(Not) Mistake
Olvee terbangun dari tidurnya lebih dulu. Kedua matanya mengerjap perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang ada di dalam kamar. Ia lantas menguap lebar dan berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih berada di alam mimpi. Sebuah lengan kekar semakin mengeratkan pelukannya seolah menyadari jika dirinya sudah terbangun.
Dengan perlahan Olvee melepaskan lengan yang membelit perut rampingnya itu. Tidak terlalu sulit jika pemilik lengan tersebut masih tertidur pulas. Seumur hidup Olvee mengenal pria ini, menurut pengalamannya, ia tidak akan terbangun hanya dengan gangguan seperti ini. Setelah bebas dari lengan yang memeluknya itu, Olvee mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Akhirnya dirinya bisa lebih leluasa meregangkan tubuhnya yang benar-benar terasa kaku karena pegal. Olvee lantas beralih mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya kembali.
Bunyi pintu terkunci yang terdengar membuat pria yang masih tertidur lelap di atas peraduannya ini akhirnya terusik. Ia membuka kedua matanya yang masih terasa berat dan memaksakan diri untuk mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk bersandar.
“Vee … ” Pria ini memanggil nama Olvee dengan suara serak khasnya yang baru saja terbangun. Tidak ada jawaban apapun dari dalam kamar mandi yang baru saja terkunci itu.
“Olvee … ” Ia memanggilnya dengan suara yang lebih keras. Kali ini sambil memunguti pakaiannya dan memakainya kembali.
“Olvee!” Sambil berseru memanggilnya, ia mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada suara apapun di dalamnya yang membuat pria ini semakin khawatir.
“Apa?! Aku sedang di dalam, Alvaro!” jawab Olvee akhirnya dengan nada yang sedikit kesal.
“Santai, Vee. Aku hanya khawatir." Pria bernama Alvaro ini menimpali dengan tawa kecilnya.
Olvee mendengus dari dalam, mendengar jawaban pria itu yang selalu terlalu berlebihan padanya. Memang apa yang bisa dirinya lakukan di dalam kamar mandi?
Segera melupakan kekesalannya, Olvee kembali fokus untuk menunggu. Setelah merasa waktu berlalu cukup lama, ia mengambil alat yang sudah dibelinya itu di apotek tadi secara diam-diam. Jarinya menutupi hasil tes yang ditunggunya sejak tadi.
Rasa takut menghinggapi diri Olvee ketika hendak melihat hasil dari testpacknya. Bayangan-bayangan buruk masa depan sudah menghantui dirinya jika hasil menunjukkan positif. Bagaimana ia dan Alvaro akan menjelaskan semuanya pada orang tua mereka, bagaimana mereka akan menghadapi masyarakat, bagaimana masa depan hubungan mereka, bagaimana dengan anak mereka, bagaimana dan bagaimana … Semua bayangan buruk dan pertanyaan yang tiada habisnya itu membuat rasa takut benar-benar menguasai dirinya.
Olvee menggelengkan kepalanya, menyadari jika semua yang dipikirkannya hanyalah sesuatu yang belum tentu terjadi. Meskipun hasilnya nanti positif, semua yang ia pikirkan belum tentu terjadi. Olvee berusaha menghibur dirinya dengan sugesti itu. Namun, dari awal dan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tentu berharap bahwa hasil menunjukkan negatif.
Perlahan Olvee membuka ibu jarinya yang menutupi hasil testpack. Garis menunjukkan satu membuat ia dapat bernapas lega. Namun, napas kelegaan itu tidak berlangsung lama karena satu garis lain terlihat ketika ibu jarinya membuka sepenuhnya hasil testpack. Senyumnya pudar setelah melihat sepenuhnya hasil tes kehamilan dirinya yang mana dinyatakan positif hamil. Semua bayangan buruk dan pertanyaan tadi kembali menghantam kepala Olvee.
“Vee!” Suara Alvaro yang kembali masuk ke dalam indra pendengarannya membuat kesadaran Olvee kembali. Ia terkesiap dan menatap pintu kamar mandi yang diketuk cukup kencang oleh Alvaro.
“Iya, sebentar lagi! Cerewet!” balas Olvee jengkel.
“Kau baik-baik saja di dalam, kan? Ada apa?" tanya Alvaro yang kembali terdengar nada kekhawatiran dalam suaranya.
“Aku akan keluar sebentar lagi!” ucap Olvee kembali tanpa menjawab pertanyaan Alvaro.
Tidak ada suara apapun lagi dari Alvaro setelah Olvee menjawabnya. Olvee beranjak dari duduknya di atas kloset dan membuka pintu kamar mandi. Wajah Alvaro menyambutnya begitu ia keluar dari kamar mandi. Tubuh Olvee hampir saja kehilangan keseimbangan karena Alvaro yang menerjangnya begitu ia keluar dari kamar mandi.
“Aahh …! Alvaro!” teriak Olvee terkejut seraya memukul dada Alvaro karena tiba-tiba saja ia menggendongnya.
“Hei, hei, berhenti!” Olvee tertawa dan semakin brutal memukuli Alvaro, setelah ia diturunkan di atas kasur dan perutnya menerima serangan gelitik dari pria itu.
Merasa puas, Alvaro akhirnya berhenti menggelitiki Olvee. Ia menatap dengan senyum jahil di bibirnya pada Olvee yang berada di bawah kukungan tubuhnya. Begitu pun dengan Olvee yang baru saja menghentikan tawanya dan masih belum menghilangkan senyumnya.
Perlahan Alvaro mendekati wajah Olvee. Ia memiringkan sedikit wajahnya hingga pada akhirnya bibir mereka kembali bertemu. Semakin lama mereka ******* bibir satu sama lain hingga suara decapan dari kedua bibir mereka terdengar keras memenuhi kamar. Beberapa kali mereka menjeda sebentar permainan itu hanya untuk sekedar mengambil pasokan oksigen. Namun, Alvaro terus menyambung kegiatan mereka seolah ia tidak pernah bosan dengan bibir merah muda itu. Tangannya mulai menelusup masuk ke dalam kaos yang dipakai Olvee. Saat itulah Olvee tersadar dari kabut gairahnya yang lagi-lagi terbangkitkan dan berusaha menolak untuk menghentikan Alvaro.
“A-alvaro … ” Suara Olvee yang berusaha menghentikan Alvaro justru menyerupai suara ******* yang membuat Alvaro semakin bersemangat.
“Alvaro!” seru Olvee susah payah yang akhirnya berhasil membuat pria itu berhenti dengan aktivitas mereka.
“Maaf,” ucap Alvaro menatap dengan tatapan penuh penyesalan. Kepalanya lantas berbaring di atas dada Olvee sambil memeluk tubuhnya erat.
Olvee tidak berkata lagi dan membiarkan Alvaro memeluknya. Ia diam-diam menghembuskan napas lega karena berhasil menghentikan Alvaro.
Ketika otaknya mengingat hasil kehamilannya tadi, ia baru merasa jika semua yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Mereka adalah adik dan kakak, sekeras apapun Alvaro menyangkal hubungan tersebut di depan orang tua mereka. Fakta adalah fakta.
Jika Alvaro bukanlah adiknya, ia tidak akan berpikir dua kali untuk memberitahu Alvaro fakta kehamilannya. Namun, Alvaro adalah adiknya, sekaligus ayah dari anak yang dikandungnya. Itu membuat ia bimbang sekaligus takut dengan keputusan dia ke depannya. Bukan karena takut Alvaro akan meninggalkannya, tapi lebih kepada takut dengan apa yang akan dilakukan pria ini.
Selama 27 tahun Olvee mengenal Alvaro, ia kurang lebih bisa menebak hal nekad apa yang bisa dilakukan olehnya. Dipikir bagaimanapun, sejak awal apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Mereka telah melewati batas yang ada. Olvee merasa malu dengan tindakannya. Seharusnya ia menolak dengan tegas Alvaro sejak awal dan menarik garis mereka yang tidak bisa dilewati. Namun, ia justru ikut terperosok masuk dalam dosa ini.
“Ada apa, Vee?” Alvaro bertanya dengan suara pelan tapi dalam, pada Olvee yang hanya diam melamun sejak tadi. Mendengar dari nada bicara Alvaro, Olvee tampaknya sudah tidak bisa menyembunyikan ini lagi.
“Apanya yang ada apa?” Olvee bertanya balik.
Alvaro mendesah malas kemudian menatap tepat pada manik mata Olvee dengan alis berkerut. “Jangan membuat aku kesal, Vee."
“Ada apa? Pasti terjadi sesuatu di dalam kamar mandi, kan?” tanya Alvaro kembali dengan nada sedikit memaksa.
“Aku hamil, Alvaro.”
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments