Petunia Amarilys
Sore dengan gerimis menghiasi, menjadi sebuah pagi yang sibuk bagi seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, Petunia Amarilys namanya. Gadis yang akrab di sapa Nia itu, duduk memangku sebuah laptop di pangkuan, dengan wajah yang kerap kali kehilangan ronanya.
Beberapa pekan terakhir, Nia harus memendam sebuah masalah seorang diri, tanpa tahu kedua orang tua, maupun satu-satunya saudari yang ia miliki, yakni sang kakak. Meski pada akhirnya dirinya harus terluka, namun Nia lebih memilih menikmati luka juga derita seorang diri daripada harus membuat semua keluarga susah.
Bibir wanita muda itu sesekali bergetar, meredam Isak yang menyertai lelehan air mata dari sudut matanya.
"Nia, ayo keluar, Ayah dan Kakakmu sudah menunggumu di ruang tamu sana, sebentar lagi tamunya akan datang," panggil sang ibu, tiba-tiba, Kirana namanya. Wanita bertubuh tambun itu menatap sang putri, dengan secuil curiga, saat melihat Nia mengusap pipinya dengan gerakan cepat.
"Nanti, Bu. Ibu pergilah, sebentar lagi Nia akan menyusul Ibu," ujar Nia dengan suara pelan.
"Kau menangis? Apa yang kau tangisi, sayang?" tanya Kirana menghampiri putrinya, melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa putrinya telah menangis.
"Nia tak apa, Bu. Hanya tertekan dengan tugas kuliah yang tak kunjung usai. Nia ... Nia merasa stress dan kelelahan sebenarnya. Tak apa kan, jika Nia istirahat sebentar?" dusta gadis itu.
Kirana mengerti, dengan prestasi dan juga pencapaian yang banyak di raih oleh sang putri, tentunya bukanlah hal yang mudah. Ada banyak perjuangan, dan ada banyak tekanan yang ia dan sang suami berikan agar kelak putrinya menjadi anak yang sukses.
"Baiklah, tak masalah. Lagi pula, kekasih kakakmu belum datang. Nanti Ibu akan memanggilmu, sayang," jawab Kirana. dengan senyum.
Di tatapnya dengan lekat wajah sang buah hati, putri bungsunya itu begitu cantik dengan wajah berbentuk hati. Dagu berbelah dengan lesung pipit di kedua pipi, dibingkai dengan rahang yang feminim dan tulang pipi tinggi dan bertubuh Ramping.
Bola mata hitam dengan alis hitam berbentuk bulan sabit, disertai dengan hidung mancung, sungguh sebuah kecantikan yang sempurna yang sanggup meluluhkan dan menggetarkan hati kaum Jantan.
"Ibu akan turun dulu, dan memastikan hidangan di dapur hampir siap. Nanti jika calon kakak iparmu datang, Ibu akan panggil Nia. Istirahatlah, tutup laptopnya dan selesaikan nanti tugasnya," perintah Kirana lembut.
Senyum manis keibuan, satu-satunya yang membuat Nia luluh selama ini. Tak lupa, kelembutan sang ibu yang membuat Nia selalu nurut, tak pernah membantah barang sedikit saja akan perintah sang ibu.
"Baiklah, Bu. Terima kasih Ibu sudah mengerti Nia," ungkap Nia dengan senyum.
Kirana berlalu dari kamar sang putri, meninggalkan Nia dengan jejak basah pada setiap sudut matanya. Sungguh, Nia bukanlah gadis sekuat itu untuk bisa meredam sakit hatinya seorang diri.
Kembali terseguk, dalam tangis Nia meraung seorang diri di dalam kamar, usai mengunci pintu selepas kepergian sang Ibu. Tak hanya itu, Nia juga menatap nanar sebuah foto yang senantiasa ia bawa kemanapun ia pergi.
"Kemana kau pergi sebenarnya, mas Adam? Tidakkah kau memiliki kasihan padaku?" tangis Nia pecah.
"Apa aku harus menyeberangi tujuh samudera agar bisa menemukanmu?" Isak mengerikan itu kembali terdengar, begitu pilu dan menyayat hati. Andai waktu dapat di putar, mungkin ini tak akan pernah terjadi.
Lelap adalah salah satu pelarian yang spontan dan tanpa sadar, ketika Nia mengalami stress dan menangis terlalu lama. Ketika sakit membelenggu hati dan tubuhnya, Nia lebih memilih untuk diam dan menikmati kesakitannya seorang diri, menangis sejadinya, hingga gelap menelan dalam ketidaksadaran.
Entah berapa lama Nia terlelap, hingga sebuah ketukan pintu pada kamarnya, terdengar menyusup ke dalam rungu wanita muda itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Nia seraya membuka pintu. Mata gadis itu mengerjapkan beberapa kali, saat menatap Mamanya.
"Kekasih kakakmu datang, dan kamu bangun tidur. Ayo, mandi lagi, dandan yang cantik dan bersiaplah untuk menemui tamu. Pakai dress yang pantas dan jangan terlalu terbuka, nanti Ayah marah," perintah Kirana yang kembali mengunjungi putrinya.
"Baiklah, Bu. Nia akan mandi dan selesai dalam tiga puluh menit. Nanti Nia turun sendiri, tidak usah Ibu menyusul Nia lagi," ungkap Nia kemudian.
"Baiklah, Ibu tunggu di bawah. Dalam waktu satu jam ke depan, kita akan makan malam bersama, jangan terlambat," Ucap Kirana mengingatkan, sebelum berlalu begitu saja dari ambang pintu.
Nia yang tadinya sudah mandi, kini terpaksa harus mandi lagi sebab tertidur. Gadis itu berlalu menuju kamar mandi dengan perasaan yang tiba-tiba tak nyaman.
Nyeri tiba-tiba di bagian dada kiri, dengan denyutan semacam di sengat lebah. Namun, Nia tak boleh menyerah, ia harus bisa bersikap baik dan seolah tidak memiliki masalah apapun.
Hingga mandi Gadis itu telah usai, Nia mengenakan dress berwarna Kuning gading berjenis longgar, dipadu dengan hills berwarna putih tulang, tampak membuat Nia terlihat anggun. Make up tipis ala-ala remaja, membalut wajahnya yang tampak imut. Tahi lalat di bawah sudut bibir kiri, menambah kesan cantik pada wajahnya.
Lantas pintu kamar Nia kembali di ketuk, Nia memutar bola matanya malas.
Padahal sudah aku beritahu mama tadi, mengapa masih menyusul ke kamar? Menyebalkan!Batin gadis itu.
"Bibi Rahmi? Kenapa?" tanya Nia ketika yang mengetuk pintu rupanya adalah Bibi Rahmi, salah satu pembantu rumah Keluarga Abimanyu, ayah Nia.
Bibi Rahmi bekerja pada keluarga Abimanyu, semenjak Nia masih bayi. Awalnya, Bibi Rahmi bekerja sebagai pengasuh Nia saja.
"Ibu meminta saya memanggil non Nia," jawab Bibi Rahmi.
"Nia akan turun, Bi. Bibi duluan saja, Nia akan menyusul. Ini mau pakai parfum dulu," ungkap Nia dengan senyum manis.
Hingga lantas Nia sudah siap, gadis itu lantas turun, menuju ke arah ruang tamu.
Langkah kaki gadis itu mendadak pelan kemudian, ketika rungunya mendengar sayup-sayup suara seseorang yang ia cari selama ini. Lihat, bahkan bulukuduk Nia mendadak berdiri, sebagai reaksi alami.
Empat bulan bagi Nia adalah waktu yang demikian menakjubkan, untuk mencari seseorang ini. Namun ada secuil harapan, bahwa suara yang tengah di dengarnya itu, hanya sekedar suara yang sama dari dua orang yang berbeda. Nia harap, kekasih kakaknya bukanlah Adam.
Sayang seribu sayang, takdir tak berpihak pada Nia. Sepasang mata tajam itu menatap Nia, menampilkan sorot terkejut yang begitu jelas terlihat.
Mendadak Nia kaku di tempatnya, dengan banyak urat-urat kecil pada sekujur tubuhnya, yang menegang. Ada apa ini? Mengapa takdir harus menyakiti makhluk bertubuh mungil seperti Nia?
Kiranya adakah dosa masa lalu Nia, yang membuat Nia harus menerima siksa hingga berakhir derita?
Nia mendadak pucat.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Daulat Pasaribu
ok
2023-04-22
0
Azzahra Rara
kasihan sekali niaaa,,,
2023-02-09
2