Jemari lentik Petunia menggenggam sebuah gelas kristal berharga mahal. Kutek merah darah yang kini tengah menghiasi kukunya, membuat kulit Nia terlihat semakin pucat, seolah tanpa darah.
Berjuta pertanyaan yang berbuntut penyesalan, kini seolah bagaikan lebah yang berdengung mengitari kepala Nia. Tanya-tanya itu menuntut jawab atas sikap Adam yang seolah tidak mengenalnya, padahal selama ini Adam adalah orang yang terbilang paling dekat dengan Nia di kampus.
"Nia, sejak kapan kau suka tempat ini?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiri Nia. Pandangan lelaki itu mengedar, mengamati tempat sepi yang saat ini menjadi pilihan Nia, disusul oleh seorang gadis yang juga menjadi teman Nia.
Menurut lelaki itu, selama ini Nia tak pernah menyukai keheningan seperti ini.
Mata Nia beralih menatap pemilik suara itu, "sejak saat ini, mungkin," jawab Nia.
Farel dan Tika duduk mengapit Nia, memberikan pelukan terhangat mereka. Kedua sahabat Nia itulah, mereka yang tahu sejarah hubungan Adam dan Nia selama ini. Tapi kasih yang terjalin antara dosen dan mahasiswinya itu, menyisakan kenangan yang berhasil membuat Nia nyaris gila.
"Nia, kami tahu kau sedang patah hati dan mencari keberadaan pak Adam selama ini. Tetapi aku tak pernah menemukan sorot kesedihan yang sangat dalam begini. Ada apa?" tanya Tika, mengusap air mata Nia yang kembali luruh setiap waktu.
"Kalian tahu? Mas Adam kembali," ungkap Nia.
"Lantas?" Farel bersuara.
"Dia datang dengan nama panggilan barunya, Billy, sebagai tunangan kak Kia," jawab Nia dengan memejamkan mata. Sorotnya menampilkan kepasrahan.
"Aku bingung harus bagaimana. Jika aku jujur padanya tentang kehamilanku, lantas bagaimana dengan kebahagiaan kak Kia?"
Tika dan Farel menggelengkan kepalanya secara kompak. Seujung rasa yang selama ini dimiliki Nia, tak juga sampai pada lelaki tak bertanggung jawab.
Selepas kesalahan satu malam yang membuat Nia dan Adam sama-sama kecanduan, kini rupanya membuahkan hasil terciptanya makhluk mungil tak berdosa. Jangan tanya bagaimana Nia menyembunyikan perutnya yang mulai membuncit, bahkan ia selalu mengenakan pakaian longgar di depan keluarganya, itu cukup membuat semua orang bertanya-tanya.
"Egoislah sedikit, Nia. Ini demi anak kalian. Katakan yang sejujurnya pada pak Adam, kalau kau sedang mengandung anaknya. Jika masalah perasaan kak Kia, kurasa itu tak jadi masalah besar dan kak Kia bisa mencari lelaki lain seiring berjalannya waktu nanti," Tika mengungkap pendapatnya.
"Tidak bisa, Tika. Aku tak ingin membuat kak Kia tersiksa karena harus melihatku yang bersanding dengan Mas Adam sebagai istrinya. Kak Kia satu-satunya saudari yang aku miliki. Aku tak mungkin menyakiti hatinya sebagai orang ketiga diantara Kak Kia dan Mas Adam," jawab Nia.
"Bodoh," Farel tiba-tiba mengumpat kebodohan Nia yang terlalu baik, "Nanti jika kau mengalah dari saudari dan si brengsek itu, kau akan menyaksikan anakmu bertanya selalu dimana Ayahnya? Kau rela menukar kebahagiaan anakmu dengan kebahagiaan si buaya itu? Sadarlah, Nia. Bayimu lebih layak bahagia daripada Adam!" seru Farel tak terima.
Pemuda itu bangkit, menatap tajam nia dan berdiri seraya bersandar pada sebuah tiang lampu taman di area kampus. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Nia. Nia memang wanita yang baik, tetapi siapa yang menduga, bahwa kebaikannya bahkan beda tipis dengan kebodohan.
"Apa yang di ucapkan Farel benar, Nia. Kau tak harus mengorbankan semuanya. Lagi pula, apa yang akan kau katakan nanti pada Om Abi dan Tante Kirana, setelah mereka tahu tentang kehamilanmu? Astaga, oh ayolah, Nia. Pak Adam akan tepuk tangan setelah kau bebaskan dia dari tanggung jawabnya," tambah Tika yang mengusap bahu Nia yang bergetar.
"Tapi kak Kia, aku tak bisa menghancurkan kebahagiaannya. Kak Kia selalu berkorban untuk kebahagiaanku, mungkin inilah saatnya, aku harus membalas pengorbanannya selama ini," ungkap Nia jujur.
"Astaga, kau ini memang sulit di beritahu, Nia. Terserah kau saja," Tika bersuara, seraya menghembuskan napasnya lelah. Nia memang selalu begini setiap saat, lebih mengutamakan kebahagiaan orang lain dibanding kebahagiaan diri sendiri.
"Aku akan menikahimu untuk menutup aib, Nia. Jika memang kau tak ingin merusak kebahagiaan si brengsek itu bersama Kak Kia, mari kita menikah dan aku akan menyayangi anakmu seperti anakku sendiri," ujar farel penuh kesungguhan.
Bak sebuah bom yang jatuh tepat diatas kepala Nia. Gadis itu berani bertaruh, jika ini adalah mimpi. Sayangnya, Farel bukanlah pemuda yang akan berani bermain dengan kata-kata.
Lelaki yang kini menatap sendu Nia itu, sudah membulatkan tekad, bahwa ia ingin Nia bahagia dan kembali tersenyum. Tak akan ia biarkan banyak rentetan luka yang akan membelenggu gadis itu.
"Jangan bermain kata-kata, Farel. Kau tak boleh begini. Masa depanmu masih panjang," jawab Nia seraya menghapus air matanya dengan menggunakan tissue.
"Kau tahu sejak dulu Farel tak pernah bermain kata, Nia," sambung Tika yang juga sedikit syok, "jika itu yang terbaik, lakukan saja," ungkap Tika lagi.
Nia bingung, memutar kepala ke kanan dan ke kiri, kiranya takut jika ada yang mendengar.
"Biar aku pikirkan saja dulu, Farel. Aku tak mau mengambil keputusan sepihak dengan cara begini dan dalam situasi begini," jawab Nia yang tak mau gegabah. Ada segurat lelah yang tampak di wajah ayunya. Sayangnya, keluarganya tak satupun yang menyadari hal ini.
Nia terlalu pandai dalam menyembunyikan perasannya. Ilmu kontrol dirinya terkendali dengan baik.
"Harusnya Mas Adam datang selepas menemui Ibu dan Ayah, bertanya kabarku dan meminta maaf atas kesalahannya yang telah pergi tanpa kabar. Alih-alih datang, dia justru semakin menghilang, dengan cara memblokir seluruh media komunikasi. Baik WhatsApp, Instagram dan sebagainya, dia memblokir ku semalam. Aku tidak tahu, apa salahku sampai dia tega begini padaku," Tambah Nia dengan kepala menunduk.
Nia tak mau menangis terlalu lama, hingga mengakibatkan keluarganya curiga dengan wajah bengkaknya nanti.
Angin berhembus kencang, membuat anak rambut Nia yang disanggul ke atas, beterbangan. Farel hanya bisa mengamati, dengan rasa iba yang begitu dalam.
"Nia, aku harap kau tak terlalu lama memikirkan semua ini. Aku harap kau bisa mengerti, mengapa aku menawarkan diri untuk menikahimu," ujar Farel sambil berlalu pergi. Hingga Nia memutuskan untuk pulang saja, dan tak lagi berminat untuk melanjutkan mata kuliah berikutnya.
Sepanjang perjalanan, Nia melamun di dalam mobil keluarganya. Sopir yang ditugaskan untuk mengantar jemput Nia selama ini, sudah merasakan kecurigaan cukup lama.
Setibanya di rumah, harusnya Nia segera beristirahat dan memikirkan, kiranya apa keputusan yang pantas untuk masa depan kehamilannya. Alih-alih istirahat, Nia justru di buat semakin tercengang akan pemandangan yang tersaji di dalam ruang tamu.
Kia dan Adam bercanda gurau, di depan mata Nia, mengakibatkan sakit di hati Nia kian terasa di tabur garam. Sungguh, Nia tak sanggup bila harus memandangi ini semua.
"Nia, sejak kapan datang? Ayo masuk," sambut Kia yang bangkit dan menghampiri adik kesayangannya. Senyum wanita itu merekah indah, dan tidak mampu menyembunyikan rona bahagia.
"Baru saja, Kak. Terima kasih, aku tidak mau mengganggu waktu kakak dan kekasih Kakak," jawab Nia, menekan ujung kalimatnya untuk menyindir Adam.
Sayang seribu sayang, Adam tak terpengaruh dan tak terprovokasi sama sekali dalam hal ini. Terbukti akan sikapnya yang hanya diam.
"Jangan begitu. Semalam kau tak sempat menjabat tangan Billy, ayo, biar Kakak kenalkan agar kalian dekat," ungkap Kia.
"Maaf kak, Nia rasa tidak usah. Lanjutkan saja berbincangnya. Lagi pula, dia dan Nia sudah saling mengenal satu sama lain. Kakak tak mungkin tidak di beritahu olehnya, jika dia terakhir mengajar di kampusku, empat bulan lalu. Dia mantan dosenku," jawab Nia seraya berlalu pergi, meninggalkan Kia yang mengerutkan alisnya.
Kia tak mengerti, mengapa sikap Nia berubah dingin begini padanya.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Arya akhtar
ngikut sek maraton baca
2023-02-16
0
Vera Mahardika
laki laki pengecut.
2023-02-10
2