NovelToon NovelToon

Tak Semanis Takdir

Menikah

Part 1

Menikah

"Alesa! taat dan patuhlah pada suamimu," petuah Abdurrahman abinya, saat Alesha akan meninggalkan kediamannya.

Alesa hanya mengangguk dengan deraian air mata yang membasahi pipi. Dia tak kuasa membendung aliran bening itu meluncur dengan deras di pipinya. Entah kenapa dia merasa abi dan umi seakan ingin membuangnya jauh.

Berkali diseka air mata dengan ujung hijabnya. Namun, tetap saja mengalir. Dia berusaha menyembunyikan tangis tanpa suara, hingga dadanya terasa menyesak.

"Jaga kehormatan suami, jangan sekali-kali membuatnya marah." Asiah sang umi ikut menyela ucapan suaminya.

"Iya mi," ujar Alesa lagi, seraya mengangguk, lalu memeluk wanita paroh baya yang sangat disayanginya itu.

Umi Asiah meregangkan pelukan, mengusap kristal bening yang meluncur di pipi mulus putri sulungnya. Sebagai wanita dia sangat tahu bagaimana perasaan putrinya sekarang. Menikah tanpa cinta dengan lelaki yang pantas dipanggil om dan terpaksa menerima perjodohan itu demi meringankan kebutuhan keluarga.

Abi Abdurrahman hanya seorang guru honor dengan penghasilan satu juta dua ratus perbulan, dan sekarang dalam keadaan sakit-sakitan, butuh biaya banyak untuk berobat. Belum lagi empat adik Alesa yang masih bersekolah.

Fasya menjanjikan akan memberikan biaya pengobatan Abdurrahman dan sekolah adik-adik Alesa. Jika Alesa mau menikah dengannya.

Abdurrahman dan Asiah tidak ada pilihan lain, selain menikahkan putri sulungnya itu. Agar taraf hidup bisa lebih baik.

"Sudah! Jangan menangis lagi. Percayalah laki-laki pilihan abi, pasti yang terbaik," bisik Asiah di telinga Alesa. Dia tidak ingin suaminya melihat putri kesayangannya itu menangis.

Sejenak Alesa menatap wajah abi dan uminya secara bergantian. Dua orang yang telah begitu telaten dan hati-hati merawatnya. Kini membiarkannya mengikuti lelaki asing seorang diri. Kalau boleh jujur, Alesa belum siap berpisah dengan mereka.

Alesa kembali masuk dalam dekapan uminya, kali ini tangisannya pecah mengugu. Dia tak mampu membendung hingga tubuhnya tergoncang hebat, dan Alesa juga tak perduli kalau abinya mengetahui kalau dia sedang bersedih.

"Sayang! Sudahlah! Jangan buang air matamu. Umi percaya suamimu akan mampu membimbingmu ke surganya," ujar Asiah seraya memegang ke dua bahu Alesa. Lalu dengan kedua ibu jarinya, wanita paroh baya yang terlihat masih cantik itu menyesap air mata di pipi Alesa.

"Pergilah! suamimu sudah menunggu."

Secepat kilat Asela mengambil ujung lengan baju, lalu mengelap sisa air mata, saat melihat Abdurrahman berjalan menuju ke arahnya. Sang abi kemudian memagut lengan Alesa dan membawanya mendekati Fasya.

"Fasya! Abi serahkan Alesa padamu dan sekarang tanggung jawab abi sudah berpindah padamu."

"Insya Allah. Saya akan menjaga Alesa dengan baik. Di bawah ridho Abi dan Umi," ujar Fasya seraya menyalami kedua orang tua Alesa yang sekarang sudah menjadi mertuanya.

"Dasar laki-laki egois," batin Alesa.

"Baru beberapa jam dia menikahiku, sekarang dia sudah tega memisahkanku dengan orang tuaku," batin Alesa lagi.

Ingin Alesa berteriak kencang, agar laki-laki itu mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Dunia Alesa terasa gelap, gemuruh di dada terasa sangat menyesakkan. Alesa merasa takdir Tuhan kali ini, sangat tidak berpihak padanya. Namun dia tak mampu menolaknya. Dan dia tetap harus pergi dengan laki-laki asing yang baru dikenalnya beberapa jam.

Langit hati Alesa kini telah runtuh, netranya diselimuti kabut tebal, buliran-buliran kristal berdesakan ingin kembali membobol benteng pertahanannya.

Abdurrahman dan umi Asiah pun tidak keberatan sama sekali, waktu laki-laki tampan berkulit bersih itu meminta Alesa ikut ke kota setelah beberapa jam resmi menjadi istrinya. Tak ada alasan buat Abdurrahman dan Asiah menahan Alesa, karena Alesa sudah menjadi istri sah Fasya.

Sementara Alesa yang baru melihat Fasya dua kali, sekali waktu menandatangani surat nikah, dan sekali lagi, saat dia meminta ijin pada Abdurrahman untuk segara membawanya keluar dari rumah tempat tinggalnya. Selama dipersandingan Alesa sama sekali tidak pernah melirik Fasya.

Alesa terkaget-kaget saat laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu, mengutarakan keinginannya membawa Alesa saat ijab qabul baru selesai beberapa jam.

Resepsi pernikahan masih berlangsung, para tamu berdatangan silih berganti. Alesa masih sibuk menyalami para tetangga dan teman-temannya. Saat lelaki yang sudah berstatus suaminya itu turun dari pelaminan, dengan santai meminta pada Abdurrahman akan membawa Alesa pergi sekarang.

"Ini sungguh tidak adil," gumam Alesa terisak, air matanya pun kembali menganak sungai di sudut netranya. ketika mobil yang membawanya melaju meninggalkan rumahnya.

"Alesa! Apa kau sedih." laki-laki itu bertanya bodoh.

Alesa tidak sudi memandang ke arah Fasya, tatapannya menembus kaca jendela mobil. Mobil keluar dari jalan tanjung harapan, membelok ke kanan menyusuri jalan telaga biru. Mobil yang membawanya semakin jauh meninggalkan kota Tembilahan.

Alesa lupa sudah beberapa jembatan di lewati, saat perutnya mulai mual. Alesa memasukkan tangannya ke kantong belakang kursi mencari plastik asoy sambil tangan kiri membekap mulutnya di balik niqab.

"Kamu kenapa? Apa kamu mual?" tanya Fasya seraya menyodorkan plastik asoy hitam.

Uekk.. uekk... uhuk.. uhuk.. Alesa memuntahkan isi perut. Sungguh memalukan perjalanannya belum sampai ke sungai Salak tapi dia sudah mabuk.

"Kenapa aku bisa lupa meminum dramamin anti mabuk," gumam Alesa sambil meraih botol air mineral yang diberikan Fasya.

"Pak! Cari kedai atau warung yang ada jual obat anti mabuk," titah Fasya pada supir pribadinya.

Sambil menatap ke arah luar jendela, tangan Fasya memijat-mijat tengguk Alesa. Alesa yang sudah merasa lemas dan pusing hanya menurut dan pasrah, tak ada penolakan saat tangan Fasya menyentuhnya.

Sepuluh menit kemudian, mobil berhenti di sebuah warung. Fasya meminta Burhan turin untuk membeli obat anti mabuk, minyak kayu putih dan fres care.

"Minum obat anti mabuknya dulu," ujar Fasya menyodorkan sebutir dramamin ke arah Alesa.

Alesa mengambil dramamin dari tangan Fasya lalu menelannya. Jika tidak maka sepanjang perjalanan sampai ke Pekanbaru dia akan terus muntah-muntah.

"Alesa! kau begitu memalukan," batin Alesa.

"Setelah minum obat, bawa tidur saja, supaya tidak mabuk lagi." Fasya merengkuh kepala Alesa, meletakkan bantal di atas pahanya dan meminta Alesa berbaring.

Perlakuan Fasya membuat Alesa salah tingkah. Sekarang dia serba salah, ingin menolak, tapi dia memang butuh pertolongan, harus ada yang memijat tengkuk dan kepala agar pisingnya terasa ringan.

"Maaf!" ujar Fasya seraya memasukkan tangan ke balik jilbab Alesa, lalu mengoleskan fres care. Kemudian tangan Fasya mulai memijat, tepatnya mengelus lembut tengkuk Alesa. Rasa hangat dari sentuhan tangan Fasya bersatu padu dengan fres care, membuat perasaan Alesa lebih nyaman dan lega.

"Apa sudah terasa enak?" tanya Fasya saat melihat Alesa memejamkan mata.

Perlahan Alesa membuka mata, lalu bangkit dari tidurnya. Alesa menoleh kearah laki-laki yang baru melontarkan pertanyaan itu. Fasya tersenyum lalu mengulurkan tangannya memperbaiki letak jilbab Alesa.

"Tidurlah! Aku akan menjagamu, seperti abi dan umi menyayangimu," ujar Fasya, tangan Fasya kembali terulur, merengkuh bahu Alesa, lalu mencium puncak kepala Alesa.

Melihat Alesa hanya diam. Fasya merengkuh tubuh mungil Alesa, membawanya dalam pelukan. Entah kenapa saat Fasya kembali mencium puncak kepalanya, tiba-tiba Alesa merasa damai, ada magnet yang mengalir di rongga tubuh terasa hangat. Alesa tidak mengerti apa yang terjadi padanya sekarang. Kenapa dia tak mampu menolak, kala tangan kekar Fasya merengkuhnya dalam pelukan. Dasar alay.

"Apa ini? Kenapa aku merasa nyaman dalam dekapannya," batin Alesa seraya kembali memejamkan mata. Alesa meresapi rasa yang sedang bergejolak di hati.

Sementara Fasya berkali menatapi wajah wanita di sampingnya, dan mereka-reka bagaimana sebenarnya rupa gadis di balik niqab itu. Sebenarnya dia sudah berhak melihat wajah Alesa. Namun itu tidak dilakukannya, karena pernikahannya dengan Alesa tidak berlandaskan cinta, Fasya hanya memenuhi permintaan papanya. Bukan keinginannya, jadi baginya tidak penting untuk melihat wajah di balik cadar itu.

Sepanjang perjalanan, Fasya berusaha membuat Alesa dalam keadaan nyaman. Dia memastikan Alesa bisa menikmati perjalanan dengan baik dan tidak memuntahkan lagi isi perutnya.

Tujuh jam perjalanan lebih banyak Alesa lewati dengan tidur, selain karena mabuk, juga rasa capek habis pesta pernikahan, tenaganya sudah banyak terkuras. Alesa terbangun saat merasakan mobil berhenti dan sebuah tangan mengangkat kepalanya lalu. menyandarkan di kursi.

Setengah sadar Alesa mengucel matanya yang masih mengantuk, mungkin efek dramamin yang diminumnya belum sepenuhnya pulih. Setelah sadar sepenuhnya. Alesa menatap keluar lewat kaca jendela. Mobil berhenti di sebuah rumah berpagar setinggi tiga meter dengan cat abu-abu, rumah yang terlihat besar dan mewah.

"Ayok turun, kita sudah sampai," ujar Fasya lagi, meraih tangan Alesa, membantu keluar dari mobil.

Alesa menatap bangunan megah di depannya. Halaman dan taman yang luas, di mana-mana berserakan daun- daun kering, bunga-bunga yang tumbuh seadanya dan merambat sesukanya.

"Ah sayang sekali taman secantik ini tak terawat," batin Alesa.

Alesa yang suka dan penyayang tanaman, prihatin saat melihat bunga-bunga tumbuh liar sesukanya. Bagi Alesa tanaman yang terawat menjadi media untuk menghilangkan rasa suntuk dan jenuh.

"Apa Fasya sangat sibuk hingga halaman rumah semberaut begini, apa dia tak punya penjaga kebun," batin Alesa lagi, sambil sudut matanya melirik ke kiri dan kanan, tak terlihat ada siapa-siapa.

"Ayok! masuk," ajak Fasya seraya melebarkan daun pintu utama.

Seorang lelaki datang dari beranda samping. Setelah berbasa-basi dengan Fasya. Dia mengambil alih koper Alesa yang tadi di bawa Fasya. Dengan ragu Alesa melangkahkan kakinya melewati pintu masuk.

Melihat keraguan Alesa, Fasya meraih dan menggandeng tangannya. Sentuhan Fasya kali ini, membuat jantung Alesa terserang stoke ringan. Alesa diam sejenak, berusaha menetralkan debaran di dadanya. Seumur hidup baru kali ini dia merasakan hal seperti ini.

"Apa aku mulai menyukai laki-laki itu. Bagaimana dengan Bambang laki-laki yang sudah lama ku idamkan menjadi imanku," gumam Alesa dalam hati.

"Bambang! Apa dia masih ingat denganku," batin Alesa membayangkan wajah Bambang yang begitu tampan dengan kumis tipisnya. Tanpa sadar Asela senyum mengingat wajah lelaki idamannya itu.

"Ada apa kamu senyum-senyum. Apa kamu bahagia dapat suami seganteng aku?" tanya Fasya seraya melirik wanita yang baru beberapa jam dinikahinya itu.

"A-aku..." jawab Alesa gugup.

Bersambung

Pelakor

Part 2

Seketika Alesa menepis bayangan laki-laki berbibir tipis yang telah menawannya. Bambang memang idola para gadis di SMA kampungnya.

"Aku tidak boleh memikirkan laki-laki lain selain Fasya. Dia yang bertanggung jawab baik buruk aku sekarang." Alesa menguatkan hatinya dan dia harus bisa melupakan Bambang mulai detik ini.

Alesa mengikuti langkah Fasya memasuki rumah besar yang telihat sangat sepi.

*****

"Abang! Ke mana semalam, kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi."

Seorang wanita cantik, berkisar usia tiga pupuh dua, tiba-tiba keluar dari ruang tengah, lalu dengan pandangan menukik menatap Alesa. Alesa ngeri melihat tatapan wanita itu, hingga dia berpagut dilengan Fasya meminta perlindungan.

"Siapa dia?" tanya wanita itu sambil menepis bahu Alesa. Tatapannya intens ke arah Alesa.

"Dia istri ke dua ku," jawab Fasya.

"Apa!" kedua wanita itu terkejut secara bersamaan.

Plak... satu tamparan mendarat di pipi Alesa. Alesa yang merasa tidak tahu apa-apa dan tidak bersalah dalam hal ini, tentu sangat kaget. Dengan mata berkaca-kaca Alesa memegangi kedua pipinya yang terasa panas.

"Aku ti..."

"Kurang ajar. Kau palakor!" teriak wanita itu, dia tidak memberikan kesempatan sedikit pun untuk Alesa membela diri. Dengan penuh emosi wanita itu kembali mengangkat tangannya.

"Saera! Hentikan!" Bentak Fasya seraya menahan tangan Saera agar tidak menyerang Alesa lagi.

"Abang! Lepaskan! biar kuhabisi wanita itu." Saera menarik tangannya lalu berusaha menyerang Alesha yang bersembunyi di balik punggung Fasya. Fasya berusaha me dekap Saera.

Saera terus memberontak dalam pelukan Fasya, dia memukuli dada Fasya dengan kedua tangannya.

"Saera! Dengarkan Aku! Aku menikahi Alesa atas permintaan papa." ucap Fasya seraya memeluk Saera dengan erat. Fasya berusaha menenangkan Saera agar dia tidak menyakiti Alesa lagi.

Mendengar penuturan Fasya. Kepala Alesa yang masih pusing, tiba-tibu berdenyut nyeri, sakit sekali. Dia bukan saja terkaget-kaget, tapi hampir pingsan mendengar penuturan Fasya. Tubuh Alesa oleng hingga terhuyung.

"Jadi Fasya menikahiku karena permintaan papanya. Bukan karena mencintaiku," gumam Alesa.

Sekarang Alesa tahu, kalau pernikahannya dengan Fasya hanya karena papa Fasya dan Abinya. Sadis sekali takdir Alesa sekarang, dia harus mengubur mimpi bisa menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Dan kini mengikuti lelaki yang dianggapnya akan membawanya ke surga ternyata yang didapatnya malah neraka.

"Jadi Abang tidak pulang semalam karena wanita ini," cercah wanita bernama Saera itu dengan mata membulat marah. Masih menatap Alesa intens.

Dan dengan reflek tangan mendorong tubuh Fasya, hingga dia terlepas dari pelukan Fasya. Dan kesempantam itu Saera gunakan kembali menyambar niqab yang menutupi wajah Asela. Untung Fasya berhasil mencegahnya.

"Hay pelakor! Percuma berhijab, jika kelakuanmu sama dengan sampah, merebut suami wanita lain." Tuding wanita itu, kata-katanya membakar telinga Alesa. Alesa yang belum bisa berpikir jernih hanya diam tertunduk.

"Ya Allah! apa aku pelakor," batin Alesa, tanpa terasa kristal bening menetes di pipinya.

Tangan wanita itu kembali terangkat ingin menarik jilbab yang dikenakan Alesa. Alesa menahan jilbabnya dengan kedua tangan agar terlepas. Seharusnya dia membalas makian wanita itu. Namun rasa sakit yang dirasakannya, kini mencekik tenggorakannya, hingga dia tak bisa mengeluarkan suara sepatah pun.

"Ya Allah! Ini cobaan atau musibah." gumam Alesa mengurut dadanya yang tiba-tiba sesak.

Badai bertubi-tubi menghantam Alesa. Pernikahan tanpa cinta, pergi meninggalkan abi dan umi dan fakta terakhir ternyata dia istri kedua dan berstatus perebut suami orang. Alesa ingin sekali berteriak meluapkan semuanya, agar alam semesta mendengar dan merasakan rasa sakitnya.

"Saera! Sudah! Terima Alesa di sini. Bagaimana pun dia sudah menjadi istri sahku," ujar Fasya menggoncang tubuh Saera, agar menghentikan tindakan arogannya.

Saat melihat Saera sudah bisa mengendalikan emosinya. Fasya merengkuh bahunya dan mengajaknya masuk ke kamar, seperdetik kemudian dia membali menemui Alesa.

"Jadi Abang menikahi a-aku..."

"Bibik!" Fasya memanggil asisten rumah tangganya. Dia mengangkat tangan, meletakkan telunjuk di bibir Alesa, meminta Alesa tidak meneruskan ucapannya.

Seorang wanita paroh baya keluar dari dapur. Wanita itu bernama Sri, sebenarnya dari tadi dia sudah mendengar keributan di ruang tengah. Namun dia tidak berani ikut campur, karena dia hanya asisten rumah tangga. Fasya meminta Sri mengantar Alesa ke kamarnya.

Alesa yang sudah enggan melihat lelaki bernana Fasya itu. Apa lagi dia sudah mengetahui motif pernikahannya dengan Fasya hanyalah perjodohan semata. Alesa bergegas mengikuti langkah bibik masuk ke kamar tamu. Tanpa bicara sepatah pun pada Fasya.

"Nona! kalau perlu apa-apa bilang saja, bibik ada di dapur," tutur wanita itu, sebelum ke luar kamar. Alesa hanya mengangguk.

Alesa melempar tubuhnya ke atas kasur. Peristiwa yang baru saja dilaluinya, membuatnya shock. Dunia Aleaa saat ini telah runtuh, hidupnya kiamat. bagaimana mungkin Abinya begitu tega menikahkannya dengan laki-laki yang sudah beristri.

"Abi, umi," batin Alesa, dia membenamkan wajahnya dibawah bantal, buliran kristal tak bisa dibendung membasahi niqad dan separoh bagian bantal guling.

"Alesa! ingat pesan abi. Kau sudah menjadi istri, apapun yang terjadi jangan pernah meninggalkan rumah suamimu." Nasihat abi Abdurrahman sebelum Alesa melangkah keluar dari rumah.

Nasihat itu terus saja tergiang di telinga Alesa, baru sembilan jam yang lalu Alesa dengar petuah itu, haruskah sekarang dia melanggar perintah Abinya, setelah mengetahui kenyataan kalau dia menjadi yang kedua.

Tok

Tok

Tok

Suara ketukan terdengar di daun pintu. Alesa dengan cepat mengusap air matanya. Dia tidak boleh terlihat sedih pada siapa pun. Alesa ingin menampakkan pada Fasya, kalau dia tak punya air mata untuk menangisi laki-laki itu.

Perlahan Alesa memutar handle pinta. Begitu menyadari Fasya dan Saera yang berdiri di ambang pintu. Alesa mempersilakan kedua masuk.

"Hay! Kamu di rumah ini hanya menumpang. Jadi jangan pernah merasa menjadi nyonya Fasya," ujar Saera sambil bercekak pinggang.

Dari bias tatapannya Saera sangat marah dan membenci Alesa. Alesa pun mungkin akan melakukan hal yang sama, jika berada di posisi Saera.

"Sayang! Kamu tadi sudah janji sama Abang akan berbaikan. Kenapa bicara seperti itu," ucap Fasya membujuk istri tuanya.

Fasya meraih tangan Saera dan Alesa lalu menyatukan dalam genggamannya. Dia berharap keduanya bisa berdamai.

"Baiklah! Sebagai adik, aku akan hormat pada kakak madu," ucap Alesa sok bijak dengan suara berat dan geter, hebatnya Alesa, dari mana dia dapat kata-kata seperti itu. Alesa hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi wanita kuat.

"Terima kasih ya. Sa! Aku harap kamu bisa akur dengan Saera." Fasya menyentuh bahu Alesa. Alesa hanya mengangguk.

"Dan kau Saera! Aku berharap bisa menerima Alesa, seperti dia bisa menerimamu."

"Ingat! Jika kau bisa baik dengan Alesa. Papa akan memenuhi semua keinginan kita," bisik Fasya di telinga Saera.

Malik adalah papa Fasya, keturunan Minang yang memiliki banyak perusahaan di bidang kuliner. Rumah makan Padang yang di milikinya tersebar di seluruh wilayah Sumatra. Bahkan sudah ada di wilayah Jawa. Dari bisnisnya ini, dia bisa meraup ke untungan puluhan juta setiap bulannya. Dan Fasya adalah putra satu-satu yang dimilikinya.

Malik tidak menginginkan Fasya mengikiti jejaknya. Malik membuka bisnis lain yang bergerak di bidang otomotif. Salah satu cabang perusahaan yang ada di kota Pekanbaru di serahkannya pada Fasya untuk mengelola sekaligus menjadi CEOnya. Namun masalah keuangan sepenuhnya masih dikontrol oleh Malik.

Pernikahan Saera dan Fasya sampai saat ini belum mendapat restu dari Malik. Karena Malik tidak menyukai Saera dengan alasan yang masih dirahasiakan Malik dari putranya.

Saera yang sudah dua belas tahun menjadi menantu Malik. sudah berusaha menarik dan mengambil hati Malik. Namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda hati Malik melunak. Dan sekarang Malik malah telah meminta Fasya menikahi Alesa dan menduakannya.

"Baiklah! Jika itu janji papa, aku akan berbaikan dengan Alesa," Saera membalas bisikan Fasya. Ucapan Saera hanya untuk memainkan peran selanjutnya.

"Terima kasih ya sayang," ucap Fasya seraya merengkuh bahu Saera.

"Alesa boleh tinggal di sini," ujar Saera seraya menjauhkan tangan Fasya dari bahunya, lalu dia menarik Alesa dalam pelukannya.

"Aku tidak akan membiarkanmu merasa nyaman di rumah ini," bisik Saera di telinga Alesa.

Alesa sudah menduga, kalau Saera tidak tulus padanya. Saera memang melakukan ini hanya ingin terlihat baik di mata Fasya, di dalam hatinya sangat dongkol dan marah.

"Aku capek, bisakah kalian keluar dulu. Aku ingin istirahat," ujar Alesa mengusir Fasya dan Saera.

"Hay! Kamu harus masak sekarang. Suamimu pasti lapar habis perjalanan jauh." Tiba-tiba Saera menyeletuk. Dia tidak ingin Alesa berleha-leha di dalam kamar.

"Delivery saja. Kasian Alesa pasti lagi capek, tadi di sepanjang jalan dia pusing," ujar Fasya menengahi, lalu mengajak Saera keluar kamar.

Alesa bersyukur karena Fasya menolak permintaan Saera, hingga dia bisa merehatkan tubuh lelahnya.

"Pasti Saera sudah mulai menjalankan misinya," batin Alesa khawatir. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Saera padanya, jika tidak ada Fasya.

"Awas saja kau," gumam Saera jengkel sebelum mengikuti langkah Fasya.

Sepeninggalan Fasya dan Saera. Alesa kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia kembali menangis tergugu. Setelah puas menangis. Alesa menelpon abi Abdurrahman.

"Abi! Fasya ternyata sudah punya istri," adu Alesa setelah mengucapkan salam, suaranya serak karena kebanyakan menangis.

"Kenapa Alesa? Apa salah kalau Fasya menikah lagi? Di agama kita tidak ada larangan laki-laki punya istri lebih dari satu," ujar Abdurrahman tanpa beban.

Kalau sudah bawa-bawa agama. Alesa mati kutu tak bisa berkata-kata. Hanya air matanya yang mengalir deras.

"Abi jahat, abi tak sayang Alesa," gumam Alesa di sela isaknya nyaris tak terdengar.

"Alesa! Alesa!..." terdengar suara panggilan cemas dari Abdurrahman, karena Alesa tidak merespon teleponnya lagi.

Bersambung

Marah

Part 3

"Alesa! Alesa!... Kamu tidak apa-apakan Nak," suara Abdurrahman semakin cemas.

"Hiks, hiks, hisk."

Hanya suara isakan. Alesa tak bisa berkata apa-apa, dadanya terasa sesak sekali. Ada sesuatu yang menggumpal di hatinya. Alesa berusaha menarik nafas panjang, agar tangisannya segera berhenti. Setelah sedikit merasa lagi, Alesa menarik ujung lengan bajunya mengelap air matanya.

Sementara Abdurrahman panik saat tak mendengar suara Alesa, dia hanya mendengar isakan Alesa. Dia sama sekali tak menduga kalau keputusan menikahkan Alesa dengan Fasya membuat Alesa sesedih itu. Dikiranya Alesa sekarang sudah bahagia dan hidup nyaman di rumah mewah Fasya.

"Alesa! Alesa! apa kamu mendengar suara abi," Abdurrahman kembali memanggil-manggil Alesa dari sambungan telepon.

"Alesa! Bicaralah. Nak!"

Alesa tetap bergeming, dia tak menyahut panggilan Abdurrahman. Alesa sedang sibuk menata hatinya, agar bisa berdamai dengan keadaan yang telah terjadi.

"Umi! Umi! Bagaimana ini. Apa abi ke Pekanbaru saja menyusul Alesa," terdengar teriakan Abdurrahman dari sambungan telepon, memanggil Asiah istrinya.

Mendengar teriakan Abdurrahman dari sambungan telepon, mengagetkan Alesa. Seketika dia tersadar telah membuat laki-laki kebanggaannya itu cemas dan khawatir.

"Abi! Alesa baik-baik saja. Abi tidak usah menyusul Alesa," ucap Alesa mencegah keberangkatan Abdurrahman. Dia tidak ingin penyakit Abdurrahman kambuh karena kelelahan di jalan.

"Sayang kamu yakin tidak apa-apa? Maafkan Abi ya sayang, Abi tidak memberitahumu yang sebenarnya." ucap Abdurrahman karena dia terlalu ego. Memaksa Alesa memenuhi keinginannya.

"Iya bi, Alesa baik-baik saja. Mungkin ini memang takdir dari Allah. Bi!" ucap Alesa, dia tidak ingin Abdurrahman cemas memikirkannya.

Kalau diturutkan, sejatinya Alesa ingin berteriak kencang, memaki Abdurrahman yang telah menikahkan dan menjerumuskannya dalam kehidupan Fasya.

"Alhamdulillah Alesa tidak marah sama abi. terima kasih. Nak!" ujar Abdurrahman lagi, dia sedikit lega karena Alesa sudah memaafkannya.

"Tidak bi, Alesa tidak akan pernah marah sama abu. Abi laki-laki terhebat yang Asela miliki, Alesa sayang abi. Alesa cuman...,"

"Cuman apa sayang?" Abdurrahman bertanya saat Alesa ragu meneruskan ucapannya.

"Alesa cuman sedih, karena istri pertama Fasya, menyebut Alesa pelakor. Bi," Adu Alesa.

"Pelakor! tidak ada istilah pelakor, Fasya yang memintamu menjadi istrinya pada abi, bukan kamu yang merebut Fasya dari istrinya," ujar Abdurrahman dia tak terima kalau istri pertama Fasya mengatai Alesa sebagai pelakor.

"Waktu Fasya melamarmu, dia sudah bilang sama abi, kalau dia sudah punya istri. Dan dia sudah berjanji pada abi akan membahagiakanmu dan berlaku adil pada istri-istrinya," ujar Abdurrahman menjelaskan pada Alesa.

Sesak dada Alesa mendengar pengakuan abinya yang sudah tahu kalau dia dijadikan istri kedua.

"Kenapa abi tidak memberitahuku sejak awal," batin Alesa. Jika dari awal dia tahu mungkin tak sesakit ini dia sekarang.

"Maafkan abi ya. Nak! Seharusnya kamu sekarang bersenang-senang dengan teman-temanmu, karena abi penyakitan, akhirnya kamu yang jadi korban," ujar Abdurrahman lagi.

"Alesa! Hanya kamu satu-satunya harapan abi dan adik-adikmu. Berjanjilah kamu tidak akan mengecewakan abi dan adik-adikmu" ucap Abdurrahman terisak.

Alesa terhenyak mendengar tuturan Abdurrahman di sela isaknya. Dia menghela nafas panjang sekali lagi, lalu menghembuskannya kesegala arah. Setelah mengetahui kebenarannya, Alesa hanya bisa berpasrah diri dan dia akan menjalani kehidupan selanjutnya. Tanpa menuntut keadilan pada abinya.

"Asela! Percayalah Fasya laki-laki baik. Nak! turuti kata-kata abi dan kata-kata suamimu. Insya Allah balasannya surga." terdengar lagi ujaran Abdurrahman, menyambung petuahnya.

"Surga? surga apaan. Sekarang saja di sini sudah kayak neraka," bantah Alesa tentu saja dalam hati, mana berani dia membeberkannya pada Abdurrahman.

Alesa hanya mendengar semua wejangan yang sampaikan Abdurrahman, tanpa merespon apa-apa. Karena jika dia merespon dengan bantahan. Dia khawatir penyakit abinya kambuh lagi.

"Sela! apa kamu masih di situ. Nak?" tanya Abdurrahman, karena dia tak mendengar jawaban dari putrinya.

"I-iya bi. Aku akan nurut apa kata abi. Aku di sini akan baik-baik saja," jawab Asela tergagap.

"Sekarang kamu harus nurut dan taat pada suamimu .Nak! semua tanggung jawab sudah berpindah pada Fasya," sambung Abdurrahman.

"I-iya bi," sahut Alesa lagi, seraya pura-pura menguap agar abinya menutup panggilan telepon. Karena jika tidak, akan ada bab-bab nasehat berikutnya.

"Maaf. Bi! Alesa lelah dan ngantuk, efek dramamin yang Alesa minum sepertinya masih berpengaruh," ujar Alesa mencari alasan.

"Ya sudah. Kamu istirahat, jika ada apa-apa cepat telepon abi ya," ujar Abdurrahman lalu menutup panggilan telepon.

Setelah panggilan telepon ditutup. Alesa kembali menyesali kecerobohan abi yang telah menikahkan dan menyerahkannya pada laki-laki yang sudah beristri. Jika dari awal Alesa tahu, apa dia bisa menolak pernikahan ini, tidak akan bisa! Pernikahan ini akan tetap terjadi. Karena Alesa tidak pernah bisa membantah keinginan Abdurrahman.

"Fasya itu laki-laki baik dan kaya raya. Dia akan membantu membiaya pengobatan abi dan sekolah adikmu," itu kata-kata Abdurrahman waktu menyampaikan ke Alesa kalau dia dilamar Fasya.

Abi Alesa butuh duit untuk menebus obatnya setiap bulan dan ke empat adik Alesa masih butuh biaya banyak untuk sekolah. Sementara uminya yang hanya bantu-bantu di warung nasi bu Dahlia, penghasilannya hanya dua puluh ribu sehari. Himpitan ekonomi keluarganya, memotivasi Alesa untuk tetap tegar.

"Aku tidak boleh sedih dan lemah, karena peran yang akan aku lakuni setelah ini, membutuhkan tenaga dan energi yang banyak," gumam Alesa sambil melangkah masuk ke kamar mandi, lalu menatap wajahnya di cermin. Mata sembabnya masih terlihat jelas.

"Mulai sekarang. Aku tidak boleh lagi mengadu pada abi dan umi seberat apapun masalahku. Aku harus bisa mengatasinya sendiri," batin Alesa.

*****

Masih terngiang ditelinga Alesa saat Fasya mengucapkan ijab kabul, yang merubah statusnya menjadi seorang istri.

"Saya terima nikahnya Asela Syarifah binti Abdurrahman dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai," ucap Fasya lantang.

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!" jawab saksi dan para undangan yang hadir.

Alesa yang duduk berdampingan dengan laki-laki bernama Fasya Zaedan Malik, hanya menunduk dalam diam, bergeming, jangankan untuk menyapa, melirik laki-laki itu pun, dia tidak berani.

Mendengar suara para saksi mengatakan sah. Debar jantung Alesa berdetak kencang beberapa kali lipat dari biasanya. Setelah lelaki bernama Fasya itu membaca shigat Ta'lik yang merupakan upaya perlindungan negara terhadap hak-hak istri. Seketika Alesa merasa dunianya sudah terkungkung. Dia telah menjadi istri sah dari seorang lelaki yang baru dikenalnya satu hari.

****

"Alesa! Fasya lelaki yang baik dan kaya. Dia pasti bisa memenuhi semua kebutuhan." ujar Abdurrahman terus meyakinkan putrinya. Dua jam sebelum ijab qabul terjadi.

"Iya bi, Alesa percaya, siapa pun pilihan abi, pasti lelaki terbaik buat lesa" ucap Alesa tak membantah.

"Bersiaplah, besok kalian akan menikah," ujar Abdurrahman lagi, kali ini ucapan abinya mampu membuat Alesa berteriak kecil.

"Apa! besok. Bi!"

Sejenak Abdurrahman menatap Alesa yang pasti dia kaget dengan tingkah Alesa, karena selama ini dia tak pernah mendengar Alesa berteriak atau pun membantah. Melihat reaksi Abdurrahman, secepat kilat Alesa menutup mulut dengan kedua tangan.

"Ma-maaf, Bi. Alesa hanya kaget," jawab Alesa gugup seraya menundukkan kepala. Tanpa bantahan Alesa menerima keputusan Abdurrahman dan menikah dengan Fasya.

Dan sekarang kenyataannya Alesa adalah istri kedua, seujung kuku Alesa tak pernah bermimpi menjadi perebut suami wanita lain.

"Kenapa takdir mempermainkan hidupku." batin Alesa nelangsa.

"Aku berstatus istri kedua dan telah menjadi pelakor, hiks, hiks, hiks,"

Bersambun

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!