Bisakah Menjadi Kita?
Ashana ikut menundukkan kepalanya saat yang lain menundukkan kepalanya. Wanita itu sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan si kejam Achazia. Mengingat nama pria itu membuat Ashana memutar kedua bola matanya.
"Selamat pagi Pak.." Sapa para karyawan termasuk Ashana. Wanita itu melirik Achazia yang berjalan dengan gaya angkuh seperti biasa. Ia mencibir, memangnya dia siapa? Ah iya, Ashana lupa, dia kan direktur.
"Ashana!"
Ashana terlonjak kaget. Wanita itu menatap Andini yang berdiri tepat di sebelahnya.
"Aku masih di sampingmu Andini! Tidak perlu berteriak!" Kesalnya.
Andini memutar kedua bola matanya. "Kalau saja kamu merespon saat aku memanggilmu aku tidak akan berteriak." Balas wanita itu.
"Ada apa?" Tanya Ashana. Karyawan-karyawan yang tadi berbaris untuk menyapa Achazia kini sudah bubar. Kembali ke pekerjaannya masing-masing.
Ashana menghela napas. "Kamu tidak mau kembali ke tugasmu? Apa jangan-jangan kamu sudah terpesona oleh ketampanan direktur kita?" Ucap wanita itu karena sedari tadi Ashana terus melirik Achazia sampai menghilang di telan jarak.
Ashana menatap Andini horor. "Aku? Terpesona padanya? Mustahil!" Ucap wanita itu kemudian berjalan pergi meninggalkan Andini untuk mengurus pekerjaannya.
Andini menatap kepergian Ashana di sertai kedua bahunya yang di naikkan. "Siapa tau kan?" Wanita itu kemudian kembali untuk mengerjakan tugasnya.
*****
"Caramel macchiato satu."
"Baik mbak. Sedang di proses."
Ashana mengeluarkan ponselnya sambil menunggu pesanannya selesai di buat. Entah kenapa tiba-tiba tenggorokannya kering. Jadi ia memilih membeli minuman untuk menyegarkan tenggorokannya. Berhubung sekarang masih jam makan siang.
"Ini Mbak."
"Terima kasih." Setelah menerima minuman dan memberikan uang, Ashana berjalan untuk duduk bersama Andini. Ya, Andini Bea Cadereyn adalah sahabatnya dari SMA. Wanita itu bersyukur bisa sekantor dengan Andini walaupun mereka kuliah di universitas yang berbeda.
Dug!
"Ya ampun, maaf maaf." Ucap Ashana menyesal karena tidak memperhatikan jalan. Wanita itu menunduk merasa bersalah. Beruntung minumannya tidak sampai tumpah membasahi kemeja orang yang di tabraknya.
Orang yang di tabrak Ashana diam saja, membuat Ashana berpikir kalau orang itu memaafkannya. Jadi wanita itu memilih untuk meneruskan jalannya.
"Berhenti."
Ashana menghentikan langkahnya. Wanita itu berbalik menatap pria yang tadi ia tabrak yang kini sudah berbalik. Ashana membulatkan matanya. Adrian Bilal Chawki. Sahabat dari si direktur kejam. Adrian di kenal dengan sifatnya yang hampir sama dengan Achazia.
Ashana meneguk salivanya susah. Wanita itu baru sadar kalau kini ia telah menjadi pusat perhatian. Andini yang menatapnya hanya bisa diam berdoa.
"Kemari."
Walaupun enggan, Ashana berjalan pelan menghampiri Adrian yang menatapnya tajam. "Iya, ada yang bisa saya bantu?" Walaupun gugup, wanita itu masih bisa mengontrol diri.
"Siapa namamu?"
"Apa?"
"Kau punya kelainan pada telingamu?"
Jika saja yang ada di hadapannya ini bukan Adrian, maka Ashana akan menjambak rambut cowok itu sampai botak. "Ashana."
"Nama lengkap."
"Ashana Berryl Carissa."
"Baiklah." Setelah mengucapkan kata itu Adrian pergi meninggalkan Ashana dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantung celana.
Ashana baru bisa bernapas lega. Akhirnya Adrian pergi juga. Ia kira Adrian akan memberikan hukuman padanya.
"Kau tidak apa-apa?" Sepeninggal Adrian, Andini langsung berlari menghampiri Ashana lalu memeriksa keadaan Ashana.
Ashana berdecak. "Aku tidak apa-apa."
"Syukurlah. Eh tapi, ku dengar tadi dia menanyakan namamu."
Ashana mengangguk polos. "Iya."
Andini melebarkan kedua matanya. "Astaga, gawat! Lalu kau jawab apa?"
"Aku jawab pertanyannya. Menyebutkan nama lengkapku." Ucap Ashana santai.
Andini memukul keningnya dengan mata yang terpejam. "Habis sudah, habis."
Ashana menatap Andini tak mengerti. "Kau kenapa?"
Andini menurunkan tangannya. Wanita itu menatap Ashana kesal. "Harusnya aku yang tanya, kau sebenarnya kenapa? Bagaimana bisa kau menabrak Pak Adrian?"
"Aku terlalu fokus menatap ponsel. Memangnya ada apa? Toh, dia juga tidak mempermasalahkan itu."
Andini menghela napas. "Bukan itu yang di permasalahkannya Ashana Berryl Carissa. Yang di permasalahkan adalah Pak Adrian menanyakan namamu. Hanya ada dua kemungkinan. Kau di pecat atau di turunkan jabatan."
Ashana melebarkan kedua matanya. Wanita itu baru sadar kalau Achazia atau Adrian sudah menanyakan nama pegawai maka hidupnya sudah ada di ambang maut. Beruntung dua lainnya tidak seperti itu.
"Lalu aku harus bagaimana?" Tanya Ashana panik.
Andini hanya mengusap-ngusap pundak Ashana. "Hanya Tuhan yang tahu."
"Maaf permisi,"
Andini dan Ashana menoleh ke sumber suara. Di sana sudah berdiri wanita dengan kacamata tebal.
"Ya, ada masalah?" Tanya Andini.
Wanita berkacamata tebal itu menatap Ashana. "Kau di panggil oleh direktur utama. Ditunggu di ruangannya."
Ashana melebarkan kedua matanya. Begitu juga Andini. Bahkan sampai wanita berkacamata tebal itu berlalu mereka tetap dalam posisinya.
"Andini, aku harus bagaimana?" Ashana menatap Andini memelas.
Andini yang merasa tidak tega langsung menarik Ashana ke dalam pelukannya. "Aku akan berdoa yang terbaik untukmu."
"Harus."
Andini melepaskan pelukannya. Wanita itu mendorong tubuh Ashana untuk pergi. "Sudah, sekarang kau penuhi panggilannya. Bisa gawat kalau kau telat."
Ashana mengangguk. Urusannya akan tambah panjang jika ia telat untuk datang. Wanita itu berjalan menuju ruangan Achazia. Setiap langkah Ashana terus merapalkan doa. Semoga keberuntungan ada di pihaknya.
Setelah sampai di depan ruangan Achazia, Ashana menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh gugup. Wanita itu mulai mendorong pintu dan langsung masuk. Terlihat Achazia sedang duduk di kursi kekuasaannya dan Adrian yang sedang menatap jalan dari balik jendela.
"Kau telat 0,4 detik." Ucap Achazia pendek.
"Ma-maaf." Ucap Ashana sambil membungkukkan tubuhnya.
Adrian yang sedang menatap jalanan berbalik dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya. "Ini adalah orang yang aku rekomendasikan kepadamu."
"Apakah dia berbakat?"
Adrian tertawa. Tawa yang renyah. "Kau bertanya apa? Tentu saja karyawan-karyawan di kantor ini semuanya berbakat."
"Tapi untuknya aku tak yakin."
Dalam hati Ashana mendengus. Maksudnya apa dia bilang begitu? Jadi menurutnya ia tidak punya bakat apa pun? Seperti itu?
"Bahkan dia tidak bisa mengikat rambutnya dengan benar." Tambah Achazia lagi.
Refleks, tangan Ashana terulur untuk menyentuh rambutnya yang berantakan karena bertabrakan dengan Adrian tadi.
"Itu karena dia habis bertabrakan denganku di jalan tadi," Ucap Adrian.
"Menabrakmu? Bahkan dia tidak bisa berjalan dengan benar."
Ingin rasanya Ashana meninju pria dengan wajah sombong di hadapannya ini. Angkuh sekali dia. Apakah semua orang kaya seperti itu?
"Kau yang menyuruhku untuk mencari orang tapi kau sendiri yang berkomentar. Kalau begitu cari saja sendiri sana." Ucap Adrian yang malas mendengar ucapan-ucapan menusuk Achazia untuk wanita yang ada di hadapannya.
Ashana melirik Adrian. Ternyata pria itu tak seburuk yang di gosipkan oleh orang-orang kantor. Di balik sifat dinginnya ternyata dia lebih baik dari Achazia.
Achazia menghela napas. "Baiklah." Pria itu bangkit dari duduknya. Pria itu berjalan menghampiri Ashana. "Kau," Ia menunjuk Ashana menggunakan jari telunjuknya. Membuat Ashana mau tak mau menatap Achazia. "Mulai sekarang kau akan menjadi asisten pribadiku. Bahkan lebih dari asisten pribadi. Ini perintah, bukan penawaran."
Seketika Ashana ingin pingsan saat itu juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments