Joy : A Hope

Joy : A Hope

Bab 1 : Tentang Joydev

Sinar mentari sedang panas-panasnya siang itu. Bahkan daerah pegunungan yang erat dengan kata sejuk merasakan api membara yang serasa ingin melahap kulit tubuh hingga lepuh. Pelipis tak henti mengeluarkan keringat hingga merembes turun membasahi pipi. Sebuah daerah persawahan yang terbentang di tengah-tengah pemukiman warga di bawah kaki gunung terdapat sejumlah petani yang sedang membajak sawah menggunakan kerbau, dan bahkan ada beberapa sementara menanam padi. Beberapa dari mereka memilih berteduh dari panasnya sinar matahari di pondok kecil yang masing-masing dibangun di pinggir sawah. Sisanya lagi, memilih untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan mereka agar dapat beristirahat dengan tenang setelah pekerjaan melelahkan itu.

Musim panen baru saja berlalu. Tiba saatnya untuk menanam bibit baru lagi untuk panen di musim berikutnya. Meski terkadang merasa lelah sampai mengeluh beberapa kali, akan tetapi para petani itu tak pernah sekalipun menghentikan pekerjaan mereka. Anak-anak di rumah selalu menunggu kepulangan mereka sambil membawa hasil jerih payahnya untuk mereka nikmati bersama. Mungkin beberapa dari mereka anak-anaknya sudah ada yang sekolah. Sebuah tanggung jawab besar bagi orang tua untuk menafkahi keluarga dan memenuhi kebutuhan ekonomi anak-anaknya. Itulah salah satu alasan besar bagi mereka untuk bekerja keras.

Di antara para petani itu, terlihat sepasang suami istri yang sedang menanam padi di sepetak sawah milik mereka. Sebuah pemandangan yang cukup langkah bagi warga kampung itu. Biasanya para istri akan berdiam diri di rumah dan mengurus segala pekerjaan rumah, sementara suaminya akan bekerja di sawah atau kebun. Namun, berbeda dengan pasutri yang satu itu. Mereka selalu tampak kompak di setiap pekerjaan yang dikerjakan. Membuat beberapa warga merasa iri atau bahkan salut melihat kekompakan mereka di segala hal.

“Pak, katanya hari ini hari kelulusan anak kita? Apa tidak apa kalau kita tidak menghadiri hari kelulusannya?” tanya sang istri pada suaminya yang kini hendak menyelesaikan bagiannya.

Mereka hampir selesai. Sang suami berhenti sejenak. Dia tertegun mendengar ucapan sang istri untuk beberapa saat. Hingga kemudian dia berkata, “Aku yakin Joy dapat mengerti keadaan orang tuanya.”

Tidak ada sahutan dari sang istri. Dia yakin istrinya sedikit kecewa dengan respons yang dia berikan. Keheningan melingkupi keduanya. Sang istri lanjut menanam padi, sementara suaminya masih mematung di tempat. Tampak seperti seseorang yang sedang memikirkan sesuatu. Sesaat, dia menoleh pada sang istri saat teringat sesuatu.

“Bukankah Ari mewakili kita dan menemani adiknya di acara kelulusan?” tanya Eros memastikan.

Pria yang sudah menginjak kepala lima dengan wajah yang mulai keriput itu menaikkan satu alisnya menunggu jawaban sang istri. Kulitnya yang tampak gelap menandakan bahwa dia seorang pekerja keras. Tak jauh beda dengan wanita bernama Santi itu. Kini, menatap sang suami dengan sirat penuh makna.

“Tapi, kan, Pak—”

Detik berikutnya, kedatangan seseorang bersama seruannya menginterupsi obrolan pasutri itu. Menyela ucapan Santi hingga menggantung di udara lalu lenyap begitu saja.

“Mak, Pak!” Seruan itu berasal dari belakang. Refleks Eros dan Santi menoleh, mendapati putra bungsu mereka yang kini sudah beranjak remaja berlari tergesa ke arahnya. Tak lupa raut cerah di wajah anak itu. Di belakangnya, disusul Ari, putra sulung mereka, juga bersama senyum tipis. Raut bahagia mereka pertanda mereka hendak membawa kabar bahagia.

“Joy, juara satu umum!” serunya lagi, dengan girang sampai membuat beberapa petani lain menoleh ke arah mereka saking hebohnya.

“Benarkah?” Eros diikuti Santi keluar dari sawah---tepatnya naik ke daratan, dan menyambut dengan bahagia kedatangan kedua putranya itu.

Santi hendak memeluk Joy. Namun, remaja itu langsung menghindar dengan raut jahilnya. Santi mengerut bingung sebelum akhirnya terkekeh saat menyadari satu hal. Dia sedang dalam keadaan kotor sekarang, sedangkan Joy, anaknya, berpakaian seragam putih biru yang lengkap dan bersih. Bisa-bisa seragam Joy ikut kotor jika dia melanjutkan aksinya.

Tak hanya Santi, Eros dan Ari pun ikut terkekeh dengan tingkah Joy saat menghindar dari pelukan Santi. Terkadang remaja itu masih bersikap seperti anak-anak pada umumnya jika sudah berhadapan dengan keluarganya. Suka bersifat manja dan seakan lupa dengan sosok dewasanya jika di lingkungan masyarakat.

“Iya, bahkan Joy lulus dengan nilai tertinggi se-kabupaten tingkat SMP tahun ini, Mak,” ujar Ari mewakili Joy.

Eros dan Santi beralih menatap Joy dengan bola mata berkaca-kaca antara haru dan bangga atas pencapaian putra mereka---sebelumnya menatap Ari sembari mendengar ucapan putra sulungnya itu. Sementara Joy tak henti mengulum senyum. Merasa bangga sekali---dadanya bergerumuh hebat bercampur hangat---pada diri sendiri melihat reaksi orang tuanya.

“Tuhan sungguh baik,” gumam Eros. Kemudian dia menuntun keluarganya itu ke pondok kecil, tempat berteduh mereka setiap selesai bekerja di sawah.

“Pokoknya, malam ini Mamak akan masak makanan yang enak khusus untuk merayakan kelulusan dan prestasi yang diraih Joy,” kata Santi.

Mereka sudah duduk melingkar di atas pondok kecil beralaskan papan kayu dan atap anyaman rumput ilalang itu. Eros dan Santi pun sudah melepas pakaian mereka yang kotor dan diganti dengan pakaian lain yang sudah lusuh tetapi bersih.

Ari mendengus mendengar ucapan sang ibu. “Ish, giliran Ari yang lulus SMK Mamak biasa-biasa saja, tuh,” cebiknya penuh nada dengki.

Joy terkikik geli melihat muka kesal abangnya. “Huh, bilang saja Abang iri!” ejek Joy terang-terangan.

Lantas Ari melotot. “Bilang apa kamu? Aku iri sama kamu? Yakali, nilai aku masih di atas kamu tahu! Sombong banget,” sangkalnya tak terima dikatai oleh adik sendiri.

Joy menjulurkan lidah meledek dengan mata melet. Dia hendak menjahili abangnya lebih dari itu. Namun, melihat raut merah padam Ari membuat Joy mengurungkan niat.

Melihat dua putranya yang saling bertengkar dan mungkin sudah melewati batas, Eros angkat bicara. “Sudah-sudah! Kalian ini sudah besar, sudah dewasa masih saja bertengkar,” ucapnya menengahi.

Santi mengulum senyum mendengar keributan kecil kedua putranya. Dia menatap Ari, putra sulungnya, lamat. Sendu. Sedikit merasa bersalah pada dirinya karena tidak menyamaratakan anak-anaknya dan terkadang lebih memanjakan Joy dibanding Ari. Hati kecil Santi tersentil, dirinya tertampar dengan penuturan Ari meski dia tahu putra sulungnya itu sedang bercanda. Namun, tetap saja rasanya seperti sedang mengeluarkan unek-unek yang dipendam pemuda itu bertahun-tahun lamanya. Santi kecewa pada dirinya karena tidak bisa menjadi ibu yang baik.

“Ari, Mamak minta maaf kalo selama ini Mamak kurang peduli sama kamu. Tapi, bukan berarti Mamak benci sama kamu.” Santi berkaca-kaca. Sekali lagi mengedipkan mata, maka cairan kristal itu akan luruh. Santi menundukkan kepala, tak ingin kesedihannya menjadi konsumsi anak dan suaminya.

Ari yang melihat raut sendu wanita paruh baya yang sudah bertaruh nyawa untuk melahirkannya itu seketika merasa bersalah. Langsung Ari mendekat ke arah sang ibu. Meraih telapak tangan Santi dan menggenggamnya erat. Hangat. Satu kata yang langsung melingkupi Ari. Hangat pada telapak tangan sang ibu seolah mengalir hingga hati pemuda itu ikut terasa hangat.

“Mak,” panggil Ari lirih.

“Tatap mata Ari,” ujarnya lagi sembari menggoyangkan tangan Santi yang digenggamnya.

Cepat-cepat Santi menyeka sisa-sisa air matanya di bawah pelupuk mata dan perlahan menegakkan wajah kembali. Senyum tipis yang menenangkan terbit di bibir kala mendapati raut sendu Ari.

“Tadi, Ari Cuma bercanda, Mak. Ari minta maaf kalo Ari menyinggung hati Mamak,” tutur Ari penuh sesal. Pemuda itu sampai membungkukkan badan dan mencium telapak tangan Santi berkali-kali. Dia merasa berdosa karena tanpa sengaja sudah melukai hati sang ibu.

“Ari benar. Mamak yang salah. Ari enggak perlu minta maaf seperti ini,” balas Santi tak ingin membuat putranya merasa bersalah atas sesuatu yang bukan kesalahan Ari sepenuhnya.

Ari menghambur ke pelukan Santi dan memeluk erat wanita itu. Tak sengaja bola mata Santi bertemu dengan manik mata suaminya. Eros menatapnya seolah berkata, “Apa yang kamu lakukan sudah benar.”

Hal yang membuat Santi merasa lebih lega dari sebelumnya. Hingga pada akhirnya, Santi membalas pelukan Ari. Mengusap lembut punggung putra sulungnya yang kian dewasa itu. Sementara Ari terus menggunakan kata maaf dalam dekapan sang ibu.

Joy ikut mengulum senyum tipis melihat itu. Keromantisan dalam keluarganya yang membuat Joy bisa bertahan hingga kini meski mereka hidup dalam kesederhanaan. Bahkan bisa dibilang kondisi ekonomi mereka sangat sulit. Namun, hal-hal kecil yang terjadi dalam keluarga mampu membuat Joy tertawa hingga lupa akan semua beban pikiran itu.

Joy hanyalah seorang anak desa yang jauh dari kata kehidupan ekonomi sejahtera. Namun, setidaknya hidup Joy terjamin sejahtera. Bersama keluarga, Joy akan bisa melalui semua rintangan. Rintangan-rintangan kecil yang sedang menunggunya di gapura sana saat dia sudah menginjakkan kakinya di bangku putih abu.

Tekad Joy selama ini hanya satu. Dia akan belajar sungguh-sungguh supaya dapat meraih cita-citanya suatu saat nanti. Satu hal yang paling dia hindari. Semoga tidak mengecewakan kedua orang tuanya saat tengah menjalani pendidikan. Perih tak terkira yang dirasakan kedua orang tua untuk menyekolahkannya, akan Joy balas dengan kesuksesannya di masa mendatang.

***

Terpopuler

Comments

@Bams_12

@Bams_12

Iya, jangan lupa mampir juga ya. Like dan koment, terima kasih😇

2023-02-10

0

abdan syakura

abdan syakura

ups!! Novel baru, Mas??
TeOPe deh..
Semangat !!
☺️💪💪

2023-02-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!