Olvee terbangun dari tidurnya lebih dulu. Kedua matanya mengerjap perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang ada di dalam kamar. Ia lantas menguap lebar dan berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih berada di alam mimpi. Sebuah lengan kekar semakin mengeratkan pelukannya seolah menyadari jika dirinya sudah terbangun.
Dengan perlahan Olvee melepaskan lengan yang membelit perut rampingnya itu. Tidak terlalu sulit jika pemilik lengan tersebut masih tertidur pulas. Seumur hidup Olvee mengenal pria ini, menurut pengalamannya, ia tidak akan terbangun hanya dengan gangguan seperti ini. Setelah bebas dari lengan yang memeluknya itu, Olvee mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Akhirnya dirinya bisa lebih leluasa meregangkan tubuhnya yang benar-benar terasa kaku karena pegal. Olvee lantas beralih mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya kembali.
Bunyi pintu terkunci yang terdengar membuat pria yang masih tertidur lelap di atas peraduannya ini akhirnya terusik. Ia membuka kedua matanya yang masih terasa berat dan memaksakan diri untuk mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk bersandar.
“Vee … ” Pria ini memanggil nama Olvee dengan suara serak khasnya yang baru saja terbangun. Tidak ada jawaban apapun dari dalam kamar mandi yang baru saja terkunci itu.
“Olvee … ” Ia memanggilnya dengan suara yang lebih keras. Kali ini sambil memunguti pakaiannya dan memakainya kembali.
“Olvee!” Sambil berseru memanggilnya, ia mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada suara apapun di dalamnya yang membuat pria ini semakin khawatir.
“Apa?! Aku sedang di dalam, Alvaro!” jawab Olvee akhirnya dengan nada yang sedikit kesal.
“Santai, Vee. Aku hanya khawatir." Pria bernama Alvaro ini menimpali dengan tawa kecilnya.
Olvee mendengus dari dalam, mendengar jawaban pria itu yang selalu terlalu berlebihan padanya. Memang apa yang bisa dirinya lakukan di dalam kamar mandi?
Segera melupakan kekesalannya, Olvee kembali fokus untuk menunggu. Setelah merasa waktu berlalu cukup lama, ia mengambil alat yang sudah dibelinya itu di apotek tadi secara diam-diam. Jarinya menutupi hasil tes yang ditunggunya sejak tadi.
Rasa takut menghinggapi diri Olvee ketika hendak melihat hasil dari testpacknya. Bayangan-bayangan buruk masa depan sudah menghantui dirinya jika hasil menunjukkan positif. Bagaimana ia dan Alvaro akan menjelaskan semuanya pada orang tua mereka, bagaimana mereka akan menghadapi masyarakat, bagaimana masa depan hubungan mereka, bagaimana dengan anak mereka, bagaimana dan bagaimana … Semua bayangan buruk dan pertanyaan yang tiada habisnya itu membuat rasa takut benar-benar menguasai dirinya.
Olvee menggelengkan kepalanya, menyadari jika semua yang dipikirkannya hanyalah sesuatu yang belum tentu terjadi. Meskipun hasilnya nanti positif, semua yang ia pikirkan belum tentu terjadi. Olvee berusaha menghibur dirinya dengan sugesti itu. Namun, dari awal dan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tentu berharap bahwa hasil menunjukkan negatif.
Perlahan Olvee membuka ibu jarinya yang menutupi hasil testpack. Garis menunjukkan satu membuat ia dapat bernapas lega. Namun, napas kelegaan itu tidak berlangsung lama karena satu garis lain terlihat ketika ibu jarinya membuka sepenuhnya hasil testpack. Senyumnya pudar setelah melihat sepenuhnya hasil tes kehamilan dirinya yang mana dinyatakan positif hamil. Semua bayangan buruk dan pertanyaan tadi kembali menghantam kepala Olvee.
“Vee!” Suara Alvaro yang kembali masuk ke dalam indra pendengarannya membuat kesadaran Olvee kembali. Ia terkesiap dan menatap pintu kamar mandi yang diketuk cukup kencang oleh Alvaro.
“Iya, sebentar lagi! Cerewet!” balas Olvee jengkel.
“Kau baik-baik saja di dalam, kan? Ada apa?" tanya Alvaro yang kembali terdengar nada kekhawatiran dalam suaranya.
“Aku akan keluar sebentar lagi!” ucap Olvee kembali tanpa menjawab pertanyaan Alvaro.
Tidak ada suara apapun lagi dari Alvaro setelah Olvee menjawabnya. Olvee beranjak dari duduknya di atas kloset dan membuka pintu kamar mandi. Wajah Alvaro menyambutnya begitu ia keluar dari kamar mandi. Tubuh Olvee hampir saja kehilangan keseimbangan karena Alvaro yang menerjangnya begitu ia keluar dari kamar mandi.
“Aahh …! Alvaro!” teriak Olvee terkejut seraya memukul dada Alvaro karena tiba-tiba saja ia menggendongnya.
“Hei, hei, berhenti!” Olvee tertawa dan semakin brutal memukuli Alvaro, setelah ia diturunkan di atas kasur dan perutnya menerima serangan gelitik dari pria itu.
Merasa puas, Alvaro akhirnya berhenti menggelitiki Olvee. Ia menatap dengan senyum jahil di bibirnya pada Olvee yang berada di bawah kukungan tubuhnya. Begitu pun dengan Olvee yang baru saja menghentikan tawanya dan masih belum menghilangkan senyumnya.
Perlahan Alvaro mendekati wajah Olvee. Ia memiringkan sedikit wajahnya hingga pada akhirnya bibir mereka kembali bertemu. Semakin lama mereka ******* bibir satu sama lain hingga suara decapan dari kedua bibir mereka terdengar keras memenuhi kamar. Beberapa kali mereka menjeda sebentar permainan itu hanya untuk sekedar mengambil pasokan oksigen. Namun, Alvaro terus menyambung kegiatan mereka seolah ia tidak pernah bosan dengan bibir merah muda itu. Tangannya mulai menelusup masuk ke dalam kaos yang dipakai Olvee. Saat itulah Olvee tersadar dari kabut gairahnya yang lagi-lagi terbangkitkan dan berusaha menolak untuk menghentikan Alvaro.
“A-alvaro … ” Suara Olvee yang berusaha menghentikan Alvaro justru menyerupai suara ******* yang membuat Alvaro semakin bersemangat.
“Alvaro!” seru Olvee susah payah yang akhirnya berhasil membuat pria itu berhenti dengan aktivitas mereka.
“Maaf,” ucap Alvaro menatap dengan tatapan penuh penyesalan. Kepalanya lantas berbaring di atas dada Olvee sambil memeluk tubuhnya erat.
Olvee tidak berkata lagi dan membiarkan Alvaro memeluknya. Ia diam-diam menghembuskan napas lega karena berhasil menghentikan Alvaro.
Ketika otaknya mengingat hasil kehamilannya tadi, ia baru merasa jika semua yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Mereka adalah adik dan kakak, sekeras apapun Alvaro menyangkal hubungan tersebut di depan orang tua mereka. Fakta adalah fakta.
Jika Alvaro bukanlah adiknya, ia tidak akan berpikir dua kali untuk memberitahu Alvaro fakta kehamilannya. Namun, Alvaro adalah adiknya, sekaligus ayah dari anak yang dikandungnya. Itu membuat ia bimbang sekaligus takut dengan keputusan dia ke depannya. Bukan karena takut Alvaro akan meninggalkannya, tapi lebih kepada takut dengan apa yang akan dilakukan pria ini.
Selama 27 tahun Olvee mengenal Alvaro, ia kurang lebih bisa menebak hal nekad apa yang bisa dilakukan olehnya. Dipikir bagaimanapun, sejak awal apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Mereka telah melewati batas yang ada. Olvee merasa malu dengan tindakannya. Seharusnya ia menolak dengan tegas Alvaro sejak awal dan menarik garis mereka yang tidak bisa dilewati. Namun, ia justru ikut terperosok masuk dalam dosa ini.
“Ada apa, Vee?” Alvaro bertanya dengan suara pelan tapi dalam, pada Olvee yang hanya diam melamun sejak tadi. Mendengar dari nada bicara Alvaro, Olvee tampaknya sudah tidak bisa menyembunyikan ini lagi.
“Apanya yang ada apa?” Olvee bertanya balik.
Alvaro mendesah malas kemudian menatap tepat pada manik mata Olvee dengan alis berkerut. “Jangan membuat aku kesal, Vee."
“Ada apa? Pasti terjadi sesuatu di dalam kamar mandi, kan?” tanya Alvaro kembali dengan nada sedikit memaksa.
“Aku hamil, Alvaro.”
To be continued
Beberapa bulan yang lalu
“Aku mencintaimu, Vee,” ungkap seorang pria pada seorang wanita.
“Aku juga mencintaimu, Alvaro, dan tolong panggil aku kakak,” timpal sang wanita yang tengah memainkan ponselnya, menjawab dengan acuh tak acuh.
“Aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu!” ungkapnya sekali lagi.
“Aku tau,” jawabnya yang masih belum juga menatapnya.
“Vee!” seru Alvaro sembari menyentuh kedua pipi Olvee untuk membuatnya menatap ke arahnya karena dirinya yang mulai merasa kesal.
“Kakak, Alvaro!” balas Olvee yang juga turut memberengut kesal.
“Kita memang bukan saudara kandung, kenapa aku harus memanggilmu Kakak?” tanya Alvaro.
“Alvaro, jangan mulai,” sangkal Olvee seraya menepis tangan Alvaro yang ada di kedua pipinya.
“Itu memang benar!” jawab Alvaro lantang.
Olvee tidak menyangkal lagi dan memilih untuk mengalah dengan kekeras kepalaan Alvaro. Ia kembali mengalihkan atensi pada ponsel yang tadi ia mainkan. Olvee tidak terlalu mengambil pusing dengan ‘pernyataan cinta’ Alvaro karena ia juga sudah sering mendengarnya.
“Aku juga serius mengatakan jika aku mencintaimu sebagai wanita.” Pernyataan Alvaro kali ini membuat Olvee lagi-lagi tak bisa fokus pada ponselnya.
“Rupanya adikku memang sudah gila,” ucap Olvee.
“Aku bukan adikmu, Vee,” timpal Alvaro dingin.
Olvee tidak mengetahui apa alasan Alvaro belakangan ini tiba-tiba saja hanya memanggilnya dengan nama saja. Selain itu, ia mengatakan sesuatu yang ia anggap sebagai candaan terlalu sering. Kali ini juga, Olvee mendengar Alvaro menyatakan cintanya dengan serius, terlebih ia menegaskan jika ia mengatakannya sebagai seorang pria kepada wanita.
“Aku selalu ingin menanyakan hal ini padamu, Alvaro,” ucap Olvee yang mulai dengan serius menanggapi pembicaraan ini.
“Apa itu?” tanya Alvaro.
“Kenapa kau begitu yakin jika aku bukan kakakmu?” tanya Olvee langsung.
“Karena pada kenyataannya kau memanglah bukan saudara kita,” jawab Alvaro tenang dan yakin dengan tatapannya penuh ketegasan dan keseriusan.
Tatapan itu membuat Olvee terluka tanpa sadar. Ia sudah banyak mendengar dari mitra-mitra bisnis kedua orang tuanya, yang sering menanyakan perihal dirinya yang disalahpahami sebagai putri angkat. Ia sendiri juga dengan jelas mengetahui alasannya. Bahkan kakek dan neneknya memperlakukannya dengan berbeda dari cucunya yang lain. Namun, kedua orang tuanya yang memberikan kasih sayang sama besarnya pada dirinya membuat keraguan itu memudar. Tapi sekarang, Alvaro lebih sering memunculkan keraguan pada dirinya.
“O-olvee … “ Olvee segera menepis tangan Alvaro yang hendak menghapus air matanya yang tanpa sadar sudah keluar.
“Kau sendiri mengetahui, Alvaro. Tapi kau, kau malah … “ Olvee tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tangisnya.
“Vee … “ Alvaro membawa Olvee ke dalam pelukannya, walaupun pada awalnya mendapatkan penolakan.
Olvee melanjutkan tangisnya di dalam pelukan hangat Alvaro. Ia membiarkan sang adik menenangkan dirinya sambil mengelus punggungnya lembut untuk mempercepat tangisnya mereda. Alvaro tidak bermaksud untuk membuat Olvee menangis. Ia hanya merasa kesal dengan Olvee yang tidak benar-benar menanggapi pernyataannya yang serius dan tidak berniat untuk mengerti.
“Meskipun kau bukan putri keluarga Marveen, kau bisa menjadi menantu keluarga Marveen ketika kita sudah menikah.” Perkataan Alvaro mendapatkan cubitan yang cukup keras dari Olvee.
“Vee!” seru Alvaro sembari melepaskan pelukan mereka.
“Meskipun kita berbeda, tapi kasih sayang Mama dan Papa padaku sama. Mereka adalah orang tua kandungku dan kita adalah saudara kandung.” Olvee mengatakannya dengan tegas.
“Meski begitu, aku tetap akan mencintaimu selamanya sebagai seorang wanita.”
Saat itu, Olvee lagi-lagi tidak terlalu menanggapi perkataan Alvaro karena ia menganggapnya sebagai ucapan dari seorang pemuda yang baru tumbuh dewasa. Saat itu, Alvaro mungkin memang mencintainya, tapi itu karena kasih sayang adiknya padanya yang sejak kecil sudah sangat besar. Namun, melihat adegan di depannya kini membuat Olvee sangat kesal. Dimana Jihan dan Alvaro tengah berpelukan.
‘Tunggu, kenapa perasaan terkhianati ini muncul lagi?’ tanya Olvee dalam batinnya.
Perasaan tak asing ini adalah perasaan yang sama ketika dirinya memergoki perselingkuhan yang dilakukan oleh mantan kekasihnya dulu bersama teman kampusnya. Sebuah kemarahan, terkhianati, dan kecemburuan menjadi satu. Kenapa sekarang itu ia rasakan pada adiknya?
Seharusnya ia juga merasakan hal yang sama ketika Alvaro menyatakan cintanya dengan serius satu tahun lalu. Namun, kali ini ia merasa jika omongan itu hanyalah omong kosong dan konyolnya, ia berharap jika Alvaro memang benar-benar serius. Ada apa sebenarnya dengan dirinya saat ini?
Olvee berdehem kecil ketika masuk ke dalam ruangan Alvaro membuat kedua insan yang tengah berpelukan itu melepas pelukan mereka dan terlihat canggung. Sama canggungnya dengan dirinya.
“Kalau begitu aku akan pergi sekarang, Alvaro. Aku pamit, Kak Olvee.” Gadis itu dengan kikuk berpamitan dan pergi keluar ruangan Alvaro.
Olvee melemparkan dokumen sialan yang menjadi alasan dirinya kemari itu tepat di depan dada Alvaro. Ya, ia kesal karena harus mengantarkan dokumen yang ditinggalkan oleh Alvaro dan harus bersikap canggung karena melihat kemesraan mereka. Olvee berusaha terus mensugesti dirinya dengan alasan tersebut.
“Jika aku yang harus lagi-lagi mengantarkan dokumen itu ke kantormu, aku tidak akan memaafkanmu lagi, Alvaro.” Olvee berkata dengan dingin seraya berbalik hendak keluar dari ruangan Alvaro setelah menyelesaikan urusannya.
“Tunggu, Vee.” Alvaro mencekal pergelangan tangan Olvee.
“Jangan sentuh! Aku masih kesal karena gangguanmu di tengah aku bekerja, ya!” sentak Olvee sembari menepis tangan Alvaro.
“Tenanglah jika kau tidak cemburu dengan Jihan, Kak,” timpal Alvaro tenang yang membuat Olvee semakin melotot tajam.
“Aku kesal karena kau yang ceroboh dan aku yang harus menanggung akibatnya! Bukan cemburu atau apapun itu! Ya, seperti itu!” semprot Olvee yang terdengar seolah itu dikatakan untuk dirinya sendiri. Seperti sebuah sugesti.
“Baiklah,” jawab Alvaro kemudian terkekeh pelan.
“Aku kesal karena terkena kecerobohanmu, Alvaro!” tegas Olvee sekali lagi seolah meyakinkan Alvaro.
“Aku mengatakan baiklah, kenapa kau begitu harus meyakinkanku?” tanya Alvaro mulai menggoda.
Olvee terdiam beberapa detik dan kemudian terkejut. Semua yang ada di dalam kepala Olvee, sudah dapat ditebak oleh Alvaro apa saja isinya. Ia terlihat sangat senang bisa menggoda Olvee.
“Terserah! Buang-buang waktu saja!” Setelah kehabisan kata-kata, Olvee pergi keluar dari ruangan Alvaro dengan pipi yang memerah.
“Vee … “ Setelah keluar dari ruangan Alvaro pun, ia tetap menyusulnya dan memanggilnya.
Karena Olvee tidak ingin menjatuhkan nama adiknya di kantornya sendiri, Olvee berusaha menahan emosinya. Ia berbalik dan menatap tepat pada manik mata hitam itu yang menatapnya dengan lebih serius.
“Apa ada yang kau butuhkan lagi?” tanya Olvee yang juga ikut mulai merasa penasaran dengan apa yang akan dikatakan Alvaro.
“Aku akan menerima perjodohan dengan Jihan.”
To be continued
“Ma, Pa, apa seseorang akan datang berkunjung malam ini?” tanya Olvee ketika ia baru saja pulang setelah keluar bersama Zara menghabiskan waktunya.
Melihat asisten rumah tangga dan ibunya telah sibuk sejak sore hari seolah mempersiapkan tamu yang akan datang. Bahkan ayahnya sudah pulang lebih cepat dari biasanya.
“Vee, sebaiknya kau mandi dan bersiap-siap.” Alih-alih menjawab, sang ibu justru memberikan perintah padanya.
“Bersiap? Tetapi untuk apa?” Perkataan Flora, ibunya, tentu mengundang lebih banyak pertanyaan di kepala Olvee.
“Jihan dan keluarganya akan datang berkunjung.” Meski tidak menjelaskan sepenuhnya, Olvee langsung mengetahui arah pembicaraan ini. Ingatannya langsung tertuju pada apa yang dikatakan oleh Alvaro kemarin padanya.
“Vee … ” panggil sang ayah, tapi tidak ada gubrisan dari gadis itu.
“Olvee!” Suara ibunya yang setengah berteriak padanya membuat Olvee tersentak.
“I-iya, Ma?” tanya Olvee setelah tersadar dari lamunan singkatnya.
“Papa memanggilmu sejak tadi,” jawab Flora sambil menunjuk suaminya yang tak berada jauh dari putrinya dengan matanya.
“Ada apa, Pa? Maaf, Vee tadi sedikit melamun.” Olvee mengalihkan atensinya pada sang ayah, Zahir.
“Apa ada sesuatu yang kau pikirkan, Nak?” Zahir bertanya balik pada Olvee.
Olvee mengubah sedikit raut wajahnya sebelum menjawab, “Tidak ada, Pa. Vee hanya sedikit lelah setelah pergi bersama Zara.”
“Apa Jihan dan keluarganya datang untuk melakukan perjodohan dengan Alvaro?” Kali ini Olvee kembali bertanya pada ibunya.
“Darimana kau mengetahuinya? Ya, ini pembicaraan yang topik utamanya perjodohan Alvaro dan Jihan. Namun, tetap semuanya bergantung pada mereka berdua.” Flora menjelaskan. Olvee sudah mengetahui dengan jelas apa yang akan dikatakan oleh Alvaro nantinya karena ia sudah mendengar jawabannya langsung dari sang adik.
“Alvaro sudah mengatakannya padaku kalau ia akan menerima perjodohan ini. Kalau gitu, Vee ke kamar untuk siap-siap, Ma, Pa.” Olvee akhirnya berpamitan seraya melangkahkan kakinya setelah menyelesaikan pembicaraan mereka.
Tanpa Olvee sadari, seseorang yang sejak tadi sudah pulang, memperhatikan interaksi antara Olvee dan kedua orang tuanya. Orang itu bisa ditebak adalah Alvaro yang baru saja kembali dari Kantor lebih cepat dari biasanya. Tentu untuk menyempurnakan rencananya kali ini. Namun, sampai saat ini, kakaknya sama sekali tidak memberikan respon yang ia harapkan.
Jika ini berhasil, ia akan membatalkan hubungan dengan Jihan. Jika pun ini tidak berhasil bahkan sampai akhir, ia tetap akan membatalkan hubungan dengan Jihan. Dari awal semua ini hanya untuk memancing Olvee. Alvaro mempertaruhkan segalanya dalam rencana ini. Meski rencananya nanti akan membuat keluarganya malu atau tidak memiliki hubungan baik dengan keluarga Jihan, Alvaro tidak peduli jika tidak ada respon apapun dari Olvee.
“Alvaro, kenapa kau berdiri di depan pintu? Masuklah jika kau sudah pulang dan bersiap-siaplah,” perintah Zahir yang menyadari kehadiran putranya.
“Nak, Vee mengatakan jika kau akan menerima perjodohan ini. Apa yang dikatakan oleh kakakmu adalah benar?” Flora menghampiri mereka dan bertanya dengan raut wajah penuh harapan.
“Ya, kurasa. Jihan adalah gadis yang baik," jawab Alvaro dengan mata yang melirik ke arah anak tangga dimana Olvee masih berada.
“Tentu Jihan adalah gadis yang baik dan sudah kami kenal sejak perjamuan perusahaan. Ia akan menjadi gadis yang cocok menjadi istrimu," timpal Flora senang.
“Baiklah, kalau begitu aku akan pergi dan bersiap-siap menyambut Jihan.” Alvaro pergi setelah tak melihat lagi Olvee yang terakhir ia lihat hendak menaiki tangga.
~
“Tuan dan Nyonya Marveen, senang Anda mengundang kami untuk makan malam di rumah Anda. Kami berterima kasih." Ayah dari Jihan, Tuan Handreson, berkata dengan senyum ramahnya. Memulai pembicaraan di tengah-tengah makan malam mereka.
“Kami juga senang Anda mau menerima undangan kami,” jawab Zahir.
Masing-masing orang tua mulai berbicara basa-basi. Jihan sejak tadi terus menerus melirik ke arah Alvaro yang tenang memakan makanannya. Siapapun bisa mengetahui dengan jelas jika putri keluarga Handreson menyukai Alvaro. Tentu saja tidak akan ada yang bisa menolak pesona dari putra semata wayang keluarga Marveen itu. Olvee mengetahui itu dan menyadari sikap Jihan sejak awal. Ia melirik ke arah adiknya yang berada di sampingnya, yang masih terlihat biasa. Olvee yakin jika Alvaro bukan tidak menyadari Jihan sejak tadi.
“Ma, Pa, seperti yang Alvaro katakan tadi siang, Alvaro menerima perjodohan dengan Jihan.” Alvaro yang angkat suara membuat seluruh atensi tertarik padanya. Ia berbicara langsung pada inti pembicaraan acara makan malam ini.
“Sepertinya Nak Alvaro sudah mengetahui topik utama makan malam ini. Langsung berbicara pada intinya,” ucap Nyonya Handreson.
“Tentu, aku sendiri yang mengatakannya pada Jihan sebelumnya bahwa aku akan menerima perjodohan ini.” Alvaro menjawab dengan senyumannya.
“Baiklah, Nak. Kalau kau menerima perjodohanmu dengan Jihan, lalu bagaimana dengan Jihan sendiri?” tanya Zahir beralih pada gadis yang sejak tadi sudah menunduk malu.
“A-aku juga sudah setuju dengan Alvaro," jawab Jihan.
Alvaro tersenyum puas dengan apa yang dikatakan oleh Jihan. Ia melirik ke arah kakaknya yang hanya diam sejak tadi. Kemudian, bibirnya perlahan membentuk sebuah seringaian.
“Meski perjodohan, aku harap kita bisa selamanya bersama dan belajar saling mencintai.” Terdengar sangat jahat. Namun, ini semua ia lakukan demi melihat bagaimana respon Olvee dengan perkataannya yang terdengar benar-benar serius pada Jihan.
Alvaro semakin menyeringai dan menambahkan aksinya dengan memegang tangan Jihan, melihat kakaknya terus melirik ke arahnya. Mungkinkah rencananya akan berhasil pada tahap awal ini?
“Aku juga menginginkan hal yang sama dengan yang kau pikirkan, Alvaro.” Jihan kali ini menatap Alvaro dengan pipi memerah padam.
Olvee berdehem dan meminum air dari gelasnya. Itu membuat suasana romantis yang mendadak tercipta di meja makan menjadi lenyap seketika. Cukup puas dengan melihat respon Olvee yang terlihat jelas cemburu. Namun, ia masih tidak yakin dengan Olvee yang mau jujur pada perasaannya.
“Aku senang adikku akan menikahi gadis baik sepertimu, Jihan," ucap Olvee angkat suara sambil menatap Jihan dengan senyuman hangatnya.
“Aku yang beruntung mendapatkan adikmu, Kak Olvee.” Malangnya nasib Jihan yang hanya dijadikan bahan rencana Alvaro saja.
“Sepertinya pernikahan kalian akan segera digelar dalam waktu dekat,” ucap Olvee kembali masih dengan senyumannya.
“Tentu saja, segera setelah aku mengenal lebih dalam Jihan, kita akan menggelar pernikahan yang mewah.” Jawaban Alvaro membuat senyum di bibir Olvee menghilang. Namun, senyum di bibir Alvaro terus berkembang sambil menatap pada Jihan.
“Aku menunggunya,” timpal Olvee.
“Seharusnya yang menikah dalam urutan adalah kau terlebih dahulu sebelum Alvaro, Vee. Haruskah aku menjodohkanmu seperti Alvaro?” tanya Zahir mulai menggoda Olvee. Salah satu kakak Alvaro, sekaligus putri kedua Zahir justru terlihat enggan dan seperti tidak ada niatan untuk menikah, seperti halnya sang kakak pertama.
“Akan aku pikirkan,” jawab Olvee sambil tersenyum. Jawaban Olvee kali ini diluar ekspektasi Zahir.
“Segera jodohkan Kakak, Pa. Agar kita berdua menggelar pernikahan di hari yang sama.” Lagi-lagi perkataan Alvaro membuat Olvee kesal.
“Ya, sepertinya begitu.” Zahir tertawa yang mengundang tawa orang-orang yang lain.
“Vee sudah kenyang, kalian lanjutkan saja obrolannya. Aku permisi dulu untuk ke kamar lebih dulu.” Olvee berpamitan setelah menghabiskan makanannya pada orang-orang yang masih sibuk mengobrol itu.
“Selamat beristirahat, Vee.” Nyonya Handreson berkata.
Alvaro melepaskan tangan Jihan dan mulai menghabiskan makanannya. Sikap Alvaro menjadi lebih dingin setelah kepergian Olvee. Ia menjadi lebih banyak diam sampai makanannya habis.
“Alvaro juga akan ke atas duluan,” ucap Alvaro singkat seraya berdiri dari duduknya.
“Alvaro, bukankah kau akan mengenal Jihan lebih dalam? Ajak Jihan mengobrol lebih lama,” tanya Flora berusaha mencegah Alvaro yang hendak meninggalkan meja makan.
“Itu bisa dilakukan lain waktu, Alvaro sudah mengantuk dan lelah karena bekerja. Jadi, Om, Tante, mohon maaf sebesarnya.” Alvaro menatap kedua orang tua Jihan sebelum akhirnya pergi meninggalkan meja makan dengan tidak sopannya.
“Alvaro!”
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!