"APA?!!"
Ashana menutup kedua telinganya. Wanita itu menatap Andini kesal. "Sudah ku bilang, aku masih di sampingmu. Jadi tidak perlu teriak."
Andini tidak memperdulikan kekesalan Ashana. Wajah melongo yang sangat khas itu serasa ingin di siram air panas oleh Ashana.
"Pak Achazia benar-benar menawarkan itu?"
Ashana mengangguk lesu. "Lebih tepatnya perintah dari atasan untuk bawahan."
Andini terdiam. Wanita itu seperti sedang memikirkan sesuatu. Sepersekian detik kemudian ia tersenyum. "Ya sudah terima saja. Hitung-hitung pendekatan dengan Pak direktur." Goda Andini.
Ashana menatap Andini malas. Wanita itu melemparkan bantal kecil yang di peluknya ke wajah Andini. "Kau saja sana!!"
Andini mengusap hidungnya yang sakit. Wanita itu melipat bibirnya. "Kalau aku jadi kamu juga akan aku terima Ash."
Ashana menghela napas. Wanita itu menyenderkan kepalanya ke sandaran sofa. Kini ia sedang berada di apartemen Andini. Andini memang tinggal seorang diri. Orang tuanya terlalu sibuk mengurus bisnis keluarga. Andini ini termasuk orang kaya. Tapi entah mengapa ia enggan untuk mengakui itu. Ia mengaku kalau ia lebih menyukai hidup yang sederhana. Hasil jerih payahnya sendiri.
"Aku harus gimana Andin?"
"Gimana bagaimananya? Memang kamu bisa menolak?"
Ashana menggeleng dengan kedua mata yang terpejam.
"Ya sudah, bagaimana lagi. Pasrahkan saja semuanya pada Tuhan." Ucap Andini mengakhiri obrolan mereka.
*****
Suara tepuk tangan tidak mengalihkan atensi Achazia pada jalan yang terhampar di bawah. Kini pria itu sedang berada di hotel miliknya. Tepatnya di lantai 53.
"Mau apa kau kemari? Aku tidak memberi tumpangan." Ucap Achazia. Pria itu melipat kedua tangannya. Walaupun belum melihat rupanya ia sudah menebak siapa yang datang.
Pria itu tertawa keras. Ia berjalan mendekat lalu merangkul Achazia dari belakang. "Aku tidak pernah menyangka kau punya rencana seperti ini, kawan."
"Setidaknya aku tidak sepertimu Abqari," Ucap Achazia menyebut nama sahabatnya itu.
Abqari mengangkat kedua bahunya. "Ya.. Hanya berbeda sedikit." Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Ia berjalan ke arah sofa lalu duduk disana. "Siapa namanya?"
"Apa?"
"Wanita itu,"
"Ashana. Ashana Berryl Carissa."
"Ashana. Nama yang bagus. Pasti orangnya cantik." Abqari mengusap-usap dagunya. Membayangkan betapa cantiknya Ashana sampai Achazia mau memilih wanita itu.
"Di matamu tidak ada wanita yang jelek." Balas Achazia.
Abqari terkekeh. "Benar juga,"
Achazia berbalik. Pria itu berjalan untuk duduk di atas sofa. Ia menatap Abqari. "Kau tidak bersama Abercio?" Tanya Achazia. Karena tidak biasanya Abqari sendiri. Pasti ia selalu membawa Abercio bersamanya. Mereka adalah empat sahabat. Tapi keempatnya mempunyai sifat yang berbeda. Jika Achazia selalu sependapat dengan Adrian, maka Abqari selalu sepemikiran dengan Abercio.
"Dia sedang kencan," Jawab Abqari. Achazia sudah tak aneh lagi mendengarnya. Bahkan mungkin wanita yang sekarang sedang di kencani Abercio adalah wanita yang akan di buang kesekian ratus kalinya.
"Kau tidak?"
Abqari menatap Achazia. "Tidak apa?"
"Kencan," Jawab Achazia santai. Pria itu sudah hafal di luar kepala bagaimana sifat-sifat para sahabatnya.
Abqari terkekeh. "Di kalender milikku hari ini tanggal merah. Dengan artian kalau aku libur kencan."
Achazia menuangkan minuman yang tersedia di meja. Pria itu meneguknya sekali. "Atau mungkin kau sudah tidak ada yang mau?" Ia menatap Abqari dengan senyuman miring.
"Enak saja! Aku ini orang yang sangat para wanita idam-idamkan di masa depan. Tidak mungkin aku tidak ada yang mau."
"Terserah kau saja." Achazia menaruh gelas yang ada di tangannya. Akhir-akhir ini kepalanya sangat pusing. Ya, apa lagi yang membuatnya pusing selain Mommynya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Adriyana. Achazia tidak pernah menyangka Adriyana akan mengambil langkah seperti ini. Langkah yang amat sangat tidak di setujui oleh Achazia. Dan ini menjadi alasan kenapa Achazia memilih Ashana sebagai 'asisten pribadi'.
*****
"ANDINIIIII!!!! HUWAAAAA!!!!"
Andini yang sedang menyiapkan makan malam di dapur berlari tergesa-gesa menghampiri Ashana yang berada di kamarnya. Wanita itu sampai lupa untuk menaruh spatula. Ia membawa spatula ikut lari bersamanya.
"Ada apa?! Ada apa?!" Andini langsung masuk ke dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Wanita itu langsung mendapatkan pemandangan Ashana yang sedang berdiri di atas meja dengan baju mandi dan handuk yang terlilit di kepalanya. "Ashana ada apa?!"
Melihat kedatangan Andini, Ashana langsung berlari memeluk Andini. Wanita itu menyembunyikan wajahnya di belakang Andini. "A-ada kecoa Andin. Aku ta-takut."
Andini menghela napas kesal. Wanita itu tahu kalau Ashana sangat takut pada kecoa. Ia melepas pelukan Ashana. Tapi Ashana memeluknya begitu kuat.
"Hey, bagaimana aku bisa mengusir kecoa kalau kau saja memelukku seperti ini?" Protes Andini.
Ashana menggeleng. "A-aku takut."
"Aku tahu. Maka dari itu lepaskan aku. Akan ku usir kecoanya. Memang kau mau kecoa itu membuat rumah di kamarku?"
Ashana kembali menggeleng.
"Nah, ya sudah. Lepaskan aku."
Ashana melepaskan pelukannya yang erat meskipun enggan. Wanita itu langsung berlari ke arah pintu dan bersembunyi di sana. "Hati-hati Andin."
Andini hanya mengangguk. Beruntung dia bawa spatula. Wanita itu mencari keberadaan sang kecoa. Dari mulai di atas meja dan sofa, di bawah meja sampai ke bawah lemari. Ia menatap Ashana yang terlihat ketakutan di belakang pintu.
"Dimana?"
"Di-di kamar mandi."
Andini berjalan mendekat. Wanita itu membuka pintu kamar mandi. Ia melongokan kepalanya ke dalam, mencari kecoa yang di maksud Ashana. "Tidak ada."
"HUWAAAA ANDINIIII!!! DIA ADA DI RAMBUTMUUU!!"
Refleks Andini langsung mengusap-usap rambutnya dengan panik. Benar saja, kecoa itu terbang lalu menempel di dinding kamar mandi. Wanita itu menatap kecoa itu marah. "Awas kau!"
PLAK!
Tidak, tidak dapat. Andini kurang tepat. Kecoa itu pindah dan menempel di dinding lain. "Sini kau!"
PLAK!
Tidak dapat lagi. Kecoa yang hebat itu kembali pindah ke dinding lain. Andini yang mempunyai kesabaran rendah sudah dikuasai oleh amarah. "Pasti dapat!"
PLAK!
PLAK!
PLAK!
"Hati-hati Andin!" Teriak Ashana takut. Wanita itu masih bersembunyi di belakang pintu. Ia menggigit jari-jari kukunya.
PLAK!
PLAK!
PLAK!
Andini tertawa jahat. Wanita itu menatap kecoa yang hebat itu sudah terkapar tak berdaya. Ia mengambil kecoa yang sudah mati itu menggunakan spatula yang ia bawa.
Ashana yang merasa kalau Andini sudah menang berjalan mendekat. Tapi wanita itu tetap bersembunyi di belakang tubuh Andini. "Kau menang?"
Andini mengibaskan rambutnya. "Tidak mungkin aku kalah dengan kecoa." Ucap wanita itu bangga.
Ashana menatap kecoa yang ada di atas spatula. Tiba-tiba tubuhnya merinding. Ia langsung pergi untuk mengganti bajunya.
Andini membawa kecoa yang mati itu untuk di buang. Wanita itu membuka jendela apartemennya. Lalu dengan santai membuang kecoa itu ke bawah. "Selesai." Ia tersenyum manis sebelum melanjutkan langkahnya menuju dapur.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments