“Lu bisa diem dulu nggak, *sih*? Gua baru turun,” omelku pada Joseph di seberang telepon sana.
Aku baru saja tiba di lobi, ketika Joseph meneleponku. Aku mendengar helaan napasnya, entah itu helaan napas lega ataukah marah, aku tidak tahu. Segera kutepis pemikiran itu, buat apa pula dia marah, *toh* tidak ada yang memaksa dia untuk meneleponku.
“*Lu di mana sih? Udah kelar belom? Udah bisa gua jemput*?” tanya Joseph tanpa jeda.
“Gua masih di lobi, lagian ngapain *sih*, lu, repot-repot mau jemput gua segala, emang ada gua ngomong minta dijemput gitu? Kagak ye,” jawabku, kesal.
“*Gua nggak bakalan biarin lu sendirian, itu prinsip gua dari dulu. Ya udah, udah kelar berarti, ya? Gua jemput sekarang*,” katanya.
“Emang lu udah di sini? Repot banget perasaan,” omelku.
“*Udah, udah lama gua nunggu sampe lumutan gini*,” jawabnya.
“Boong lu, mana? Gua nggak liat *tuh*,” kataku.
“*Mana pernah gua boongin lu, gua dari tadi di sini, keluar dulu coba, lu masih di lobi, ‘kan*?” pintanya.
“Banyak mau lu,” jawabku, ketus, menutup panggilan teleponnya secara sepihak.
Aku pun keluar dari lobi, aku masih memegang *handphone*-ku. Aku mengernyitkan dahi begitu tiba di luar lobi, aku tidak menemukan Joseph, aku bahkan menengok kanan dan kiriku, tetap saja tidak melihat dia.
“Dia bohong, ‘kan? Nyebelin banget, sumpah,” gerutuku.
Lengang, ini masih jam kerja, sudah pasti keadaan di luar masih sepi, perusahaan yang aku datangi sangat produktif. Aku tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh, takut, aku kembali lagi melihat ke samping kiri dan kananku, bahkan ke belakangku. Aku tidak tau, apa hanya perasaanku saja, atau memang ada yang sedang memperhatikanku.
Aku mengeratkan peganganku pada tas yang tersampir di bahuku, suasanya tiba-tiba semakin mencekam dan menegangkan. Aku sangat kesal pada Joseph, bisa-bisanya dia mempermainkanku seperti ini, jika tau dia belum datang, aku tidak akan keluar lobi, aku takut.
“Mana *sih*, ah?” tanyaku, sembari menghentakkan kakiku, lemah.
Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki dari kejauhan, aku waspada, tapi tidak bergerak dari tempat semula. Hatiku berdebar, ini kesekian kalinya aku merasa ketakutan tanpa alasan seperti ini.
Aku menghela napas, gusar, tiba-tiba teringat kasus penculikan beberapa waktu lalu, semakin menambah gemetar di sekujur tubuhku. Suara langkah kaki tadi, semakin jelas terdengar, aku menutup mataku.
Dalam diam itu aku merasakan sebuah langkah besar mendekatiku, aku masih berdiri di sana, aku tidak ingin memancing orang ini. Tapi, tiba-tiba, sebuah tangan besar meraba punggungku, aku tersentak.
“*Stop*! Siapa lu? Gua nggak akan segan-segan buat teriak,” ancamku.
Ketakutan terbesarku tentang manusia adalah hal seperti ini, karena manusia bisa melakukan apa saja ketika dia sedang kelaparan. Meskipun aku mengancamnya, tapi tubuhku tetap saja bergetar, aku merasa diserang.
Punggungku disentuh lagi oleh tangan besar itu, aku tak berani menoleh ke belakang. Aku menyilangkan tanganku di depan dada, sebagai bentuk pertahanan diri, aku menekuk tubuhku sedikit. Aku tak sengaja melihat ke bawah, bayangan tubuh orang itu besar dan tinggi, napasku semakin memburu.
“Gua nggak main-main soal ancaman tadi, sekarang turunin tangan lu dari sana, sebelum gua bertindak lebih jauh, sekarang!” kataku, tegas.
Aku mendengar dia tertawa tepat di dekat telingaku, membuatku bergidik ngeri, sumpah ini pengalaman paling buruk dalam hidupku. Tangan di punggungku mulai terlepas, aku sedikit lega, tapi kemudian dia menyentuh tasku, aku sedikit terkesiap dan hendak berlari, tapi aku mengurungkan diri.
“Gua akan lepasin tas ini, tapi biarin gua pergi dari sini,” tawarku.
Aku tidak peduli lagi dengan harta bendaku, aku memilih untuk selamat, aku baru saja berjuang, aku tidak mau melepaskan hidupku begitu saja di tangan orang asing ini. “Jauhin tangan lu itu, gua masih megang HP, sekali pencet langsung nyambung ke kantor polisi, kalo lu mau selamat, bawa tas gua dan biarin gua pergi,” kataku, dengan suara serak.
Tidak ada pergerakan lagi di belakangku, tapi tawa pria itu semakin membuatku ciut, suasana kembali menegang, aku semakin panik. Jika seperti ini, tamat sudah, aku tidak ada kesempatan lagi, aku sepertinya harus mulai pasrah. Di saat aku mulai lega karena tidak ada sentuhan lagi, tapi kemudian tangannya terasa lagi menyentuhku, darahku semakin berdesir, tamat sudah, sepertinya ini memang akhir dari hidupku.
“Ya! Lu kenapa pasrah banget, lucu banget, hahaha …,” ucap pria ini, menertawakan ketidakberdayaanku.
Sesaat nyawaku terasa melayang atas ucapannya, aku memang terlalu pasrah, lantas mau bagaimana lagi menyikapinya, aku tidak berdaya. Tapi, tunggu dulu, aku merasa familiar dengan suara pria ini, aku seketika menegakkan tubuhku.
Dengan dada masih berdebar, aku memberanikan diri untuk melirik ke belakang, dan benar saja, aku langsung melihat dia sedang tertawa terbahak-bahak, orang ini amat kukenal. Aku kesal setengah mati padanya, tubuhnya memang tinggi besar, cocok sekali jika menjadi penculik.
“Lu!” bentakku padanya. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini, aku melepas tasku, dan memukulkan pada tubuhnya tanpa ampun. “Lu kenapa, sih, hah? Lu kenapa? Lu tau nggak, gua hampir mati! Lu keterlaluan, ya, gua benci sama lu, gua benci banget!” Aku berteriak kencang, sembari terus memukulnya dengan tasku.
“Aw, aw, aw, sakit Rin, udah Rin, ampun,” katanya.
“Nggak ada lu ampun-ampun, nggak ada …! Gua benci sama lu, benci, pergi lu dari sini!” kataku, kesal.
“Eh, eh jangan dong, mana bisa seorang Joseph Salim tanpa Rinda Elpida, nggak mungkin gua,” rajuknya.
Aku tak peduli, aku terus memukulnya dengan tasku. “Lu tau nggak, gua udah hampir mati di atas tadi, ngapain lu tambah sama tingkah lu, kayak gini?!”
“Sorry, sorry, gua ngaku, gua salah. Jangan benci sama gua, please,” rengeknya.
“Bodo amat!” bentakku, menjauh dari Joseph.
“Rin …!” Dia mengejarku yang terus berjalan. “Rin, gua cuman bercanda doang, sorry,” rengeknya.
“Becandaan lu, nggak lucu, sumpah,” kataku, ketus.
“Gua cuman bercanda doang elah, ngertiin dong, jangan kayak gini,” katanya, membuatku membalikkan tubuhku seketika.
“Ngertiin, elu? Harusnya elu yang ngertiin gua, lu nggak akan ngerti perjuangan gua di atas tadi, lu nggak akan ngerti ketakutan gua selama ini, lu nggak akan ngerti …! Asal lu tau aja, gua ngelakuin semua ini terpaksa, dan hampir mati, jadi jangan sok jadi korban!” kataku, pedas, kemudian melanjutkan lagi langkahku.
“Rin …!” teriak Joseph, aku mendengar dia berlari, dan tiba-tiba dia memelukku dari belakang. Aku tidak bisa melakukan apa pun setelah itu, aku terdiam, merasakan hangatnya tubuh Joseph. “Maafin gua, Rin, gua berlebihan, sorry,” sesalnya. Dia mengelus rambutku dengan lembut, dan semakin mengeratkan pelukannya di tubuhku. Dapat aku rasakan, dia membubuhkan kecupan di pelipisku.
***
“Rin, masih marah?” tanya Joseph.
Kami sudah berada di dalam mobil Joseph, dan sedang melaju sekarang. Aku sejak tadi mendiamkannya saja, aku tidak suka dengan cara dia bercanda, itu benar-benar menjengkelkan. Joseph memang sering kali menggodaku, tapi kali ini, dia sudah melampaui batas, aku tidak bisa mentolerir lagi.
Joseph menoleh padaku. “Rin, udah dong, gua ‘kan udah minta maaf, nggak bakalan lagi gua kayak tadi, maafin gua, ya?” katanya.
“Diam lu! Nyetir aja yang bener, nggak usah banyak ulah,” semprotku.
“Astaga, galak banget,” katanya, mengalihkan pandangannya ke depan.
Aku kembali membisu, memandang keluar jendela, meskipun tidak ada pemandangan indah yang kudapat, tapi aku merasa lebih baik, dibandingkan harus berhadapan dengan pria di sampingku ini.
Joseph tidak berbicara lagi, tapi tiba-tiba dia membelokkan mobilnya hingga menepi di bahu jalan. Aku meliriknya, tidak ada apa-apa di sini, kenapa dia berhenti di tempat seperti ini.
“Kita harus bicara kayaknya,” gumamnya.
Mobil sudah terparkir dengan baik, Joseph melepaskan tangannya dari kemudi, lalu menghadapkan tubuhnya padaku. Di tatapnya mataku, tangannya memegang bahuku, aku tidak meladeninya, aku palingkan saja wajahku keluar jendela.
Joseph terdengar menghela napas, joseph mendekatkan tubuhnya padaku, ia juga dekatkan wajahnya padaku dan memaksaku untuk membalas tatapannya. “Apaan sih, diem!” tolakku, ketus.
“Rin, sorry, jangan kayak gini dong, Rin. Gua nggak bisa tenang, Rin maafin gua, ya? Rin, kali ini gua mengakui gua salah banget, sorry banget,” sesalnya, wajahnya terlihat benar-benar memelas.
“Lu nyebelin sumpah, paling nyebelin di antara semua laki,” kataku, di depan wajahnya.
“Gua tau, maaf,” katanya. “Maafin gua, ya?” rengeknya.
“Serah!” jawabku.
“Hehe, sini peluk dulu dong,” pintanya.
“Males banget,” jawabku.
Aku menghindarinya dan berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan Joseph di bahuku. Joseph tidak kehabisan akal, dia langsung menarik tanganku dan memelukku dengan erat, hingga aku sesak dibuatnya.
“Lepasin! Lepasin nggak! Lu bener-bener, ye!” jeritku di dalam mobil.
“Gua nggak bakalan lepasin lu, jadi tolong maafin gua, Rin,” ucapnya, mengelus rambutku.
“Hhmm …,” gumamku.
Joseph akhirnya melepaskan pelukannya, kemudian menatapku dalam. “Makasih, lu cantik deh,” godanya.
“Kurang kerjaan, lu!” bentakku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments