CHAPTER 1

Tanggal 29 Maret 2017

Alarm berbunyi di pagi hari, menunjukkan pukul 05.00 pagi sesuai dengan pengaturan waktu yang aku siapkan di malam hari sebelum tidur. Aku sengaja bangun lebih pagi dari biasanya, wawancara kerja memang dimulai pukul 09.00 pagi, tetapi aku terlanjur bahagia mendengar kabar wawancara kerja itu.

Maklum sudah lima bulan, aku terus menerus mencari pekerjaan, memasukkan surat lamaran ke berbagai perusahaan, maka sudah sewajarnya aku bahagia, bukan?

“Kak, kamu sudah bangun?” Itu Mama, ia mengetuk pintu dari luar.

Aku masih tinggal dengan kedua orangtuaku, kami bukan dari keluarga yang mapan, bukan juga dari keluarga kalangan bawah, kami berada di posisi yang termasuk aman. Orangtuaku hanya memiliki dua orang anak, aku sebagai si sulung yang ingin membanggakan keluarga, dan ada adik laki-lakiku yang masih kelas 3 SMP. Kedua orangtuaku mematuhi program pemerintah, dengan dua anak cukup.

“Sudah, Ma,” balasku.

Aku membuka pintu untuk menyapa Mama yang sudah menunggu di luar sana, Mama terbilang masih muda, umur 47 tahun, dengan perawakan yang sederhana seperti kebanyakan orang Asia pada umumnya, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek, meskipun begitu Mama masih terlihat segar dan awet muda. Apakah aku juga akan seperti itu, ketika sudah berumur nanti? Terlihat muda dengan paras yang cantik, harusnya sudah pasti, betul tidak?.

“Mama, udah angetin air. Kamu mandi pagi, ‘kan? Masa mau kerja nggak mandi,” ujar Mama setengah mengejek.

“Ya mandilah. Belum kerja, Ma. Ini masih wawancara kerja,” ujarku.

“Sebagai orangtua sudah seharusnya berdoa, siapa tau langsung diterima, berdoa tidak ada syarat khusus, selama itu doa yang baik, sah-sah saja mau berdoa kapan pun,” kata Mama menasihati.

“Iya, Ma. Mudah-mudahan ya?” balasku.

“Nggak ada yang nggak mungkin, percayalah. Udah gih mandi, air udah panas tuh pasti,” perintahnya.

“Oke,” jawabku semangat.

Aku langsung lari menyampirkan handuk di pundak, memasuki kamar mandi dengan pikiran tenang. Aku tidak bisa mandi dengan air dingin di pagi hari, karena itu, Mama selalu menyiapkan air hangat. Aku menghabiskan waktu setengah jam di kamar mandi, terbilang cepat dibandingkan dengan kebanyakan perempuan lainnya, bukan?.

Setelah selesai mandi, aku memasuki kamarku kembali, mematut diriku di depan cermin. Aku mulai menghampiri lemari, menenteng satu hanger pakaian, lalu mengenakan pakaian yang telah aku siapkan sebelumnya, berdandan seadanya.

Aku tidak terlalu suka berdandan sebenarnya, tetapi hari ini pengecualian. Jika kalian berpikir berdandan yang aku maksud adalah memoles diri dengan berbagai merek kecantikan dan komponen kecantikan yang lengkap, kalian salah besar, aku hanya memoles wajahku dengan pelembab, lalu dilengkapi dengan foundation dan sedikit membubuhkan bedak padat, setelah itu menyapukan lip balm di bibir, sudah selesai, itulah yang aku maksud berdandan, merepotkan sekali.

Aku sudah siap, waktu menunjukkan 07.30, masih banyak waktu, tapi berhubung rumahku lumayan jauh dari perusahaan tempat wawancara kerja, mau tidak mau aku harus pergi lebih awal, agar tepat waktu. Aku menyempatkan diri untuk sarapan, satu lagi aku tidak bisa melewatkan sarapan, bila bangun pagi itu sudah wajib hukumnya aku untuk sarapan. Aku menghampiri meja makan, sudah ada orangtuaku dan adik laki-lakiku di sana.

“Tumben dandan?” tanya adikku.

“Ini mah, bukan dandan,” celetuk Mama.

“Ih, Mama. Ini tuh udah ribet banget, ini dandan, Ma. Lagian mau ke mana sampe harus menor segala, mau jadi manten?” jawabku.

“Boleh tuh. Kapan, Kak?” Alih-alih berhenti, Mama malah punya kesempatan lain untuk bertanya tentang hal lain yang sering aku hindari.

“Ihhh …!” jeritku.

“Udah, makan,” ucap Papa tegas, menghentikan kami yang bercanda tidak jelas.

Aku mulai menyendok nasi ke piring, dengan lauk ayam goreng dan sayuran yang ditumis oleh Mama. Menunya sederhana, tapi kenikmatannya takkan pernah bisa tergantikan dengan apa pun.

Makan dengan keluarga yang hangat, itu menjadi impian semua orang, aku beruntung, bukan hanya bermimpi tapi aku merasakannya langsung melalui keluargaku ini. Bagiku itu semua sudah cukup, tapi tidak bagi dunia ini, yang menuntutku untuk lebih banyak lagi bertindak.

“Nanti kerjanya di bagian apa, Kak?” tanya Papa di tengah keheningan.

“Nggak tau, lagian belum tentu juga diterima kerja di sana,” jawabku sekenanya.

“Hush, jangan gitu ngomongnya, pasti diterima kok,” sahut Mama dengan nada gemas, mendengar jawabanku.

“Ya, paling cuman jadi staff admin, aku nggak ada pengalaman, itu pun kalo diterima.” Masih dengan jawaban yang mengundang tatapan sinis dari Mama.

“Jadi apa pun nggak masalah, inget jangan seenaknya nanti jawab pertanyaan wawancara kerjanya. Bukannya kamu udah lama mau kerja? Jangan sia-siakan kesempatan, yang mau kerja itu bukan kamu aja, kalo kesempatan dibuang gitu aja, nanti nyesel kamu,” nasihat Papa.

“Tuh dengerin,” seru Mama.

“Iya, janji, nggak akan main-main. Aku udah ikut diskusi buat nanti wawancara kerja kok, jangan khawatir,” jawabku, tersenyum meyakinkan mereka.

Awalnya aku sangat senang dihubungi untuk wawancara kerja, perusahaan besar pula, tapi aku berpikir lagi, di sana aku harus bertemu dengan manusia baru dan juga tempat baru, itu membuat aku kehilangan semangat.

Lagi-lagi perasaan takut itu datang tanpa repot harus diundang, perasaan yang selalu aku tutupi di depan banyak orang, perasaan yang mulanya hanya menjadi ketakutan tak berarti, kini menjadi cambuk yang siap menghardikku di kemudian hari nanti.

Sarapan sudah selesai ketika aku dan keluargaku berbincang, aku kembali ke dalam kamar untuk membawa perlengkapan untuk pergi wawancara kerja. Aku menyambar tas yang tergeletak di atas kasur, dan meraih handphone-ku yang berada di atas nakas di dekat kasur.

Aku sudah siap, mulai berjalan keluar kamar, aku sedikit mematut diri di cermin yang menempel di lemari dekat kamarku, melihat sekilas dari atas sampai bawah. Menurut orang-orang aku terbilang tinggi, dengan tinggi badan sekitar 168 cm, tapi kata orang juga aku itu terlalu kurus, kulitku tidak terlalu putih tapi cukup terawat.

Aku berjalan menuju ruang tamu, aku ambil sepatu flat yang sudah lama menghuni rak sepatu, biasanya aku hanya memakainya untuk acara spesial saja, aku pikir kali ini tepat waktu, ini acara spesial, bukan?

Setelah semua dirasa sudah siap, aku beranjak dari kursi di depan teras, berpamitan dengan kedua orangtua dan adikku. Biasanya aku selalu diantar Papa ke mana-mana, tetapi untuk kali ini, aku berusaha memberanikan diri menjemput masa depanku.

Aku harus bersiap dengan kemungkinan yang ada di dunia ini, aku yakin dunia ini tidak diam, semua bergerak tak beraturan, tidak seperti yang aku inginkan. Dengan begitu, aku putuskan untuk bergelut sendiri dengan dunia luar.

“Semoga sesuai dengan yang kamu harapkan ya, Nak,” ujar Mama.

“Iya, Ma. Kakak pergi dulu ya, bye,” pamitku.

Aku masuk ke dalam taksi yang sudah dipesan sebelumnya, aku melihat mereka kembali, dan melambaikan tangan, dibalas oleh senyuman hangat Mama, hatiku lega jika sudah seperti itu.

***

“Selamat pagi, Neng, sudah siap? Tolong pasang seat belt-nya,” ucap Pak sopir taksi, ramah.

“Selamat pagi, Pak,” jawabku, sembari memasang seat belt, sesuai permintaannya.

Setelah memastikan aku nyaman dan aman, Pak sopir pun melajukan taksinya. “Kerja di sana, Neng?” tanya Pak sopir, setelah melihat alamat yang akan aku datangi hari ini.

“Tidak, Pak. Saya ada wawancara kerja di sana,” jawabku.

“Belum maksudnya ya, Neng?” jawab Pak sopir balas bertanya.

“Iya, mungkin,” jawabku ragu.

“Kalo sudah dipanggil untuk wawancara kerja, setahu saya biasanya langsung kerja sih, Neng,” kata Pak sopir kembali.

“Tapi itu perusahaan besar, Pak. Saya hanya menghadiri wawancara kerja saja,” jawabku.

“Pasti diterima sih, Neng,” ucap Pak sopir penuh harap.

“Iya, Pak. Aamiin, terima kasih.”

Setelah itu tidak ada lagi yang memulai percakapan, Pak sopir dengan sangat hati-hati melajukan kendaraannya. Aku melihat keluar jendela, mulai gugup tanpa bisa aku kendalikan, bagaimanapun ini kali pertama aku keluar rumah dengan jarak yang jauh.

Belum selesai dengan rasa gugup itu, notifikasi dari handphone membuatku tersentak, kaget. Aku segera memeriksa handphone-ku, takut ada kabar dari orang rumah ataupun kabar lainnya dari perusahaan yang. Tapi ternyata …

PutraMahkota: Di mana lu?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!