Bab 5 : Saran Bang Ari

“Semenjak Bang Ari pergi rumah jadi sepi tahu, Bang,” adu Joy dengan nada manjanya.

“Lah, kan, ada Mamak sama Bapak,” timpal Ari di layar ponsel.

“Ya, tapi kan rasanya beda, Bang!”

“Kayak ada yang kurang gitu, loh.” Joy mulai dramatis.

Terdengar dengusan dari Ari. “Lebay kamu,” cibir Ari.

Sore menjelang malam. Tampak sinar mentari di ufuk barat yang perlahan redup menyinari wajah seorang remaja laki-laki sedang duduk santai di depan teras rumah. Sambil memegang handphone dan menunjukkan wajah di depan layar.

Joy sedang melakukan panggilan video lewat sebuah aplikasi media sosial bersama abangnya, Ari. Remaja itu bercerita tentang banyak hal semenjak kepergian Ari. Bercerita tentang apa saja yang dia alami hari ini, termasuk perihal kelulusannya di seleksi penerimaan murid baru di sekolah favorit.

“Oh ya, Bang! Aku lulus seleksi di SMA Harapan Bangsa Jurusan Bahasa Indonesia. Aku lulus di jalur prestasi, loh. Terus, kata Bayu, aku dapat undangan khusus untuk lanjut sekolah di sana.”

Joy memberitahu hal tersebut dengan perasaan menggebu-gebu. Ada nada bangga pada diri sendiri yang terselip di setiap kalimat yang terlontar dari bibir. Namun, tersembunyi oleh raut wajah biasa saja meski bibir tak henti menyungging senyum.

Juga Joy hendak memamerkan hal tersebut pada abangnya. Joy hendak memamerkan bahwa dia bisa lanjut sekolah di SMA favorit, berbanding terbalik dengan Ari yang lulusan SMK.

Di layar ponsel terpampang sosok setengah badan Ari sedang mengibaskan rambut basahnya setelah mengelap dengan handuk. Pemuda bertelanjang dada itu rupanya baru selesai mandi.

“Mau pamer sama Abang?” ketus Ari bersama dengus sinisnya, tanpa mengalihkan perhatian.

Lantas, Joy terkekeh. Baguslah kalau sadar. Itu memang salah satu tujuannya. “Eh, tapi enggak begitu juga, Bang, maksudnya,” sangkalnya kemudian.

“Joy, kan, cita-citanya mau jadi penulis. Enggak masalah, kan, kalau Joy lanjut sekolah di jurusan Bahasa Indonesia?”

Hening sejenak. Terlihat Ari yang keluar dari kamera—batang hidungnya tidak kelihatan. Hanya suara gusrak-gusruk yang samar-samar terdengar. Mungkin Ari sedang mengubek-ubek lemarinya, mencari baju.

“Bapak sudah tahu?” tanya Ari kemudian setelah sibuk dengan dirinya sendiri.

Pemuda itu kembali terlihat di layar kamera. Kini, dia sudah mengenakan kaos oblong hitam polos. Menatap Joy lewat layar handphone dengan satu alis terangkat ke atas.

Raut wajah Joy langsung berubah dalam sekejap mata. Risau. Hatinya dipenuhi rasa gundah. Pertanyaan yang dilontarkan Ari seolah meruntuhkan semua ekspektasi dalam imajinasinya. Perlahan, kepalanya menggeleng lemah. Kenapa Joy tidak berpikiran sampai di sana?

“Nanti Joy kasih tahu, Bang,” jawab Joy kemudian.

“Secepatnya!” Ari menegaskan. Bola mata lelaki itu seolah mengisyaratkan agar tidak bersikap santai dalam menyelesaikan perkara satu ini.

“Iya, Bang.” Lagi Joy membalas ucapan Ari dengan nada lemah, tak bergairah.

“Tapi, saran Abang lebih baik jangan terlalu berekspektasi tinggi. Takutnya nanti enggak sesuai realita, jatuh ... kan, sakit,” ujar Ari mulai menasihati. Pemuda satu itu memang abang-able sekali.

“Kamu boleh punya mimpi yang tinggi. Mau jadi apa aja, bisa. Jadi penulis, silakan,” Jeda sejenak. Embusan napas kasar terlihat dari hidung Ari. Seraya menyungging senyum maklum, lanjut berkata, “Tapi, enggak harus lanjut di jurusan Bahasa juga Joy. Apa pun profesi kamu nantinya, kalau mau jadi penulis juga bisa. Sebut saja, penulis itu profesi sampingan.”

“Abang cuma kasih saran. Beritahu Bapak dulu. Kalau Bapak setuju, baru Joy bisa atur sendiri bagaimana ke depannya. Kan, kalau Bapak enggak setuju, Joy juga yang kecewa. Bahkan sakit hati dan putus asa.”

Punya pikiran dewasa. Tiga kata yang mendefinisikan sosok Ari. Tidak banyak pemuda seusianya yang punya pemikiran seperti Ari. Saran itu bahkan sampai membungkam mulut Joy yang tadi banyak bicara.

Joy menunduk lemah tak tahu harus membalasnya dengan kalimat apa lagi. Dia kalah telak. Saran yang diberikan Ari sepenuhnya adalah benar. Joy baru sadar bahwa alur hidupnya, sepenuhnya ada di tangan Eros. Mimpi-mimpinya mungkin saja akan tenggelam dengan keinginan Eros yang berbanding terbalik dengan keinginannya.

Joy adalah harapan keluarga satu-satunya. Bisa dibilang Ari gagal dalam hal pendidikan. Bahkan perjuangan pemuda itu selama 12 tahun terasa sia-sia karena sempat mendapat gelar pengangguran selama kurang lebih tiga tahun. Eros orangnya kritis, dan tidak suka neko-neko. Mungkin didikan Eros pada Joy akan lebih terasa lebih keras dan ketat dibanding didikannya pada Ari ketika masih sekolah dulu.

Ari yang tak tega melihat raut sendu adiknya mengulas senyum tipis dan berkata, “Kasih tahu Bapak dulu, ya. Jangan patah semangat!” ujarnya meng-support.

Joy mengangkat wajah dan menghela napas gusar. Perlahan, senyumnya kembali terbit. Meski kali ini tampak dipaksakan. Lalu, kepalanya mengangguk beberapa kali. “Siap, Bang. Makasih,” sahutnya.

“Oh ya, di sana bagaimana, Bang? Bang Ari sudah dapat kerjaan?” tanya Joy mencoba mencari topik lain.

“Puji Tuhan, sudah Dek. Abang sudah kerja selama seminggu,” tutur Ari memberitahu.

Tampak binar bahagia di manik mata Joy. Turut bahagia mendengar kabar itu. “Wah, kerja di mana, Bang?”

“Kan, Abang lulusan jurusan otomotif. Ya, kerja di bengkel, lah!” sahut Ari sedikit ketus.

Joy terkekeh. “Siapa tahu aja Bang Ari jadi barista, atau mungkin pelayan restoran.”

“Ngacoh kamu!”

Tak kuasa Joy menahan gelak tawa melihat raut kesal Ari dari kamera ponsel. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Karena setelahnya, Eros yang baru pulang dari kebun menginterupsi Joy.

“Main hp mulu!” tegur Eros sarkas.

Pria itu masih lengkap dengan pakaian khusus saat bekerja di sawah atau kebun. Di pundak sebelah kanannya, tersampir satu tandan buah pisang yang mulai matang.

Joy tersentak kaget dan bingkas bangun dari kursi rotan yang tadi dia duduki. Dipergoki seperti itu membuat nyali Joy menciut. Jantungnya langsung berdegup dua kali lebih cepat dengan aliran darah terpompa hebat.

Panggilan video-nya langsung dia matikan dan diam-diam mengirimi pesan pada Bang Ari lewat chat pribadi. “Bang, vc-nya sudah dulu, ya. Bapak sudah pulang,” begitu isi pesannya.

Tak lama ada balasan dari Ari. Muncul di beranda layar pop up handphone Joy.

MAMPUS!!!

Begitu isinya. Sengaja ditulis pakai guru kapital semua.

Joy hanya bisa menunduk ketika bola matanya tak sengaja bertubrukan dengan manik tajam Eros. Untungnya, Eros berlalu masuk ke dalam rumah setelah melempar tatapan sinis padanya tanpa melontarkan kalimat menyakitkan lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Tak berapa lama setelah kepergian Eros, Joy pun menyusul ke dalam rumah setelah meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tentang lulus seleksi itu, secepatnya akan Joy sampaikan pada Eros sesuai dengan saran Ari. Benar, lebih cepat lebih bagus.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!