggalin kamu disini sendirian dan membuat Bapak kamu khawatir disana."
"Jangan khawatir. Aku sudah berjanji untuk ikut Mas Al. Soal hasil ujian itu ngga usah dipikirkan. Aku mendapatkan nilai bagus itu hanya demi memenuhi keinginan Bapak. Sama halnya dengan menikahi Mas Al."
***
Karena mobil Alfa sangat nyaman dan dikemudikan dengan sangat baik dan hati-hati, maka Elea sangat menikmati delapan jam perjalanan jauh pertamanya itu dengan tertidur lelap, tidak bangun-bangun.
Alfa terpaksa membangunkan Elea ketika mereka sudah tiba di parkiran bawah tanah sebuah apartemen. Alfa kemudian mengajaknya masuk ke pintu bernomor lima kosong lima di lantai lima.
“Adiknya ya, Pak Al?” tanya petugas keamanan ketika mereka berpapasan.
Alfa terpaksa mengangguk karena tidak ingin urusannya jadi tambah panjang.
Elea terperangah melihat apartemen Alfa yang sangat rapi dan nyaman. Semua perabot tersusun rapi dan indah dipandang. Ada sebuah foto Alfa berukuran besar mengenakan setelan rapi dan berpose keren ala aktor korea.
“Apik tenan yo, Mas?”
“Ini kamar kamu. Dan itu kamar saya. Kamar mandi ada disana, itu dapur dan ini meja makan.”
Elea mengikuti Alfa mengelilingi seisi rumahnya.
“Ada beberapa aturan di rumah ini. Pertama, letakkan semua barang kembali ke tempatnya semula. Kedua, saya tidak suka mengantri kamar mandi. Ketiga, gunakan ruangan sesuai fungsinya. Saya tidak ingin kamu makan di ruang tamu atau di dalam kamar. Keempat, saya tidak suka kebisingan. Kelima dan yang paling penting, selama disini kamu adalah adik saya. Tidak boleh ada yang tahu bahwa kita sudah menikah karena kamu masih sekolah dan saya akan dikenai sanksi karena menikahi anak di bawah umur.”
Elea hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasan Alfa yang panjang kali lebar kali tinggi. Ia sangat menantikan datangnya saat makan karena perutnya sudah sangat keroncongan.
Melihat Elea tidak fokus dan hanya memegangi perutnya dengan wajah lesu, Alfa yakin gadis itu pasti sedang kelaparan. Ia kemudian masuk ke kamarnya, mandi, ganti baju lalu menyiapkan makan malam untuk mereka.
Wajah Elea terlihat kembali berbinar melihat makanan yang tengah dimasak Alfa. Ia bahkan tidak sungkan mengusap liur di bibirnya berkali-kali. Alfa memintanya menyiapkan minuman, jadi Elea bergegas membuka kulkas.
Gelandangan di dalam perut Elea seketika meronta-ronta melihat bahan makanan, buah dan aneka camilan tersusun rapi di kulkas Alfa. Ia berkali-kali harus menelan ludahnya karena takut Alfa marah jika ia tiba-tiba saja menghabiskan seisi kulkas itu.
“El!”
“Oh, iya. Sebentar.” Ia mengambil sebotol air putih lalu mengikhlaskan semua makanan yang menggoda imannya untuk tetap dengan sabar menunggunya di dalam kulkas.
Elea tidak menyangka bahwa Alfa ternyata juga jago memasak. Nasi goreng yang dibuatnya malam itu jauh lebih enak dari pada abang nasi goreng yang biasa lewat di depan rumahnya.
“Ngomong-ngomong, nanti aku sekolah dimana, Mas?”
“Besok aku ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Jadi kurasa baru lusa aku bisa mengantarmu melihat-lihat SMA.”
Selesai makan, Alfa langsung mencuci perabot makannya, membersihkan meja makan dan membuat dua cangkir kopi untuk menemani mereka ngobrol.
Sebenarnya Elea tidak terbiasa minum kopi, tapi karena Alfa membuatkannya dan ia adalah tamu yang baru pertama kali datang ke rumah itu, ia terpaksa meminumnya.
Keduanya banyak membicarakan tentang kenangan Elea bersama keluarganya sampai akhirnya Alfa merasa lelah dan memutuskan untuk segera tidur.
“Apa?! Tidur? Gimana mungkin Mas Al pergi tidur setelah nyuruh aku minum kopi?”
“Memangnya kenapa? Apa masalahnya?”
“Aku tidak akan bisa tidur setelah minum kopi.” Elea terlihat ragu, “Mungkin bisa sampai dua hari ke depan.”
“Kurasa itu masalahmu, Nona kecil.”
“Masalahku? Baiklah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments