Keheningan mendadak datang menyelimuti kedua insan sepasang kekasih yang tengah di mabuk asmara itu. Ruang tamu yang tadinya penuh dengan kehangatan, kini mendadak jadi lebih hening, menyisakan kebisuan selepas kepergian Petunia Amarilys.
Ada banyak tanya yang membuat Kia terpaku, menatap kepergian sang adik yang tampak lunglai tak berdaya entah karena apa.
"Benarkah kau dan Nia sudah saling mengenal, Billy?" tanya Kia penasaran, "Kenapa semalam tak bercerita?" tanya Kia untuk memastikan apa yang dikatakan adiknya itu, hanyalah salah dengar baginya.
Gadis itu melangkah menuju ke sofa dekat dengan Adam, duduk disana seraya menatap intens kekasihnya itu.
"Aku rasa itu tak begitu penting, bukan?" tanya Adam seraya tersenyum.
"Kurasa dia menyukaimu, sorot matanya terlihat," Kia menatap Adam dan menghampiri kekasihnya itu.
"Di kampus memang tak hanya satu atau dua orang yang menyukai aku, termasuk mahasiswi, jadi jangan pikirkan itu," sahut Adam kemudian.
Tiba-tiba, sebuah rasa bersalah menghantam hati Adam seketika, tak membiarkan Adam tenang. Memang terlihat, siapapun yang melihat tingkah Nia, sudah pasti akan menaruh curiga yang serupa dengan Kia. Hanya saja, Adam terlalu munafik saat ini.
"Aku akan bicarakan nanti dengan Nia. Aku khawatir ia tak setuju jika kita menikah segera, karena dia menyukaimu. Perasaannya tak mungkin aku abaikan begitu saja," sahut Kia.
Sebagai seorang gadis yang hanya memiliki satu saudari yang paling ia cintai, tak mungkin Kia mengarungi kebahagiaan diatas luka sang adik. Terlebih, jika itu harus mengorbankan cinta. Rasa setia dalam kekeluargaan, tak mungkin akan membuat Kia berpikir panjang bila ia harus mengubur cinta. Baginya, Nia adalah segalanya untuknya.
"Jadi, hubungan kita bahkan tidak penting bila di bandingkan dengan Nia?" tanya Adam seraya menatap tajam Kia.
"Jadi, Nia menyukaimu itu benar?" bukannya menjawab, Kia justru balik melempar tanya.
"Benar atau tidak, tapi aku sukanya padamu, kemantapan hatiku untuk meminang dirimu, jangan kau ragukan lagi," tegas Adam, "kita sudah melangkah sejauh ini, keluargaku pun besok malam akan datang, jadi, jangan mengorbankan cintaku hanya karena cinta monyet Nia yang masih kecil," tambah Adam.
Kia mengerjapkan matanya perlahan, menganggap bahwa apa yang di katakan Billy-nya memang benar.
"Baiklah, aku mengerti. Nanti, biar aku tegaskan pada Nia, tentang pernikahan kita. Kalau bisa, jangan menundanya lagi agar tak terlalu lama," Kia tersenyum bahagia.
Sementara di ujung tangga sana, Nia tertunduk dengan duduk pada anak tangga, mendengar dengan seksama apa yang dikatakan oleh Kakak dan calon Kakak iparnya itu.
Sungguh pedih rasanya, mendengar kenyataan ucapan Adam yang demikian menganggap dirinya tak lebih penting dari hubungannya bersama Kia. Adakah yang bisa memberikan Nia solusi dari semua perkara yang menimpanya?
Nia membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangan agar tangisnya tak terdengar, merangkak menaiki tangga sekuat tenaga, hanya agar Adam maupun kakaknya tak melihatnya. Nia tak ingin merebut pujaan hati sang Kakak, sekalipun dirinya sendiri harus mengorbankan sesuatu yang besar.
Nia mendengar sendiri, kakaknya lebih menyayanginya dari apapun, rela menukar cintanya hanya demi kebahagiaannya. Hanya Adam yang bajingan disini. Sial, Nia sudah salah sebab menaruh hati pada mantan dosennya itu.
Setibanya di kamar, Nia kacau. Pikiran wanita yang sudah tidak gadis lagi itu, tengah buntu dalam kegelapan. Ia tak tahu harus melangkah kemana untuk melanjutkan hidupnya. Air matanya rumah ruah menganak sungai, seiring dengan petir menyambar setiap sudut hatinya, ketika mengingat kalimat demi kalimat yang muncul dari mulut Adam.
Dalam kondisi marah bercampur kecewa yang tak terlampiaskan, Nia memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Farel. Pikirnya, menerima tawaran Farel tak buruk. Menunggu Adam hanyalah sebuah sikap yang serupa ingin memeluk bulan, tak mungkin dapat dirinya lakukan.
"Farel, kau dimana?" tanya Nia dengan suara parau, khas orang yang menangis.
"Aku baru pulang dari kampus, ini masih ada di area parkir. Kau kemana? Dan juga kenapa menangis? Ini adalah kali pertama kau kabur dari mata kuliah. Kau baik-baik saja?" Tanya Farel di seberang sana.
"Aku tak baik. Kurasa, aku perlu bantuanmu. Aku siap menerima tawaranmu. Nikahi aku hingga anakku lahir, dan kau bisa bebas mencari wanita lain untuk jadi pendamping hidupmu, setelah anakku lahir. Maaf jika aku harus merepotkan dirimu sekitar setengah tahun ke depan," ungkap Nia kemudian, masih sesenggukan dalam tangis.
Tak ada balasan suara dari seberang sana. Nia yang benar-benar kalut selepas dengan apa yang ia dengar dari mulut Adam sendiri.
"Baiklah jika begitu. Aku akan bicara dengan orang tuaku. Jika Om Abi dan Tante Kirana bertanya, katakan jika itu anakku. Ingat, Nia, jangan biarkan lelaki bajingan lagi brengsek itu menyentuh anakmu. Ingat, dia tidak bertanggung jawab."
Ujar Farel menyahuti.
"Baiklah, Terima kasih banyak, Rel," ungkap Nia kemudian. Panggilan terputus kemudian.
Jadi, hanya cinta monyet?
Nia tersenyum getir seraya membatin. Apa yang ia rasakan, ketulusan yang ia berikan, dan cinta kasih yang ia persembahkan, tak juga mampu membuat lelaki itu membuka mata dan hatinya. Tak hanya itu, lelaki itu memang benar-benar telah memanfaatkan kemurnian dan kepolosan si bunga.
Selepas menikmati dan menyesap sari madunya, si kumbang sialan itu pergi, menyisakan kelayuan dan penderita panjang bagi si Petunia yang cantik jelita.
Sungguh miris dalam derita, bunga Petunia yang cantik lagi memikat kumbang, akhirnya merasa layu tanpa dipedulikan. Semua yang ia harapkan, tak lebih dari sekadar mimpi belaka. Cinta yang ia pikir akan menjadi surga, nyatanya tak lebih dari sekadar neraka.
Tak ingin larut, Nia lantas bangkit, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Berapa lama di dalam kamar, tak juga membuat bayangan Adam musnah.
Sweater putih dengan celana katun berukuran longgar menjadi pilihannya. Nia perlu pergi keluar, sekadar untuk menyegarkan pikiran. Tanpa bedak, Nia hanya memoleskan krim pelembab pada wajah ayunya.
"Nia, mau kemana? Kau terlihat pucat," ujar Kia dengan suara lembut.
Beda dari sepulang Nia tadi, kali ini semakin terlihat pucat, terlebih Nia tak memoleskan perona bibir. Mata gadis itu juga sembab, serta hidung yang memerah.
"Mau jalan-jalan sebentar, Kak," jawab Nia pelan.
Meski tampak tegar, namun isi hati gadis itu sudah lebur. Terlebih, lelaki itu masih berada di dalam ruang tamu.
"Mau cari apa? Disini saja dulu, ayo mengobrol dengan Kakak," ajak Kia menghampiri Nia.
Namun yang ada, lihatlah, Nia mundur dua langkah, sebagai tanda tak ingin disentuh oleh siapapun.
"Tidak, Kak, terima kasih. Nia ingin makan bakso di dekat lampu merah sana. Kakak lanjutkan saja mengobrolnya," jawab Nia, melangkah lebih cepat dan tak bersedia berkontak fisik sedikitpun dengan Kia.
Di sofa, Adam berusaha menghalau sesak di dadanya, sesak yang tak pasti karena apa. Namun, melihat Nia yang begitu kacau, yakin sekali Adam, jika memang ada sesuatu yang disembunyikan Nia, selain kisah malam panas yang dilakukan bersamanya.
Namun, apa itu yang Nia sembunyikan? Adam merasa penasaran dan perlu mencari tahu.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Vera Mahardika
ayo adam cari tau. aku harap kamu srgera tau. tapi jgn harap bisa bersama nia. biar rasa penyesalan menyoksa dan menggerogoti jiwa mu. percuma seandainya km mau bertanggung jawab juga tetap aja nashab anak mu tidak akan jatuh padamu. tetap anak kalian cm milik petunia. masih ada aja laki modelan si adam beler
2023-02-12
0