Tok tok tok
Andini dan Ashana mengalihkan perhatiannya ke pintu. Kedua wanita itu saling berpandangan sebelum Andini bangkit berdiri. "Kau lanjutkan makan saja. Biar aku yang membukakan pintu." Ucapnya.
Ashana mengangguk. Wanita itu kembali melanjutkan makan. Tapi matanya tetap mengawasi. Ia terus menatap Andini sampai wanita itu membukakan pintu.
"Ya, ada apa?" Sapa Andini lebih dulu.
Andini mengernyit bingung saat melihat Abercio, salah satu sahabat dari pemilik sekaligus direktur utama perusahaannya ada di depan pintu.
"Kau wanita yang melempar kecoa ke bawah?"
Andini mengangguk polos. Wanita itu masih belum mengerti topik dari pembicaraan ini. "Iya."
"Kecoa itu jatuh di atas kepalaku."
Andini melebarkan kedua matanya terkejut. Wanita itu langsung berjinjit untuk melihat kecoa yang sudah mati itu. "Dimana? Tidak ada."
Abercio berdecak. "Ya karena sudah ku buang."
"Oh, begitu. Ya sudah, aku minta maaf." Ucap Andini sambil mengeluarkan senyumannya yang manis. "Apakah ada lagi yang mau di bicarakan? Kalau tidak aku mau masuk."
Abercio hanya diam saja. Membuat Andini berpikir kalau Abercio mempersilakannya masuk. Saat wanita itu akan masuk, Abercio menahan lengannya.
"Apa lagi?"
"Kau bukannya orang yang bekerja di Comman Grup? Perusahaan milik Achazia?"
Andini mengangguk.
"Kau tahu aku?"
Andini mengangguk lagi. "Abercio Bramantyo Cakra. Sahabat dari Achazia, Adrian dan Abqari. Anak kedua dari tiga bersaudara. Walaupun dia anak tengah, tapi dia tidak pernah terlupakan. Ayahnya mempunyai Bramantyo Hospital yang kini di urus oleh kakaknya. Karena ayahnya sudah mulai tua. Apakah itu sudah cukup?"
Abercio menatap Andini. Mengerutkan keningnya. "Kau sudah tahu, tapi kenapa kau tidak sopan padaku?"
"Apanya yang tidak sopan?" Tanya Andini balik.
"Minta maaflah dengan baik." Ucap Abercio tajam.
Andini memutar kedua bola matanya. "Aku sudah meminta maaf dengan baik padamu. Memang menurutmu itu tidak baik? Apa aku harus menunduk? Atau bersujud? Yang benar saja!" Ucap wanita itu berani.
Abercio tersenyum miring. Keberanian wanita yang ada di hadapannya ini membuat dirinya tertantang. "Aku adalah sahabat Achazia. Jika aku mengadukanmu pada Achazia kau bisa saja di pecat karena ketidak sopananmu ini."
Andini melebarkan kedua matanya. Enak sekali dia bicara, memangnya siapa dia? "Bosku adalah Achazia. Bukan kau. Lagipula bagaimana bisa kau membawa urusan pribadi dengan urusan kantor. Lagipula apa yang kurang? Aku sudah minta maaf."
"Permintaan maafmu tidak membuatku puas." Jawab Abercio.
Andini terkekeh. "Ya lalu apa urusannya denganku? Kau puas kau tidak puas ya itu urusanmu. Yang penting aku sudah minta maaf."
Abercio menunjuk Andini. "Kau benar-benar---"
Cklek!
Abercio berdecak. Pria itu melipat kedua tangannya. Andini masuk ke dalam. Meninggalkannya dengan tidak sopan. Tapi membuat sudut-sudut bibirnya tertarik. "Menarik juga."
Sedangkan di sisi lain, Andini terus saja bicara saat berjalan sampai dapur. "Dasar pria aneh. Memangnya dia kira dia siapa? Hanya sebatas sahabat Achazia. Lagipula urusan kantor dan urusan pribadi itu sudah beda lagi. Tapi kenapa dia mengikut sertakan urusan kantor. Dasar pria tidak tahu diri. Aku kan sudah minta maaf. Dan dia meminta aku untuk minta maaf dengan baik. Memangnya tadi aku minta maaf dengan cara tidak baik begitu?" Ucap wanita itu.
Ashana yang mendengar ocehan Andini hanya menatap sahabatnya itu aneh. Wanita itu tidak tahu Andini bertemu siapa dan menjadi seperti ini karena siapa. "Kau tadi bertemu siapa?" Tanya Andini.
"Kau tahu? Abercio Bramantyo Cakra. Dia sangat menyebalkan. Ya walaupun dia adalah sahabat dari Achazia. Kau tahu tidak? Kecoa yang tadi aku bunuh lalu aku buang keluar, ternyata jatuh di atas kepala Abercio." Ucap Andini menjelaskan.
Ashana seketika langsung menghentikan pergerakan tangannya. Wanita itu tahu bagaimana sifat Andini. Walaupun Andini selalu mengajarkan sifat itu pada Ashana, tapi Ashana tetap tidak mau. Mau di luar kantor atau pun di dalam kantor ia akan tetap menghormati para atasannya. Tapi bagi Andini itu berbeda. Ashana hanya mengiyakan saja. Toh, kalaupun Andini di pecat, ia tetap masih punya banyak uang. Lagipula bagi Andini, mudah sekali bekerja di setiap perusahaan. Karena Andini mempunyai kakak yang akan membantunya. Kakaknya kan, punya koneksi dimana-mana. Ia menatap Andini. "Lalu kau bilang apa?"
"Aku meminta maaf karena aku sadar aku salah. Tapi dia malah mengatakan kalau aku harus meminta maaf dengan baik. Memang cara minta maaf yang aku lakukan tidak baik?"
Ashana menghembuskan napasnya. "Sudahlah, mungkin dia memang menyebalkan."
"Lebih dari menyebalkan!" Kesal Andini. Wanita itu melipat kedua tangannya.
Ashana menggaruk pelipisnya. Kalau dalam situasi seperti ini ia bingung harus melakukan apa. "Mmm.. Kau tidak mau melanjutkan makan?" Tanya wanita itu mengubah topik pembicaraan.
Andini menatap makanan yang tersaji. Walaupun dalam keadaan marah Andini tetap tidak akan bisa jauh dari makanan. Andini adalah definisi suka makan tapi tidak gendut-gendut.
"Baiklah, lupakan Abercio. Dia tidak penting. Lebih baik aku makan." Ucap Andini yang kembali memegang sendok.
Ashana tersenyum. Terkadang wanita itu iri dengan kehidupan yang dimiliki Andini. Kaya dan tidak perlu memikirkan ke depannya akan seperti apa. Karena mereka mempunyai banyak uang. Ia ingin seperti Andini yang bersikap seadanya. Bukan berpura-pura baik di depan atasan seperti dirinya. Hanya ada satu alasan. Ia tidak mau di pecat dari pekerjaannya hanya karena ia bersikap tidak sopan.
"Ashana? Kenapa kau melamun?" Andini menyentuh bahu Ashana. Membuat Ashana terperanjat. Wanita itu tersenyum kikuk. "Iya?"
"Kau memikirkan apa?" Tanya Andini khawatir.
Ashana menggeleng dengan senyum yang tercetak. "Tidak ada."
Andini menatap Ashana dengan mata menyelidik. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
Ashana menggeleng. "Tidak ada. Benar-benar tidak ada apa-apa." Ucap wanita itu. Ia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
"Ya sudah. Aku percaya padamu." Ucap Andini. Wanita itu melanjutkan makan.
Setelah di selimuti hening selama beberapa menit, Ashana mengeluarkan suaranya. "Andin, bagaimana rasanya menjadi orang kaya?"
Pergerakan tangan Andini terhenti. Wanita itu menatap Ashana yang sedang tersenyum. "Memangnya kenapa?"
"Tidak, aku hanya bertanya saja." Ashana menunduk. Menahan air mata untuk tidak keluar. Entah kenapa tiba-tiba ia menanyakan pertanyaan seperti itu. Kalau boleh jujur, Ashana sudah lelah. Lelah dengan semuanya. Ia ingin hidup tenang tanpa memikirkan uang atau pun biaya. Tapi mau bagaimana lagi. Ashana di takdirkan untuk seperti ini. Ia tidak bisa menolaknya. Mungkin Tuhan tahu kalau ia kuat.
Andini berdiri kemudian duduk di sebelah Ashana. Ia merangkul bahu Ashana yang membuat tangis Ashana pecah. Andini terus mengusap-usap bahu Ashana yang bergetar. "Tidak apa. Keluarkan semuanya."
Tangis Ashana makin kencang. Andini hanya diam sambil mengusap-usap bahu Ashana. Wanita itu tahu kalau Ashana hanya butuh sahabat untuk mengerti dirinya. Untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Dan Andini siap untuk itu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments