NovelToon NovelToon

Joy : A Hope

Bab 1 : Tentang Joydev

Sinar mentari sedang panas-panasnya siang itu. Bahkan daerah pegunungan yang erat dengan kata sejuk merasakan api membara yang serasa ingin melahap kulit tubuh hingga lepuh. Pelipis tak henti mengeluarkan keringat hingga merembes turun membasahi pipi. Sebuah daerah persawahan yang terbentang di tengah-tengah pemukiman warga di bawah kaki gunung terdapat sejumlah petani yang sedang membajak sawah menggunakan kerbau, dan bahkan ada beberapa sementara menanam padi. Beberapa dari mereka memilih berteduh dari panasnya sinar matahari di pondok kecil yang masing-masing dibangun di pinggir sawah. Sisanya lagi, memilih untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan mereka agar dapat beristirahat dengan tenang setelah pekerjaan melelahkan itu.

Musim panen baru saja berlalu. Tiba saatnya untuk menanam bibit baru lagi untuk panen di musim berikutnya. Meski terkadang merasa lelah sampai mengeluh beberapa kali, akan tetapi para petani itu tak pernah sekalipun menghentikan pekerjaan mereka. Anak-anak di rumah selalu menunggu kepulangan mereka sambil membawa hasil jerih payahnya untuk mereka nikmati bersama. Mungkin beberapa dari mereka anak-anaknya sudah ada yang sekolah. Sebuah tanggung jawab besar bagi orang tua untuk menafkahi keluarga dan memenuhi kebutuhan ekonomi anak-anaknya. Itulah salah satu alasan besar bagi mereka untuk bekerja keras.

Di antara para petani itu, terlihat sepasang suami istri yang sedang menanam padi di sepetak sawah milik mereka. Sebuah pemandangan yang cukup langkah bagi warga kampung itu. Biasanya para istri akan berdiam diri di rumah dan mengurus segala pekerjaan rumah, sementara suaminya akan bekerja di sawah atau kebun. Namun, berbeda dengan pasutri yang satu itu. Mereka selalu tampak kompak di setiap pekerjaan yang dikerjakan. Membuat beberapa warga merasa iri atau bahkan salut melihat kekompakan mereka di segala hal.

“Pak, katanya hari ini hari kelulusan anak kita? Apa tidak apa kalau kita tidak menghadiri hari kelulusannya?” tanya sang istri pada suaminya yang kini hendak menyelesaikan bagiannya.

Mereka hampir selesai. Sang suami berhenti sejenak. Dia tertegun mendengar ucapan sang istri untuk beberapa saat. Hingga kemudian dia berkata, “Aku yakin Joy dapat mengerti keadaan orang tuanya.”

Tidak ada sahutan dari sang istri. Dia yakin istrinya sedikit kecewa dengan respons yang dia berikan. Keheningan melingkupi keduanya. Sang istri lanjut menanam padi, sementara suaminya masih mematung di tempat. Tampak seperti seseorang yang sedang memikirkan sesuatu. Sesaat, dia menoleh pada sang istri saat teringat sesuatu.

“Bukankah Ari mewakili kita dan menemani adiknya di acara kelulusan?” tanya Eros memastikan.

Pria yang sudah menginjak kepala lima dengan wajah yang mulai keriput itu menaikkan satu alisnya menunggu jawaban sang istri. Kulitnya yang tampak gelap menandakan bahwa dia seorang pekerja keras. Tak jauh beda dengan wanita bernama Santi itu. Kini, menatap sang suami dengan sirat penuh makna.

“Tapi, kan, Pak—”

Detik berikutnya, kedatangan seseorang bersama seruannya menginterupsi obrolan pasutri itu. Menyela ucapan Santi hingga menggantung di udara lalu lenyap begitu saja.

“Mak, Pak!” Seruan itu berasal dari belakang. Refleks Eros dan Santi menoleh, mendapati putra bungsu mereka yang kini sudah beranjak remaja berlari tergesa ke arahnya. Tak lupa raut cerah di wajah anak itu. Di belakangnya, disusul Ari, putra sulung mereka, juga bersama senyum tipis. Raut bahagia mereka pertanda mereka hendak membawa kabar bahagia.

“Joy, juara satu umum!” serunya lagi, dengan girang sampai membuat beberapa petani lain menoleh ke arah mereka saking hebohnya.

“Benarkah?” Eros diikuti Santi keluar dari sawah---tepatnya naik ke daratan, dan menyambut dengan bahagia kedatangan kedua putranya itu.

Santi hendak memeluk Joy. Namun, remaja itu langsung menghindar dengan raut jahilnya. Santi mengerut bingung sebelum akhirnya terkekeh saat menyadari satu hal. Dia sedang dalam keadaan kotor sekarang, sedangkan Joy, anaknya, berpakaian seragam putih biru yang lengkap dan bersih. Bisa-bisa seragam Joy ikut kotor jika dia melanjutkan aksinya.

Tak hanya Santi, Eros dan Ari pun ikut terkekeh dengan tingkah Joy saat menghindar dari pelukan Santi. Terkadang remaja itu masih bersikap seperti anak-anak pada umumnya jika sudah berhadapan dengan keluarganya. Suka bersifat manja dan seakan lupa dengan sosok dewasanya jika di lingkungan masyarakat.

“Iya, bahkan Joy lulus dengan nilai tertinggi se-kabupaten tingkat SMP tahun ini, Mak,” ujar Ari mewakili Joy.

Eros dan Santi beralih menatap Joy dengan bola mata berkaca-kaca antara haru dan bangga atas pencapaian putra mereka---sebelumnya menatap Ari sembari mendengar ucapan putra sulungnya itu. Sementara Joy tak henti mengulum senyum. Merasa bangga sekali---dadanya bergerumuh hebat bercampur hangat---pada diri sendiri melihat reaksi orang tuanya.

“Tuhan sungguh baik,” gumam Eros. Kemudian dia menuntun keluarganya itu ke pondok kecil, tempat berteduh mereka setiap selesai bekerja di sawah.

“Pokoknya, malam ini Mamak akan masak makanan yang enak khusus untuk merayakan kelulusan dan prestasi yang diraih Joy,” kata Santi.

Mereka sudah duduk melingkar di atas pondok kecil beralaskan papan kayu dan atap anyaman rumput ilalang itu. Eros dan Santi pun sudah melepas pakaian mereka yang kotor dan diganti dengan pakaian lain yang sudah lusuh tetapi bersih.

Ari mendengus mendengar ucapan sang ibu. “Ish, giliran Ari yang lulus SMK Mamak biasa-biasa saja, tuh,” cebiknya penuh nada dengki.

Joy terkikik geli melihat muka kesal abangnya. “Huh, bilang saja Abang iri!” ejek Joy terang-terangan.

Lantas Ari melotot. “Bilang apa kamu? Aku iri sama kamu? Yakali, nilai aku masih di atas kamu tahu! Sombong banget,” sangkalnya tak terima dikatai oleh adik sendiri.

Joy menjulurkan lidah meledek dengan mata melet. Dia hendak menjahili abangnya lebih dari itu. Namun, melihat raut merah padam Ari membuat Joy mengurungkan niat.

Melihat dua putranya yang saling bertengkar dan mungkin sudah melewati batas, Eros angkat bicara. “Sudah-sudah! Kalian ini sudah besar, sudah dewasa masih saja bertengkar,” ucapnya menengahi.

Santi mengulum senyum mendengar keributan kecil kedua putranya. Dia menatap Ari, putra sulungnya, lamat. Sendu. Sedikit merasa bersalah pada dirinya karena tidak menyamaratakan anak-anaknya dan terkadang lebih memanjakan Joy dibanding Ari. Hati kecil Santi tersentil, dirinya tertampar dengan penuturan Ari meski dia tahu putra sulungnya itu sedang bercanda. Namun, tetap saja rasanya seperti sedang mengeluarkan unek-unek yang dipendam pemuda itu bertahun-tahun lamanya. Santi kecewa pada dirinya karena tidak bisa menjadi ibu yang baik.

“Ari, Mamak minta maaf kalo selama ini Mamak kurang peduli sama kamu. Tapi, bukan berarti Mamak benci sama kamu.” Santi berkaca-kaca. Sekali lagi mengedipkan mata, maka cairan kristal itu akan luruh. Santi menundukkan kepala, tak ingin kesedihannya menjadi konsumsi anak dan suaminya.

Ari yang melihat raut sendu wanita paruh baya yang sudah bertaruh nyawa untuk melahirkannya itu seketika merasa bersalah. Langsung Ari mendekat ke arah sang ibu. Meraih telapak tangan Santi dan menggenggamnya erat. Hangat. Satu kata yang langsung melingkupi Ari. Hangat pada telapak tangan sang ibu seolah mengalir hingga hati pemuda itu ikut terasa hangat.

“Mak,” panggil Ari lirih.

“Tatap mata Ari,” ujarnya lagi sembari menggoyangkan tangan Santi yang digenggamnya.

Cepat-cepat Santi menyeka sisa-sisa air matanya di bawah pelupuk mata dan perlahan menegakkan wajah kembali. Senyum tipis yang menenangkan terbit di bibir kala mendapati raut sendu Ari.

“Tadi, Ari Cuma bercanda, Mak. Ari minta maaf kalo Ari menyinggung hati Mamak,” tutur Ari penuh sesal. Pemuda itu sampai membungkukkan badan dan mencium telapak tangan Santi berkali-kali. Dia merasa berdosa karena tanpa sengaja sudah melukai hati sang ibu.

“Ari benar. Mamak yang salah. Ari enggak perlu minta maaf seperti ini,” balas Santi tak ingin membuat putranya merasa bersalah atas sesuatu yang bukan kesalahan Ari sepenuhnya.

Ari menghambur ke pelukan Santi dan memeluk erat wanita itu. Tak sengaja bola mata Santi bertemu dengan manik mata suaminya. Eros menatapnya seolah berkata, “Apa yang kamu lakukan sudah benar.”

Hal yang membuat Santi merasa lebih lega dari sebelumnya. Hingga pada akhirnya, Santi membalas pelukan Ari. Mengusap lembut punggung putra sulungnya yang kian dewasa itu. Sementara Ari terus menggunakan kata maaf dalam dekapan sang ibu.

Joy ikut mengulum senyum tipis melihat itu. Keromantisan dalam keluarganya yang membuat Joy bisa bertahan hingga kini meski mereka hidup dalam kesederhanaan. Bahkan bisa dibilang kondisi ekonomi mereka sangat sulit. Namun, hal-hal kecil yang terjadi dalam keluarga mampu membuat Joy tertawa hingga lupa akan semua beban pikiran itu.

Joy hanyalah seorang anak desa yang jauh dari kata kehidupan ekonomi sejahtera. Namun, setidaknya hidup Joy terjamin sejahtera. Bersama keluarga, Joy akan bisa melalui semua rintangan. Rintangan-rintangan kecil yang sedang menunggunya di gapura sana saat dia sudah menginjakkan kakinya di bangku putih abu.

Tekad Joy selama ini hanya satu. Dia akan belajar sungguh-sungguh supaya dapat meraih cita-citanya suatu saat nanti. Satu hal yang paling dia hindari. Semoga tidak mengecewakan kedua orang tuanya saat tengah menjalani pendidikan. Perih tak terkira yang dirasakan kedua orang tua untuk menyekolahkannya, akan Joy balas dengan kesuksesannya di masa mendatang.

***

Bab 2 : Cita-Cita

Hari sudah menjelang malam. Perlahan gelap melingkupi seisi bumi. Di sebuah pemukiman warga cahaya remang-remang terpantul di gelapnya malam, dibantu cahaya rembulan yang tak seberapa.

Terlihat beberapa warga yang masih berlalu lalang di jalan. Berbagai aktivitas masih berlanjut meski malam telah tiba. Mereka terus bekerja seolah besok tak ada lagi waktu untuk lanjut besok.

Satu-satunya tempat paling terang dan paling menonjol di desa adalah pos ronda. Sebagian bapak-bapak yang jadwal piket bersama para pemuda desa sedang menjalankan ronda malam. Tampaknya keamanan dan kesejahteraan desa menjadi tanya beberapa waktu belakangan ini. Ada banyak kejadian perampokan atau bahkan pencurian barang-barang warga. Biasanya pelaku melancarkan aksi ketika malam sudah tiba. Mungkin mencari aman. Oleh karena itu, pemerintah setempat mewajibkan para warga untuk ronda secara bergilir demi kesejahteraan bersama.

Ari dan Eros, Bapaknya, pun ikut turut dalam kegiatan ronda malam itu. Suasana sedang ramai-ramainya. Kebisingan tercipta di antara kerumunan sekumpulan laki-laki itu. Bapak-bapak sedang main kartu. Sementara para pemuda, ada yang bermain gitar sambil bernyanyi, ada yang sedang sibuk main game di gadget, dan ada juga yang iseng menggombal perempuan desa yang kebetulan lewat di pos ronda.

“Ari, sudah kerja di mana?” tanya salah seorang bapak-bapak pada Ari yang sedang memainkan gitar di pojok pos bersama dua orang temannya.

Ari menghentikan kegiatan memetik senar gitarnya dan menatap bapak yang bertanya barusan. Seketika raut wajah cerahnya berubah suram. Sebelum menjawab, dia melirik ke arah Eros yang ternyata kini juga sedang melirik ke arahnya. Hanya tatapan dan raut tak terbaca yang Ari dapat.

Cepat-cepat Eros memalingkan wajah, seolah tak ingin ikut campur dengan urusan putranya. Hal yang membuat Ari menggigit bibir bawah karena tak tahu hendak menjawab apa.

“Ah, anu---”

“Selamat malam, Om. Selamat malam kakak-kakak!”

Baru saja Ari hendak menjawab pertanyaan bapak yang tadi, seseorang sudah lebih dulu menyela ucapannya. Suara yang nyaring menyapa gendang telinga dan mengheningkan suasana seketika.

Semua pasang mata menatap pada satu objek di depan mereka. Seorang remaja lelaki baru saja datang ke tengah-tengah mereka sambil memamerkan senyum lebar. Senyum yang bagai happy virus bagi orang-orang. Beberapa dari mereka ikut menyungging senyum, tertular senyum dari remaja laki-laki itu.

“Malam, Dek Joy,” balas salah seorang bapak mewakili semuanya.

“Ada apa malam-malam ke sini?” tanya Eros terdengar sinis. Dia menatap tanpa minat kehadiran sang putra bungsu. Jika semua orang mungkin menyambut baik remaja itu, maka berbanding terbalik dengan Eros yang hanya menampilkan raut datar.

Suasana seketika menjadi hening. Tak terdengar sekalipun obrolan ringan. Hanya suara jangkrik yang menginterupsi mereka dan suara kodok yang saling bersahutan. Tampaknya mereka sedang menunggu kelanjutan ucapan Eros yang roman-romannya hendak memarahi sang anak.

Di antara kesunyian dalam kerumunan itu, ada seseorang yang diam-diam menyungging senyum tipis. Ari mengelus dada, menghela napas lega. Dia sangat bersyukur dengan kedatangan Joy, adiknya. Berkat bocah yang sering dijahilinya itu, dia terlepas dari pertanyaan bapak yang tadi bertanya tentang pekerjaannya. Malu Ari mengakui jika selama ini dia masih seorang pengangguran. Ah, bukan pengangguran juga, hanya saja belum memiliki pekerjaan tetap.

“Bapak sudah kasih tahu kamu di rumah, kan? Jangan ikut kemari. Kamu masih terlalu kecil untuk ikut ronda. Kalau ada apa-apa, Bapak juga yang kerepotan sama yang lain.”

Senyum di bibir Joy perlahan pudar. Remaja lelaki itu menundukkan kepala takut saat di mendapat omelan dari Eros. Bapaknya tak tanggung-tanggung saat menceramahi anaknya bahkan di depan umum sekalipun.

“Maaf, Pak,” cicit Joy masih dengan kepala tertunduk.

Beberapa orang menatapnya prihatin, dan beberapa lainnya lagi dengan sengaja mengalihkan perhatian masing-masing dengan melakukan hal-hal random. Tak ingin ikut campur.

Detik berikutnya, Joy memberani diri mengangkat kepala. Senyum tipis yang tampak dipaksakan kembali terukir. Pandangannya turun ke sekantong kresek dalam genggaman tangan. Senyum tipis itu berubah menjadi senyum miris. Padahal, Joy datang ke sini untuk memberi kresek yang berisi makanan itu pada para penjaga pos.

Tangan Joy terjulur ke hadapan Eros bersama kantong kresek. Menyadari tatapan bingung sang bapak yang langsung turun ke kresek tersebut. Namun, tak urung menerima juga.

“Titipan dari Mamak, Pak. Tadi, Mamak bikin pisang goreng dan suruh Joy bawa ke sini,” tutur Joy penuh penjelasan.

Hal yang membuat beberapa warga berseru heboh karena mendapat cemilan dadakan di malam dingin seperti ini. Mana pisang gorengnya masih anget lagi. Seketika pisang goreng itu habis ludes dalam sekejap saat Eros membuka penutup bekalnya.

“Ini, enak banget!”

“Masakan Bu Santi memang tidak perlu diragukan lagi.”

“Makasih, ya, Joy. Titip salam buat ibu kamu, ya.”

Eros, Ari, dan Joy mengulum senyum tipis dalam diam. Mereka sangat senang sekaligus bersyukur dalam satu waktu bersamaan. Pujian yang dilontarkan para warga untuk wanita hebat mereka secara bergantian.

“Siap, Om. Kembali kasih,” balas Joy membalas pujian mereka satu-persatu.

Setelah merasa tugasnya di sana sudah selesai, Joy pun pamit pulang. “Ya udah, Joy pulang duluan, ya, Om, Kak! Yang semangat ronda-nya.”

Tak lupa senyum manis menjadi penutup ucapan laki-laki itu.

Saat Joy sudah berbalik badan dan hendak beranjak pergi, langkahnya terhenti ketika Ari memanggil namanya.

“Ari, tunggu! Abang ikut.” Ari beranjak dari duduknya.

Lepas berpamitan pada bapak-bapak dan teman-temannya, Ari berjalan menghampiri Joy. Keduanya lalu berlalu pergi---berjalan beriringan---menyisakan ledekan teman-teman Ari yang tertuju pada pemuda itu karena batal ronda.

***

“Ari, besok kamu sudah harus berangkat ke kota! Cari pekerjaan yang benar. Jangan mempermalukan Bapak lagi karena terus menjadi pengangguran yang tidak berguna seperti ini!”

Esok paginya, Ari mendapat ceramah panjang lebar dari bapak sepulang dari ronda. Pemuda itu langsung diinterogasi berbicara empat mata.

Sedari tadi Ari hanya bisa menundukkan kepala tak berani melawan Eros. Bahkan hanya menatap manik elang milik pria itu, Ari segan. Eros jika sudah marah melebihi singa yang kelaparan. Ari mencari aman saja supaya tidak mendapat amukan.

“I-iya, Pak,” sahut Ari takut-takut.

Lalu, tak lama Santi datang menghampiri mereka. Duduk di bangku rotan sebelah Ari. Mereka sedang duduk melingkar di ruang tamu. Eros memilih diam saat sang istri sudah datang. Dia tidak ingin lebih banyak menasihati Ari lagi, atau dia akan berakhir bertengkar dengan Santi.

Perlahan, telapak tangan Santi terangkat ke atas membelai punggung putranya. Dielus-elusnya lembut. Menenangkan pemuda itu yang mukanya tampak kusut tidak secerah kemarin saat hari kelulusan Joy, adiknya.

“Ari, kamu yang sabar, ya. Kata-kata Bapak yang mungkin nyakitin Ari enggak usah didengarin, ya?” ucap Santi dengan lembut, perlahan hati wanita itu melunak dan mulai memperlakukan Ari dan Joy secara adil setelah mendengar celotehan putra sulungnya kemarin.

Kepala Ari perlahan terangkat. Sedikit merasa tenang saat usapan di punggungnya itu terasa lembut. Senyum tipis terbit di wajah sembari Ari bergumam, “Makasih, Mak.”

Sementara Eros memilih beranjak dari sana sebelum terbawa emosi jika terus mendengar ucapan Santi yang seolah menentang kata-katanya pada Ari. Sekarang saja emosinya sudah terkumpul di ubun-ubun. Sekali lagi diganggu gugat, dipastikan akan meledak bak bom atom tanpa sisa.

Saat suasana sudah mulai tenang, Joy muncul di antara keluarganya dan memberitahukan sesuatu hal penting pada mereka. Pria itu berlari tergesa-gesa keluar dari kamar seperti dikejar hantu saat mendapat sebuah pesan dari seseorang. Tak lupa raut girang menghias wajahnya.

“Mak, Pak, akhirnya Joy diterima di SMA Jurusan Bahasa Indonesia. Joy lulus tes. Joy dapat undangan khusus untuk sekolah di kota!” pekik Joy memberitahu.

“Cita-cita Joy mau jadi penulis sebentar lagi bakal terkabul, Tuhan. Semoga saja, amin.” Tak henti lelaki itu membatin dalam hati. Perasaan senang sedang memenuhi dirinya saat ini. Perasaan bahagia yang tak terhitung.

***

Bab 3 : Didikan Eros

Pagi yang baru telah tiba. Aktivitas para warga di kampung Ramah kembali berjalan seperti biasanya. Para warga yang dominan petani sudah berangkat ke sawah atau ke kebun bahkan jauh sebelum matahari menampakkan diri. Bukan karena berpikir tidak ada lagi hari esok untuk bekerja. Hanya saja mereka ingin menghargai waktu yang ada dan mencoba untuk tidak membuang-membuang waktu dengan melakukan hal-hal tidak penting. Waktu terlalu begitu berharga hanya untuk disia-siakan untuk para petani seperti mereka. Hingga ketika matahari sudah naik ke atas dan semakin tinggi, seperempat pekerjaan sudah selesai. Meski lelah, tak urung mengeluh. Namun, mereka tetap semangat bekerja. Mereka percaya, kepahitan mereka saat ini akan berbuah yang manis di kemudian hari.

Anak-anak mereka yang masih remaja tinggal di rumah dan membantu pekerjaan rumah agar orang tua mereka tidak bekerja dua kali lagi setelah kembali dari sawah ataupun kebun. Secara kebetulan, libur semester selama dua minggu telah tiba. Jadi, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Sementara anak laki-laki yang sudah menginjak umur 17 tahun ke atas, ikut serta orang tuanya bekerja ke sawah. Di desa, pantang bagi anak laki-laki jika hanya menganggur di rumah. Kebanyakan merantau ke kota jika tidak ikut orang tuanya ke ladang atau sawah.

Saat jam makan siang, anak-anak desa biasanya membawakan makanan orang tuanya. Seperti saat ini, Joy baru saja selesai masak dibantu Ari. Setelah kejadian kemarin, dimana Ari mendapat ceramah dari bapak, maka Ari memutuskan untuk merantau ke kota siang ini. Maka dari itu Ari tidak ke kebun bersama orang tuanya. Hal yang dia tinggalkan sebelum pergi yaitu memasak nasi beserta lauk pauknya untuk Eros dan Santi yang sedang bekerja di kebun hari ini. Beberapa hari yang lalu, sawah mereka sudah ditanami padi. Sekarang, giliran kebun yang dibersihkan, sudah lama sekali tidak diurus.

“Kak, aku ke kebun dulu, ya,” pamit Joy dari arah dapur, sedikit berteriak. Sudah siap dengan satu raantang nasi dalam genggaman tangan, juga ceret berisi air minum.

Suara gemercik air cukup deras berhenti terdengar. Ari yang sedang mandi di kamar mandi seadanya di belakang rumah ikut membalas, “Iya, kamu hati-hati. Salam sama Mamak dan Bapak. Kasih tahu Ari sudah mau berangkat.” Ari ikut berteriak.

“Iyaaa! Kamu kalau sudah pergi juga hati-hati. Jangan lupa … kerja yang benar. Tahunya jangan pacarana mulu. Kasihan mamak dan bapak banting tulang di sini!” nasihat Joy melebihi kedua orang tuanya.

Terdengar dengus sinis dari Ari. “Iya-iyaaa, bawel banget. Udah, sana!” usir Ari terdengar kesal.

Joy terkekeh geli dengan respons abangnya. Sekarang dia yang balas menjahili. Sebenarnya, Joy hanya bercanda saat menasihati Ari tadi.

Kemudian, remaja itu beranjak dari dapur menyisakan Ari yang juga baru saja selesai mandi. Pemuda itu muncul di balik pintu dapur dengan handuk putih melilit pinggang. Rambut basah secara berkala menetes membasahi wajahnya.

Ari menatap sebal sisa-sisa kepergian Joy. Giginya saling bergemelatuk, geram. “Dasar bocah. Sok ngajarin!” cibirnya.

***

“Eh, Joy! Kamu mau ke mana?” Suara cempreng khas anak laki-laki saat sedang mengalami masa-masa pubertas menyapa dengan tidak sopan gendang Joy.

Sekumpulan anak-anak seumuran Joy menginterupsi langkah remaja laki-laki itu saat sedang menyeberangi sebuah sungai lewat jembatan kayu. Joy menoleh ke bawah, tepatnya ke sumber suara. Dia mendapati beberapa remaja laki-laki sedang asyik mandi bertelanjang bulat. Air sungai sedang deras-derasnya. Suara gemercik air yang bertubrukan dengan batu sungai cukup memekakkan telinga.

Salah seorang dari mereka yang merupakan teman dekat Joy menyapa. “Joy, ayo gabung sini!” ajaknya.

Joy menggeleng cepat. “Enggak, aku buru-buru. Takut dimarahi sama bapak juga,” tolaknya mentah-mentah.

Panggil saja Bayu, remaja yang mengajaknya mandi, mendengus sinis. “Aelah, mau ke mana, sih, Joy? Buru-buru amat! Nyesel loh enggak nyebur di sini.”

Joy berlalu tergesa-gesa. Samar-samar mendengar ejekan dari teman-temannya mengiringi kepergian Joy. Akan tetapi, Joy hiraukan. Lelaki itu seolah sengaja menulikan pendengaran. Tak ingin hatinya panas dan merasa tertantang.

“Huh, dasar cepu!”

“Bilang aja enggak bisa berenang, pake alasan segala!”

Bohong jika Joy tidak tertarik mandi di sungai apalagi setelah melihat keseruan teman-temannya beberapa saat. Ada hasrat tersendiri yang tersimpan rapi dalam kalbu. Hampir saja Joy tergoda dan hilang kendali. Untung saja cepat sadar. Jika tidak, kemungkinan besar dia berada dalam masalah.

Joy buru-buru selain karena kedua orang tuanya sudah menunggu kedatangannya, Joy juga punya trauma mandi di sungai. Saat masih kecil dulu, Ari sering sekali mengajaknya berbuat nakal, seperti mandi diam-diam di sungai. Suatu ketika mereka ketahuan oleh Eros. Eros marah. Tak tanggung-tanggung menghajar Ari yang masih SMP sampai berdarah-darah karena mengajak Joy yang usianya masih sekitar 6 tahun saat itu.

Sejak saat itu, Joy takut dan tidak pernah lagi mandi ke sungai meski diajak sama abangnya lagi. Sedangkan Ari yang keras kepala tentu saja tak mendengar ucapan Eros dan terus melanggar. Beberapa kali, Eros memergoki Ari mandi di sungai bersama teman-temannya. Ari memohon-mohon agar tak dipukuli lagi dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun besoknya, anak nakal itu akan melanggar lagi dan kemudian berjanji jika dipergoki lagi.

Eros menghela napas dengan tingkah putra sulungnya yang sedang nakal-nakalnya kala itu. Sedikit pasrah menghadapi Ari yang tiap hari kian menjadi-jadi. Pada akhirnya, tidak memukuli anak kepala batu itu lagi, tetapi Eros hanya berpesan, “Terserah kamu mau jadi anak pembangkang atau tidak. Yang jelas jangan ajak adek kamu, Joy untuk nakal seperti kamu!” sembari melayangkan tatapan tajam yang sungguh tak bersahabat.

***

“Dari mana saja? Kok, lama sekali? Mamakmu sudah kelaparan tunggu kamu dari tadi.” Baru juga datang, Joy sudah mendapat semburan panas dari bapak. Bahkan sambil mengunyah pun, mulut Eros tak henti menyerocos. Rasanya sepatah kata pun tak ingin putus dari bibirnya.

Joy hanya bisa menundukkan kepala, duduk di pojokan sembari menunggu kedua orang tuanya selesai makan. Lelaki itu dipenuhi oleh perasaan bersalah mendapati sang ibu terkapar tak berdaya di dalam gubuk. Kata bapak, penyakit asam lambung Mamak kambuh karena telat makan padahal sudah lapar.

Sementara Santi yang sudah baikan. Kini sedang makan serta duduk di sebelah suaminya, menatap iba Joy. Dia beralih melirik Eros dan menyela celotehan pria itu. “Sudahlah, Pak! Kasihan Joy. Ini bukan sepenuhnya salah dia, loh. Mamak yang tadi lupa sarapan sebelum ke sini,” ujar Santi mencoba membela Joy.

“Santi! Berhenti membela anak itu. Kamu hampir mati kelaparan gara-gara dia. Walau bagaimanapun dia yang tetap salah!” sentak Eros, terus menyalahkan Joy.

Selera makan pria itu seketika hilang. Melepas piringnya dengan kasar dan keluar dari gubuk dengan hati panas. Santi hanya bisa menghela napas kasar dengan tingkah suaminya, tempramen masih seperti dulu. Pria itu meski sudah kepala lima tetapi sifatnya tak pernah berubah. Santi membersihkan alat makan mereka kemudian memasukkannya kembali ke keranjang yang dibawa Joy.

Santi mendekati Joy di pojokan selepas itu. Dia duduk di sebelah remaja itu sembari mengusap lembut puncak kepalanya. “Joy yang sabar, ya, hadapin Bapak. Joy enggak usah khawatir. Mamak baik-baik saja. Enggak usah dengerin apa kata Bapak,” kata Santi mencoba menenangkan.

Joy merasa nyaman setiap berada di dekat Santi. Hal yang paling dia sukai ketika Santi sudah mulai membelai-belai rambutnya. Langsung saja Joy menghambur ke pelukan Santi. Menangis sekencang-kencangnya dalam pelukan Wanita itu. Sebesar dan sedewasa bagaimanapun Joy di mata orang-orang, dia tetaplah anak yang cengeng dan manja di depan Santi.

“Mak, Bang Ari benaran pergi. Dia udah tinggalin kita,” cicit Joy di sela-sela tangisannya.

Santi tersentuh dengan keluhan putra bungsunya itu. Kaget dalam waktu yang bersamaan karena mendengar fakta dari Joy bahwa putra sulungnya benar-benar sudah pergi merantau. Tanpa sadar setes cairan bening luruh dari kelopak mata Santi. Dia bahkan belum memberi salam pada Ari sebelum pemuda malang itu pergi.

“Ya sudah, pamit sana sama Bapak sebelum pulang.” Santi mengurai pelukan mereka. Sebelum itu, dia sudah lebih dulu menyeka air matanya tak ingin Joy melihat kesedihannya.

Meski enggan pamitan karena masih takut pada pria itu, Joy tetap mengangguk. Mengambil keranjang berisi rantang dan peralatan makan itu, kemudian Joy keluar dari gubuk. Dia mendapati sang ayah yang sedang duduk lesehan di depan rokok sambil merokok. Pandangan pria itu lurus ke depan entah apa yang sedang dipikirkan. Sesekali mengisap rokok yang terselip di dua jarinya dan mengembuskan asapnya ke udara lewat mulut.

Takut-takut, Joy mendekati pria itu. “Pak, Joy duluan, ya,” sapanya setelah terdiam beberapa saat, tak hendak menjawab apa.

Pria itu menoleh. Menelisik penampilan Joy dari atas ke bawah. Lalu memalingkan wajahnya kembali. “Udah, pergi sana!” usirnya kasar tanpa berperasaan.

Lama Joy terdiam. Sakit hati sekaligus kecewa mendengar nada ketus itu. Apa salahnya sampai Bapak sampai membencinya seperti ini?

“I-iya, Pak,” sahut Joy terbata-bata.

Saat Joy beranjak hendak pergi, dia kembali berbalik kala teringat sesuatu. Senyum tipisnya terbit berharap kali ini Eros akan merespons ucapannya dengan baik. “Oh ya, Pak, Bang Ari titip salam. Dia sudah berangkat ke kota,” ujarnya memberitahu.

Di luar ekspetasi Joy. Bahkan pria itu tak merespons ucapannya. Dia mengabaikannya seperti angin lalu. Tak ingin mencipatakan penyakit hati yang lebih dalam lagi, Joy memilih beranjak pergi.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!