Aku menghela napas, menstimulasi otak dan pikiranku untuk kembali positif, menetralkan hatiku agar siap untuk menghadapi kejutan yang sebentar lagi akan aku lalui, aku harus fokus.
Setelah semuanya bisa kukendalikan, aku dengan ragu-ragu melangkahkan kakiku di anak tangga terakhir. Aku memejamkan mata sejenak, menghirup udara di sana, tercium wewangian pembersih lantai. Aku semakin yakin, jika aku harus segera melewati ini, apa pun yang terjadi nantinya, aku harus segera menyelesaikan ini.
Perlahan-lahan aku buka mataku, dan seketika aku melihat ketegangan di mana-mana. Ada sekitar dua puluh orang lebih, yang nasibnya tengah dipertaruhkan melalui wawancara kerja yang sedang dilaksanakan saat ini, semua orang terlihat fokus pada pikirannya masing-masing.
Di antara mereka ada yang sedang mengamati handphone, ada yang sibuk membaca (entah apa?), ada yang mencoba berbincang dengan yang lainnya. Sedangkan aku? Aku mematung melihat kegelisahan mereka, dan mencoba mengamati serta menenangkan hati.
Di sana ada kursi yang dikhususkan untuk kami yang menunggu giliran wawancara kerja, aku menghampiri kursi panjang itu yang telah diisi beberapa peserta lainnya, kemudian aku mendudukkan diri di salah satu sisi kursi panjang itu.
Salah satu pelamar yang ada di samping kananku menyadari tempat di sampingnya tak lagi kosong, dia berhenti dari kegiatannya yang sedang mendengarkan musik atau apa pun, karena dia memasang earphone di kedua sisi telinganya, dia menoleh padaku.
“Permisi, Apa Anda kebetulan kerja di sini?” tanyanya.
Dia tanpa ragu bertanya padaku, aku tersentak, kaget, sejujurnya aku tidak siap dengan interaksi yang tiba-tiba seperti ini. Dia perempuan umurnya kuperkirakan dua atau tiga tahun lebih tua dariku.
“Ti-tidak, Saya … saya hanya menghadiri undangan wawancara,” jawabku, canggung.
“Oh walah, sama toh, gua kira lu udah kerja dari lama di sini, habisnya lu nggak pake baju kaya orang-orang tuh,” katanya, sembari menunjuk orang-orang yang berpakaian rapi, kemeja putih dan celana hitam. “Oh, kenalin nama gua, Dita,” tambahnya, mengulurkan tangan.
Aku terkejut, aku tak menyangka ada orang yang langsung bisa mengakrabkan diri seperti Dita, sedangkan aku dari tadi hanya sibuk mencemaskan ini dan itu. Uluran tangan Dita, tidak langsung aku sambut, aku memerhatikan dirinya terlebih dahulu dengan dengkul yang gemetar.
“Lu, nggak papa, ‘kan?” tanya Dita, melihatku hanya mematung.
“Gu … a … sa-saya … saya tidak apa-apa,” jawabku, tergagap.
“Astaga, jangan kaku gitu ah, gua nggak gigit, tenang aja, santai aja sama gua mah,” ujar Dita, tersenyum. “Lu juga boleh pake gua-elu, sama gua, bebas, gua nggak keberatan,” tambah Dita, semakin membuatku menciut nyalinya.
“Ah, maaf. Eh, iya, nama saya Rinda,” kataku, menyambut uluran tangan Dita, yang menggantung sejak tadi.
“Oh, Rinda, Rinda, gua bakalan inget, salam kenal ya, nggak usah takut lagi,” katanya, tersenyum ramah.
“Te-terima kasih … silakan lanjutkan,” kataku, karena Dita sempat melepaskan earphone-nya tadi, demi menyambutku, aku merasa bersalah.
“Oke, giliran gua masih lama, jadi gua dengerin ini aja, pusing liat yang lain mondar-mandir. Lu duduk aja di sana, bebas mau ngapain aja, giliran lu juga masih lama, ‘kan?” jelasnya.
“I-iya ….” Aku tidak bisa berhenti tergagap, karena aku benar-benar bingung dan canggung, tapi untunglah Dita tidak menghakimiku, aku patut lega untuk itu.
***
Sesi perkenalan itu selesai, aku kembali terdiam, ada banyak yang berkecamuk di benakku, memikirkan beberapa kemungkinan terburuk.
Peserta wawancara kerja satu per satu dipanggil ke dalam ruangan, aku tak henti memperhatikan mereka yang keluar ruangan itu, tersirat raut cemas dan lega dari mereka. Aku semakin gelisah, semakin takut, dan semakin tak bisa mencerna apa pun lagi, aku terlalu berpikir yang tidak-tidak.
Pada saat itu, notifikasi handphone-ku berbunyi, mengalihkan perhartianku dan langsung membuka pesan itu. Kali ini pesan masih datang dari laki-laki yang tak pernah lelah berada di sisiku. Aku buru-buru membaca pesannya, dia datang di waktu yang tepat, aku butuh menenangkan diri.
PutraMahkota: Gimana, udah?
Me: Belom, masih harus nunggu gua.
PutraMahkota: Gua temenin, deh.
Me: Terserah!
Aku berusaha untuk tidak terlihat sangat membutuhkan dia, gengsi juga aku, jika harus mengakui membutuhkan dia saat ini, jadi aku berusaha menjawab pesannya seakan-akan tidak peduli padanya.
PutraMahkota: Kenapa nunggu lagi dah?
Me: Yang datang banyak, pusing gua, gua kira, gua doang, ‘kan.
PutraMahkota: Jangan pusing-pusing, pusingnya sama gua aja nanti.
Me: Gua mending lari!
PutraMahkota: Udah kok, lari-lari di pikiran dan hidup gua.
Me: Stress lu!
Tak berapa lama kemudian, namaku dipanggil untuk segera memasuki ruangan, aku terpaksa harus pamit pada Joseph.
Me: Udah dulu, gua dipanggil.
PutraMahkota: Oke, Semangat! Jangan lupa sama gua, lu pasti berhasil, tenang aja gua doa cuman buat lu doang.
Me: Y.
***
Setelah itu aku pun bersiap masuk, dadaku berdebar hebat, gemetarnya tak pernah hilang sejak aku menapakkan diri di lantai dua gedung ini. Pikiranku ribut, bayangan-bayangan yang belum pasti, datang silih berganti.
Aku buka pintu ruangan itu, terasa dingin, begitu masuk aku melihat kursi-kursi yang telah disediakan.
“Permisi,” ucapku.
“Silakan masuk, dan silakan duduk dengan nyaman,” ujar salah satu penguji kepadaku.
“Apa kabar?” tanya perempuan satu-satunya dengan senyum ramah menyapaku.
“Baik,” jawabku.
“Silakan perkenalkan diri Anda,” katanya lagi.
“Perkenalkan nama saya, Rinda Elpida, saya lulusan S1 jurusan administrasi bisnis di salah satu universitas di kota besar ini,” jawabku.
“Apa tujuan Anda datang ke sini?” tanyanya lagi.
Wawancara kerja resmi dimulai, aku memperbaiki posisi dududkku, menjadi lebih tegak, dan berusaha tenang. Aku menghela napas, sebelum menjawab semua pertanyaan itu, ini kesempatan bagus, aku harus bisa melewati ini semua, aku sudah berjanji.
“Untuk memenuhi panggilan wawancara kerja yang ditujukan pada saya pagi kemarin,” jawabku lagi, sesuai fakta yang ada.
Pewawancara terlihat mencatat, aku tidak tau mereka tengah mencatat apa. Kemudian pewawancara yang berkacamata, melirik rekannya yang berada di samping kirinya, yang dilirik kemudian menganggukkan kepala.
“Kenapa Anda tertarik bekerja di perusahaan ini?” tanya seorang pria berkacamata.
“Perusahaan ini memiliki reputasi yang sangat baik, perusahaan ini juga besar dan banyak divisi yang dapat menampung pekerja, di bidang apa pun sesuai keahlian kami. Kebetulan beberapa minggu yang lalu, saya melihat pengumuman lowongan kerja, ada bagian administrasi tertera di sana, ini sesuai dengan kemampuan saya. Saya akan berdedikasi di perusahaan ini,” jawabku lugas.
Menjawab pertanyaan ternyata tidak segugup ketika aku menunggu giliran. Mungkin karena ruangannya pun nyaman, jadi aku merasa santai.
“Berapa gaji yang Anda minta dari perusahaan ini?”
Sesi wawancara memasuki ranah paling rawan, pertanyaan ini bisa dibilang jebakan, tapi juga tidak lantas membuat kita harus merasa terganggu dengan pertanyaan seperti ini.
“Bila nanti saya sudah bekerja di perusahaan ini, saya amat yakin bahwa perusahaan ini sudah mempunyai anggaran dan standar rentang gaji untuk posisi yang saya ajukan. Saya memiliki kompetensi yang menjadi syarat wajib perusahaan ini, maka dari itu dengan hormat saya akan menerima rentang gaji maksimal untuk posisi yang saya ajukan di surat lamaran saya,” jawabku.
Pertanyaan terus berlangsung, dengan bobot pertanyaan yang terus meningkat, mereka memainkan peran yang sangat baik sebagai penguji. Aku menjawab semua pertanyaan sesuai dengan fakta yang aku rasakan, kecuali masalah gaji, aku mengikuti petunjuk yang diberikan forum yang aku datangi waktu itu.
Tiga puluh menit berlalu, sesi wawancara selesai. Setelah mereka mengatakan akan menghubungiku dalam waktu beberapa hari ke depan, aku dipersilakan meninggalkan ruangan. Aku pamit, aku berterima kasih pada mereka, lalu berdiri dan berlalu dari kursi yang tadi aku duduki.
***
Aku melangkah kembali, memegang gagang pintu yang sama dengan yang tiga puluh menit lalu aku buka.
Di luar tinggal beberapa orang lagi yang menunggu, termasuk Dita. Aku mendekatinya lagi, untuk berpamitan padanya.
“Udah? Berhasil?” tanya Dita, mendahuluiku.
Aku menggelengkan kepala, aku tidak tau, aku bahkan tidak yakin jika aku telah melakukan wawancara dengan benar atau tidak. Tidak jatuh di tengah keramaian saja sudah untung, aku tidak sempat berpikir sesi wawancaranya akan berhasil atau tidak.
“Heh, lu kenapa?” tanya Dita, melihatku terdiam. “Kenapa pucet gitu, lu nggak papa, ‘kan?” tanya Dita kembali, terdengar mengkhawatirkanku.
“Ti-tidak, saya … saya tidak apa-apa, ta-tapi … saya harus segera kembali,” kataku.
“Yakin nggak papa, mau gua anter keluar? Lu pucet banget, gua takut lu kenapa-kenapa, dah,” katanya.
“Nggak, papa, nggak perlu dianter, terima kasih. Saya … saya duluan, ya?” kataku, menolak ajakan Dita.
“Ya udah, hati-hati lu,” katanya.
Aku berjalan tergesa, meninggalkan Dita, aku harus menuruni tangga darurat lagi, aku terus berjalan, dan berharap tidak bertemu dengan banyak orang lagi di bawah sana.
Aku berjalan menuju tangga darurat yang tadi membawaku ke lantai dua, turun menyusuri dalam keheningan. Setelah ini aku tidak tau lagi kapan bisa datang lagi, pihak penyelenggara tadi memberitahu bahwa pengumuman penerimaan akan diumumkan satu minggu lagi.
Meski belum tentu aku diterima di perusahaan ini, tetapi karena aku sudah memenuhi kewajibanku, sudah semestinya aku menggantungkan harapan pada mereka yang tadi ikut andil dalam wawancara kerjaku, bukan?.
Aku berharap resah tak lagi membuatku gelisah, semoga ada kabar baik di minggu depan yang akan datang. Semoga keindahan senja waktu itu, terwujud dalam waktu dekat, karena aku sudah berjuang memenuhi setiap kewajibannya. Semoga setiap doa yang sudah kupanjatkan, mengiringi keberhasilanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments