Kisah ini bermula dari semua keresahan yang membuat aku pada akhirnya terbuai.
Hidup seseorang memang tak pernah berjalan mundur, tak pernah pula mencoba berbalik arah menuju ke awal, selalu maju tanpa tau pada akhirnya apa yang akan terjadi.
Sebuah kisah yang menceritakan pengalaman tentangku, yang mencoba untuk melangkah lebih jauh pada beberapa perusahaan untuk sekadar menyamarkan keadaan aku yang terpuruk.
Selalu bersembunyi atas semua keadaan yang mengundang tanya setiap mereka yang penasaran akan hidupku. Aku selalu berhasil menyamarkan keadaanku yang sedikit berbeda dengan orang lain.
Keadaan memaksa aku untuk meyakini setiap datangnya, tapi pada akhirnya selalu aku sesali pada semua rencanaku yang seolah berjalan mulus dengan kamuflase ini.
Setelah sekian lama, aku mulai mengerti bahwa kehidupan itu tentang bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan, kini aku ada di fase untuk bertahan hidup. Di mana semua hal yang aku inginkan mulai harus diperjuangkan dan dipertanggungjawabkan.
Aku rasa semua itu telah benar, perjalanan ini aku yakini akan sangat mudah. Semua akan berjalan sesuai keinginan, sesuai dengan daftar harapan yang ingin aku gapai. Atas dasar semua kepercayaan diri itu, aku mulai mencoba untuk mencari pekerjaan, kata orang fase ini adalah yang paling terberat, bagiku sama saja.
Aku mulai berjalan gontai setelah lulus dari sebuah lembaga pendidikan yang aku tempuh selama empat tahun. Akhirnya aku mendapat pengakuan, mendapat gelar dan mendapat penghormatan melalui selembar sertifikat pendidikan.
Setelah pengakuan itu, ternyata aku harus melalui satu rintangan lagi dan harus mendapat pengakuan lagi di tempat lain yang bernama perusahaan. Sama halnya seperti yang lain, aku harus mencari pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Lelah, itu yang aku rasakan dalam pencarian ini, aku pikir tugas sekolah adalah yang paling membuatku kehilangan arah, ternyata mencari pekerjaan mampu membuatku tersesat dan tak terarah.
Hingga terbersit di pikiranku, bahwa dulu di sekolah dengan semua tugas dari setiap mata pelajaran yang terkadang membuatku hampir gila, jauh lebih membahagiakan dibandingkan kehidupan luar yang aku mulai jalani sekarang, di sini penuh akan kejutan yang jawabannya justru tak pernah aku dapatkan dari sekadar membaca teori dan jurnal.
Langkah kakiku selalu terhenti pada setiap perusahaan untuk sekadar menanyakan lowongan pekerjaan, canggung memang, seharusnya setelah mendapat sertifikat atas diakuinya aku mengenyam pendidikan, pekerjaan akan dengan mudah didapat, ternyata perkiraan itu jauh meleset.
Dari sana, aku mulai berpikir bahwa waktu selalu bertingkah kekanak-kanakan, dengan mempermainkan segala usaha langkah kakiku. Kini aku mulai merasa lemas, lelah dan mulutku mulai tidak berhenti mengeluh, dulu itu jarang sekali terjadi.
Entah kapan aku merasa semuanya baik-baik saja, mengeluh memang tak pernah mendatangkan sebuah pekerjaan padaku. Mengeluh justru membuat semua masalah datang tanpa peringatan, dengan sering mengeluh justru mulai menambah bebanku yang tak ringan itu.
Semua hal yang aku rasa dibutuhkan dalam mencari pekerjaan rasa-rasanya semua telah aku lakukan, telah aku persiapkan segala persyaratannya dan aku yakin sudah lengkap. Aku selalu bingung dengan yang namanya sistem, semua tak bisa aku ubah.
Hari demi hari yang siap mengejarku dengan sebuah keterpurukan lainnya, kini kian terasa, bahkan hingga malam tiba aku tak mampu untuk sekadar memejamkan mata. Selalu terlintas di pikiranku, kapan kiranya ketentraman itu datang? Kapan kiranya sesuatu yang indah itu terhampar? Kapan kiranya aku tersenyum dan tak lagi temaram?
“Argh …!” teriakku lantang dan penuh amarah. “Argh …!” teriakku lagi. “Gua capek kayak gini terus!” keluhku, masih berteriak.
Semilir angin menerpa wajahku, hembusannya berusaha membelai rasa lelah yang menggerogoti setiap tapak kaki yang telah aku lalui. Resah yang aku rasakan sudah terlalu lama, sehingga aku tidak tau lagi harus pasrah atau menyerah.
“Ke mana lagi?” tanyaku pada diriku sendiri. “Sampai kapan, Tuhan?” tanyaku, menengadah pada langit meminta jawaban, nihil aku tak juga mendapat jawaban, hanya sorotan mentari yang sekilas menerpa wajahku.
Di tengah lapangan yang luas, aku berdiri, berteriak melepaskan rasa kecewa pada diriku seperti orang kesetanan. Aku termenung tanpa arah, dengan wajah marah, betapa susahnya untuk melangkah ketika semua yang aku perjuangkan tanpa hasil yang indah.
Aku menjatuhkan diriku pada tanah lapang dengan rumput yang sudah terhalang bayangan semu. Aku sudah tak kuasa menahan beban yang bertumpu pada kakiku, sudah lemah tak tau lagi arah mana yang pantas aku kunjungi.
“Gua nggak peduli lagi, gua nggak peduli lagi, gua nggak peduli lagi,” ucapku di rerumputan.
Aku lemparkan semua surat-surat yang sudah menemaniku berjalan jauh demi mencari tempat bernaung. Aku terduduk, menengadahkan kepalaku ke atas, melihat langit sore yang begitu indah. Pemandangan sore ini sangat bertolak belakang dengan yang kurasakan saat ini, semesta sepertinya mempermainkanku dengan meninggalkan jejak yang begitu indah.
Suara berisik yang mengusik keheningan menginterupsi, dering yang menandakan panggilan telepon dari handphone-ku, memaksa aku untuk mengalihkan perhatian dari kegiatan menyiksa diri ini. Kulihat nama yang terpampang pada layar handphone-ku, segera aku terima panggilan itu, mengangkatnya dan mendekatkannya ke telinga kiri.
“Lu di mana?” Terdengar suara laki-laki di ujung sana.
“Gua capek, gua harus gimana? Nggak ada lagi yang bisa gua datengin,” jawabku lirih, mengabaikan pertanyaannya.
“Okay, tenang dulu. Di mana lu sekarang? Please, di mana lu sekarang?” tanyanya terdengar frustrasi.
“Di tempat luas, sendirian, banyak rumput dan lagi diejek sama langit,” jawabku.
Aku menghela napas, mengedarkan seluruh pandanganku, aku mendengar pria di ujung sana juga menghela napas berat.
“Gua tau tempatnya, diem lu di sana! Jangan ke mana-mana, okay? Dengerin gua! Jangan macem-macem.” Aku tidak menjawab.
“Ya! Diem di sana! Lu dengerin gua, ‘kan? Halo …! Halo …!” Ia berseru panik, napasnya memburu, aku mendengar ia melangkah dengan tergesa-gesa.
Aku mematikan panggilan itu secara tiba-tiba, mengabaikan semua teriakan di ujung sana. Aku tertunduk, air mataku tak terasa menetes, napasku tersekat, dadaku sesak, rasanya perih, dan rasa-rasa aneh lainnya yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Lama aku seperti itu, aku semakin meraung, tapi tiba-tiba tangan besar mengusap punggungku, membelaiku memberi kenyamanan. Bayangannya bisa kulihat ketika aku menunduk, aku semakin menjadi, meneriakkan semua debar jantungku. Memaki setiap payah hidupku, dia terus menghiburku, menenangkan dengan mendekap tubuhku dari samping.
Dengan tubuh kekarnya, dia mendekap tubuh lemahku, mengusap lembut rambutku yang sudah basah oleh keringat, dan aku merasakan kecupan tulus dia bubuhkan di pelipisku. Dia diam saja tidak berkata apa pun, seakan ikut merasakan lelah yang aku rasakan.
Tak ada yang mampu aku lakukan selain memanjatkan harap, di bawah pemandangan senja yang begitu indah. Aku coba percayakan lagi, aku coba berharap lagi, semoga kehidupanku seindah pemandangan ini.
Semoga hidupku, kehangatannya menyamai dekapan tangan kekar ini, ketulusannya semoga setulus semua perhatian yang diberikan lelaki ini.
Lelaki ini yang kelak akan membuatku menyadari arti hadirnya, lelaki tinggi kekar ini yang nantinya akan memberi kehidupan baru padaku, lelaki ini yang akan menumbuhkan kekuatan di hatiku, lelaki ini adalah Joseph Salim.
Tanggal 29 Maret 2017
Alarm berbunyi di pagi hari, menunjukkan pukul 05.00 pagi sesuai dengan pengaturan waktu yang aku siapkan di malam hari sebelum tidur. Aku sengaja bangun lebih pagi dari biasanya, wawancara kerja memang dimulai pukul 09.00 pagi, tetapi aku terlanjur bahagia mendengar kabar wawancara kerja itu.
Maklum sudah lima bulan, aku terus menerus mencari pekerjaan, memasukkan surat lamaran ke berbagai perusahaan, maka sudah sewajarnya aku bahagia, bukan?
“Kak, kamu sudah bangun?” Itu Mama, ia mengetuk pintu dari luar.
Aku masih tinggal dengan kedua orangtuaku, kami bukan dari keluarga yang mapan, bukan juga dari keluarga kalangan bawah, kami berada di posisi yang termasuk aman. Orangtuaku hanya memiliki dua orang anak, aku sebagai si sulung yang ingin membanggakan keluarga, dan ada adik laki-lakiku yang masih kelas 3 SMP. Kedua orangtuaku mematuhi program pemerintah, dengan dua anak cukup.
“Sudah, Ma,” balasku.
Aku membuka pintu untuk menyapa Mama yang sudah menunggu di luar sana, Mama terbilang masih muda, umur 47 tahun, dengan perawakan yang sederhana seperti kebanyakan orang Asia pada umumnya, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek, meskipun begitu Mama masih terlihat segar dan awet muda. Apakah aku juga akan seperti itu, ketika sudah berumur nanti? Terlihat muda dengan paras yang cantik, harusnya sudah pasti, betul tidak?.
“Mama, udah angetin air. Kamu mandi pagi, ‘kan? Masa mau kerja nggak mandi,” ujar Mama setengah mengejek.
“Ya mandilah. Belum kerja, Ma. Ini masih wawancara kerja,” ujarku.
“Sebagai orangtua sudah seharusnya berdoa, siapa tau langsung diterima, berdoa tidak ada syarat khusus, selama itu doa yang baik, sah-sah saja mau berdoa kapan pun,” kata Mama menasihati.
“Iya, Ma. Mudah-mudahan ya?” balasku.
“Nggak ada yang nggak mungkin, percayalah. Udah gih mandi, air udah panas tuh pasti,” perintahnya.
“Oke,” jawabku semangat.
Aku langsung lari menyampirkan handuk di pundak, memasuki kamar mandi dengan pikiran tenang. Aku tidak bisa mandi dengan air dingin di pagi hari, karena itu, Mama selalu menyiapkan air hangat. Aku menghabiskan waktu setengah jam di kamar mandi, terbilang cepat dibandingkan dengan kebanyakan perempuan lainnya, bukan?.
Setelah selesai mandi, aku memasuki kamarku kembali, mematut diriku di depan cermin. Aku mulai menghampiri lemari, menenteng satu hanger pakaian, lalu mengenakan pakaian yang telah aku siapkan sebelumnya, berdandan seadanya.
Aku tidak terlalu suka berdandan sebenarnya, tetapi hari ini pengecualian. Jika kalian berpikir berdandan yang aku maksud adalah memoles diri dengan berbagai merek kecantikan dan komponen kecantikan yang lengkap, kalian salah besar, aku hanya memoles wajahku dengan pelembab, lalu dilengkapi dengan foundation dan sedikit membubuhkan bedak padat, setelah itu menyapukan lip balm di bibir, sudah selesai, itulah yang aku maksud berdandan, merepotkan sekali.
Aku sudah siap, waktu menunjukkan 07.30, masih banyak waktu, tapi berhubung rumahku lumayan jauh dari perusahaan tempat wawancara kerja, mau tidak mau aku harus pergi lebih awal, agar tepat waktu. Aku menyempatkan diri untuk sarapan, satu lagi aku tidak bisa melewatkan sarapan, bila bangun pagi itu sudah wajib hukumnya aku untuk sarapan. Aku menghampiri meja makan, sudah ada orangtuaku dan adik laki-lakiku di sana.
“Tumben dandan?” tanya adikku.
“Ini mah, bukan dandan,” celetuk Mama.
“Ih, Mama. Ini tuh udah ribet banget, ini dandan, Ma. Lagian mau ke mana sampe harus menor segala, mau jadi manten?” jawabku.
“Boleh tuh. Kapan, Kak?” Alih-alih berhenti, Mama malah punya kesempatan lain untuk bertanya tentang hal lain yang sering aku hindari.
“Ihhh …!” jeritku.
“Udah, makan,” ucap Papa tegas, menghentikan kami yang bercanda tidak jelas.
Aku mulai menyendok nasi ke piring, dengan lauk ayam goreng dan sayuran yang ditumis oleh Mama. Menunya sederhana, tapi kenikmatannya takkan pernah bisa tergantikan dengan apa pun.
Makan dengan keluarga yang hangat, itu menjadi impian semua orang, aku beruntung, bukan hanya bermimpi tapi aku merasakannya langsung melalui keluargaku ini. Bagiku itu semua sudah cukup, tapi tidak bagi dunia ini, yang menuntutku untuk lebih banyak lagi bertindak.
“Nanti kerjanya di bagian apa, Kak?” tanya Papa di tengah keheningan.
“Nggak tau, lagian belum tentu juga diterima kerja di sana,” jawabku sekenanya.
“Hush, jangan gitu ngomongnya, pasti diterima kok,” sahut Mama dengan nada gemas, mendengar jawabanku.
“Ya, paling cuman jadi staff admin, aku nggak ada pengalaman, itu pun kalo diterima.” Masih dengan jawaban yang mengundang tatapan sinis dari Mama.
“Jadi apa pun nggak masalah, inget jangan seenaknya nanti jawab pertanyaan wawancara kerjanya. Bukannya kamu udah lama mau kerja? Jangan sia-siakan kesempatan, yang mau kerja itu bukan kamu aja, kalo kesempatan dibuang gitu aja, nanti nyesel kamu,” nasihat Papa.
“Tuh dengerin,” seru Mama.
“Iya, janji, nggak akan main-main. Aku udah ikut diskusi buat nanti wawancara kerja kok, jangan khawatir,” jawabku, tersenyum meyakinkan mereka.
Awalnya aku sangat senang dihubungi untuk wawancara kerja, perusahaan besar pula, tapi aku berpikir lagi, di sana aku harus bertemu dengan manusia baru dan juga tempat baru, itu membuat aku kehilangan semangat.
Lagi-lagi perasaan takut itu datang tanpa repot harus diundang, perasaan yang selalu aku tutupi di depan banyak orang, perasaan yang mulanya hanya menjadi ketakutan tak berarti, kini menjadi cambuk yang siap menghardikku di kemudian hari nanti.
Sarapan sudah selesai ketika aku dan keluargaku berbincang, aku kembali ke dalam kamar untuk membawa perlengkapan untuk pergi wawancara kerja. Aku menyambar tas yang tergeletak di atas kasur, dan meraih handphone-ku yang berada di atas nakas di dekat kasur.
Aku sudah siap, mulai berjalan keluar kamar, aku sedikit mematut diri di cermin yang menempel di lemari dekat kamarku, melihat sekilas dari atas sampai bawah. Menurut orang-orang aku terbilang tinggi, dengan tinggi badan sekitar 168 cm, tapi kata orang juga aku itu terlalu kurus, kulitku tidak terlalu putih tapi cukup terawat.
Aku berjalan menuju ruang tamu, aku ambil sepatu flat yang sudah lama menghuni rak sepatu, biasanya aku hanya memakainya untuk acara spesial saja, aku pikir kali ini tepat waktu, ini acara spesial, bukan?
Setelah semua dirasa sudah siap, aku beranjak dari kursi di depan teras, berpamitan dengan kedua orangtua dan adikku. Biasanya aku selalu diantar Papa ke mana-mana, tetapi untuk kali ini, aku berusaha memberanikan diri menjemput masa depanku.
Aku harus bersiap dengan kemungkinan yang ada di dunia ini, aku yakin dunia ini tidak diam, semua bergerak tak beraturan, tidak seperti yang aku inginkan. Dengan begitu, aku putuskan untuk bergelut sendiri dengan dunia luar.
“Semoga sesuai dengan yang kamu harapkan ya, Nak,” ujar Mama.
“Iya, Ma. Kakak pergi dulu ya, bye,” pamitku.
Aku masuk ke dalam taksi yang sudah dipesan sebelumnya, aku melihat mereka kembali, dan melambaikan tangan, dibalas oleh senyuman hangat Mama, hatiku lega jika sudah seperti itu.
***
“Selamat pagi, Neng, sudah siap? Tolong pasang seat belt-nya,” ucap Pak sopir taksi, ramah.
“Selamat pagi, Pak,” jawabku, sembari memasang seat belt, sesuai permintaannya.
Setelah memastikan aku nyaman dan aman, Pak sopir pun melajukan taksinya. “Kerja di sana, Neng?” tanya Pak sopir, setelah melihat alamat yang akan aku datangi hari ini.
“Tidak, Pak. Saya ada wawancara kerja di sana,” jawabku.
“Belum maksudnya ya, Neng?” jawab Pak sopir balas bertanya.
“Iya, mungkin,” jawabku ragu.
“Kalo sudah dipanggil untuk wawancara kerja, setahu saya biasanya langsung kerja sih, Neng,” kata Pak sopir kembali.
“Tapi itu perusahaan besar, Pak. Saya hanya menghadiri wawancara kerja saja,” jawabku.
“Pasti diterima sih, Neng,” ucap Pak sopir penuh harap.
“Iya, Pak. Aamiin, terima kasih.”
Setelah itu tidak ada lagi yang memulai percakapan, Pak sopir dengan sangat hati-hati melajukan kendaraannya. Aku melihat keluar jendela, mulai gugup tanpa bisa aku kendalikan, bagaimanapun ini kali pertama aku keluar rumah dengan jarak yang jauh.
Belum selesai dengan rasa gugup itu, notifikasi dari handphone membuatku tersentak, kaget. Aku segera memeriksa handphone-ku, takut ada kabar dari orang rumah ataupun kabar lainnya dari perusahaan yang. Tapi ternyata …
PutraMahkota: Di mana lu?
Sebuah pesan singkat datang dari seseorang yang kuanggap tidak punya kehidupan, karena kesehariannya hanya dihabiskan dengan menjahiliku. Aku sebenarnya sudah jengah dengan dia, tapi mau bagaimana lagi, orang yang aku kenal hanya dia saja.
PutraMahkota: Woy, dibaca aja nih?
PutraMahkota: Heh, lu pikir pesan gua koran digital, bales woy!
Nih, orang nggak sabaran banget, sumpah, dah, gerutuku dalam hati.
Di tengah ibu jariku mengetikkan pesan balasan untuknya, dia meneleponku, tidak tidak sabaran karena tidak kunjung mendapat balasan. Meskipun aku jengah, tapi aku tidak bisa mengabaikannya, dengan berat hati aku menerima panggilan telepon darinya.
