CHAPTER 2

Sebuah pesan singkat datang dari seseorang yang kuanggap tidak punya kehidupan, karena kesehariannya hanya dihabiskan dengan menjahiliku. Aku sebenarnya sudah jengah dengan dia, tapi mau bagaimana lagi, orang yang aku kenal hanya dia saja.

PutraMahkota: Woy, dibaca aja nih?

PutraMahkota: Heh, lu pikir pesan gua koran digital, bales woy!

Nih, orang nggak sabaran banget, sumpah, dah, gerutuku dalam hati.

Di tengah ibu jariku mengetikkan pesan balasan untuknya, dia meneleponku, tidak tidak sabaran karena tidak kunjung mendapat balasan. Meskipun aku jengah, tapi aku tidak bisa mengabaikannya, dengan berat hati aku menerima panggilan telepon darinya.

Aku menerimanya. “Lama banget lu, di mana lu?” tanyanya di seberang sana, aku diam tidak menjawab.

“Jangan sok pura-pura nggak denger lu, cepetan bilang di mana lu sekarang?” desaknya.

“Dalem taksi, nggak sabaran amat, sih, heran!” jawabku, geram.

“Taksi?!” Laki-laki di seberang sana, tak sengaja berteriak, membuatku menjauhkan handphone dari telinga.

Laki-laki itu memang tidak pernah bisa menjadi manis, sekali saja. Iya, dia laki-laki namanya Joseph Salim, dia selalu bersamaku dari lama. Dia laki-laki yang usil, ceria, dan terkadang sedikit rada gila. Tingginya sekitar 178 cm, hidungnya mancung sekali seperti perosotan di taman bermain, kata orang dia tampan, tetapi tidak bagiku.

Kami satu SMP dan SMA, ketika kuliah kami memilih untuk berbeda universitas, tapi kami masih sangat akrab. Dia selalu menghubungiku lebih dulu, kami tidak pernah memutuskan hubungan, selalu saling mengabari satu sama lain.

“Ya! ngapain lu teriak, hah?” tegurku, kesal, hingga Pak sopir di depanku melirik melalui kaca depan.

“Ngapain di taksi, dah? Lu mau ke mana? Tumbenan masih pagi keluar rumah, mau ke mana lu?” cecar Joseph.

“Lu nggak bisa nanya satu-satu, buset dah, itu mulut udah ngalahin ibu-ibu komplek nawar batagor,” kataku, tidak menjawab pertanyaannya.

“Yeuh, malah ngomel, mau ke mana lu? Dari tadi pertanyaan gua dianggurin doang,” katanya, aku bisa mendengar dia menarik napas kasar, mungkin kesal juga karena tidak kunjung aku jawab.

“Interview, gua udah bahas ini, kapan hari sama lu, ‘kan? Ngapain nanya lagi, heran,” jawabku.

“Oh, pergi sendiri? Kenapa nggak hubungin gua?” tanya Joseph lagi.

“Karena gua mampu, ya gua pergi sendirilah, ngapain hubungin lu, yang ada dirusuhin gua sama lu,” jawabku.

“Sensi amat, ya udah lah, kalo udah beres, nanti kabarin gua,” pintanya.

“Buat apaan? Repot bener, harus ngabarin lu,” jawabku, ketus.

“Mau apa kek, terserah gua,” jawabnya, menjengkelkan sekali.

“Yeu, kalo nggak ada tujuan, buat apa gua kasih tau lu,” kataku.

“Rese lu, gua jemput, pulangnya bareng gua nanti,” katanya.

Tak terasa, selama berbincang dengan Joseph via telepon, aku telah sampai di tempat tujuan. Aku melihat keluar jendela, terlihat gedung menjulang tinggi di sana, debar gugup yang tadi sempat hilang, mendadak aku rasakan kembali.

“Gua udah sampe, nanti gua hubungin lagi, dah,” kataku.

“Heem, jangan lupa hubungin gua,” balasnya.

“Heem, terserahlah,” pungkasku, kemudian mengakhiri panggilan telepon Joseph.

Sebelum keluar dari taksi, aku memandangi gedung itu, aku tidak menyangka akan datang ke tempat seperti ini. Hari-hariku selalu kuhabiskan di dalam kamar, ini awal yang tidak begitu meyakinkan bagiku. Aku menghembuskan napas gusar, setelah mengucapkan terima kasih pada sopir taksi, aku akhirnya keluar.

***

Sekali lagi aku melihat gedung itu, kini aku dapat melihat tanpa terhalang kaca mobil, gedung perusahaan ini terlihat sangat megah, tinggi dan besar. Meskipun penuh keraguan, aku mulai melangkah perlahan-lahan hingga aku sampai tepat di depan lobi perusahaan.

Aku melihat-lihat sekitar, melangkah masuk ke dalam. Di sana aku melihat meja resepsionis tepat di tengah lobi. Sisi kiri dan kanannya, terdapat banner yang menginformasikan visi dan misi perusahaan, serta terdapat pahatan kayu berbentuk setengah badan manusia yang disimpan di atas meja resepsionis, sepertinya itu wajah sang pemilik perusahaan.

Aku melanjutkan langkahku, tujuanku adalah meja resepsionis, yang sedang aku lihat dari kejauhan, aku harus menanyakan tempat wawancara. Perusahaan yang aku datangi luas, aku tidak tau harus melangkah ke arah mana, aku perlu petunjuk.

“Permisi,” sapaku, setibanya di depan meja pada resepsionis wanita.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis ramah, aku melihat name tag yang ada di dadanya, bertuliskan Rania, aku asumsikan jika itu namanya.

“Saya mendapat undangan wawancara kerja dari perusahaan ini, saya … ke mana saya harus pergi?” tanyaku canggung.

“Silakan, naik ke lantai dua. Nanti ada yang mengarahkan, tunggu saja bersama peserta wawancara yang lainnya. Anda bisa menggunakan lift ataupun menggunakan tangga darurat yang berada di sebelah kiri,” jawab Rania, sembari menunjuk lift dan tangga darurat dengan tangannya, sopan.

Aku takut, bukan karena tempatnya di lantai dua, tetapi mendengar tidak hanya aku yang akan wawancara kerja, aku was-was. Aku kira hanya aku saja yang dipanggil untuk hari ini, mendengar tidak hanya aku sendiri, pikiranku jadi kosong, jujur saja aku belum siap bertemu dengan banyak manusia.

Sejenak aku termenung mendengar penjelasannya. Aku sudah berada di dalam perusahaan besar, aku bahkan melihat orang-orang berjalan hilir mudik mengenakan pakaian semi-formal. Aku semakin resah, aku belum pernah berada di tempat yang terdapat banyak orang sekaligus.

“Terima kasih,” ucapku, tersenyum canggung.

“Terima kasih kembali,” jawabnya, menyatukan kedua tangan memberi hormat, juga membalas senyumanku.

“Permisi,” pamitku.

“Silakan.”

***

Aku meninggalkan lobi, dan langsung melanjutkan menuju tangga darurat, aku memberanikan diri menaiki tangga darurat, aku langkahkan kakiku di sana. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menenangkan hati, aku berusaha keras untuk menyiapkan diri, atas semua kemungkinan yang akan ditemuiku di lantai dua nanti.

Aku melangkah lagi, mencoba dengan pasti menaiki satu anak tangga ke anak tangga lainnya. Langkah-langkah berikutnya semakin mendebarkan, anak tangga tertinggal banyak di belakang, sedang di atas sana tinggal beberapa anak tangga lagi yang tersisa. Hatiku semakin cemas, beberapa saat kemudian tubuhku mulai bergetar, telapak tanganku berkeringat dingin.

Sebelum menyelesaikan langkahku di anak tangga terakhir, aku diam sebentar, mengontrol diriku supaya tidak limbung di tengah keramaian. Sejujurnya, aku tidak mengkhawatirkan tentang sesi wawancaranya, aku justru mencemaskan banyaknya manusia lain yang akan aku hadapi nantinya.

Aku mulai menyesali keputusanku menghadiri wawancara kerja kali ini, tetapi aku tak bisa balik kanan, lalu lari meninggalkan kesempatan begitu saja, meskipun aku ingin.

Dengan kondisiku yang seperti ini, aku jadi menyangsikan keberadaanku, kakiku mulai berat, hatiku semakin berdebar, sulit untuk kukendalikan. Semakin keras aku memaksakan langkahku, semakin gemetar saja tubuhku, aku mencoba tenang, dan memegang dadaku.

Aku menatap ke depan, tenang hatiku tak kunjung aku dapatkan, semakin gusar, perasaanku tidak mau bekerja sama, aku masih tetap meragu dengan keputusanku.

Apa gua pulang lagi aja, ya, ini nggak bisa nih, gua nggak bisa kayak gini, batinku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!