KUHARAP ADA BAHAGIA

KUHARAP ADA BAHAGIA

PROLOG

Kisah ini bermula dari semua keresahan yang membuat aku pada akhirnya terbuai.

Hidup seseorang memang tak pernah berjalan mundur, tak pernah pula mencoba berbalik arah menuju ke awal, selalu maju tanpa tau pada akhirnya apa yang akan terjadi.

Sebuah kisah yang menceritakan pengalaman tentangku, yang mencoba untuk melangkah lebih jauh pada beberapa perusahaan untuk sekadar menyamarkan keadaan aku yang terpuruk.

Selalu bersembunyi atas semua keadaan yang mengundang tanya setiap mereka yang penasaran akan hidupku. Aku selalu berhasil menyamarkan keadaanku yang sedikit berbeda dengan orang lain.

Keadaan memaksa aku untuk meyakini setiap datangnya, tapi pada akhirnya selalu aku sesali pada semua rencanaku yang seolah berjalan mulus dengan kamuflase ini.

Setelah sekian lama, aku mulai mengerti bahwa kehidupan itu tentang bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan, kini aku ada di fase untuk bertahan hidup. Di mana semua hal yang aku inginkan mulai harus diperjuangkan dan dipertanggungjawabkan.

Aku rasa semua itu telah benar, perjalanan ini aku yakini akan sangat mudah. Semua akan berjalan sesuai keinginan, sesuai dengan daftar harapan yang ingin aku gapai. Atas dasar semua kepercayaan diri itu, aku mulai mencoba untuk mencari pekerjaan, kata orang fase ini adalah yang paling terberat, bagiku sama saja.

Aku mulai berjalan gontai setelah lulus dari sebuah lembaga pendidikan yang aku tempuh selama empat tahun. Akhirnya aku mendapat pengakuan, mendapat gelar dan mendapat penghormatan melalui selembar sertifikat pendidikan.

Setelah pengakuan itu, ternyata aku harus melalui satu rintangan lagi dan harus mendapat pengakuan lagi di tempat lain yang bernama perusahaan. Sama halnya seperti yang lain, aku harus mencari pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.

Lelah, itu yang aku rasakan dalam pencarian ini, aku pikir tugas sekolah adalah yang paling membuatku kehilangan arah, ternyata mencari pekerjaan mampu membuatku tersesat dan tak terarah.

Hingga terbersit di pikiranku, bahwa dulu di sekolah dengan semua tugas dari setiap mata pelajaran yang terkadang membuatku hampir gila, jauh lebih membahagiakan dibandingkan kehidupan luar yang aku mulai jalani sekarang, di sini penuh akan kejutan yang jawabannya justru tak pernah aku dapatkan dari sekadar membaca teori dan jurnal.

Langkah kakiku selalu terhenti pada setiap perusahaan untuk sekadar menanyakan lowongan pekerjaan, canggung memang, seharusnya setelah mendapat sertifikat atas diakuinya aku mengenyam pendidikan, pekerjaan akan dengan mudah didapat, ternyata perkiraan itu jauh meleset.

Dari sana, aku mulai berpikir bahwa waktu selalu bertingkah kekanak-kanakan, dengan mempermainkan segala usaha langkah kakiku. Kini aku mulai merasa lemas, lelah dan mulutku mulai tidak berhenti mengeluh, dulu itu jarang sekali terjadi.

Entah kapan aku merasa semuanya baik-baik saja, mengeluh memang tak pernah mendatangkan sebuah pekerjaan padaku. Mengeluh justru membuat semua masalah datang tanpa peringatan, dengan sering mengeluh justru mulai menambah bebanku yang tak ringan itu.

Semua hal yang aku rasa dibutuhkan dalam mencari pekerjaan rasa-rasanya semua telah aku lakukan, telah aku persiapkan segala persyaratannya dan aku yakin sudah lengkap. Aku selalu bingung dengan yang namanya sistem, semua tak bisa aku ubah.

Hari demi hari yang siap mengejarku dengan sebuah keterpurukan lainnya, kini kian terasa, bahkan hingga malam tiba aku tak mampu untuk sekadar memejamkan mata. Selalu terlintas di pikiranku, kapan kiranya ketentraman itu datang? Kapan kiranya sesuatu yang indah itu terhampar? Kapan kiranya aku tersenyum dan tak lagi temaram?

“Argh …!” teriakku lantang dan penuh amarah. “Argh …!” teriakku lagi. “Gua capek kayak gini terus!” keluhku, masih berteriak.

Semilir angin menerpa wajahku, hembusannya berusaha membelai rasa lelah yang menggerogoti setiap tapak kaki yang telah aku lalui. Resah yang aku rasakan sudah terlalu lama, sehingga aku tidak tau lagi harus pasrah atau menyerah.

“Ke mana lagi?” tanyaku pada diriku sendiri. “Sampai kapan, Tuhan?” tanyaku, menengadah pada langit meminta jawaban, nihil aku tak juga mendapat jawaban, hanya sorotan mentari yang sekilas menerpa wajahku.

Di tengah lapangan yang luas, aku berdiri, berteriak melepaskan rasa kecewa pada diriku seperti orang kesetanan. Aku termenung tanpa arah, dengan wajah marah, betapa susahnya untuk melangkah ketika semua yang aku perjuangkan tanpa hasil yang indah.

Aku menjatuhkan diriku pada tanah lapang dengan rumput yang sudah terhalang bayangan semu. Aku sudah tak kuasa menahan beban yang bertumpu pada kakiku, sudah lemah tak tau lagi arah mana yang pantas aku kunjungi.

“Gua nggak peduli lagi, gua nggak peduli lagi, gua nggak peduli lagi,” ucapku di rerumputan.

Aku lemparkan semua surat-surat yang sudah menemaniku berjalan jauh demi mencari tempat bernaung. Aku terduduk, menengadahkan kepalaku ke atas, melihat langit sore yang begitu indah. Pemandangan sore ini sangat bertolak belakang dengan yang kurasakan saat ini, semesta sepertinya mempermainkanku dengan meninggalkan jejak yang begitu indah.

Suara berisik yang mengusik keheningan menginterupsi, dering yang menandakan panggilan telepon dari handphone-ku, memaksa aku untuk mengalihkan perhatian dari kegiatan menyiksa diri ini. Kulihat nama yang terpampang pada layar handphone-ku, segera aku terima panggilan itu, mengangkatnya dan mendekatkannya ke telinga kiri.

“Lu di mana?” Terdengar suara laki-laki di ujung sana.

“Gua capek, gua harus gimana? Nggak ada lagi yang bisa gua datengin,” jawabku lirih, mengabaikan pertanyaannya.

“Okay, tenang dulu. Di mana lu sekarang? Please, di mana lu sekarang?” tanyanya terdengar frustrasi.

“Di tempat luas, sendirian, banyak rumput dan lagi diejek sama langit,” jawabku.

Aku menghela napas, mengedarkan seluruh pandanganku, aku mendengar pria di ujung sana juga menghela napas berat.

“Gua tau tempatnya, diem lu di sana! Jangan ke mana-mana, okay? Dengerin gua! Jangan macem-macem.” Aku tidak menjawab.

“Ya! Diem di sana! Lu dengerin gua, ‘kan? Halo …! Halo …!” Ia berseru panik, napasnya memburu, aku mendengar ia melangkah dengan tergesa-gesa.

Aku mematikan panggilan itu secara tiba-tiba, mengabaikan semua teriakan di ujung sana. Aku tertunduk, air mataku tak terasa menetes, napasku tersekat, dadaku sesak, rasanya perih, dan rasa-rasa aneh lainnya yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.

Lama aku seperti itu, aku semakin meraung, tapi tiba-tiba tangan besar mengusap punggungku, membelaiku memberi kenyamanan. Bayangannya bisa kulihat ketika aku menunduk, aku semakin menjadi, meneriakkan semua debar jantungku. Memaki setiap payah hidupku, dia terus menghiburku, menenangkan dengan mendekap tubuhku dari samping.

Dengan tubuh kekarnya, dia mendekap tubuh lemahku, mengusap lembut rambutku yang sudah basah oleh keringat, dan aku merasakan kecupan tulus dia bubuhkan di pelipisku. Dia diam saja tidak berkata apa pun, seakan ikut merasakan lelah yang aku rasakan.

Tak ada yang mampu aku lakukan selain memanjatkan harap, di bawah pemandangan senja yang begitu indah. Aku coba percayakan lagi, aku coba berharap lagi, semoga kehidupanku seindah pemandangan ini.

Semoga hidupku, kehangatannya menyamai dekapan tangan kekar ini, ketulusannya semoga setulus semua perhatian yang diberikan lelaki ini.

Lelaki ini yang kelak akan membuatku menyadari arti hadirnya, lelaki tinggi kekar ini yang nantinya akan memberi kehidupan baru padaku, lelaki ini yang akan menumbuhkan kekuatan di hatiku, lelaki ini adalah Joseph Salim.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!