The Irregular At Elite High School

The Irregular At Elite High School

Bab 1 Introducer

Setiap orang pada dasarnya ingin dikagumi. Menarik perhatian orang-orang dan menjadikan diri sendiri sebagai model bagi orang lainnya adalah sesuatu yang bisa membuat kita bangga. Namun, terkadang orang lupa bahwa tidak semua pandangan yang tertuju ke arahnya itu bersifat positif. Maksudku, tidak semua orang suka disaat kita menjadi lebih baik dalam hal tertentu.

Terkadang bukan perasaan kagum yang muncul pada orang lain, melainkan sebuah perasaan negatif yang justru akan menjadi bumerang kepada diri kita sendiri. Itulah perasaan 'envy'. Kecemburuan itu adalah sesuatu yang berbahaya sehingga tak heran jika ia dimasukan ke dalam tujuh dosa besar manusia.

Kecemburuan itu bagaikan percikan api kecil yang bisa menyulut sifat-sifat negatif lainnya. Ya, aku sudah pernah mengalaminya sepuluh tahun yang lalu dimana keluargaku hancur oleh karena sebuah kecemburuan.

Aku selalu bertanya-tanya, apa sebenarnya kejahatan yang keluarga kami lakukan sehingga kami pantas menerima nasib seperti ini. Saat itu hanya rasa dendam yang menguasaiku. Itu seperti perasaan gatal dan panas yang ingin kulampiaskan ke orang-orang jahat yang telah membuatku jadi seperti ini.

Tapi.. seiring berjalannya waktu aku pun tersadar bahwa semuanya tidaklah sesederhana itu. Seandainya saja.. Ya, seandainya saja dendam ini bisa kubalaskan kepada orang yang telah membuat keluargaku menjadi hancur, apakah semuanya akan berakhir di sana?

Aku terlalu naif. Benar-benar terlalu sederhana aku memikirkannya. Tak pernah terlintas di benakku sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang memihak kepada lawanku saat mereka mengetahui bahwa aku melakukan balas dendam. Bukankah sudah jelas, mereka pasti akan membalas balik hingga akhirnya itu akan menjadi sebuah lingkaran setan yang tak ada putusnya. Itu hanya akan berakhir sampai salah satu pihak benar-benar dilenyapkan. Jadi karena itulah.. aku berpikir dan berpikir lagi mengenai apa yang sebaiknya kulakukan dengan perasaan sakit di hatiku ini.

Sepuluh tahun berlalu. Suatu ketika disaat aku sedang mengunjungi sebuah cafe untuk menjernihkan pikiran dengan secangkir kopi hitam, aku mendengar sesuatu yang menarik di sana.

"Keluarga konglomerat Ichiji?"

Begitu nama itu disebutkan, api dendam yang telah bersemayam di lubuk hatiku seketika berkobar. Aku memasang telingaku baik-baik menyimak isi pembicaraan seorang pelanggan pria dan barista di cafe tersebut.

Tahun ini anak perempuan satu-satunya dari keluarga Ichiji akan bersekolah di Akademi Golden Star. Itu adalah sebuah sekolah elit dengan fasilitas super lengkap dan sistem pendidikan yang spesial. Begitu isi pembicaraan awal mereka.

'Akademi Golden Star?'

Awalnya aku merasa itu bukanlah sesuatu yang penting karena orang miskin sepertiku tidak memiliki harapan untuk masuk ke sekolah elit seperti itu. Namun.. telingaku memanas setelah mendengar bagian selanjutnya.

"Katanya sekolah itu juga menerima siswa dari jalur khusus."

"Oh, benarkah?"

"Ya, tapi ujiannya itu pasti sulit sekali. Kalau kau bisa lolos, mereka akan menyekolahkanmu secara gratis."

"Heeh.. mustahil rasanya. Yang lolos dari jalur umum saja sudah bukan orang-orang biasa, ditambah mereka juga harus mampu membayar kan? Anak-anak elit seperti mereka saja cuma lewat jalur umum. Aku ga bisa membayangkan seperti apa anak yang bisa lolos dari jalur khusus itu."

"Begitulah.. bahkan yang aku dengar peluang lolos dari jalur khusus itu hanyalah dibawah nol koma satu persen."

"Kecil sekali?!"

"Makanya yang lolos dari jalur khusus itu juga akan mendapat julukan yang khusus. Sekolah itu menyebutnya.. Irregular."

Jantungku memompa kencang seperti piston mobil yang ditancap gas penuh. Ini dia! Akhirnya datang juga momen yang telah kutunggu dimana aku bisa terhubung dengan keluarga Ichiji keparat itu.

Aku bergegas keluar meninggalkan cafe. Meski saat ini aku tak melihat ke cermin, tapi aku bisa merasakan kedua ujung bibirku yang tertarik ke atas. Wajahku saat ini pastinya sedang tersenyum lebar.

***

Langit berawan di atas sana tak menurunkan hujan setetes pun. Udara terasa sedikit dingin saat aku turun di depan halte bus yang berada di depan gerbang Akademi Golden Star. Jika kuperhatikan lagi sekolah ini benar-benar mendekati kata 'gila'. Kenapa ada orang yang begitu berniat membuat sekolah sebesar dan semewah ini ya? Siapa pun dia pastinya bukan orang yang normal mengingat tak ada satupun informasi mengenai pendirinya yang bisa diakses.

Saat aku melangkah ke pintu gerbang utama tiba-tiba muncul dua orang penjaga berbadan besar yang memblokir jalanku.

"Ini bukan area umum, dilarang masuk sembarangan!"

"Aku mau mendaftar untuk seleksi khusus."

"Apa yang membawamu kemari?"

"Sudah kubilang kan, aku ke sini untuk ikut seleksi khusus!"

Aku menjawab dengan tegas, namun kedua penjaga itu tak menanggapinya. Mereka tetap memasang badan di depan pintu dengan aura intimidasi yang tampaknya cukup untuk membuat seorang bocah menangis.

Sekilas mungkin terlihat seperti mereka meremehkanku. Entah itu karena aku yang tak terlihat seperti orang kaya atau aku yang tak terlihat seperti orang pintar. Intinya, mereka seperti sudah mengetahui isi buku hanya dari sampulnya saja.

Orang yang bertindak berdasarkan emosi dan perasaannya mungkin akan langsung tersinggung. Tapi jika diperhatikan lagi dengan seksama, rasanya ada sesuatu maksud lain yang tersembunyi dari kalimat dan tata cara mereka bertindak itu.

'Dilarang masuk sembarangan.'

Itu yang dikatakan tadi, jadi mari kita coba lihat siapa saja yang bukan orang sembarangan itu. Aku berdiri di depan gerbang mengamati sejak tadi jadi aku sudah melihat cukup banyak orang berlalu lalang. Sebagian dari mereka yang  membawa tanda pengenal langsung diizinkan masuk. Sebagian lagi yang membawa surat pengantar harus menjalani beberapa prosedur pemeriksaan.

Setelah mengamati itu aku menyadari bahwa ternyata kita memerlukan tanda pengenal atau surat pengantar untuk bisa masuk. Sekarang, dimana aku bisa mendapatkan salah satu dari kedua benda itu? Disaat aku sedang berpikir serius tiba-tiba terdengar suara yang memecah konsentrasiku.

"Ah.. Ikat rambutku!"

Selembar kain berwarna putih tampak melayang tertiup angin ke arahku. Sontak itu membuatku melompat dan menggenggamnya sebelum itu terbang terlalu jauh.

"Syukurlah, untung belum jauh."

Seorang perempuan menghampiriku. Mata yang lebar dengan iris berwarna hitam pekat itu menatapku dalam-dalam. Bibirnya yang tipis dengan warna pink yang cerah kemudian tersenyum. Keheningan menerpa dan waktu seakan berhenti hingga angin pun bertiup kembali, membuat rambut hitam malamnya yang panjang menari di bawah cahaya mentari siang.

"Apa ini punyamu?"

Aku menyerahkan benda di tanganku kepadanya, sebuah kain berwarna putih dengan bordiran hitam di pinggirannya.

"Iya punyaku. Makasih banyak.. hampir aja ini hilang."

Ia menjawab dengan penuh lega.

Biasanya aku tak peduli dengan nasib orang lain karena selama ini orang lain memperlakukanku seperti itu. Namun khusus kali ini mungkin lain cerita karena apa yang kulakukan tadi murni hanyalah sebuah reflek.

Ia lantas menyatukan rambutnya dengan kedua tangan dan mengikatnya menggunakan kain putih tersebut. Aku cukup kagum dengan kelihaiannya yang bisa mengikat rambutnya dengan begitu mudah dan rapi.

"Oh, jadi itu ikat rambut?"

"Iya biarpun cuma kain begini aja, tapi aku suka."

Ia pun tersenyum puas bersamaan dengan sebuah simpul pita yang telah terikat rapi di belakang kepalanya. Baru pertama kali ini aku bertemu dengan perempuan yang aneh. Keakraban yang orang ini pancarkan sungguh tidak biasa hinga membuatku sedikit takut.

'Aku kan orang asing, kenapa dia malah bisa akrab?'

Pertanyaan itu menggema di kepalaku. Sebagai seorang introvert, bertemu dengan orang yang memiliki kebalikan dari sifat alamiku ini memang sesuatu yang sedikit sulit diterima dengan akal sehat.

"Kamu mau tes masuk sekolah ini juga?"

Pertanyaan perempuan itu membuatku kembali ke topik permasalahan utama.

"Begitulah, aku mau coba seleksi khusunya."

Ekspresi perempuan itu berubah heran seperti ia baru saja mendengar sesuatu yang sangat tidak masuk akal.

"Apa seaneh itu yang barusan kubilang?"

"Jelaslah aneh. Lagian seleksi khusus itu kelihatannya belum diterapkan. Mungkin juga itu cuma kebohongan pihak sekolah karena setiap kali ada yang menanyakan mengenainya mereka ga pernah memberikan jawaban apa pun. Ya.. rasanya seakan informasi mengenai ujian khusus itu ga pernah ada."

"Kamu kok ga ikut seleksi umum aja?"

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Rasanya aku ingin mengelak atau mengganti topik saja, namun melihat ekspresinya yang tampak begitu polos dan penasaran akhirnya membuatku tak punya pilihan lain.

"Uang.. aku ga punya uang untuk sekolah semahal ini."

Mendengar jawabanku yang begtu sulit tampaknya membuat ia tersadar kalau ia telah menanyakan sesuatu yang tak pantas. Ia pun langsung panik dan berusaha menghiburku.

Aku yakin ia dari keluarga yang berada. Bayangan mengenai situasi ekonomi dimana seseorang sampai tak mampu untuk membayar sekolah tampaknya tak pernah terbayang di benaknya.

"Ga apa kok. Alasanku kesini juga bukan karena pendidikan."

"Kok aneh? Bukannya orang ke sini karena mau masuk sekolah terbaik ya."

"Untuk yang normal, iya. Sayangnya aku punya alasan yang rumit."

Perasaanku sedikit muram setelah mengatakan itu. Keheningan pun melanda kami sebelum ia akhirnya kembali bicara.

"Oh iya.. aku pernah dengar!"

'"Katanya pada setiap acara sambutan siswa baru akan diumumkan jumlah siswa yang diterima pada tahun itu. Anehnya, saat itu tidak hanya jumlah siswa dari jalur umum yang diumumkan. Mereka juga mengumumkan jumlah siswa dari jalur khusus dimana setiap tahunnya.. angka itu selalu berjumlah nol."

Barusan itu adalah informasi yang sangat penting yang baru saja masuk ke telingaku. Seperti sebuah cahaya redup yang menyala di tengah kegelapan yang pekat. Harapan sepertinya masih belum sirna di sini.

"Ah, sudah hampir waktunya!"

Ia langsung panik saat melihat ke jam tangannya.

"Maaf aku harus pergi. Makasih banyak ya, udah ngembaliin ikat rambutku."

Ia pun membungkuk dalam-dalam sebelum pergi menuju ke gerbang sekolah. Tepat sebelum melewati gerbang, tiba-tiba ia berhenti dan berbalik lagi melihatku. Jarak kami masih hanya sekitar lima meter jadi aku bisa melihat sebuah kegugupan yang tergambar di wajahnya.

"Boleh aku tahu namamu?"

Ucapnya dengan sedikit canggung. Siapa sangka, ia yang sepertinya mudah untuk akrab dengan orang lain masih bisa merasakan canggung hanya karena masalah nama.

"Shunsaku Tomo."

Sudah lama aku tak berkenalan dengan seseorang. Di saat seperti ini biasanya aku mengucapkan namaku dengan cuek dan santainya. Namun entah kenapa, saat harus bertukar nama dengan perempuan itu.. ada sebuah perasaan aneh yang muncul di hatiku. Perasaan Ini.. bukanlah sesuatu yang enak.

"Namaku.. Ichiji Sei. Salam kenal."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!