Aku menerimanya. “Lama banget lu, di mana lu?” tanyanya di seberang sana, aku diam tidak menjawab.
“Jangan sok pura-pura nggak denger lu, cepetan bilang di mana lu sekarang?” desaknya.
“Dalem taksi, nggak sabaran amat, sih, heran!” jawabku, geram.
“Taksi?!” Laki-laki di seberang sana, tak sengaja berteriak, membuatku menjauhkan handphone dari telinga.
Laki-laki itu memang tidak pernah bisa menjadi manis, sekali saja. Iya, dia laki-laki namanya Joseph Salim, dia selalu bersamaku dari lama. Dia laki-laki yang usil, ceria, dan terkadang sedikit rada gila. Tingginya sekitar 178 cm, hidungnya mancung sekali seperti perosotan di taman bermain, kata orang dia tampan, tetapi tidak bagiku.
Kami satu SMP dan SMA, ketika kuliah kami memilih untuk berbeda universitas, tapi kami masih sangat akrab. Dia selalu menghubungiku lebih dulu, kami tidak pernah memutuskan hubungan, selalu saling mengabari satu sama lain.
“Ya! ngapain lu teriak, hah?” tegurku, kesal, hingga Pak sopir di depanku melirik melalui kaca depan.
“Ngapain di taksi, dah? Lu mau ke mana? Tumbenan masih pagi keluar rumah, mau ke mana lu?” cecar Joseph.
“Lu nggak bisa nanya satu-satu, buset dah, itu mulut udah ngalahin ibu-ibu komplek nawar batagor,” kataku, tidak menjawab pertanyaannya.
“Yeuh, malah ngomel, mau ke mana lu? Dari tadi pertanyaan gua dianggurin doang,” katanya, aku bisa mendengar dia menarik napas kasar, mungkin kesal juga karena tidak kunjung aku jawab.
“Interview, gua udah bahas ini, kapan hari sama lu, ‘kan? Ngapain nanya lagi, heran,” jawabku.
“Oh, pergi sendiri? Kenapa nggak hubungin gua?” tanya Joseph lagi.
“Karena gua mampu, ya gua pergi sendirilah, ngapain hubungin lu, yang ada dirusuhin gua sama lu,” jawabku.
“Sensi amat, ya udah lah, kalo udah beres, nanti kabarin gua,” pintanya.
“Buat apaan? Repot bener, harus ngabarin lu,” jawabku, ketus.
“Mau apa kek, terserah gua,” jawabnya, menjengkelkan sekali.
“Yeu, kalo nggak ada tujuan, buat apa gua kasih tau lu,” kataku.
“Rese lu, gua jemput, pulangnya bareng gua nanti,” katanya.
Tak terasa, selama berbincang dengan Joseph via telepon, aku telah sampai di tempat tujuan. Aku melihat keluar jendela, terlihat gedung menjulang tinggi di sana, debar gugup yang tadi sempat hilang, mendadak aku rasakan kembali.
“Gua udah sampe, nanti gua hubungin lagi, dah,” kataku.
“Heem, jangan lupa hubungin gua,” balasnya.
“Heem, terserahlah,” pungkasku, kemudian mengakhiri panggilan telepon Joseph.
Sebelum keluar dari taksi, aku memandangi gedung itu, aku tidak menyangka akan datang ke tempat seperti ini. Hari-hariku selalu kuhabiskan di dalam kamar, ini awal yang tidak begitu meyakinkan bagiku. Aku menghembuskan napas gusar, setelah mengucapkan terima kasih pada sopir taksi, aku akhirnya keluar.
***
Sekali lagi aku melihat gedung itu, kini aku dapat melihat tanpa terhalang kaca mobil, gedung perusahaan ini terlihat sangat megah, tinggi dan besar. Meskipun penuh keraguan, aku mulai melangkah perlahan-lahan hingga aku sampai tepat di depan lobi perusahaan.
Aku melihat-lihat sekitar, melangkah masuk ke dalam. Di sana aku melihat meja resepsionis tepat di tengah lobi. Sisi kiri dan kanannya, terdapat banner yang menginformasikan visi dan misi perusahaan, serta terdapat pahatan kayu berbentuk setengah badan manusia yang disimpan di atas meja resepsionis, sepertinya itu wajah sang pemilik perusahaan.
Aku melanjutkan langkahku, tujuanku adalah meja resepsionis, yang sedang aku lihat dari kejauhan, aku harus menanyakan tempat wawancara. Perusahaan yang aku datangi luas, aku tidak tau harus melangkah ke arah mana, aku perlu petunjuk.
“Permisi,” sapaku, setibanya di depan meja pada resepsionis wanita.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis ramah, aku melihat name tag yang ada di dadanya, bertuliskan Rania, aku asumsikan jika itu namanya.
“Saya mendapat undangan wawancara kerja dari perusahaan ini, saya … ke mana saya harus pergi?” tanyaku canggung.
“Silakan, naik ke lantai dua. Nanti ada yang mengarahkan, tunggu saja bersama peserta wawancara yang lainnya. Anda bisa menggunakan lift ataupun menggunakan tangga darurat yang berada di sebelah kiri,” jawab Rania, sembari menunjuk lift dan tangga darurat dengan tangannya, sopan.
Aku takut, bukan karena tempatnya di lantai dua, tetapi mendengar tidak hanya aku yang akan wawancara kerja, aku was-was. Aku kira hanya aku saja yang dipanggil untuk hari ini, mendengar tidak hanya aku sendiri, pikiranku jadi kosong, jujur saja aku belum siap bertemu dengan banyak manusia.
Sejenak aku termenung mendengar penjelasannya. Aku sudah berada di dalam perusahaan besar, aku bahkan melihat orang-orang berjalan hilir mudik mengenakan pakaian semi-formal. Aku semakin resah, aku belum pernah berada di tempat yang terdapat banyak orang sekaligus.
“Terima kasih,” ucapku, tersenyum canggung.
“Terima kasih kembali,” jawabnya, menyatukan kedua tangan memberi hormat, juga membalas senyumanku.
“Permisi,” pamitku.
“Silakan.”
***
Aku meninggalkan lobi, dan langsung melanjutkan menuju tangga darurat, aku memberanikan diri menaiki tangga darurat, aku langkahkan kakiku di sana. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menenangkan hati, aku berusaha keras untuk menyiapkan diri, atas semua kemungkinan yang akan ditemuiku di lantai dua nanti.
Aku melangkah lagi, mencoba dengan pasti menaiki satu anak tangga ke anak tangga lainnya. Langkah-langkah berikutnya semakin mendebarkan, anak tangga tertinggal banyak di belakang, sedang di atas sana tinggal beberapa anak tangga lagi yang tersisa. Hatiku semakin cemas, beberapa saat kemudian tubuhku mulai bergetar, telapak tanganku berkeringat dingin.
Sebelum menyelesaikan langkahku di anak tangga terakhir, aku diam sebentar, mengontrol diriku supaya tidak limbung di tengah keramaian. Sejujurnya, aku tidak mengkhawatirkan tentang sesi wawancaranya, aku justru mencemaskan banyaknya manusia lain yang akan aku hadapi nantinya.
Aku mulai menyesali keputusanku menghadiri wawancara kerja kali ini, tetapi aku tak bisa balik kanan, lalu lari meninggalkan kesempatan begitu saja, meskipun aku ingin.
Dengan kondisiku yang seperti ini, aku jadi menyangsikan keberadaanku, kakiku mulai berat, hatiku semakin berdebar, sulit untuk kukendalikan. Semakin keras aku memaksakan langkahku, semakin gemetar saja tubuhku, aku mencoba tenang, dan memegang dadaku.
Aku menatap ke depan, tenang hatiku tak kunjung aku dapatkan, semakin gusar, perasaanku tidak mau bekerja sama, aku masih tetap meragu dengan keputusanku.
Apa gua pulang lagi aja, ya, ini nggak bisa nih, gua nggak bisa kayak gini, batinku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!