NovelToon NovelToon

The Irregular At Elite High School

Bab 1 Introducer

Setiap orang pada dasarnya ingin dikagumi. Menarik perhatian orang-orang dan menjadikan diri sendiri sebagai model bagi orang lainnya adalah sesuatu yang bisa membuat kita bangga. Namun, terkadang orang lupa bahwa tidak semua pandangan yang tertuju ke arahnya itu bersifat positif. Maksudku, tidak semua orang suka disaat kita menjadi lebih baik dalam hal tertentu.

Terkadang bukan perasaan kagum yang muncul pada orang lain, melainkan sebuah perasaan negatif yang justru akan menjadi bumerang kepada diri kita sendiri. Itulah perasaan 'envy'. Kecemburuan itu adalah sesuatu yang berbahaya sehingga tak heran jika ia dimasukan ke dalam tujuh dosa besar manusia.

Kecemburuan itu bagaikan percikan api kecil yang bisa menyulut sifat-sifat negatif lainnya. Ya, aku sudah pernah mengalaminya sepuluh tahun yang lalu dimana keluargaku hancur oleh karena sebuah kecemburuan.

Aku selalu bertanya-tanya, apa sebenarnya kejahatan yang keluarga kami lakukan sehingga kami pantas menerima nasib seperti ini. Saat itu hanya rasa dendam yang menguasaiku. Itu seperti perasaan gatal dan panas yang ingin kulampiaskan ke orang-orang jahat yang telah membuatku jadi seperti ini.

Tapi.. seiring berjalannya waktu aku pun tersadar bahwa semuanya tidaklah sesederhana itu. Seandainya saja.. Ya, seandainya saja dendam ini bisa kubalaskan kepada orang yang telah membuat keluargaku menjadi hancur, apakah semuanya akan berakhir di sana?

Aku terlalu naif. Benar-benar terlalu sederhana aku memikirkannya. Tak pernah terlintas di benakku sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang memihak kepada lawanku saat mereka mengetahui bahwa aku melakukan balas dendam. Bukankah sudah jelas, mereka pasti akan membalas balik hingga akhirnya itu akan menjadi sebuah lingkaran setan yang tak ada putusnya. Itu hanya akan berakhir sampai salah satu pihak benar-benar dilenyapkan. Jadi karena itulah.. aku berpikir dan berpikir lagi mengenai apa yang sebaiknya kulakukan dengan perasaan sakit di hatiku ini.

Sepuluh tahun berlalu. Suatu ketika disaat aku sedang mengunjungi sebuah cafe untuk menjernihkan pikiran dengan secangkir kopi hitam, aku mendengar sesuatu yang menarik di sana.

"Keluarga konglomerat Ichiji?"

Begitu nama itu disebutkan, api dendam yang telah bersemayam di lubuk hatiku seketika berkobar. Aku memasang telingaku baik-baik menyimak isi pembicaraan seorang pelanggan pria dan barista di cafe tersebut.

Tahun ini anak perempuan satu-satunya dari keluarga Ichiji akan bersekolah di Akademi Golden Star. Itu adalah sebuah sekolah elit dengan fasilitas super lengkap dan sistem pendidikan yang spesial. Begitu isi pembicaraan awal mereka.

'Akademi Golden Star?'

Awalnya aku merasa itu bukanlah sesuatu yang penting karena orang miskin sepertiku tidak memiliki harapan untuk masuk ke sekolah elit seperti itu. Namun.. telingaku memanas setelah mendengar bagian selanjutnya.

"Katanya sekolah itu juga menerima siswa dari jalur khusus."

"Oh, benarkah?"

"Ya, tapi ujiannya itu pasti sulit sekali. Kalau kau bisa lolos, mereka akan menyekolahkanmu secara gratis."

"Heeh.. mustahil rasanya. Yang lolos dari jalur umum saja sudah bukan orang-orang biasa, ditambah mereka juga harus mampu membayar kan? Anak-anak elit seperti mereka saja cuma lewat jalur umum. Aku ga bisa membayangkan seperti apa anak yang bisa lolos dari jalur khusus itu."

"Begitulah.. bahkan yang aku dengar peluang lolos dari jalur khusus itu hanyalah dibawah nol koma satu persen."

"Kecil sekali?!"

"Makanya yang lolos dari jalur khusus itu juga akan mendapat julukan yang khusus. Sekolah itu menyebutnya.. Irregular."

Jantungku memompa kencang seperti piston mobil yang ditancap gas penuh. Ini dia! Akhirnya datang juga momen yang telah kutunggu dimana aku bisa terhubung dengan keluarga Ichiji keparat itu.

Aku bergegas keluar meninggalkan cafe. Meski saat ini aku tak melihat ke cermin, tapi aku bisa merasakan kedua ujung bibirku yang tertarik ke atas. Wajahku saat ini pastinya sedang tersenyum lebar.

***

Langit berawan di atas sana tak menurunkan hujan setetes pun. Udara terasa sedikit dingin saat aku turun di depan halte bus yang berada di depan gerbang Akademi Golden Star. Jika kuperhatikan lagi sekolah ini benar-benar mendekati kata 'gila'. Kenapa ada orang yang begitu berniat membuat sekolah sebesar dan semewah ini ya? Siapa pun dia pastinya bukan orang yang normal mengingat tak ada satupun informasi mengenai pendirinya yang bisa diakses.

Saat aku melangkah ke pintu gerbang utama tiba-tiba muncul dua orang penjaga berbadan besar yang memblokir jalanku.

"Ini bukan area umum, dilarang masuk sembarangan!"

"Aku mau mendaftar untuk seleksi khusus."

"Apa yang membawamu kemari?"

"Sudah kubilang kan, aku ke sini untuk ikut seleksi khusus!"

Aku menjawab dengan tegas, namun kedua penjaga itu tak menanggapinya. Mereka tetap memasang badan di depan pintu dengan aura intimidasi yang tampaknya cukup untuk membuat seorang bocah menangis.

Sekilas mungkin terlihat seperti mereka meremehkanku. Entah itu karena aku yang tak terlihat seperti orang kaya atau aku yang tak terlihat seperti orang pintar. Intinya, mereka seperti sudah mengetahui isi buku hanya dari sampulnya saja.

Orang yang bertindak berdasarkan emosi dan perasaannya mungkin akan langsung tersinggung. Tapi jika diperhatikan lagi dengan seksama, rasanya ada sesuatu maksud lain yang tersembunyi dari kalimat dan tata cara mereka bertindak itu.

'Dilarang masuk sembarangan.'

Itu yang dikatakan tadi, jadi mari kita coba lihat siapa saja yang bukan orang sembarangan itu. Aku berdiri di depan gerbang mengamati sejak tadi jadi aku sudah melihat cukup banyak orang berlalu lalang. Sebagian dari mereka yang  membawa tanda pengenal langsung diizinkan masuk. Sebagian lagi yang membawa surat pengantar harus menjalani beberapa prosedur pemeriksaan.

Setelah mengamati itu aku menyadari bahwa ternyata kita memerlukan tanda pengenal atau surat pengantar untuk bisa masuk. Sekarang, dimana aku bisa mendapatkan salah satu dari kedua benda itu? Disaat aku sedang berpikir serius tiba-tiba terdengar suara yang memecah konsentrasiku.

"Ah.. Ikat rambutku!"

Selembar kain berwarna putih tampak melayang tertiup angin ke arahku. Sontak itu membuatku melompat dan menggenggamnya sebelum itu terbang terlalu jauh.

"Syukurlah, untung belum jauh."

Seorang perempuan menghampiriku. Mata yang lebar dengan iris berwarna hitam pekat itu menatapku dalam-dalam. Bibirnya yang tipis dengan warna pink yang cerah kemudian tersenyum. Keheningan menerpa dan waktu seakan berhenti hingga angin pun bertiup kembali, membuat rambut hitam malamnya yang panjang menari di bawah cahaya mentari siang.

"Apa ini punyamu?"

Aku menyerahkan benda di tanganku kepadanya, sebuah kain berwarna putih dengan bordiran hitam di pinggirannya.

"Iya punyaku. Makasih banyak.. hampir aja ini hilang."

Ia menjawab dengan penuh lega.

Biasanya aku tak peduli dengan nasib orang lain karena selama ini orang lain memperlakukanku seperti itu. Namun khusus kali ini mungkin lain cerita karena apa yang kulakukan tadi murni hanyalah sebuah reflek.

Ia lantas menyatukan rambutnya dengan kedua tangan dan mengikatnya menggunakan kain putih tersebut. Aku cukup kagum dengan kelihaiannya yang bisa mengikat rambutnya dengan begitu mudah dan rapi.

"Oh, jadi itu ikat rambut?"

"Iya biarpun cuma kain begini aja, tapi aku suka."

Ia pun tersenyum puas bersamaan dengan sebuah simpul pita yang telah terikat rapi di belakang kepalanya. Baru pertama kali ini aku bertemu dengan perempuan yang aneh. Keakraban yang orang ini pancarkan sungguh tidak biasa hinga membuatku sedikit takut.

'Aku kan orang asing, kenapa dia malah bisa akrab?'

Pertanyaan itu menggema di kepalaku. Sebagai seorang introvert, bertemu dengan orang yang memiliki kebalikan dari sifat alamiku ini memang sesuatu yang sedikit sulit diterima dengan akal sehat.

"Kamu mau tes masuk sekolah ini juga?"

Pertanyaan perempuan itu membuatku kembali ke topik permasalahan utama.

"Begitulah, aku mau coba seleksi khusunya."

Ekspresi perempuan itu berubah heran seperti ia baru saja mendengar sesuatu yang sangat tidak masuk akal.

"Apa seaneh itu yang barusan kubilang?"

"Jelaslah aneh. Lagian seleksi khusus itu kelihatannya belum diterapkan. Mungkin juga itu cuma kebohongan pihak sekolah karena setiap kali ada yang menanyakan mengenainya mereka ga pernah memberikan jawaban apa pun. Ya.. rasanya seakan informasi mengenai ujian khusus itu ga pernah ada."

"Kamu kok ga ikut seleksi umum aja?"

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Rasanya aku ingin mengelak atau mengganti topik saja, namun melihat ekspresinya yang tampak begitu polos dan penasaran akhirnya membuatku tak punya pilihan lain.

"Uang.. aku ga punya uang untuk sekolah semahal ini."

Mendengar jawabanku yang begtu sulit tampaknya membuat ia tersadar kalau ia telah menanyakan sesuatu yang tak pantas. Ia pun langsung panik dan berusaha menghiburku.

Aku yakin ia dari keluarga yang berada. Bayangan mengenai situasi ekonomi dimana seseorang sampai tak mampu untuk membayar sekolah tampaknya tak pernah terbayang di benaknya.

"Ga apa kok. Alasanku kesini juga bukan karena pendidikan."

"Kok aneh? Bukannya orang ke sini karena mau masuk sekolah terbaik ya."

"Untuk yang normal, iya. Sayangnya aku punya alasan yang rumit."

Perasaanku sedikit muram setelah mengatakan itu. Keheningan pun melanda kami sebelum ia akhirnya kembali bicara.

"Oh iya.. aku pernah dengar!"

'"Katanya pada setiap acara sambutan siswa baru akan diumumkan jumlah siswa yang diterima pada tahun itu. Anehnya, saat itu tidak hanya jumlah siswa dari jalur umum yang diumumkan. Mereka juga mengumumkan jumlah siswa dari jalur khusus dimana setiap tahunnya.. angka itu selalu berjumlah nol."

Barusan itu adalah informasi yang sangat penting yang baru saja masuk ke telingaku. Seperti sebuah cahaya redup yang menyala di tengah kegelapan yang pekat. Harapan sepertinya masih belum sirna di sini.

"Ah, sudah hampir waktunya!"

Ia langsung panik saat melihat ke jam tangannya.

"Maaf aku harus pergi. Makasih banyak ya, udah ngembaliin ikat rambutku."

Ia pun membungkuk dalam-dalam sebelum pergi menuju ke gerbang sekolah. Tepat sebelum melewati gerbang, tiba-tiba ia berhenti dan berbalik lagi melihatku. Jarak kami masih hanya sekitar lima meter jadi aku bisa melihat sebuah kegugupan yang tergambar di wajahnya.

"Boleh aku tahu namamu?"

Ucapnya dengan sedikit canggung. Siapa sangka, ia yang sepertinya mudah untuk akrab dengan orang lain masih bisa merasakan canggung hanya karena masalah nama.

"Shunsaku Tomo."

Sudah lama aku tak berkenalan dengan seseorang. Di saat seperti ini biasanya aku mengucapkan namaku dengan cuek dan santainya. Namun entah kenapa, saat harus bertukar nama dengan perempuan itu.. ada sebuah perasaan aneh yang muncul di hatiku. Perasaan Ini.. bukanlah sesuatu yang enak.

"Namaku.. Ichiji Sei. Salam kenal."

***

Bab 2 Discover

Kenyataan itu adalah sesuatu yang mengejutkan. Ada juga yang bilang kalau itu adalah sesuatu yang jahat. Kita manusia hanyalah mahkluk lemah yang harus bisa menerima setiap kenyataan yang diberikan olehNya.

Hal yang paling berat untukku adalah disaat itu harus membuatku merasa marah dan sedih secara bersamaan.. Ya, percis seperti saat ini. Aku tak bisa berkata-kata dan hanya bisa memandangi punggung perempuan itu yang tengah berjalan memasuki Akademi Golden Star.

'Apa ini nyata?'

Itulah yang terlintas di benakku. Siapa yang menyangka, kami yang baru saja bertemu dan saling berkenalan ternyata akan berujung menjadi musuh satu sama lain.

'Tidak.'

Sepertinya ia tidak mengingatku. Kalau begitu di pikirannya mungkin aku masihlah seseorang yang pernah menolongnya.. Seorang yang mungkin selanjutnya ia harapkan untuk bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik tentunya.

Sayang.. Dibandingkan itu, apa yang ada di pikiranku sekarang mengenainya adalah sesuatu yang sungguh jauh berbeda

'Ichiji Sei.'

Semenjak mendengar nama tersebut, aku seketika mengingatnya kembali. Ichiji Sei merupakan nama anak perempuan satu-satunya dari keluarga Ichiji, atau dengan kata lain.. ialah tujuan utamaku datang ke sekolah ini.

Aku mencoba menenangkan perasaanku yang bercampur aduk. Untuk sekarang jelas lebih baik fokus dulu di sini. Jika aku gagal diterima di sekolah ini, semua rencana balas dendam itu adalah hal yang percuma. Tak akan ada yang bisa kulakukan padanya jika kami tak diterima di sekolah yang sama.

Aku menatap ke arah penjaga yang masih bersiaga di depan gerbang. Otakku pun mulai memproses semua informasi berdasarkan petunjuk yang telah kulihat dan kudengar tadi. Beberapa menit berlalu dan aku akhirnya sampai pada hipotesa yang sedikit gila.

Hipotesa yang pertama adalah ujian khusus ini sebenarnya memanglah ada, tapi terkait detailnya tak pernah dijabarkan atau dalam artian lain mereka sengaja menyembunyikannya dan membuat peserta menerkanya sendiri.

Jika itu memang benar, lalu bagaimana caranya memulai ujian ini? Hipotesa yang kedua adalah ujian khusus ini dimulai dari tempatku berdiri sekarang. Ya.. tempat dimana seseorang untuk pertama kalinya mulai menginjakan kakinya di Akademi Golden Star.

'Gerbang Sekolah.'

Untuk bisa memasuki gerbang seperti ini biasanya kita harus menunjukan suatu barang khusus yang membuat penjaga mengakui kita, seperti ID misalnya. Namun selain barang, sebenarnya ada juga hal lain yang bisa menggantikannya.

Itu adalah sesuatu yang diucapkan dan diketahui hanya oleh si pengunjung dan juga si penjaga gerbang. Sesuatu yang akan membawa sang pengunjung masuk ke dalam dan diterima dengan baik tersebut adalah.. Ya, itu adalah sebuah 'sandi'.

Aku melihat ke atas gerbang. Di sana terpasang sebuah ukiran besar yang membentang dari ujung gapura hingga ke ujung yang lain. Sebuah gambaran langit malam dengan sebuah bintang besar di tengah yang digambarkan memancarkan cahaya ke seluruh penjuru.

'Apa itu matahari?'

Sepertinya bukan. Jika melihat dari nama sekolahnya, 'Golden Star' berarti bintang emas, dimana emas itu merupakan logam yang biasanya diberikan kepada sang juara atau mereka yang berada di peringkat pertama. Lalu jika ditarik hubungan antara emas dan bintang itu sendiri maka hanya ada satu jawaban.

Aku mendekat ke gerbang sekolah lagi dan sama seperti sebelumnya, kedua penjaga itu segera menghadang kembali.

"Apa yang membawamu kemari?"

Sudah kuduga, pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.

"Cahaya dari bintang paling terang di langit malam, Sang Alfa Canis Major atau juga yang biasa disebut.. Sirius."

Meski memiliki ekspresi yang datar, aku menyadari rasa keterkejutan yang muncul tiba-tiba dari tatapan mata mereka.

"Silahkan ikuti saya."

Salah seorang dari penjaga itu memintaku untuk mengikutinya. Jadi hipotesaku benar kalau sandi itu adalah jawaban yang tepat untuk memulai ujian khusus ini.

Aku berjalan di belakang si penjaga. Kami menyusuri sebuah taman yang megah dengan pohon-pohon dan semak-semak penuh dengan bunga berwarna-warni. Rasanya ini seperti berada di negeri fantasi. Lagi pula.. siapa yang akan percaya bahwa ada tempat seindah ini tengah perkotaan yang telah penuh dengan beton.

"Kita sampai."

Di tengah-tengah taman terdapat sebuah area jamuan dengan seorang wanita yang tengah duduk di sana sambil asik membaca buku. Ia memiliki rambut lurus coklat dengan panjang sebahu. Ia mengenakan setelan jas dan sebuah rok, itu tampak cukup formal dan membuatku langsung bisa menebak bahwa ia juga adalah salah seorang staff di sekolah ini.

"Permisi, maaf mengganggu waktu anda."

Ucap sang penjaga dengan penuh hormat.

"Saya membawa seorang tamu untuk anda."

'Tamu katanya?'

Itu sedikit membuatku geli karena aku tidak merasa datang untuk bertamu di sini. Kami tidak saling kenal, tapi jika ia menyebutku sebagai tamu.. berarti wanita ini adalah seseorang yang memang harus kutemui.

"Oh ya, kupikir tak akan pernah ada yang bisa sampai ke sini."

Wanita itu memberikan kode, lalu penjaga itu pun pergi meninggalkan kami.

"Silahkan duduk."

Ucapnya sambil mengambil teko yang ada di meja dan menuangkan sesuatu ke dalam cangkir.

"Mari minum teh dulu sambil mengobrol."

"Terima kasih."

Perlakuan yang kudapat kali ini sungguh berbeda dari yang sebelumnya. Kedua penjaga tadi begitu dingin dan menyeramkan, tapi wanita ini tampak ramah dan bahkan memberikanku secangkir minuman.

"Oh ya, namaku Haruka. Salah satu Sensei di sekolah ini."

"Saya Shunsaku Tomo, mohon kerja samanya."

"Jangan tegang-tegang. Rileks aja.. Di ujian tahap kedua ini kita punya banyak waktu, jadi sambil ngeteh sekali pun kita juga bisa."

Keheningan muncul sesaat sebelum akhirnya aku mulai mengajukan pertanyaan.

"Apakah kita akan memainkan sebuah games?"

Haruka Sensei tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Kenapa menurutmu itu adalah sebuah games?"

"Itu bisa kita lakukan sambil ngeteh kan? Ada kata 'kita' di sana yang berarti itu adalah sesuatu yang akan dilakukan oleh lebih dari satu orang."

"Hooh.. terus-terus?"

Haruka Sensei kian tertarik.

"Sesuatu yang biasanya dilakukan oleh dua orang di tengah area jamuan taman sambil bersantai menghabiskan waktu dan minum teh. Jika itu bukan sekedar mengobrol.. berarti itu adalah sebuah games."

"Itu hipotesa yang bagus. Terus.. menurutmu games apa yang akan kita mainkan?"

Dari pertanyaan tersebut berarti benar bahwa itu adalah sebuah games. Lalu untuk games apa yang akan kita mainkan kemungkinan besar adalah games papan. Sebuah game yang cocok dimainkan oleh dua orang dengan mengasah strategi dan kelihaiannya dalam pengambilan keputusan.

Namun sebenarnya ada banyak jenis dari game papan itu sendiri. Bagaimana caranya aku bisa tahu game apa yang akan dipilih olehnya?

Pandanganku sesaat beralih ke taman yang ada di sekeliling kami. Kalau diperhatikan, meski ini memanglah di Jepang, tapi dari model taman dan suasananya sendri tampak justru bergaya barat. Begitu pula dengan tempat kami melakukan ujian ini memiliki pilar-pilar dengan ukiran bergaya romawi ditambah juga sebuah atap kubah putih yang menghalau sinar matahari.

"Gimana? Sudah bisa menebak?"

"Sepertinya."

"Baiklah.. tapi kalau sampai salah, ujianmu ini kuanggap gagal ya."

Ucapan yang bernada ancaman itu sama sekali tidak membuatku gentar.

"Games yang akan kita mainkan.. adalah catur. Benar kan?"

"Ya, itu benar."

Haruka Sensei memang bertepuk tangan mengucapkan selamat. Namun diwajahnya itu tak tergambar sedikitpun keterkejutan.

"Selamat datang di ujian khusus tahap kedua. Sekarang.. mari kita mulai ujiannya."

Permukaan meja di depanku tiba-tiba terbelah dan sebuah papan catur lengkap dengan bidak-bidaknya muncul ke permukaan. Siapa sangka jika meja batu yang ada di tengah taman seperti ini ternyata begitu canggih.

Benda ini bisa mengeluarkan papan catur. Selanjutnya apa lagi yang bisa ia keluarkan? Sebuah pizza kah? Tampaknya aku harus mulai terbiasa dengan hal seperti ini mengingat tempat ini juga merupakan sekolah elit.

Haruka Sensei memulai permainan duluan karena ia mengambil sisi putih. Untuk catur sebenarnya aku tak memiliki minat khusus. Namun untuk sesuatu yang memerlukan strategi dan konsentrasi dalam pengambilan keputusan.. aku cukup percaya diri.

Waktu berlalu tanpa terasa dan kami sampai di pertengahan pertandingan. Ini adalah sebuah pertandingan yang sulit dimana Haruka sensei tidak memberikan sedikit pun celah. Umumnya seseorang akan melakukan satu atau dua kesalahan, tapi tidak untuk lawanku yang satu ini. Setiap langkahnya seperti merupakan sebuah pengambilan keputusan terbaik dari sekian banyaknya kemungkinan yang ada.

'Apa ia curang?'

Entahlah. Tak ada tanda-tanda kecurangan yang kulihat. Jika ini benar-benar kemampuan aslinya berarti saat ini aku sedang berhadapan dengan seorang grand master. Ya, seperti namanya.. ujian khusus bukanlah sembarang ujian karena sebuah kesalahan sama dengan kegagalan.

"Ah!"

Haruka sensei akhirnya melakukan sebuah kesalahan. Meski tidaklah begitu fatal, tapi ekspresinya itu pun seketika menegang. Alis matanya yang semula melengkung rileks kini tampak menukik tajam.

Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menyerangnya tanpa ampun. Haruka Sensei semakin kehilangan ketenangannya. Formasinya pun akhirnya goyah dan aku berhasil menyudutkan rajanya. Ia mungkin bermain seperti seorang grand master, tapi seorang grand master pun tetaplah manusia yang bisa melakukan kesalahan.

"A-Aku.. mengaku kalah."

"Pertandingan yang bagus. Terima kasih sensei."

"Memang pertandingan yang bagus, tapi apa-apaan tadi itu?! Tak ada kesalahan satu pun dan setiap langkahmu sempurna sampai di akhir.. Apa kamu curang?"

"Mana mungkin. Lagi pula apa boleh buat kan.. Kalau aku tidak bermain seperti itu, apa mungkin aku menang melawan grand master?"

Haruka Sensei tak mengelak saat aku menyebutnya grand master. Pertanyaanku mungkin membuat ia tersadar bahwa dirinya sendiri adalah lawan yang sangat berat sehingga tak mungkin seorang amatir bisa mengalahkannya. Mereka yang ingin lolos haruslah berada di level yang setara dengan grand master.. atau mungkin berada di atasnya.

"Baiklah.. Yang kamu bilang itu benar. Aku hanya tak bisa percaya karena kalah dari anak SMA."

Haruka Sensei menghela napas sesaat membuat ketenangannya yang tadinya sempat hilang itu kembali.

"Untuk ujian tahap akhir akan diadakan di gedung utama. Sampai di sana katakanlah bahwa aku yang mengirimmu dan selanjutnya kamu pun akan diberitahu harus kemana."

"Baiklah.. Kalau begitu aku per-."

"Selanjutnya.."

Sensei menghentikanku sesaat sebelum berpamitan. Aku bisa merasakan aura intimidasi yang kuat darinya. Terutama di dalam bola matanya yang menatapku dengan tajam itu.. sesuatu sedang berkobar.

"Selanjutnya akulah yang akan menang."

Ucap Haruka Sensei dengan menantang. Yah, pernyataan konfrontasi itu adalah sesuatu yang memang ingin kudengar darinya. Aku pun tersenyum, seolah menyambut tantangannya dengan penuh keyakinan juga.

***

Bab 3 Fate

[Sudut Pandang Ichiji Sei]

Berbakti kepada orang tua itu adalah sebuah kewajiban bagi seorang anak. Karena itu, aku selalu ingin menjadi anak yang baik dan bisa membuat mereka bangga.

Aku juga tidak pernah rewel dan selalu penurut. Dari kami yang masih hidup sederhana sampai dengan bergelimang harta pun sifatku tidaklah pernah berubah.

Namun tak ada gading yang tak retak. Orang tuaku yang tampak begitu baik sebenarnya juga memiliki sisi gelapnya. Sebagai anak yang penurut sekalipun, diriku tetap tidak bisa menutup mata atas apa yang telah mereka lakukan.

Aku masih ingat.. dulu saat aku masih kecil orang tuaku pernah mengajakku bertemu dengan sebuah keluarga bernama 'Shunsaku'. Mereka bergerak di bisnis yang sama dengan kami, hanya saja mereka jauh lebih sukses. Mereka juga memiliki satu orang anak laki-laki, dan nama anak itu adalah 'Shunsaku Tomo'.

Ia adalah anak yang ceria dan juga cerdas. Ia memiliki wajah yang manis dan sepasang lesung pipi di kedua sisinya yang akan muncul saat ia tersenyum.

Sayang, kenyataan berubah menjadi begitu jahat. Aku yang sempat merasa akan bisa berteman baik dengannya harus mengubur pikiran itu dalam-dalam. Entah karena apa, tak ada yang mau memberitahuku.. Yang pasti saat itu aku tak pernah lagi melihat keluarga Shunsaku.

"Ayah sudah bilang, jangan sebut nama keluarga itu lagi!"

Itulah jawaban yang kudapat saat mencoba menanyakan mengenai keluarga Shunsaku. Disitu juga untuk pertama kalinya aku melihat ayahku benar-benar marah. Ia yang selama ini biasanya selalu lembut dan memanjakanku tiba-tiba meninggikan suaranya dan berwajah menyeramkan.

Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Namun aku memilih untuk memihak orang tuaku dan beranggapan bahwa keluarga Shunsaku-lah yang telah melakukan hal buruk kepada ayah.

Aku tak berani untuk menanyakannya lagi dan diam-diam mencari jawabannya sendiri. Kemudian suatu malam.. saat sedang menyelinap secara tidak sengaja mendengar percakapan kedua orang tuaku mengenai apa yang telah terjadi di masa lalu.

Saat itulah aku mengetahui kenyataannya. Itu adalah sebuah kenyataan yang menyedihkan dimana keluarga Shunsaku telah hancur. Lalu kenyataan yang lebih membuat hatiku remuk lagi adalah keluarga Ichiji.. Ya, keluargaku ini.. adalah dalang dibalik kehancuran Shunsaku.

Tiba-tiba aku seperti merasa kehilangan kekuatan di kedua lututku. Perutku pun terasa mual akibat perasaan aneh yang begitu mengejutkan. Aku bergegas menuju kamar dan bersembunyi di balik selimut. Sepanjang malam itu aku menangis.. membiarkan air mataku bercerita mengenai kejamnya sebuah kenyataan

***

Hidup akan terus berjalan meski kita tidak menyukainya. Menjalani hidup dengan perasaan seperti itu tentu tidaklah menyenangkan. Rasanya seperti zombie.. Dibilang mati, tapi tetap hidup.

Hari ini aku akan mengikuti ujian masuk Akademi Golden Star. Itu adalah sebuah sekolah elit terbaik, tempat berkumpulnya orang-orang berbakat dalam berbagai bidang.

Sekolah itu tidak hanya memanjakan siswanya dengan fasilitas yang super lengkap. Katanya mereka yang lulus dari sana juga sudah dipastikan akan mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih dari sekedar layak. Kedengarannya hebat.. tapi semua itu bukanlah alasan utamaku datang ke sana.

Aku tertarik pada sekolah ini setelah mengetahui bahwa ia memiliki sebuah aturan yang unik. Aturan tersebut mengharuskan kepada para siswa untuk tinggal di asrama sekolah. Asrama akan dibagi menjadi laki-laki dan perempuan, serta angkatannya. Hanya siswa yang boleh masuk ke asrama dan dilarang untuk membawa keluarga serta pihak dari luar.

'Inilah alasanku datang ke sini.'

Sungguh, tujuan utamaku ingin bersekolah di sini adalah karena adanya aturan ini. Aku mulai bisa membayangkan rasanya tinggal sendirian dan melupakan tentang kepura-puraan yang selama ini kulakukan di rumah. Harus terus berpura-pura tersenyum dan merasa bahagia seperti itu di rumah.. Sungguh, aku sudah tidak kuat!

Semenjak mengetahui kebenaran yang tersembunyi itu, pandanganku terhadap kedua orang tuaku berubah. Ada sebuah rasa ketakutan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.. Sebuah perasaan tidak tenang yang membuatku sewaktu-waktu seolah sedang merasa terancam. Memikirkan itu membuatku semakin merasa lemas.. Astaga, aku ingin cepat-cepat bisa berada di asrama sekolah.

Disaat aku berjalan mendekati gerbang sekolah.. angin tiba-tiba berhembus dengan kencang, membuat ikat rambut kesayanganku terlepas dan terbang terbawa angin.

"Ah.. Ikat rambutku!"

Untungnya seseorang laki-laki yang juga ada di dekat sana menangkapnya. Ia memiliki rambut kecoklatan yang lurus dan alis matanya yang tebal melengkung dengan rapi. Saat itu seketika jantungku berdegup dengan kencang.

'Shu-Shunsaku?!'

Perasaanku langsung bercampur aduk. Bagaimana kalau ia sampai mengetahui identitasku? Apa ia akan langsung membenciku? Menghindarinya atau berpura-pura tidak kenal mungkin adalah pilihan yang terbaik. Aku tahu itu, tapi anehnya.. tubuhku malah tidak mau melakukannya. Tubuhku justru mulai melangkah.. lalu kemudian berlari menghampirinya yang ada di sana.

"Syukurlah, untung belum jauh."

Kali ini aku bisa melihatnya yang tepat ada di depanku dengan jelas. Banyak hal yang tampaknya sudah berubah dari dirinya. Ekspresi wajahnya yang dulu manis itu kini telah menjadi dingin. Bahkan, dari bagaimana ia kini menatapku pun sudah sangat berbeda.

Di matanya yang dulu penuh dengan keceriaan dan kehangatan itu kini tampak terasa kosong. Meskipun begitu.. bagiku ia masih tetap menjadi Shunsaku Tomo yang kukenal. Aku yakin ada bagian di dalam dirinya yang tidak berubah.. Ya, seperti bagaimana ia mengembalikan ikat rambutku ini.

'Mungkinkah..'

Mungkinkah ini sebuah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan? Jika iya.. Jika kami bisa sama-sama berada di sekolah ini.. aku tak peduli meski harus melakukan apa pun, kali ini aku berjanji akan memperbaiki semuanya.

Siang itu di depan gerbang Akademi Golden Star, aku membuat sebuah janji.

***

[Sudut Pandang Amasawa Yuki]

Seorang genius bernama Einstein pernah berkata, 'Genius itu adalah satu persen bakat dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras'. Jika itu memang benar, lalu kenapa semua orang tidak bisa menjadi genius? Mungkinkah mereka kurang dalam bekerja keras atau mungkin mereka tidak memilikinya, satu persen dari bakat itu sendiri.

Namaku Amasawa Yuki, aku memiliki fisik yang lemah bahkan untuk seorang anak perempuan sekalipun karena sejak kecil aku memiliki kelainan jantung. Hal itulah yang membuatku hanya bisa menghabiskan hari-hariku di dalam rumah.

Namun, aku tak membenci semua itu. Aku tak pernah merasa bosan karena orang tuaku selalu memberikanku banyak buku. Setiap harinya aku bisa membaca buku yang berbeda. Baik itu buku yang sulit atau pun sebuah novel tidaklah masalah. Seperti rasa lapar yang tak ada hentinya, aku merasa selalu ingin menemukan hal-hal baru yang bisa menggugah rasa ketertarikanku.

"Bagus, kondisimu sekarang sudah jauh membaik."

Suatu ketika dokter mengatakan jika kelainan jantungku sudah membaik. Usiaku yang sudah semakin remaja dan diikuti oleh pertumbuhan tubuhku menjadi salah satu faktor yang mendukung. Aku tentu senang mendengarnya. Meskipun ini belum bisa dikatakan sembuh total, kabar baiknya lagi ialah aku sudah diijinkan untuk pergi ke luar terutama bersekolah.

'Sekolah-kah?'

Tempat yang sudah sangat lama tidak pernah kulihat lagi. Kalau tidak salah terakhir kalinya itu disaat aku masih ada di kelas tiga sekolah dasar.

Menarik. Itu yang terlintas saat aku membayangkannya. Tempat itu seperti sebuah buku cerita lengkap dengan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Lalu apa yang membuat buku itu menjadi menarik? Jawabannya jelas.. adalah konflik.

Aku tak menginginkan suasana sekolah yang damai. Jika di sana hanya ada kedamaian dan aktivitas yang monoton, cerita di buku itu tentu tidak akan menarik.

Konflik itu diperlukan. Namun jika di sana memang tidak ada hal yang seperti itu. Tidak usah khawatir.. kita tinggal membuatnya.

"Yuki, kita sudah sampai."

Ayah menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah yang aku tuju. Dari depan sini aku bisa melihat bangunan utamanya yang menjulang dan berdiri megah. Akhirnya, aku sampai di sekolah elit terbesar di negara ini.. Akademi Golden Star.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!