Gerimis rintik-rintik membasahi bumi, perlahan rintiknya semakin lebat, disertai angin berhembus cukup kencang mendera bumi ibukota. Beberapa lalu lalang kendaraan, terpaksa berhenti untuk sekadar berteduh.
Sama seperti hati Nia yang kacau, bahkan segalanya terasa pahit dan menyakitkan
Nia dan Farel bertemu, melakukan pertemuan di sebuah kedai nongkrong sederhana, untuk membicarakan tentang rencana pernikahan. Tak ada yang spesial seperti apa yang di rancang oleh Kia dan Adam, melainkan keduanya ingin menikah dan tinggal terpisah dari orang tua Nia.
"Aku tak mau tinggal serumah dengan kak Kia dan Adam, Rel. Aku inginnya tinggal terpisah dari mereka, juga orang tuaku. Aku juga tak ingin tinggal di rumahmu," ungkap Nia, seraya mengaduk-aduk teh hangat di depannya. Wajah pucat Nia masih terasa. Beruntung kali ini Nia makan cukup banyak.
Sweater tebal yang Nia kenakan, beruntung mampu menghalau dingin yang cukup menusuk. Tak lupa, rambut Nia yang di kuncir belakang, membuat Nia tampak seperti ABG.
Farel tersenyum kemudian, di dalam hati, "tapi aku tak punya tabungan banyak untuk membeli rumah, Nia. Aku juga tidak mungkin meminta Om Abi, Papamu yang kaya raya itu untuk membelikan. Kita kontrak rumah saja, ya?" tanya Farel pelan.
"Ya, aku akan bekerja untuk .... " Nia tak melanjutkan kalimatnya, sebab Farel lebih dulu menyela.
"Tidak. Wanita hamil tidak boleh bekerja, biar aku yang bekerja. Nanti, aku akan mencari pekerjaan paruh waktu. Selepas kuliah, mungkin beban biaya kuliahmu, Om Abi akan melimpahkannya padaku," sahut Farel dengan lirih.
Tatapan lelaki itu demikian sendu, membiarkan Nia mengetahui semua yang ada tentang dirinya, dan juga rasa yang dimilikinya.
Ketika mencintai seseorang dengan bertepuk sebelah tangan, apa mungkin Tuhan akan memberikan sebuah jalan yang menyedihkan? Itulah yang Farel rasakan. Menyukai Nia sejak pertama mereka bertemu di kampus, lantas bisa dekat dengan Nia melalui Tika, membuat farel bersyukur.
"Bagaimana kita akan memulai bicara dengan orang tua kita, Farel? Aku yakin, mereka mungkin tak akan serta merta percaya," ungkap Nia mengutarakan sesuatu yang mengganjal pikirannya.
"Aku yang akan bicara. Kau cukup diam, dan menjawab jika di tanya. Ngomong-ngomong, bagaimana jika orang tua kita masing bertanya padamu, apa kau mencintaiku? Tentunya jika aku mengakui kehamilan dirimu sebab ulahku, tak mungkin tak ada kata cinta, bukan?" tanya Farel hati-hati.
Bak bom atom yang jatuh mengenai hati Nia seketika. Nia bingung, hendak menjawab apa.
"Apa berbohong adalah pilihan terbaik?" tanya Nia balik.
"Sepertinya untuk situasi tertentu, berbohong tak akan disalahkan," ujar Farel seraya tersenyum.
Perbincangan Nia dan Farel berlangsung hingga pukul sembilan malam. Tak seperti biasanya, Nia pulang selarut ini. Bahkan baik Nia maupun Farel tidak menyadari, ada sepasang mata indah menatap tajam keduanya dari kejauhan.
"Sepertinya kau ingin pernikahanku dengan kakakmu dipercepat, Nia. Baiklah, aku muak melihatmu yang semudah itu menemukan penggantiku," gumam Adam, yang rupanya menjadi penguntit Nia dan Farel malam ini.
Si bajingan itu tak menyadari, hatinya didera cemburu hebat.
**
"Nia, tumben pulang selarut ini?" tanya Kirana yang baru pulang dari arisan bersama Abimanyu. Sepasang suami istri itu menatap tajam Nia, seolah menghakimi keterlambatan Nia pulang malam ini.
"Nia, sedang bicara dengan Farel, Bu," jawab Nia.
Bukan pertanyaan Ibunya yang membuat Nia gugup, bukan pula takut bayangan akan dirinya di maki orang tuanya, melainkan di ruang tamu, ada beberapa orang asing yang tengah bertamu.
