Sore dengan gerimis menghiasi, menjadi sebuah pagi yang sibuk bagi seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, Petunia Amarilys namanya. Gadis yang akrab di sapa Nia itu, duduk memangku sebuah laptop di pangkuan, dengan wajah yang kerap kali kehilangan ronanya.
Beberapa pekan terakhir, Nia harus memendam sebuah masalah seorang diri, tanpa tahu kedua orang tua, maupun satu-satunya saudari yang ia miliki, yakni sang kakak. Meski pada akhirnya dirinya harus terluka, namun Nia lebih memilih menikmati luka juga derita seorang diri daripada harus membuat semua keluarga susah.
Bibir wanita muda itu sesekali bergetar, meredam Isak yang menyertai lelehan air mata dari sudut matanya.
"Nia, ayo keluar, Ayah dan Kakakmu sudah menunggumu di ruang tamu sana, sebentar lagi tamunya akan datang," panggil sang ibu, tiba-tiba, Kirana namanya. Wanita bertubuh tambun itu menatap sang putri, dengan secuil curiga, saat melihat Nia mengusap pipinya dengan gerakan cepat.
"Nanti, Bu. Ibu pergilah, sebentar lagi Nia akan menyusul Ibu," ujar Nia dengan suara pelan.
"Kau menangis? Apa yang kau tangisi, sayang?" tanya Kirana menghampiri putrinya, melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa putrinya telah menangis.
"Nia tak apa, Bu. Hanya tertekan dengan tugas kuliah yang tak kunjung usai. Nia ... Nia merasa stress dan kelelahan sebenarnya. Tak apa kan, jika Nia istirahat sebentar?" dusta gadis itu.
Kirana mengerti, dengan prestasi dan juga pencapaian yang banyak di raih oleh sang putri, tentunya bukanlah hal yang mudah. Ada banyak perjuangan, dan ada banyak tekanan yang ia dan sang suami berikan agar kelak putrinya menjadi anak yang sukses.
"Baiklah, tak masalah. Lagi pula, kekasih kakakmu belum datang. Nanti Ibu akan memanggilmu, sayang," jawab Kirana. dengan senyum.
Di tatapnya dengan lekat wajah sang buah hati, putri bungsunya itu begitu cantik dengan wajah berbentuk hati. Dagu berbelah dengan lesung pipit di kedua pipi, dibingkai dengan rahang yang feminim dan tulang pipi tinggi dan bertubuh Ramping.
Bola mata hitam dengan alis hitam berbentuk bulan sabit, disertai dengan hidung mancung, sungguh sebuah kecantikan yang sempurna yang sanggup meluluhkan dan menggetarkan hati kaum Jantan.
"Ibu akan turun dulu, dan memastikan hidangan di dapur hampir siap. Nanti jika calon kakak iparmu datang, Ibu akan panggil Nia. Istirahatlah, tutup laptopnya dan selesaikan nanti tugasnya," perintah Kirana lembut.
Senyum manis keibuan, satu-satunya yang membuat Nia luluh selama ini. Tak lupa, kelembutan sang ibu yang membuat Nia selalu nurut, tak pernah membantah barang sedikit saja akan perintah sang ibu.
"Baiklah, Bu. Terima kasih Ibu sudah mengerti Nia," ungkap Nia dengan senyum.
Kirana berlalu dari kamar sang putri, meninggalkan Nia dengan jejak basah pada setiap sudut matanya. Sungguh, Nia bukanlah gadis sekuat itu untuk bisa meredam sakit hatinya seorang diri.
Kembali terseguk, dalam tangis Nia meraung seorang diri di dalam kamar, usai mengunci pintu selepas kepergian sang Ibu. Tak hanya itu, Nia juga menatap nanar sebuah foto yang senantiasa ia bawa kemanapun ia pergi.
"Kemana kau pergi sebenarnya, mas Adam? Tidakkah kau memiliki kasihan padaku?" tangis Nia pecah.
"Apa aku harus menyeberangi tujuh samudera agar bisa menemukanmu?" Isak mengerikan itu kembali terdengar, begitu pilu dan menyayat hati. Andai waktu dapat di putar, mungkin ini tak akan pernah terjadi.
Lelap adalah salah satu pelarian yang spontan dan tanpa sadar, ketika Nia mengalami stress dan menangis terlalu lama. Ketika sakit membelenggu hati dan tubuhnya, Nia lebih memilih untuk diam dan menikmati kesakitannya seorang diri, menangis sejadinya, hingga gelap menelan dalam ketidaksadaran.
Entah berapa lama Nia terlelap, hingga sebuah ketukan pintu pada kamarnya, terdengar menyusup ke dalam rungu wanita muda itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Nia seraya membuka pintu. Mata gadis itu mengerjapkan beberapa kali, saat menatap Mamanya.
"Kekasih kakakmu datang, dan kamu bangun tidur. Ayo, mandi lagi, dandan yang cantik dan bersiaplah untuk menemui tamu. Pakai dress yang pantas dan jangan terlalu terbuka, nanti Ayah marah," perintah Kirana yang kembali mengunjungi putrinya.
"Baiklah, Bu. Nia akan mandi dan selesai dalam tiga puluh menit. Nanti Nia turun sendiri, tidak usah Ibu menyusul Nia lagi," ungkap Nia kemudian.
"Baiklah, Ibu tunggu di bawah. Dalam waktu satu jam ke depan, kita akan makan malam bersama, jangan terlambat," Ucap Kirana mengingatkan, sebelum berlalu begitu saja dari ambang pintu.
Nia yang tadinya sudah mandi, kini terpaksa harus mandi lagi sebab tertidur. Gadis itu berlalu menuju kamar mandi dengan perasaan yang tiba-tiba tak nyaman.
Nyeri tiba-tiba di bagian dada kiri, dengan denyutan semacam di sengat lebah. Namun, Nia tak boleh menyerah, ia harus bisa bersikap baik dan seolah tidak memiliki masalah apapun.
Hingga mandi Gadis itu telah usai, Nia mengenakan dress berwarna Kuning gading berjenis longgar, dipadu dengan hills berwarna putih tulang, tampak membuat Nia terlihat anggun. Make up tipis ala-ala remaja, membalut wajahnya yang tampak imut. Tahi lalat di bawah sudut bibir kiri, menambah kesan cantik pada wajahnya.
Lantas pintu kamar Nia kembali di ketuk, Nia memutar bola matanya malas.
Padahal sudah aku beritahu mama tadi, mengapa masih menyusul ke kamar? Menyebalkan!Batin gadis itu.
"Bibi Rahmi? Kenapa?" tanya Nia ketika yang mengetuk pintu rupanya adalah Bibi Rahmi, salah satu pembantu rumah Keluarga Abimanyu, ayah Nia.
Bibi Rahmi bekerja pada keluarga Abimanyu, semenjak Nia masih bayi. Awalnya, Bibi Rahmi bekerja sebagai pengasuh Nia saja.
"Ibu meminta saya memanggil non Nia," jawab Bibi Rahmi.
"Nia akan turun, Bi. Bibi duluan saja, Nia akan menyusul. Ini mau pakai parfum dulu," ungkap Nia dengan senyum manis.
Hingga lantas Nia sudah siap, gadis itu lantas turun, menuju ke arah ruang tamu.
Langkah kaki gadis itu mendadak pelan kemudian, ketika rungunya mendengar sayup-sayup suara seseorang yang ia cari selama ini. Lihat, bahkan bulukuduk Nia mendadak berdiri, sebagai reaksi alami.
Empat bulan bagi Nia adalah waktu yang demikian menakjubkan, untuk mencari seseorang ini. Namun ada secuil harapan, bahwa suara yang tengah di dengarnya itu, hanya sekedar suara yang sama dari dua orang yang berbeda. Nia harap, kekasih kakaknya bukanlah Adam.
Sayang seribu sayang, takdir tak berpihak pada Nia. Sepasang mata tajam itu menatap Nia, menampilkan sorot terkejut yang begitu jelas terlihat.
Mendadak Nia kaku di tempatnya, dengan banyak urat-urat kecil pada sekujur tubuhnya, yang menegang. Ada apa ini? Mengapa takdir harus menyakiti makhluk bertubuh mungil seperti Nia?
Kiranya adakah dosa masa lalu Nia, yang membuat Nia harus menerima siksa hingga berakhir derita?
Nia mendadak pucat.
**
Sepasang mata hitam dengan tajam menatap Nia, sanggup meluluh lantakkan sebuah kepercayaan diri gadis itu. Tubuh menegang serta saraf yang terasa berhenti berfungsi, membuat Nia berdiri layaknya biri-biri bodoh. Gadis itu nyaris saja kehilangan kendali dirinya, andai tidak ada Ibu dan Ayahnya disana.
Jadi, prasangka dan harapan Nia mendadak musnah, seiring dengan fakta yang tersaji di depan mata. Inilah hidup, inilah kejamnya semesta yang kerap kali meletakkan Nia pada posisi yang sulit dan menyakitkan.
Andai Nia tak meneruskan langkah dan memilih untuk berbalik saja tadi, Nia akan terselamatkan dan tak akan lagi menemui lelaki itu. Lelaki sialan yang memberinya duka selama empat bulan ini.
Empat bulan lamanya, Nia mencari lelaki berperawakan gagah lagi dewasa itu. Namun, ketika mendapati lelaki itu datang sendiri ke rumahnya, memperkenalkan diri sebagai calon suami kakaknya, Zaskia Kenanga, atau yang akrab disapa Kia, Nia tak lagi memiliki keinginan untuk menemui lelaki itu.
Sejuta luka, selaksa kecewa, dan seonggok hati penuh sesal, berada secara kasat mata membelenggu Nia hingga Nia tak mampu meski sekadar untuk bergerak. Cinta yang selama ini begitu ia pegang teguh, terpaksa harus runtuh seiring dengan harapan yang demikian sia-sia.
Jangan tanya semerana apa gadis itu, nyatanya semua fokus dunianya, kini telah menjauh darinya, dan bahkan memberi luka dengan cara melamar kakaknya sendiri.
"Nia, kenapa bengong? Ayo sini, kenalkan, ini Billy, calon tunangan kakakmu. Adam Billy Hutama," ujar Abimanyu, Ayah Nia dan Kia.
"Eh, i-iya, Yah," jawab Nia kemudian. Langkahnya terasa berat, dan Nia nyaris ambruk saat itu juga, andai Kirana tak menuntunnya mendekat pada Billy.
Sekujur tubuh Nia terasa Tremor, meski ia sekuat tenaga berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Baik Kirana maupun Abimanyu, mereka mendadak bingung, dibuat bertanya-tanya, mengapa Nia mendadak aneh begini.
"Nia, Kau baik-baik saja?" tanya Kirana, "atau kau mau kembali istirahat saja dan kepalamu masih pening?" sambung Kirana lagi.
"Nia baik-baik saja, Bu. Nia, em ... Nia tak apa-apa," ungkap Nia tenang dengan mata berkaca-kaca.
"Kalau kau baik-baik saja, kau tak akan begini, Nia. Istirahat saja, itu tak masalah. Yang penting kau sudah mengenal calon Kakak iparmu," Kia bersuara.
"Baiklah, Kak. Aku akan istirahat. Maaf untuk semuanya, Nia kurang enak badan sebenarnya," ujar gadis itu dengan nada tidak enak.
"Tak apa. Istirahatlah. Ayah akan panggilkan dokter Maria nanti," ujar Abimanyu.
Wajah Nia kian memucat. Ketika nama dokter keluarga di sebutkan, gadis itu semakin menegang di tempatnya. Membayangkan rahasianya terbongkar, Nia memprediksi riwayatnya akan tamat saat itu juga. Ada sesuatu yang begitu besar, yang Nia sembunyikan Ndaru semua orang.
"Tidak perlu, Yah," sahut Nia dengan cepat, seraya meremas ujung dressnya, "Nia baik-baik saja. Hanya kelelahan dan butuh istirahat. Nanti juga ... Nia pasti sembuh," tambahnya lagi.
"Baiklah, Nia. Lanjutkan istirahat saja. Kalau kakak tahu bahwa kau sakit, kakak tak akan memaksa Ibu untuk memanggilkan mu," ujar Kia menimpali dengan senyum tulus.
Dua putri Abimanyu itu, bahkan tidak pernah saling dendam dan bertengkar hebat selama ini. Hanya perdebatan-perdebatan Kecil yang selama ini mewarnai persaudaraan keduanya, dan hal itu terbilang sangat wajar.
"Terima kasih, Kak. Maaf, Nia pamit dulu," timpal gadis itu sambil menunduk sejenak, "Sekali lagi Nia minta, tidak usah panggil Dokter Maria, Nia akan baik-baik saja nanti selepas bangun tidur," tambahnya penuh permohonan.
Putri bungsu Abimanyu itu berlalu dari sana, meninggalkan ruang tamu yang terasa panas bagi seorang Billy, Adam Billy Hutama yang memperkenalkan diri sebagai calon suami Zaskia Kenanga itu.
Lelaki itu begitu santai dan tenang di tempatnya, tanpa terlihat mencurigakan sama sekali di mata Abimanyu, Kirana, maupun Kia. Sebenarnya bila di tatap lebih intens, ada banyak kilat emosi yang rumit tampak pada matanya.
Empat bulan lalu, ia memutuskan untuk serius dan tak lagi memberi harap pada gadis yang baru saja berlalu itu, dengan alasan ia sudah terlalu dewasa dan enggan bermain-main lagi. Namun, pria dewasa yang telah berusia dua puluh delapan tahun itu, entah mengapa masih memiliki getaran rasa pada gadis itu, meski ia telah empat bulan meninggalkannya tanpa pamit.
Ada banyak cerita, ada banyak kisah yang telah Adam lalui bersama Petunia, si pemilik mata indah menghanyutkan penuh pesona itu. Sayangnya di mata Adam, Nia terlalu kekanakan dan terlalu polos pada kehidupan dewasa. Sangat jauh berbeda dengan kriteria calon istri yang adam idamkan.
Lain Nia lain lagi dengan Zaskia, wanita dewasa berkarir bagus di dunia kecantikan. Wanita itu begitu lihai membuat Adam terpikat. Selain memiliki paras yang cantik menawan, Kia tentu memiliki kelebihan lebih dewasa dari Nia. Secara umur saja, usia Kia berada lima tahun diatas Nia.
Semenjak bertemu dengan Kia, Adam merasa jatuh cinta pada gadis itu. Empat bulan adalah waktu yang cukup bagi Adam, untuk mempertimbangkan pada siapa dirinya akan melabuhkan cinta yang sesungguhnya.
"Jadi bagaimana, Kia? Apa kau juga sudah siap, andai nanti nak Billy datang kemari bersama keluarganya untuk melamar dirimu?" tanya Abi menatap sepasang kekasih yang kini duduk bersisian.
"Kia sudah mantap dengan mas Billy, Ayah. Lagi pula, kami sudah berusia matang dan sangat pantas bila harus maju ke jenjang pernikahan," jawab Kita yakin.
"Baiklah, jika begitu, Ayah rasa tinggal menunggu kedatangan keluarga nak Billy saja, untuk membicarakan kapan kiranya acara pertunangan akan di gelar," sahut Abi dengan mata berbinar.
Namun tidak dengan Kirana yang sejak tadi hanya menikmati diam. wanita itu seolah tidak peduli dengan apa yang diperbincangkan oleh anak dan suaminya.
Ada selaksa kecewa yang terlihat sekilas pada sorot mata putrinya. Sebagai Ibu yang sangat menyayangi dan mencintai putrinya, Kirana memiliki ikatan batin yang kuat dengan Nia. Ada sesuatu yang mencurigakan yang entah itu apa, hingga membuat Nia enggan bertahan lebih lama di dalam ruang tamu.
"Saya akan bicarakan dengan keluarga saya, tentang tanggalnya, Om Abi," Adam bersuara tegas, dengan gurat ketampanan yang begitu langka, membuat Kia terpikat.
Rahang yang tegas dengan karakter wajah yang tegas, mustahil ada wanita yang sanggup menolak pesona lelaki itu. Bibir yang tebal sensual, mata yang tajam menghunus lawan, alis tebal penuh ketegasan, juga tulang pipi yang tinggi, siapa kiranya yang sanggup menampik pesona lelaki itu?
Bahkan Nia saja sampai lupa diri, ketika tengah bersama dengan Adam.
Sayang seribu sayang, ketampanan bukanlah hal utama untuk menjamin tanggung jawab seseorang. Ada banyak cacat cela yang telah Adam lakukan terhadap putri bungsu Abimanyu itu, termasuk mengelabui Nia, Petunia Amarilys. Gadis yang cantiknya sanggup mengalahkan bunga Petunia.
**
Jemari lentik Petunia menggenggam sebuah gelas kristal berharga mahal. Kutek merah darah yang kini tengah menghiasi kukunya, membuat kulit Nia terlihat semakin pucat, seolah tanpa darah.
Berjuta pertanyaan yang berbuntut penyesalan, kini seolah bagaikan lebah yang berdengung mengitari kepala Nia. Tanya-tanya itu menuntut jawab atas sikap Adam yang seolah tidak mengenalnya, padahal selama ini Adam adalah orang yang terbilang paling dekat dengan Nia di kampus.
"Nia, sejak kapan kau suka tempat ini?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiri Nia. Pandangan lelaki itu mengedar, mengamati tempat sepi yang saat ini menjadi pilihan Nia, disusul oleh seorang gadis yang juga menjadi teman Nia.
Menurut lelaki itu, selama ini Nia tak pernah menyukai keheningan seperti ini.
Mata Nia beralih menatap pemilik suara itu, "sejak saat ini, mungkin," jawab Nia.
Farel dan Tika duduk mengapit Nia, memberikan pelukan terhangat mereka. Kedua sahabat Nia itulah, mereka yang tahu sejarah hubungan Adam dan Nia selama ini. Tapi kasih yang terjalin antara dosen dan mahasiswinya itu, menyisakan kenangan yang berhasil membuat Nia nyaris gila.
"Nia, kami tahu kau sedang patah hati dan mencari keberadaan pak Adam selama ini. Tetapi aku tak pernah menemukan sorot kesedihan yang sangat dalam begini. Ada apa?" tanya Tika, mengusap air mata Nia yang kembali luruh setiap waktu.
"Kalian tahu? Mas Adam kembali," ungkap Nia.
"Lantas?" Farel bersuara.
"Dia datang dengan nama panggilan barunya, Billy, sebagai tunangan kak Kia," jawab Nia dengan memejamkan mata. Sorotnya menampilkan kepasrahan.
"Aku bingung harus bagaimana. Jika aku jujur padanya tentang kehamilanku, lantas bagaimana dengan kebahagiaan kak Kia?"
Tika dan Farel menggelengkan kepalanya secara kompak. Seujung rasa yang selama ini dimiliki Nia, tak juga sampai pada lelaki tak bertanggung jawab.
Selepas kesalahan satu malam yang membuat Nia dan Adam sama-sama kecanduan, kini rupanya membuahkan hasil terciptanya makhluk mungil tak berdosa. Jangan tanya bagaimana Nia menyembunyikan perutnya yang mulai membuncit, bahkan ia selalu mengenakan pakaian longgar di depan keluarganya, itu cukup membuat semua orang bertanya-tanya.
"Egoislah sedikit, Nia. Ini demi anak kalian. Katakan yang sejujurnya pada pak Adam, kalau kau sedang mengandung anaknya. Jika masalah perasaan kak Kia, kurasa itu tak jadi masalah besar dan kak Kia bisa mencari lelaki lain seiring berjalannya waktu nanti," Tika mengungkap pendapatnya.
"Tidak bisa, Tika. Aku tak ingin membuat kak Kia tersiksa karena harus melihatku yang bersanding dengan Mas Adam sebagai istrinya. Kak Kia satu-satunya saudari yang aku miliki. Aku tak mungkin menyakiti hatinya sebagai orang ketiga diantara Kak Kia dan Mas Adam," jawab Nia.
"Bodoh," Farel tiba-tiba mengumpat kebodohan Nia yang terlalu baik, "Nanti jika kau mengalah dari saudari dan si brengsek itu, kau akan menyaksikan anakmu bertanya selalu dimana Ayahnya? Kau rela menukar kebahagiaan anakmu dengan kebahagiaan si buaya itu? Sadarlah, Nia. Bayimu lebih layak bahagia daripada Adam!" seru Farel tak terima.
Pemuda itu bangkit, menatap tajam nia dan berdiri seraya bersandar pada sebuah tiang lampu taman di area kampus. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Nia. Nia memang wanita yang baik, tetapi siapa yang menduga, bahwa kebaikannya bahkan beda tipis dengan kebodohan.
"Apa yang di ucapkan Farel benar, Nia. Kau tak harus mengorbankan semuanya. Lagi pula, apa yang akan kau katakan nanti pada Om Abi dan Tante Kirana, setelah mereka tahu tentang kehamilanmu? Astaga, oh ayolah, Nia. Pak Adam akan tepuk tangan setelah kau bebaskan dia dari tanggung jawabnya," tambah Tika yang mengusap bahu Nia yang bergetar.
"Tapi kak Kia, aku tak bisa menghancurkan kebahagiaannya. Kak Kia selalu berkorban untuk kebahagiaanku, mungkin inilah saatnya, aku harus membalas pengorbanannya selama ini," ungkap Nia jujur.
"Astaga, kau ini memang sulit di beritahu, Nia. Terserah kau saja," Tika bersuara, seraya menghembuskan napasnya lelah. Nia memang selalu begini setiap saat, lebih mengutamakan kebahagiaan orang lain dibanding kebahagiaan diri sendiri.
"Aku akan menikahimu untuk menutup aib, Nia. Jika memang kau tak ingin merusak kebahagiaan si brengsek itu bersama Kak Kia, mari kita menikah dan aku akan menyayangi anakmu seperti anakku sendiri," ujar farel penuh kesungguhan.
Bak sebuah bom yang jatuh tepat diatas kepala Nia. Gadis itu berani bertaruh, jika ini adalah mimpi. Sayangnya, Farel bukanlah pemuda yang akan berani bermain dengan kata-kata.
Lelaki yang kini menatap sendu Nia itu, sudah membulatkan tekad, bahwa ia ingin Nia bahagia dan kembali tersenyum. Tak akan ia biarkan banyak rentetan luka yang akan membelenggu gadis itu.
"Jangan bermain kata-kata, Farel. Kau tak boleh begini. Masa depanmu masih panjang," jawab Nia seraya menghapus air matanya dengan menggunakan tissue.
"Kau tahu sejak dulu Farel tak pernah bermain kata, Nia," sambung Tika yang juga sedikit syok, "jika itu yang terbaik, lakukan saja," ungkap Tika lagi.
Nia bingung, memutar kepala ke kanan dan ke kiri, kiranya takut jika ada yang mendengar.
"Biar aku pikirkan saja dulu, Farel. Aku tak mau mengambil keputusan sepihak dengan cara begini dan dalam situasi begini," jawab Nia yang tak mau gegabah. Ada segurat lelah yang tampak di wajah ayunya. Sayangnya, keluarganya tak satupun yang menyadari hal ini.
Nia terlalu pandai dalam menyembunyikan perasannya. Ilmu kontrol dirinya terkendali dengan baik.
"Harusnya Mas Adam datang selepas menemui Ibu dan Ayah, bertanya kabarku dan meminta maaf atas kesalahannya yang telah pergi tanpa kabar. Alih-alih datang, dia justru semakin menghilang, dengan cara memblokir seluruh media komunikasi. Baik WhatsApp, Instagram dan sebagainya, dia memblokir ku semalam. Aku tidak tahu, apa salahku sampai dia tega begini padaku," Tambah Nia dengan kepala menunduk.
Nia tak mau menangis terlalu lama, hingga mengakibatkan keluarganya curiga dengan wajah bengkaknya nanti.
Angin berhembus kencang, membuat anak rambut Nia yang disanggul ke atas, beterbangan. Farel hanya bisa mengamati, dengan rasa iba yang begitu dalam.
"Nia, aku harap kau tak terlalu lama memikirkan semua ini. Aku harap kau bisa mengerti, mengapa aku menawarkan diri untuk menikahimu," ujar Farel sambil berlalu pergi. Hingga Nia memutuskan untuk pulang saja, dan tak lagi berminat untuk melanjutkan mata kuliah berikutnya.
Sepanjang perjalanan, Nia melamun di dalam mobil keluarganya. Sopir yang ditugaskan untuk mengantar jemput Nia selama ini, sudah merasakan kecurigaan cukup lama.
Setibanya di rumah, harusnya Nia segera beristirahat dan memikirkan, kiranya apa keputusan yang pantas untuk masa depan kehamilannya. Alih-alih istirahat, Nia justru di buat semakin tercengang akan pemandangan yang tersaji di dalam ruang tamu.
Kia dan Adam bercanda gurau, di depan mata Nia, mengakibatkan sakit di hati Nia kian terasa di tabur garam. Sungguh, Nia tak sanggup bila harus memandangi ini semua.
"Nia, sejak kapan datang? Ayo masuk," sambut Kia yang bangkit dan menghampiri adik kesayangannya. Senyum wanita itu merekah indah, dan tidak mampu menyembunyikan rona bahagia.
"Baru saja, Kak. Terima kasih, aku tidak mau mengganggu waktu kakak dan kekasih Kakak," jawab Nia, menekan ujung kalimatnya untuk menyindir Adam.
Sayang seribu sayang, Adam tak terpengaruh dan tak terprovokasi sama sekali dalam hal ini. Terbukti akan sikapnya yang hanya diam.
"Jangan begitu. Semalam kau tak sempat menjabat tangan Billy, ayo, biar Kakak kenalkan agar kalian dekat," ungkap Kia.
"Maaf kak, Nia rasa tidak usah. Lanjutkan saja berbincangnya. Lagi pula, dia dan Nia sudah saling mengenal satu sama lain. Kakak tak mungkin tidak di beritahu olehnya, jika dia terakhir mengajar di kampusku, empat bulan lalu. Dia mantan dosenku," jawab Nia seraya berlalu pergi, meninggalkan Kia yang mengerutkan alisnya.
Kia tak mengerti, mengapa sikap Nia berubah dingin begini padanya.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!