“Vee … ” Setelah Olvee menutup pintu kamarnya, ia mendengar suara Alvaro dibalik pintunya.
Baru saja Olvee duduk di tepian ranjang, ia kembali bangkit berdiri dan menghampiri pintu. Benar saja, ketika ia membuka pintu kamarnya, pria muda itu ada di depan kamarnya. Menatapnya dengan senyum tak bersalah, seperti biasanya. Olvee hanya mampu mendengus dan memutar bola mata jengah sebelum akhirnya berniat menutup pintu kembali. Namun, terlambat. Alvaro lebih dulu menahan pintu kamarnya dan masuk begitu saja melewatinya, seolah ini adalah kamar dirinya. Tentu saja tenaganya kalah jauh darinya, karena itulah ia memilih mengalah lebih awal.
“Ada apa?” tanya Olvee langsung tanpa berbasa basi sambil menatap Alvaro yang sudah duduk bersandar di ranjangnya.
“Aku mengatakan pada mereka semua bahwa aku mengantuk dan meminta izin untuk tidur lebih awal,” jawab Alvaro seraya berhenti menatap ponselnya dan mengubah posisi tubuhnya menjadi berbaring.
Olvee menyerngit tidak mengerti. “Lalu kenapa kau ke kamarku dan bukan ke kamarmu jika ingin tidur lebih awal?” tanya Olvee kembali tak mengerti.
Alvaro menghela napas dan kembali bangun dari tidurnya. “Seharusnya aku tidak berpamitan pada mereka dan tetap bersama mereka sampai akhir,” gumam Alvaro.
“Apa?” tanya Olvee sekali lagi karena tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Alvaro.
“Seharusnya kau tidak mengatakan untuk pergi karena mengantuk dan lebih memilih untuk bersama Jihan. Bukankah kalian akan membangun rumah tangga dan saling mencintai ke depannya?” Olvee berkata dengan nada yang sedikit … kesal?
“Maka kau harus lebih sering bersama dengannya,” lanjutnya pelan.
Alvaro yang sejak tadi menatap setiap ekspresi wajah Olvee dan mendengarkannya, sedikit senang dengan apa yang dikatakan olehnya. “Apa yang aku lihat ini adalah sebuah kecemburuan?” tanya Alvaro mulai menggoda Olvee.
Olvee menunjukkan wajah kesal dan mengambil sebuah bantal untuk dilemparkan pada Alvaro. “Kenapa semua yang aku katakan selalu kau tebak cemburu?!” gerutu Olvee.
“Dengar, kau sudah menerima Jihan dalam perjodohan ini. Jadi sebaiknya kau berhenti melakukan ini padaku dan goda saja Jihan!” ucap Olvee kembali dengan kesalnya.
“Aku merasa heran, kenapa harus selalu aku yang menjadi sasaran lelaki playboy ini?” gumam Olvee kembali menggerutu seraya berjalan menuju kamar mandi.
“Bukannya kau sendiri sudah mengetahui alasanku, Kak?” Pertanyaan Alvaro tidak dijawab oleh Olvee karena ia sudah meninggalkannya.
Namun, Olvee diam-diam mengetahui jawaban atas pertanyaan Alvaro terakhir kali. Lantas jika demikian, mengapa Alvaro mau menerima perjodohan ini dengan Jihan?
Olvee menggelengkan kepalanya ketika sebuah pemikiran aneh itu masuk ke dalam kepalanya lagi. Ia tidak seharusnya mempertanyakan hal tersebut. Ia seharusnya turut senang dengan Alvaro dan juga dirinya sendiri. Karena Alvaro akan menerima kenyataan bahwa mereka adalah adik dan kakak. Dirinya juga harus menemukan seorang pria yang akan dinikahinya suatu saat.
“Kenapa kau masih di sini?” tanya Olvee yang kembali kesal karena Alvaro masih ada di atas kasurnya yang akan ia tiduri.
“Apa sebaiknya aku kembali pada makan malam itu dan lebih banyak berinteraksi dengan Jihan?” Alvaro justru bertanya balik, berniat memancing Olvee.
“Kenapa?” Spontan Olvee bertanya.
“Ma-maksudku, pergilah, itu hal yang bagus sebelum mereka pulang. Aku juga ingin tidur, jadi berhenti menggangguku." Olvee segera melanjutkan dengan cepat.
“Atau jika kau ingin tidur, tidurlah di kamarmu,” usir Olvee.
Sejak Olvee menutup matanya, ia tidak merasakan pergerakan ranjang yang menandakan jika Alvaro berdiri. Ia menunggu Alvaro keluar kamarnya. Namun, alih-alih pergi keluar kamar Olvee, Alvaro bergerak semakin mendekati Olvee dan memeluk perutnya yang membuat mereka semakin rapat.
“Alvaro, lepaskan!” Spontan Olvee berusaha bangun dan melepaskan tangan Alvaro. Tentu saja, lagi-lagi tenaganya kurang kuat untuk bisa melepaskan diri dari Alvaro.
“Kalau kau mengusirku, aku akan menganggap jika kau sedang cemburu,” ujar Alvaro yang membuat Olvee berhenti memberontak.
Terdengar helaan napas dari Olvee lagi. “Anggapan darimana lagi itu. Terserah saja, aku lelah,” balas Olvee yang pada akhirnya mengalah karena tidak ingin Alvaro menyalahpahami dirinya lagi.
“Vee … ” Suara Alvaro terdengar tepat berada di belakang lehernya.
“Ssstt! Aku ingin tidur!” Olvee berseru untuk menghentikan pembicaraan mereka. Sambil diam-diam berusaha mengendalikan degup jantungnya. Sudah ratusan kali ia tidur bersama Alvaro, tetapi kali ini sangat berbeda dan terasa berbahaya.
“Aku berharap kau segera mencintaiku,” ucap Alvaro mengabaikan perkataan Olvee.
“Kita hanya adik dan kakak. Aku juga berharap, kau tidak main-main dengan Jihan, Alvaro.” Perkataan Olvee menjadi penutup pembicaraan mereka.
~
Sejak Evan, sekretaris sekaligus sahabat baiknya sejak mereka kuliah, menjelaskan pekerjaan pada Alvaro, pria muda itu sama sekali tidak merespon. Ia terlihat melamun, meninggalkan tubuhnya di kantor, dan entah kemana perginya pikirannya. Padahal hari masih sangat pagi.
“Alvaro!” Evan tidak lagi berbicara formal layaknya atasan dan bawahan, melainkan berbicara selayaknya seorang sahabat. Kali ini seruan darinya, berhasil membuyarkan lamunan Alvaro.
“Bisakah kau tidak perlu berteriak?!” kesal Alvaro menyadari Evan yang memanggilnya.
“Aku sudah kehabisan suara untuk menjelaskan apa saja pekerjaanmu hari ini. Aku tidak ingin mengulanginya hanya karena kau melamun!” balas Evan juga tak kalah kesal.
“Kali ini apa lagi?” tanya Evan kemudian setelah tak mendengar lagi balasan Alvaro.
“Aku sudah menjalankan rencananya,” jawab Alvaro singkat. Namun, berhasil dipahami Evan.
“Kau serius? Kau sama sekali tidak mengasihani gadis itu?” tanya Evan kembali.
“Untuk apa aku mengasihaninya?” Alvaro mendengus tidak peduli.
“Aku tidak peduli, tetapi karma pasti berlaku, Alvaro.” Lagi-lagi Alvaro tidak terlalu menanggapinya.
“Lalu kenapa di hari pagi ini kau melamun?” Evan kembali membicarakan topik utama mereka.
“Vee sepertinya tetap keras kepala,” curhat Alvaro.
“Aku rasa sebaiknya kau move on dari Kak Vee. Apa yang selama ini dikatakan Kak Vee benar. Kalian hanya akan menjadi adik dan kakak. Kau tidak pernah memikirkan, apa yang akan terjadi ke depannya dengan hubungan kalian jika Kak Vee benar-benar menerimamu?” Evan memberikan saran selayaknya teman pada umumnya untuk Alvaro benar-benar memikirkannya.
“Untuk apa aku mengkhawatirkannya? Kami bukan saudara kandung.” Alvaro tidak menunjukkan kekhawatiran apapun pada apa yang dikatakan Evan.
“Jika memang benar, tetapi orang tuamu sudah membesarkan Kak Vee selayaknya anak kandung mereka. Aku tak yakin orang tuamu akan menerima Kak Vee menjadi menantu mereka suatu hari," ucap Evan.
“Itu memang benar dan faktanya,” timpal Alvaro.
“Lalu apa yang akan kau lakukan jika orang tuamu tidak menerima hubungan kalian?!” Evan bertanya dengan gemas pada Alvaro.
“Aku tinggal memaksanya atau menghamili Vee." Jawaban Alvaro cukup membuat Evan tak habis pikir dengan isi kepala sahabat baik sekaligus bosnya ini.
“Apa yang membuatmu begitu yakin jika Kak Vee bukan kakakmu? Meski langka, di dunia ini pasti ada kasus perbedaan besar pada anak dan orang tua mereka. Yang mereka turunkan mungkin saja sifat yang dominan dari orang tuanya.” Sekuat apapun Evan mewaraskan pikirannya, ia tidak bisa mewaraskan pikiran Alvaro.
“Aku mungkin akan ragu sama sepertimu jika hanya dengan itu. Namun, seseorang yang aku cukup percayai membuat aku yakin akan kebenaran fakta itu."
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments