Tak Semanis Takdir
Part 1
Menikah
"Alesa! taat dan patuhlah pada suamimu," petuah Abdurrahman abinya, saat Alesha akan meninggalkan kediamannya.
Alesa hanya mengangguk dengan deraian air mata yang membasahi pipi. Dia tak kuasa membendung aliran bening itu meluncur dengan deras di pipinya. Entah kenapa dia merasa abi dan umi seakan ingin membuangnya jauh.
Berkali diseka air mata dengan ujung hijabnya. Namun, tetap saja mengalir. Dia berusaha menyembunyikan tangis tanpa suara, hingga dadanya terasa menyesak.
"Jaga kehormatan suami, jangan sekali-kali membuatnya marah." Asiah sang umi ikut menyela ucapan suaminya.
"Iya mi," ujar Alesa lagi, seraya mengangguk, lalu memeluk wanita paroh baya yang sangat disayanginya itu.
Umi Asiah meregangkan pelukan, mengusap kristal bening yang meluncur di pipi mulus putri sulungnya. Sebagai wanita dia sangat tahu bagaimana perasaan putrinya sekarang. Menikah tanpa cinta dengan lelaki yang pantas dipanggil om dan terpaksa menerima perjodohan itu demi meringankan kebutuhan keluarga.
Abi Abdurrahman hanya seorang guru honor dengan penghasilan satu juta dua ratus perbulan, dan sekarang dalam keadaan sakit-sakitan, butuh biaya banyak untuk berobat. Belum lagi empat adik Alesa yang masih bersekolah.
Fasya menjanjikan akan memberikan biaya pengobatan Abdurrahman dan sekolah adik-adik Alesa. Jika Alesa mau menikah dengannya.
Abdurrahman dan Asiah tidak ada pilihan lain, selain menikahkan putri sulungnya itu. Agar taraf hidup bisa lebih baik.
"Sudah! Jangan menangis lagi. Percayalah laki-laki pilihan abi, pasti yang terbaik," bisik Asiah di telinga Alesa. Dia tidak ingin suaminya melihat putri kesayangannya itu menangis.
Sejenak Alesa menatap wajah abi dan uminya secara bergantian. Dua orang yang telah begitu telaten dan hati-hati merawatnya. Kini membiarkannya mengikuti lelaki asing seorang diri. Kalau boleh jujur, Alesa belum siap berpisah dengan mereka.
Alesa kembali masuk dalam dekapan uminya, kali ini tangisannya pecah mengugu. Dia tak mampu membendung hingga tubuhnya tergoncang hebat, dan Alesa juga tak perduli kalau abinya mengetahui kalau dia sedang bersedih.
"Sayang! Sudahlah! Jangan buang air matamu. Umi percaya suamimu akan mampu membimbingmu ke surganya," ujar Asiah seraya memegang ke dua bahu Alesa. Lalu dengan kedua ibu jarinya, wanita paroh baya yang terlihat masih cantik itu menyesap air mata di pipi Alesa.
"Pergilah! suamimu sudah menunggu."
Secepat kilat Asela mengambil ujung lengan baju, lalu mengelap sisa air mata, saat melihat Abdurrahman berjalan menuju ke arahnya. Sang abi kemudian memagut lengan Alesa dan membawanya mendekati Fasya.
"Fasya! Abi serahkan Alesa padamu dan sekarang tanggung jawab abi sudah berpindah padamu."
"Insya Allah. Saya akan menjaga Alesa dengan baik. Di bawah ridho Abi dan Umi," ujar Fasya seraya menyalami kedua orang tua Alesa yang sekarang sudah menjadi mertuanya.
"Dasar laki-laki egois," batin Alesa.
"Baru beberapa jam dia menikahiku, sekarang dia sudah tega memisahkanku dengan orang tuaku," batin Alesa lagi.
Ingin Alesa berteriak kencang, agar laki-laki itu mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Dunia Alesa terasa gelap, gemuruh di dada terasa sangat menyesakkan. Alesa merasa takdir Tuhan kali ini, sangat tidak berpihak padanya. Namun dia tak mampu menolaknya. Dan dia tetap harus pergi dengan laki-laki asing yang baru dikenalnya beberapa jam.
Langit hati Alesa kini telah runtuh, netranya diselimuti kabut tebal, buliran-buliran kristal berdesakan ingin kembali membobol benteng pertahanannya.
Abdurrahman dan umi Asiah pun tidak keberatan sama sekali, waktu laki-laki tampan berkulit bersih itu meminta Alesa ikut ke kota setelah beberapa jam resmi menjadi istrinya. Tak ada alasan buat Abdurrahman dan Asiah menahan Alesa, karena Alesa sudah menjadi istri sah Fasya.
Sementara Alesa yang baru melihat Fasya dua kali, sekali waktu menandatangani surat nikah, dan sekali lagi, saat dia meminta ijin pada Abdurrahman untuk segara membawanya keluar dari rumah tempat tinggalnya. Selama dipersandingan Alesa sama sekali tidak pernah melirik Fasya.
Alesa terkaget-kaget saat laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu, mengutarakan keinginannya membawa Alesa saat ijab qabul baru selesai beberapa jam.
Resepsi pernikahan masih berlangsung, para tamu berdatangan silih berganti. Alesa masih sibuk menyalami para tetangga dan teman-temannya. Saat lelaki yang sudah berstatus suaminya itu turun dari pelaminan, dengan santai meminta pada Abdurrahman akan membawa Alesa pergi sekarang.
"Ini sungguh tidak adil," gumam Alesa terisak, air matanya pun kembali menganak sungai di sudut netranya. ketika mobil yang membawanya melaju meninggalkan rumahnya.
"Alesa! Apa kau sedih." laki-laki itu bertanya bodoh.
Alesa tidak sudi memandang ke arah Fasya, tatapannya menembus kaca jendela mobil. Mobil keluar dari jalan tanjung harapan, membelok ke kanan menyusuri jalan telaga biru. Mobil yang membawanya semakin jauh meninggalkan kota Tembilahan.
Alesa lupa sudah beberapa jembatan di lewati, saat perutnya mulai mual. Alesa memasukkan tangannya ke kantong belakang kursi mencari plastik asoy sambil tangan kiri membekap mulutnya di balik niqab.
"Kamu kenapa? Apa kamu mual?" tanya Fasya seraya menyodorkan plastik asoy hitam.
Uekk.. uekk... uhuk.. uhuk.. Alesa memuntahkan isi perut. Sungguh memalukan perjalanannya belum sampai ke sungai Salak tapi dia sudah mabuk.
"Kenapa aku bisa lupa meminum dramamin anti mabuk," gumam Alesa sambil meraih botol air mineral yang diberikan Fasya.
"Pak! Cari kedai atau warung yang ada jual obat anti mabuk," titah Fasya pada supir pribadinya.
Sambil menatap ke arah luar jendela, tangan Fasya memijat-mijat tengguk Alesa. Alesa yang sudah merasa lemas dan pusing hanya menurut dan pasrah, tak ada penolakan saat tangan Fasya menyentuhnya.
Sepuluh menit kemudian, mobil berhenti di sebuah warung. Fasya meminta Burhan turin untuk membeli obat anti mabuk, minyak kayu putih dan fres care.
"Minum obat anti mabuknya dulu," ujar Fasya menyodorkan sebutir dramamin ke arah Alesa.
Alesa mengambil dramamin dari tangan Fasya lalu menelannya. Jika tidak maka sepanjang perjalanan sampai ke Pekanbaru dia akan terus muntah-muntah.
"Alesa! kau begitu memalukan," batin Alesa.
"Setelah minum obat, bawa tidur saja, supaya tidak mabuk lagi." Fasya merengkuh kepala Alesa, meletakkan bantal di atas pahanya dan meminta Alesa berbaring.
Perlakuan Fasya membuat Alesa salah tingkah. Sekarang dia serba salah, ingin menolak, tapi dia memang butuh pertolongan, harus ada yang memijat tengkuk dan kepala agar pisingnya terasa ringan.
"Maaf!" ujar Fasya seraya memasukkan tangan ke balik jilbab Alesa, lalu mengoleskan fres care. Kemudian tangan Fasya mulai memijat, tepatnya mengelus lembut tengkuk Alesa. Rasa hangat dari sentuhan tangan Fasya bersatu padu dengan fres care, membuat perasaan Alesa lebih nyaman dan lega.
"Apa sudah terasa enak?" tanya Fasya saat melihat Alesa memejamkan mata.
Perlahan Alesa membuka mata, lalu bangkit dari tidurnya. Alesa menoleh kearah laki-laki yang baru melontarkan pertanyaan itu. Fasya tersenyum lalu mengulurkan tangannya memperbaiki letak jilbab Alesa.
"Tidurlah! Aku akan menjagamu, seperti abi dan umi menyayangimu," ujar Fasya, tangan Fasya kembali terulur, merengkuh bahu Alesa, lalu mencium puncak kepala Alesa.