"Masuk, Nia," suara Abimanyu, membuat mata Nia berkaca. Sontak saja Nia segera masuk, sebelum tatapan penuh luka, ia tujukan pada Adam yang menatapnya datar.
Sayup-sayup telinga wanita muda itu mendengar, jika tak akan ada pertunangan, melainkan pernikahan sederhana yang akan segera dilaksanakan, lantas resepsi menyusul beberapa bulan kemudian.
Dan langkah Nia mendadak terhenti, saat kakinya sudah melangkah di tangga ke delapan. Semua ingin acara pernikahan digelar secepat mungkin, di latar belakangi oleh keinginan Adam.
Bak sebuah parang yang mencabik hati Nia tanpa sisa. Semua terasa gelap, dan dunia Nia kian suram tanpa masa depan. Jangankan kecerahan, bahkan matahari pun enggan untuk memberikan hangatnya. Hati Nia terlampau beku, dan banyak sudutnya yang berdarah.
Sekuat itu keinginan Adam menyakiti hati Nia. Sekokoh itu niat Adam membunuh Nia secara perlahan. Nia kira dirinya kuat, nyatanya wanita itu rapuh, menyimpan dukanya seorang diri, hingga berdoa agar malaikat maut datang menjemputnya secepat mungkin.
Nia berlari, tak peduli jika semua mata saat ini menatapnya penuh tanya, juga tatapan heran dari Kirana. Mengapa harus seterluka itu, jika cinta di hati Nia tak begitu besar?
Belum lagi lepas di hati Nia dari lukanya sebab Adam tak lagi sedia mengenal dirinya, sebuah ketukan pintu kamarnya, membuat hati Nia kian hancur. Suara sang Kakak yang demikian lembut penuh ketulusan, membuat Nia kian di hantam rasa bersalah.
"Nia, buka pintunya, Ini Kakak," suara Kia di seberang pintu, mengalun lembut, menawarkan surga bagi Nia yang kini mengalami kegersangan hati.
"Ada apa, Kak?" tanya Nia kemudian, selepas dirinya membuka pintu. Terlihat sekali wajahnya yang sayu, dengan mata sembab khas usai menangis.
"Kakak dan Ibu ingin bicara," Kia menatap lekat adiknya.
Pintu kamar terbuka lebar, Kia segera masuk disusul oleh Kirana di belakangnya. Mereka duduk di tepi ranjang, sedang Nia duduk pada kursi yang tersedia di depan meja rias. Sejenak hening, membuat Kia dan Kirana saling tatap melempar tanya.
"Nia, kau baik-baik saja? Apa yang membuatmu bertingkah aneh beberapa waktu terakhir?" Kirana sebagai ibu bersuara lebih dulu.
Nia tak segera menjawab, melainkan memikirkan banyak hal yang harus ia katakan, namun urung demi menjaga kebahagiaan sang Kakak.
"Nia baik-baik saja, Bu. Nia sedang ada sedikit masalah dengan teman Nia di kampus, tidak lebih. Tapi jangan khawatir, Farel sudah membantu menyelesaikan," jawab Nia.
Dan Nia menyumpah serapah mulutnya sendiri. Otaknya menyuruhnya untuk berterus terang, namun hatinya menyuruhnya untuk berbohong.
"Tapi benarkah? Kakak merasa ada sesuatu yang membuatmu dan Billy bertingkah aneh belakangan. Kau yang tak bersedia bicara dengan Billy, dan juga Billy yang tiba-tiba memutuskan untuk menikahi Kakak seminggu lagi. Ada apa sebenarnya diantara kalian?" tanya Kia mencecar Nia.
"Tolong, jangan bahas apapun tentang mantan dosen Nia itu, Kak. Ini tak ada hubungannya dengan dia," Nia menunduk sambil menahan tangis, "Nia berdoa, semoga Kakak bahagia," ujar Nia kemudian.
"Malam ini mungkin kau tak mau bercerita, Nia. Tapi besok, Ibu ingin kau menceritakan semuanya, dan jangan pernah membohongi kami lagi. Ayo, Kia," Kirana lantas bangkit, memberikan waktu putri bungsunya untuk berpikir jernih.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Arya akhtar
kayaknya si Nia dulu yang nikah ini
2023-02-16
0
Azzahra Rara
waduhhh,,kebongkar g ya kira"kebusuknya siadam?
2023-02-13
0