Melihat Alesa hanya diam. Fasya merengkuh tubuh mungil Alesa, membawanya dalam pelukan. Entah kenapa saat Fasya kembali mencium puncak kepalanya, tiba-tiba Alesa merasa damai, ada magnet yang mengalir di rongga tubuh terasa hangat. Alesa tidak mengerti apa yang terjadi padanya sekarang. Kenapa dia tak mampu menolak, kala tangan kekar Fasya merengkuhnya dalam pelukan. Dasar alay.
"Apa ini? Kenapa aku merasa nyaman dalam dekapannya," batin Alesa seraya kembali memejamkan mata. Alesa meresapi rasa yang sedang bergejolak di hati.
Sementara Fasya berkali menatapi wajah wanita di sampingnya, dan mereka-reka bagaimana sebenarnya rupa gadis di balik niqab itu. Sebenarnya dia sudah berhak melihat wajah Alesa. Namun itu tidak dilakukannya, karena pernikahannya dengan Alesa tidak berlandaskan cinta, Fasya hanya memenuhi permintaan papanya. Bukan keinginannya, jadi baginya tidak penting untuk melihat wajah di balik cadar itu.
Sepanjang perjalanan, Fasya berusaha membuat Alesa dalam keadaan nyaman. Dia memastikan Alesa bisa menikmati perjalanan dengan baik dan tidak memuntahkan lagi isi perutnya.
Tujuh jam perjalanan lebih banyak Alesa lewati dengan tidur, selain karena mabuk, juga rasa capek habis pesta pernikahan, tenaganya sudah banyak terkuras. Alesa terbangun saat merasakan mobil berhenti dan sebuah tangan mengangkat kepalanya lalu. menyandarkan di kursi.
Setengah sadar Alesa mengucel matanya yang masih mengantuk, mungkin efek dramamin yang diminumnya belum sepenuhnya pulih. Setelah sadar sepenuhnya. Alesa menatap keluar lewat kaca jendela. Mobil berhenti di sebuah rumah berpagar setinggi tiga meter dengan cat abu-abu, rumah yang terlihat besar dan mewah.
"Ayok turun, kita sudah sampai," ujar Fasya lagi, meraih tangan Alesa, membantu keluar dari mobil.
Alesa menatap bangunan megah di depannya. Halaman dan taman yang luas, di mana-mana berserakan daun- daun kering, bunga-bunga yang tumbuh seadanya dan merambat sesukanya.
"Ah sayang sekali taman secantik ini tak terawat," batin Alesa.
Alesa yang suka dan penyayang tanaman, prihatin saat melihat bunga-bunga tumbuh liar sesukanya. Bagi Alesa tanaman yang terawat menjadi media untuk menghilangkan rasa suntuk dan jenuh.
"Apa Fasya sangat sibuk hingga halaman rumah semberaut begini, apa dia tak punya penjaga kebun," batin Alesa lagi, sambil sudut matanya melirik ke kiri dan kanan, tak terlihat ada siapa-siapa.
"Ayok! masuk," ajak Fasya seraya melebarkan daun pintu utama.
Seorang lelaki datang dari beranda samping. Setelah berbasa-basi dengan Fasya. Dia mengambil alih koper Alesa yang tadi di bawa Fasya. Dengan ragu Alesa melangkahkan kakinya melewati pintu masuk.
Melihat keraguan Alesa, Fasya meraih dan menggandeng tangannya. Sentuhan Fasya kali ini, membuat jantung Alesa terserang stoke ringan. Alesa diam sejenak, berusaha menetralkan debaran di dadanya. Seumur hidup baru kali ini dia merasakan hal seperti ini.
"Apa aku mulai menyukai laki-laki itu. Bagaimana dengan Bambang laki-laki yang sudah lama ku idamkan menjadi imanku," gumam Alesa dalam hati.
"Bambang! Apa dia masih ingat denganku," batin Alesa membayangkan wajah Bambang yang begitu tampan dengan kumis tipisnya. Tanpa sadar Asela senyum mengingat wajah lelaki idamannya itu.
"Ada apa kamu senyum-senyum. Apa kamu bahagia dapat suami seganteng aku?" tanya Fasya seraya melirik wanita yang baru beberapa jam dinikahinya itu.
"A-aku..." jawab Alesa gugup.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Rajuk Rindu
terima kasih
2023-02-11
2
Rajuk Rindu
Terima buat para reader yang sudah kasih like.
2023-02-11
1